Dilema Pernikahan Muda: Antara Tradisi dan Realitas Kontemporer

Dilema Pernikahan Muda: Antara Tradisi dan Realitas Kontemporer

Anak muda sering dihadapkan pada berbagai tantangan saat memutuskan untuk menikah. Kurangnya kematangan emosional, tekanan ekonomi, dan ketidakpastian sosial menjadi hambatan yang tidak bisa diabaikan. Banyak dari mereka juga merasa terisolasi dan dihantui kecemasan akan besarnya tanggung jawab yang harus dipikul setelah menikah.
Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa 10,3% perempuan Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus pernikahan anak tertinggi ke-8 di dunia dan peringkat ke-2 di kawasan ASEAN. Fakta lain yang tak kalah memprihatinkan, UNICEF (2023) mengungkapkan bahwa satu dari empat perempuan yang tinggal di pedesaan menikah pada usia di bawah 18 tahun.
Selain persoalan usia, tekanan finansial juga menjadi tantangan yang berat bagi pasangan muda. Survei BKKBN (2023) mencatat bahwa 68% pasangan muda merasa stres karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Banyak di antara mereka mengakui belum siap secara ekonomi untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Akibatnya, keraguan dan rasa takut kerap muncul, membuat mereka merasa belum mampu menjalankan peran sebagai suami atau istri secara utuh.
Tak hanya itu, kematangan emosional memegang peran penting dalam keberhasilan rumah tangga. Kemampuan untuk mengelola stres, menghadapi konflik, dan menjalin komunikasi yang sehat menjadi fondasi yang harus dimiliki pasangan menikah. Penelitian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2022) menemukan bahwa 43% perceraian pada usia dini terjadi karena ketidaksiapan mental. Hal ini selaras dengan temuan para psikolog perkembangan yang menjelaskan bahwa bagian otak yang berperan dalam pengambilan keputusan, yaitu prefrontal cortex, baru berkembang secara optimal pada usia sekitar 25 tahun.
Keterbatasan kematangan emosional inilah yang membuat pasangan muda menghadapi risiko perceraian lebih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (2023) mencatat bahwa pasangan yang menikah di usia muda memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar untuk bercerai dalam lima tahun pertama pernikahan dibandingkan mereka yang menikah di usia lebih matang.
Fenomena ini menunjukkan bahwa persiapan menuju pernikahan tidak hanya soal cinta dan niat untuk hidup bersama, tetapi juga memerlukan kesiapan mental, emosional, dan finansial yang matang. Dukungan dari keluarga, akses edukasi pranikah, serta kebijakan perlindungan terhadap pernikahan anak menjadi langkah penting agar generasi muda mampu membangun keluarga yang harmonis, sehat, dan berkelanjutan.
Di sejumlah budaya, terdapat tekanan sosial yang kuat untuk menikah pada usia muda. Tekanan ini sering kali muncul dari tradisi, norma keluarga, atau pandangan masyarakat yang menganggap pernikahan dini sebagai pencapaian atau kewajiban. Sayangnya, dorongan tersebut tidak selalu disertai dengan kesiapan pribadi, baik secara mental, emosional, maupun finansial. Akibatnya, banyak pasangan muda terjebak dalam pernikahan yang rapuh, diliputi rasa tidak bahagia, dan rentan mengalami konflik yang berkepanjangan. Tanpa fondasi kesiapan yang matang, pernikahan dini justru lebih berisiko memunculkan permasalahan yang sulit diatasi dalam jangka panjang.
Menikah pada usia muda, khususnya bagi perempuan, berpotensi meningkatkan risiko komplikasi kesehatan selama masa kehamilan dan persalinan. Perempuan yang hamil di usia remaja lebih rentan mengalami berbagai masalah kesehatan, seperti anemia, preeklamsia, kelahiran prematur, hingga risiko mortalitas maternal dan neonatal yang lebih tinggi. Selain itu, aspek kesehatan mental juga tidak dapat diabaikan. Tekanan psikologis dan stres yang timbul akibat beban tanggung jawab rumah tangga, ketidakstabilan ekonomi, serta keterbatasan dukungan sosial dapat memicu munculnya gangguan kecemasan, depresi, dan stres pasca-trauma. Dampak negatif tersebut tidak hanya berkonsekuensi pada kesejahteraan individu, tetapi juga berimplikasi terhadap kualitas pengasuhan anak dan stabilitas keluarga dalam jangka panjang.
Akhir,
Fenomena pernikahan usia muda di Indonesia bukan sekadar persoalan tradisi atau tuntutan sosial, tetapi merupakan masalah kompleks yang melibatkan kesiapan mental, emosional, kesehatan, dan ekonomi. Data menunjukkan bahwa menikah terlalu dini meningkatkan risiko perceraian, masalah kesehatan ibu dan anak, serta tekanan psikologis yang mendalam. Tanpa fondasi kematangan dan dukungan yang memadai, pernikahan dini cenderung rapuh dan menimbulkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan keluarga.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah konkret yang melibatkan berbagai pihak. Pemerintah dan lembaga terkait perlu memperluas edukasi pranikah yang komprehensif, khususnya bagi remaja di daerah pedesaan, agar calon pasangan memahami konsekuensi pernikahan dini. Orang tua dan masyarakat diharapkan lebih bijak dalam mendukung anak muda, dengan tidak memaksakan pernikahan sebelum mereka siap secara mental dan ekonomi. Selain itu, program perlindungan perempuan serta kebijakan pencegahan pernikahan anak harus diperkuat dan diawasi secara ketat. Dengan pendekatan kolaboratif ini, generasi muda dapat lebih siap membangun keluarga yang sehat, harmonis, dan berkelanjutan.

  • Muhamad Fathul Arifin – Penghulu KUA Kesugihan, Cilacap

1 Comment

Tinggalkan Balasan