Menu

Mode Gelap

Karya Ilmiah · 1 Okt 2025 23:49 WIB ·

Eksistensi dan Peran Santri Dalam Membangun Negeri Di Era Digitalisasi

Penulis: Khaerul Umam


 Eksistensi dan Peran Santri Dalam Membangun Negeri  Di  Era Digitalisasi Perbesar

Oleh :

Khaerul Umam, S.Ag*)

 

Momentum hari santri nasional tentu bukan sekedar romantisme sejarah, tetapi hadirnya hari santri dapat menjadi “cambuk” menghidupkan kembali karakter santri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana jiwa spiritual yang tinggi dapat “diejawentahkan” dalam peran sosial yang dinamis dan mampu beradaptasi dengan lingkungan dia berkembang, sehingga dapat terwujud kembali tatanan individu masyarakat yang jujur, tanggung jawab, mandiri, sederhana, gotong-royong, mengutakan kepentingan umum, dan lain sebagainya.

 

A. PENDAHULUAN

      Sebagaimana yang kita ketahui Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Hari Santri Nasional (HSN). Hal ini mengingatkan akan perjuangan bersejarah yang dilakukan para ulama dan santri dalam mempertahankan dan memperjuangkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tangan penjajah Belanda. Adapun pemilihan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional didasarkan kepada K.H. Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama pada saat itu menyerukan ajakan jihad, yang disebut sebagai Resolusi Jihad untuk melawan tentara sekutu. Dipimpin oleh kyai dan dibantu oleh santri sebagai tangan kanannya, semangat santri tidak goyah untuk bertekad dan bersatu melawan para penjajah yang hendak menghancurkan Indonesia lagi, padahal saat itu kemerdekaan Indonesia telah berlangsung 2 bulan sebelumnya.

       Peran historis kaum santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonensia, adalah peran nyata, gerakan nyata dan semangat nyata, tentang betapa kaum santri dalam sejarahnya telah memiliki tradisi yang kuat dalam mengajarkan tentang bagaimana sesungguhnya memiliki bangsa dan Negara yang berdaulat, menjadi sesuatu yang niscaya dan bahkan “wajib”. Beberapa tokoh ulama’ dan kyai yang telah mampu memberi motivasi dan inspirasi dalam konteks itu seperti K.H. Hasyim As’yari dari Nahdlatul Ulama, K.H. Ahmmad Dahlan dari Muhammadiyah, A. Hassan dari Persis, Ahmad Soorhati dari Al-Irsyad dan Mas Abdul Rahman dari Mathlaul Anwar, K.H Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nahdlatul Wathan, dan beberapa ulama’/kyai lainnya. Jelas, bahwa perjuangan kaum santri, jihad kaum santri, dan gerakan nasionalis, tujuannya adalah untuk Indonesia, harga diri, martabat dan kemerdekaan yang sesungguhnya. Inilah nilai-nilai penting, dan pesan-pesan moral yang harus mampu dirawat dan dipelihara oleh semua anak bangsa.

    Tulisan ini bermaksud menghadirkan dan mengingatkan kembali eksistensi dan peran santri baik peran keperibadian maupun peran social serta konstribusi santri dalam mengisi dan membangun negeri di era millennial atau di era digitalisasi ini.

B. PEMBAHASAN

  1. Definisi Santri

     Santri bukan sesuatu yang aneh bagi masyarakat Indonesia, apalagi bagi kalangan pesantren. Sejarah santri bahkan sudah ada sejak zaman sebelum Islam berkembang di Indonesia. Dengan segala ke-khas-an yang dimiliki, santri telah menempati sudut pandang tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Bisa dipastikan bahwa sudut pandang terhadap santri mayoritas selalu menepatai ruang sosial yang “positif”. Santri adalah seseorang yang belajar ilmu agama kepada seorang kyai baik ia tinggal di asrama yang telah disediakan maupun tidak. Namun pada umumnya santri tinggal di sebuah asrama atau yang disebut dengan pondok pesantren. Pesantren sendiri adalah bagian dari pendidikan nonformal yang lebih mengedepankan akhlaq al-karimah atau pendidikan karakter bangsa.

     Kata santri menurut kamus besar bahasa Indonesia, memiliki dua pengertian, yakni; “orang yg mendalami agama Islam; dan orang yangg beribadah secara sungguh-sungguh; orang yang saleh”. Pada definisi lain, makna santri adalah bahasa serapan dari bahasa inggris yang berasal dari dua suku kata yaitu SUN dan THREE yang artinya tiga matahari. Matahari adalah titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas pada bumi di siang hari. Matahari adalah sumber energi tanpa batas, matahari pula sumber kehidupan bagi seluruh tumbuhan dan semuanya dilakukan secara ikhlas. Namun maksud tiga matahari dalam kata SUNTHREE adalah tiga keharusan yang harus dimiliki oleh seorang santri yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Semua ilmu tentang Iman, Islam dan Ihsan dipelajari di pesantren menjadi seorang santri yang dapat beriman kepada Allah secara sungguh-sungguh, berpegang teguh kepada aturan Islam. serta dapat berbuat ihsan kepada sesama.
Pada pengertian lain menyebutkan bahwa santri diambil dari bahasa Tamil yang berarti ‘guru mengaji’, ada juga yang menilai kata santri berasal dari kata India ‘shastri’ yang berarti ‘orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci’. Selain itu, pendapat lainya meyakini bahwa kata santri berasal dari kata ‘Cantrik’ (bahasa sansekerta atau jawa), yang berarti orang yang selalu mengikuti guru.
2. Karakater Santri yang Khas dan Unik

     Karakter terbentuk atas kebiasaan dan pembiasaan tertentu, dapat diamati dalam sebuah prilaku yang “ajeg”, istiqomah, terus menerus. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakter tertentu, mulai dari nilai intrinsik dan ekstrinsik. Lingkungan tentu faktor yang sangat besar mempengaruhi karekter tersebut. Santri identik dengan lingkungan pesantren, maka kehidupan pesantren adalah karakter yang melekat pada santri. Jiwa yang religius, sikap sosial yang akomodatif adalah bagian dari karakteristik lingkungan pesantren. Tetapi secara invidu yang santri juga memiliki keunikan yang berbeda-beda, dampak dari dialektika faktor intrinsic dan ekstrinsik.
Karakter santri yang unik diataranya; Pertama, Theocentric; Theocentric yaitu sebuah nilai dalam karakter diri santri yang didasarkan pada pandangan yang menyatakan bahwa sesuatu kejadian berasal, berproses, dan kembali kepada kebenaran  Allah SWT. Semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Allah SWT, dan merupakan bagian integral dari totalias kehidupan keagamaan. Dalam praktiknya mengutamakan sikap dan perilaku yang kuat beroreintasi pada kehidupan ukrawi dalam kehidupan sehari-hari. Semua perbuatan dilaksanakan dengan hukum agama demi kepentingan hidup ukhrawi. Karakter yang demikian membuat santri lebih hati-hati membawa dirinya untuk tidak terjerumus pada perbuatan yang subhat, apalagi bathil atau haram. Spritualitas yang tinggi, membuat dirinya selalu merasa diawasi sang penciptanya. Sehigga diri, amal, dan perilakukan kehidupannya semata-mata oleh dan akan kembali kepada Allah SWT. Kedua, karakter sukarela dalam mengabdi. Hal itu tercermin dari kepasrahan seorang santri dalam belajar di pesantren. Secara sukarela dalam melakukan setiap aktifitas pembelajaran dan pembiasaan lainnya, meskipun tanpa diawasi oleh seorang kiai atau ustadz. Bahkan pada pesantren tertentu terdapat santri yang sengaja mengabdikan dirinya secara terus menerus kepada sang kiai. Totalitas ini dilakukan karena santri meyakini, terdapat berkah yang akan didapat setelah melakukan pengabdian secara sukarela, secara sempurna kepada sang kiai atau ustadz. Berkah itu berupa kesuksesan hidup dalam bermasyarakat kelak, menjadi tokoh agama, tokoh masyarakat yang juga rela berkorban dan mengabdi kepada sesamanya.
      Ketiga, santri identik dengan karakater kearifan, yakni bersikap sabar, rendah hati, patuh pada ketentuan hukum agama, mampu mencapai tujuan tanpa merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama. Menghormati perbedaan dan keberagaman. Dalam setiap keputusan yang diambil mempertimbangkan lokalitas dimana dia hidup. “di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, inilah kemudian membuat santri mudah diterima oleh semua kalangan. Keempat, kesederhanaan dan kemandirian; adalah karekter khas santri, tidak tinggi hati dan sombong walau berasal dari orang kaya atau keturunan raja sekalipun. Fasilitas pesantren yang serba terbatas berberan dalam membentuk karakter kesederhanaan dan kemandirian santri. Sederhana dan mandiri bukan karena tidak mampu, tapi lebih menunjukkan pribadi yang peduli sesama, pribadi yang menyadari bahwa dunia adalah sementara. Bukti dari karakter tersebut, bahwa santri melakukan aktifitas domestik mereka sendiri-diri, seperti; mencuci, mamasak, dan lain sebagainya. Kesederhanaan dilambangkan dengan kesamaan dalam berpakaian dan benda yang dimiliki tanpa bermewah-mewah.

      Perspektif lain tentang karakter santri bisa dipahami dengan pendekatan harfiyah. Kata Santri jika ditulis dalam bahasa arab terdiri dari lima huruf, yaitu (سنتري). Yang mana setiap hurufnya memiliki kepanjangan serta pengertian yang luas. Huruf yang pertama yaitu “Sin” (س) adalah kepanjangan dari سَافِقُ الخَيْرِ yang memiliki arti pelopor kebaikan. Oleh sebab itu, setiap santri mesti memiliki jiwa pemimpin dalam melaksanakan kebaikan. Ia mesti menjadi pelopor dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Huruf yang kedua yaitu “Nun” (ن) adalah kepanjangan dari نَاسِبُ العُلَمَاءِ yang memiliki arti penerus ulama. Ulama atau di Indonesia lebih dikenal dengan Kiyai/Ajengan tidak bisa muncul begitu saja kecuali ia telah melalui tahapan-tahapan rumit, sebelum kemudian Allah SWT meninggikan derajat keilmuannya ditengah-tengah masyarakat. Tentunya ia harus menjalani masa-masa menuntut ilmu serta penggemblengan dalam pembiasaan beribadah. Oleh sebab itu wajar jika santri dikatakan sebagai penerus ulama.

       Selanjutnya huruf yang ketiga yaitu “Ta” (ت) adalah kepanjangan dari تَارِكُ الْمَعَاصِى yang memiliki arti Orang yang meninggalkan kemaksiatan. Maksiat adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Sedangkan santri adalah orang-orang yang mendalami dan mempelajari agama secara menyeluruh. Oleh sebab itu, keduanya sangat bertolak belakang dari segi makna. Maka wajar jika santri dikatan sebagai orang yang meninggalkan maksiat. Huruf yang keempat, yaitu “Ra”(ر) adalah kepanjangan dari رِضَى اللهِ yang memiliki arti ridho Allah. Santri adalah orang yang sepatutnya mendapat ridlo Allah SWT (Aamin). Sebab ia berada dalam jalan pencarian ilmu agama. Yang mana dalam beberapa keterangan, orang yang menuntut ilmu berada dalam ridlo Allah SWT. Dan huruf yang terakhir yaitu “Ya” (ي) adalah kepanjangan dari اَلْيَقِيْنُ yang memiliki arti keyakinan. Keyakinan adalah sebuah keharusan bagi santri. Sebab ia berada dalam koridor ilmu yang tidak diragukan lagi keuntungannya. Ia tidak boleh menyerah dalam proses tholabul ilmi. Karena apa yang ia usahakan akan berbuah manis bila disertai keyakinan.

      Sesungguhnya karakter tersebut masih sangat sedikit untuk memahami konsep kedirian dan peran sosial seorang santri. Tetapi paling tidak bisa digambarkan bahwa santri adalah sebagai pribadi yang memiliki karakter yang patut diteladani. Apalagi sebagai bagian dari kehidupan sosial, tentu karakter santri telah memiliki tempat tersendiri di mata masyarakat, yang punya korelasi kuat terhadap nilai dan norma positif masyarakat. Memang sacara umum karater santri selalu berkonotasi positif, tetapi tidak menafikan ada oknum santri yang memiliki karakter sebaliknya.

  1. Tantangan dan Tanggung Jawab Santri Masa Kini

      Selain zaman telah menguji sistem pendidikan pesantren, namun santri pun sekarang ini telah diuji dengan berbagai hal yang menyebabkan menurunnya minat santri dalam belajar atau menurunnya penjiwaan dirinya sebagai santri. Tantangan-tantangan tersebut diantaranya pengaruh kuat globalisasi, westernisasi, dan paham hedonism, pragmatism, gaya hidup. Pengaruh kuat globalisasi seakan menarik santri untuk mengajak ke dunia luar sana melalui berbagai media masa, media komunikasi dan lain-lain. Minat santri terhadap kitab kuning khasnya kini mulai teralihkan dengan adanya TV, Internet, HP, dan situs jejaring sosial seperti facebook, twetter, messenger, tiktok dan lain-lain.

       Westernisasi atau ke-barat-an (Eropa), pengaruh itu selain mulai mengakar ke seluruh pelosok negeri tetapi juga mulai merambat ke dunia santri. Pengaruh kebarat-baratan yang dinilai peradabannya lebih maju dan dengan berbagai alasan lainnya menyebabkan banyak santri lebih memilih lagu-lagu barat ketimbang sholawat atau minimal lagu dalam negeri. Selain gaya seperti itu, juga yang lebih parah lagi bila jiwa santri yang seharusnya berpanutan pada Rosul SAW sebagai panutan mutlak, namun santri saat ini mulai mengaca pada group-group (maaf) Punk, Reggae, Emo,Metal dan lain-lainnya. Hedonisme atau suatu paham yang mengganggap bahwa hidup di dunia ini hanya sekali maka poya-poya di dunia adalah tujuannya. Terlihat mulai muncul gaya hidup berlebih dan mulai meninggalkan unsur kesederhanaan.

       Sedikit paparan di atas bila kita kaji secara mendalam tampaklah jelas bahwa hal-hal tersebut telah menjadikan minat belajar santri menurun dan mengurangi penjiwaan diri dari seorang santri. Tanggung jawab seorang santri selain mengamalkan ilmunya untuk dirinya sendiri tetapi juga meneruskan merujuk pada misi Rosul SAW yakni, menyebarkan syiar islam (balighuu anni walau ayah), menyempurnakan akhlaq (Li utammima makarim al-akhlaq), dan bisa dijadikan panutan dalam  masyarakat (Uswah Khasanah)  setelah kepulangannya dari Pesantren. Jadi, setelah kepulangannya dari Pesantren santri harus mampu menampilkan dirinya sebagai seorang yang Shalih Ritual (hablu minallah) dan Shalih Sosial (hablu minannaas). Dakwah santri sepulang dari Pondok Pesantren wajjib hukumnya, karena santri dipandang orang yang berkompeten terhadap pemahaman agama islam. Dakwah yang dilakukan setidaknya seperti apa yang telah tersurat dalam al-quran yakni bi al-hikmah, mauidhoh hasanah, dan mujadala.

       Santri juga harus bisa mejelmakan diri menjadi agent of change, yakni agen dari sebuah perubahan. Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan moral masyarakat melalui dakwah-dakwahnya atau melalui pengajarannya. Yang terakhir adalah harus bisa dijadikan panutan dalam berbagai hal, seperti Nabi dalam Uswah Hasanah-nya. Karena secara otomatis santri menjadi warotsah al ambiya’ atau pewaris para Nabi dalam hal keilmuannya. Jadi, santri harus bisa menunjukkan akhlaknya seperti akhlak para Nabi yang membawa risalah dari Ilah.

  1. Eksistensi Dan Peran Santri dalam Membangun Negeri di Era Digitalisasi

      Tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional didasarkan kepada K.H. Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama pada saat itu menyerukan ajakan jihad, yang disebut sebagai Resolusi Jihad untuk melawan tentara sekutu. Hal ini mengingatkan akan perjuangan bersejarah yang dilakukan para ulama dan santri dalam mempertahankan dan memperjuangkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tangan penjajah Belanda. Dipimpin oleh kyai dan dibantu oleh santri sebagai tangan kanannya, semangat santri tidak goyah untuk bertekad dan bersatu melawan para penjajah yang hendak menghancurkan Indonesia lagi, padahal saat itu kemerdekaan Indonesia telah berlangsung 2 bulan sebelumnya.

      Oleh karenanya dapat kita lihat bagaimana kontribusi yang berjiwa nasionalisme dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Mempertahankan negara tempat tinggalnya dengan penuh perjuangan  dan keberanian. Tidak hanya berperang melawan nafsu duniawi saja melainkan berperang secara fisik dimana nyawa harus dipertaruhkan. Lalu bagaimana dengan zaman sekarang? Zaman dengan teknologi yang terus berkembang maju. Apa peran santri untuk negara Indonesia di era modernisasi dan digitalisasi saat ini?

       Di era modern sekarang ini penjajahan memang bukan lagi bersifat fisik, melainkan penjajahan berbentuk paham-paham barat yang bertujuan memecah belah umat dam menghancurkan kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia. Mudahnya masyarakat dalam mendapatkan informasi di jejaring internet menjadi tantangan yang cukup komplek bagi tiap individu, termasuk santri.

       Seperti yang kita ketahui bahwasannya santri menghabiskan waktu yang lama di pondok pesantren untuk memperdalam ilmu agama. Diikuti dengan peraturan yang harus ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Tidak heran jika julukan santri ialah orang yang bermoral tinggi. Selain itu, santri terbiasa dengan perbedaan pandangan atau pendapat, karena pada pembelajaran kitab pasti terdapat perbedaan pandangan ulama terhadap satu perkara. Menjadikan santri memiliki pandangan dari berbagai sisi, dan juga toleran. Dengan begitu, di kehidupan bermasyarakat santri diharapkan dapat menjadi teladan bagi masyarakat sekitar terhadap berbagai fenomena. Tidak hanya melalui masjid ke masjid, melainkan bisa melalui platform media sosial dimana diisi dengan argumen dan gagasan tentang pandangan terhadap fenomena sosial, budaya agama, bahkan kewarganegaraan. Santri harus menjadi penggerak yang mengajak ke arah kebaikan. Apa yang telah dipelajari di pondok pesantren tidak hanya diimplementasikan di dunia nyata melainkan di dunia maya pun. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa santri menjadi salah satu komponen pembangun negeri. Melalui dakwah di lingkungan masyarakat dan dunia maya.

     Meskipun Pesantren bukanlah pendidikan formal, namun output-nya yaitu santri dari pesantren sangat berpengaruh dalam kancah keislaman di masyarakat dalam bidang keagamaan maupun sosial. Ironisnya, saat ini minat masyarakat terhadap pendidikan Pesantren semakin menurun dengan terbukti menurunnya jumlah santri di Pondok Pesantren seluruh Nusantara. Inilah tantangan Pesantren yang hidup di era globalisasi dan modern. Keinginan manusia saat ini adalah terutama di Indonesia yang masih merupakan negara berkembang, yang diinginkan masyarakatnya adalah kesejahteraan. Sedangkan Pesantren tradisional yang ada ini umumnya tidak memberikan life skill kepada santri untuk kehidupan mendatang. Mungkin inilah (menurut hemat penulis) salah satu faktor minimnya minat masyarakat terhadap Pesantren.

      Pesantren saat ini dituntut untuk mampu bersaing dengan gejolak zaman yang semakin cepat roda putarnya. Persaingan ini bukan berarti Pesantren meninggalkan ke-khas-annya, tetapi dengan prinsip yang telah diajarkan yakni “al-muhafadloh ala qodim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu dengan tetap mempertahankan nilai-nilai baku yang baik dan mengambil langkah baru  yang dinilai lebih baik.

      Meneladani karakter santri di era millenial, serta kondisi bangsa yang sedang dilanda krisis karakter, bahkan sampai pada ranah domestik-keluarga, tentu memiliki dampak terhadap kemajuan bangsa dan negara. Perilaku korup semakin merajalela, karakter individualis semakin mempertajam jarak antar sesama, sehingga dampaknya menjadikan kemewahan hanya untuk individu dan golongannya, toleransi dan gotong royong semakin terkikis karena ego sektoral yang menguat. Dialog cultural dalam setiap kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak menjadi langkah, sehingga sering kali kebijakan hanya sebagai alat “pencitraan” yang tidak memiliki efek perubahan untuk kemajuan masyarakat umum.

C. PENUTUP

     Santri bukan sesuatu yang aneh bagi masyarakat Indonesia, apalagi bagi kalangan pesantren. Sejarah santri bahkan sudah ada sejak zaman sebelum Islam berkembang di Indonesia. Dengan segala ke-khas-an yang dimiliki, santri telah menempati sudut pandang tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Santri adalah sebagai pribadi yang memiliki karakter yang patut diteladani. Apalagi sebagai bagian dari kehidupan sosial, tentu karakter santri telah memiliki tempat tersendiri di mata masyarakat, yang punya korelasi kuat terhadap nilai dan norma positif masyarakat.

     Di era modern sekarang ini penjajahan memang bukan lagi bersifat fisik, melainkan penjajahan berbentuk paham-paham barat yang bertujuan memecah belah umat dam menghancurkan kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia. Mudahnya masyarakat dalam mendapatkan informasi di jejaring internet menjadi tantangan yang cukup komplek bagi tiap individu, termasuk santri.

      Di kehidupan bermasyarakat santri diharapkan dapat menjadi teladan bagi masyarakat sekitar terhadap berbagai fenomena. Tidak hanya melalui masjid ke masjid, melainkan bisa melalui platform media sosial dimana diisi dengan argumen dan gagasan tentang pandangan terhadap fenomena sosial, budaya agama, bahkan kewarganegaraan. Santri harus menjadi penggerak yang mengajak ke arah kebaikan. Apa yang telah dipelajari di pondok pesantren tidak hanya diimplementasikan di dunia nyata melainkan di dunia maya juga. Santri juga harus bisa mejelmakan diri menjadi agent of change, yakni agen dari sebuah perubahan. Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan moral masyarakat melalui dakwah-dakwahnya atau melalui pengajarannya, baik di lingkungan masyarakatnya maupun di flatform media social. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa santri menjadi salah satu komponen pembangun negeri di era modern dan digitalisasi ini.

      Sebagai penutup tulisan ini, izinkan penulis mengutip perkataan K.H. Mustofa BisriSantri itu bukan yang mondok saja tetapi siapapun yang berahklak santri, yang tawadhu kepada Gusti Allah SWT. tawadu kepada orang alim dan saling menghormati kalian namanya santri, dan santri melihat tanah air indonesia sebagai rumahnya. kalau santri berbicara kebangsaan bukan karena nasionalisme, karena santri tidak tahu isme-isme akan tetapi keterlibatan dan kepemilikanya terhadap bangsa iniSelamat Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2025: Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia (Disarikan dari berbagai sumber).

———

**)Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang, da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan, juga pernah nyantri di Ponpes Miftahussa’adah Benggala Neglasari Kota Serang-Banten

 

Previous Post Waris (Faraidh VII)
0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 12 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

PENCATATAN TAJDID NIKAH (PART 1)

14 Oktober 2025 - 07:39 WIB

Hukum Susuan yang Mengharamkan Nikah dalam Pandangan Mazhab

13 Oktober 2025 - 16:56 WIB

Rumah Tangga Diujung Tanduk: Tepuk Sakinah VS Tepuk Syaithan , Siapa Yang Menang??

11 Oktober 2025 - 09:03 WIB

3 Rahasia Rumah Tangga Harmonis Ala Rasulullah SAW

11 Oktober 2025 - 08:48 WIB

Keadilan, Gender, dan Tujuan Perkawinan dalam Islam: Analisis Normatif, Maqasid Syariah, dan Relevansi Sosial Kontemporer

6 Oktober 2025 - 17:18 WIB

CINTA, MUTLAK KUASA ALLAH

5 Oktober 2025 - 14:20 WIB

Trending di Hikmah
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x