Menu

Mode Gelap

Artikel · 10 Agu 2025 23:20 WIB ·

Gugat Cerai Karena Suami Berpenghasilan Tidak Tetap, Bolehkah?

Penulis: Khaerul Umam


 Gugat Cerai Karena Suami Berpenghasilan Tidak Tetap, Bolehkah? Perbesar

Oleh : Khaerul Umam, S.Ag*)

 

A. PENDAHULUAN

          Duuuuuaarrrrr…..kembali media sosial ramai dan dihebohkan oleh kasus perceraian yang diajukan sejumlah guru perempuan berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang baru diangkat dan terima SK PPPK muncul di berbagai daerah, mulai dari Jawa Timur, Jawa Barat hingga Banten. Berdasarkan laporan detik.com, sekitar 70% penggugat adalah guru perempuan yang menyatakan adanya ketimpangan ekonomi dengan suami. Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Dindikpora) Pandeglang mencatat ada 50 orang guru yang mengajukan gugatan perceraian terhadap pasangannya. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. “Ada sekitar 50 orang,” kata Kepala Bidang Ketenagaan Dindikpora Pandeglang, Mukmin, kepada wartawan, Jumat (25/7/2025).

       Hal serupa juga terjadi di Cianjur, puluhan Aparatur Sipil Negara (ASN) pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) di lingkungan pendidikan Kabupaten Cianjur mengajukan cerai usai menerima Surat Keputusan (SK) pengangkatan. Gugatan cerai itu didominasi PPPK perempuan. Berdasarkan data yang dihimpun detikJabar, dari 42 PPPK, sebanyak 30 orang baru mengajukan perceraian, sedangkan 12 orang lainnya sudah diproses dan tinggal menunggu dokumen perceraian ditandatangani oleh pejabat Pemerintah Kabupaten Cianjur. Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Cianjur Ruhli mengatakan Pemicunya ekonomi. Salah satunya karena sekarang perempuannya sudah punya kemandirian ekonomi sebagai PPPK, sehingga menggugat cerai suaminya”.

       Viralnya pemberitaan banyak terjadi kasus gugatan cerai yang dilakukan ASN (Aparatur Sipil Negara) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang baru diangkat tersebut sontak menjadi sorotan masyarakat dan mereka menyayangkan kenapa hal itu terjadi. Pasalnya, setelah bertahun-tahun berjuang menembus ketatnya seleksi ASN/PPPK, kabar pengangkatan tentu menjadi momen yang membahagiakan. Status baru membawa harapan: gaji tetap, jaminan masa depan, dan pengakuan sosial. Namun, di balik stabilitas yang tampak itu, justru muncul ironi yang tak sedikit dialami oleh mereka yang baru menapaki tangga kemapanan: rumah tangga retak, gugatan cerai meningkat.

Dalam banyak kasus terjadi, suami tidak memiliki penghasilan tetap atau bekerja di sektor informal. Situasi ini diperparah oleh status baru istri sebagai pegawai pemerintah, yang sering kali menonjolkan disparitas ekonomi dengan pasangan. Pertanyaannya, apakah ketimpangan ekonomi atau kekurangan dalam hal nafkah dapat menjadi dasar kuat bagi seorang istri untuk mengajukan perceraian? Bagaimana pandangan agama dan hukum positif di Indonesia menilai keabsahan alasan tersebut?

B. PEMBAHASAN

  1. Memahami konsep nafkah dalam pernikahan

            Kata nafkah berasal dari kata (ََ أَنْفَق) dalam bahasa Arab secara etimologi mengandung arti: (َ نقص َو َقل) yang berarti “berkurang”. Juga berarti (فنىَوَذهة ) yang berarti “hilang atau pergi” (Amir Syarifuddin, 2007: 165). (النفقة) al-Nafaqah memiliki arti “biaya, belanja atau pengeluaran” (Ahmad Warson Munawwir, 1997: 1449). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam nafkah berarti pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya (Abdul Aziz Dahlan, 1996: 1281).

         Nafaqah dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan nafkah. Nafkah adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan oleh seseorang untuk keperluan hidup orang lain (Muhammad Bagir Al-Habsyi, 2002: 136). Seseorang dikatakan memberikan nafkah membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkan atau diberikan untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan perkawinan, nafkah mengandung arti sesuatu yang dikeluarkan dari hartanya untuk kepentingan istrinya ataupun keluarganya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang. Dengan demikian, nafkah istri berarti pemberian yang harus dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam masa perkawinannya.

          Pengertian nafkah secara terminologi tidak terlepas dari berbagai pendapat fuqaha diantaranya Abdul Majid Mahmud Mathlub mendefenisikan nafkah yaitu sesuatu yang dibutuhkan oleh isteri, seperti; makanan, pakaian, perabotan, pelayanan, dan segala sesuatu yang ia butuhkan menurut adat (Abdul Majid Mahmud Mathlub, 2005 : 262).  Sementara itu, Syaikh Hasan Ayyub mendefenisikan nafkah yaitu semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain-lain (Syaikh Hasan Ayyub, 2001: 383). Dalam kitabnya Ahkamul Mar‟ati Fi Fiqhil Islamy, Imam Ahmad Al-Hajji Al-Kurdi mendefenisikan nafkah yaitu makanan, pakaian dan tempat tinggal serta sesuatu yang disamakan dengan hal-hal itu.

         Nafkah merupakan elemen krusial dalam kehidupan rumah tangga. Ketidakstabilan ekonomi semestinya tidak serta-merta menjadi alasan untuk bercerai, namun realitas menunjukkan bahwa kondisi finansial sangat memengaruhi keharmonisan keluarga. Dalam Islam, kewajiban memberikan nafkah dibebankan kepada suami sebagai bentuk tanggung jawab utama dalam mengelola rumah tangga. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ath-Thalaq ayat 7:

 لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ۝٧

    Artinya, “Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah kelak akan menganugerahkan kelapangan setelah kesempitan.” (QS.Ath-Thalaq: 7).

     Dalam ayat tersebut, Allah SWT mengisyaratkan bahwa kewajiban nafkah harus disesuaikan dengan kemampuan, tanpa memberatkan pihak suami. Dalam konteks ini, suami yang memiliki penghasilan lebih rendah dari istrinya seharusnya tidak serta-merta dijadikan alasan utama untuk mengajukan perceraian, selama ia tetap menunaikan tanggung jawab nafkahnya sesuai kemampuannya. Meskipun belum ideal menurut standar tertentu, pemenuhan kebutuhan pokok oleh suami tetap bernilai sebagai bentuk tanggung jawab.

         Dalam dirkursus fiqih, ulama Imam Asy-Syarbini juga menjelaskan secara rinci batasan nafkah yang dapat dikatakan layak sesuai syariat:

 قاَلَ النَّوَوِيِّ يَلْزَمُ الزَّوْجَ الْكَسْبُ لِلإِنْفَاقِ عَلَى الزَّوْجَةِ، وَهُوَ كَذَلِكَ كَمَا يَلْزَمُهُ لِنَفَقَةِ نَفْسِهِ وَأَنَّهُ لَوْ قَدَرَ عَلَى تَكَسُّبِ نَفَقَةِ الْمُوسِرِ لَزِمَهُ تَعَاطِيهِ، وَمَحَلُّهُ مَا إذَا كَانَ قَادِرًا عَلَى كَسْبٍ حَلالٍ. أَمَّا إذَا كَانَ الْكَسْبُ بِأَعْيَانٍ مُحَرَّمَةٍ كَبَيْعِ الْخَمْرِ أَوْ كَانَ الْفِعْلُ الْمُوَصِّلُ لِلْكَسْبِ مُحَرَّمًا كَكَسْبِ الْمُنَجِّمِ وَالْكَاهِنِ فَهُوَ كَالْعَدَمِ، (وَإِنْ خَالَفَ الْمَاوَرْدِيُّ وَالرُّويَانِيُّ فِي الْقِسْمِ الثَّانِي) وَإِنَّمَا يُفْسَخُ (لِلزَّوْجَةِ النِّكَاحُ) بِعَجْزِهِ (أَيْ الزَّوْج) عَنْ نَفَقَةِ مُعْسِرٍ حَاضِرَةٍ; لأَنَّ الضَّرَرَ يَتَحَقَّقُ بِذَلِكَ، فَلَوْ عَجَزَ عَنْ نَفَقَةِ مُوسِرٍ أَوْ مُتَوَسِّطٍ لَمْ يَنْفَسِخْ; لأَنَّ نَفَقَتَهُ الآنَ نَفَقَةُ مُعْسِرٍ فَلا يَصِيرُ الزَّائِدُ دَيْنًا عَلَيْهِ، بِخِلافِ الْمُوسِرِ أَوْ الْمُتَوَسِّطِ إذَا أَنْفَقَ مُدًّا فَإِنَّهَا لا تُفْسَخُ وَيَصِيرُ الْبَاقَّيْ دَيْنًا عَلَيْهِ

        Artinya, “Imam an-Nawawi berkata: Wajib atas suami untuk bekerja (mencari nafkah) guna menafkahi istrinya, dan memang demikian hukumnya, sebagaimana ia juga wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Dan apabila suami mampu bekerja untuk memperoleh nafkah standar orang kaya, maka wajib baginya untuk melakukannya. Namun, hal ini berlaku jika ia mampu bekerja dalam pekerjaan yang halal. Adapun jika cara memperoleh penghasilan tersebut melibatkan sesuatu yang haram secara zat, seperti menjual khamr (minuman keras), atau perbuatan yang mengantarkan kepada penghasilan itu haram, seperti penghasilan seorang peramal atau dukun, maka penghasilan seperti itu dianggap tidak ada nilainya (seperti tidak mampu bekerja). (Meskipun al-Mawardi dan ar-Ruyani berbeda pendapat dalam bagian yang kedua ini.) Adapun mengenai pembatalan akad nikah (fasakh) diperbolehkan jika suami tidak mampu memberikan nafkah minimal seorang yang tidak mampu (mu’sir) dan ia tinggal bersamanya (hadir), karena dalam kondisi itu kerugian (dharar) benar-benar nyata bagi istri. Namun jika suami tidak mampu memberikan nafkah standar orang kaya atau menengah, maka tidak dapat dibatalkan. Berbeda halnya jika yang memberi nafkah adalah seorang suami kaya atau menengah namun hanya memberikan sedikit (seperti satu mudd saja), maka akad nikah tidak dibatalkan, namun kekurangan dari nafkah tersebut tetap menjadi utang atasnya.” (Al-Khathib Asy-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, t.t.], jilid V, halaman 178).

       Kewajiban memberikan nafkah juga ditegaskan dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa suami sesuai dengan penghasilannya, wajib menanggung: (a) Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri, (b) biaya rumah tangga, perawatan, dan pengobatan bagi istri dan anak, (c) biaya pendidikan anak. Bahkan di ayat (6) Pasal 80 KHI dinyatakan isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b, (Ahmad Rofiq, 1997: 186-187). Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebut bahwa suami wajib menafkahi keluarga dan istri bisa menggugat cerai jika tidak diberi nafkah selama 3 bulan berturut-turut tanpa alasan sah. Ditambah dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116 bahwa bukti tidak bekerja tetap atau penghasilan tidak cukup dapat memperkuat alasan gugatan.

0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 73 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Memaknai Kesaktian Pancasila dari Meja Akad Nikah: Refleksi Seorang Penghulu

1 Oktober 2025 - 12:24 WIB

Revolusi Administrasi di Kementerian Agama: Mengupas Tuntas KMA No. 9 Tahun 2016

30 September 2025 - 15:15 WIB

Sentuhan hati ……,pelayanan ASN KUA Wonosari Kab. Klaten, untuk mewujudkan harapan warga.

24 September 2025 - 14:43 WIB

Pernikahan Dini Di Lereng Gunung Merapi*

22 September 2025 - 20:20 WIB

Optimalisasi Bimwin

19 September 2025 - 20:20 WIB

Rukun Nikah Baru: Sebuah Usulan

19 September 2025 - 00:00 WIB

Trending di Artikel
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x