Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa selama suami masih giat berusaha memenuhi kebutuhan keluarga melalui pekerjaan yang halal, meskipun di sektor informal, maka ia tetap dinilai menjalankan kewajiban nafkahnya. Islam tidak mensyaratkan nafkah harus berasal dari pekerjaan formal atau penghasilan tinggi, melainkan dari usaha yang sungguh-sungguh dan layak sesuai kemampuan. Karena itu, istri yang mendapati suaminya tetap berjuang secara konsisten dalam menafkahi keluarga hendaknya mempertahankan ikatan pernikahan dan tidak menjadikan keterbatasan materi sebagai alasan utama untuk bercerai, kecuali ada faktor lain yang menjadikan percerai satu-satunya solusi dan jalan keluar dari problem rumah tangga
2. Memahami tujuan pernikahan
Tujuan pernikahan atau perkawinan adalah salah satu asas dari 6 (enam) asas atau prinsipil dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami-isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang Wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara KHI Pasal 2 dan 3 menyatakan; “Perkawinan menurut hukum Islam Adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” (Pasal 2), “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang Sakinah, mawaadah dan Rahmah (tentram, cinta dan kasih sayang)” (Pasal 3).
Dari kedua regulasi rumusan tujuan perkawinan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Karena itu, suami isteri harus saling melengkapi dan saling membantu setiap kekurangan masing-masing pihak. Disamping itu faktor ajaran Islam adalah unsur pokok yang paling penting dalam pembinaan rumah tangga yang bahagia, sebab ajaran Islam memberikan petunjuk antara yang baik dengan yang buruk, bagaimana sikap jiwa sewaktu mendapat nikmat dan ketika mendapat musibah. Dari dalam rumah tangga yang selalu dihiasi dengan ajaran-ajaran agama akan memantulkan sinar bahagia, ketenangan, kenikmatan rohaniyah, walaupun dalam situasi kekurangan, kemiskinan dan kesulitan. Unsur kedua rumah tangga bahagia ialah terciptanya hubungan harmonis antara sesama keluarga, antara suami isteri, antara anak-anak, antara anak dan ibu bapaknya dan dengan yang lainnya (Bidang Urais, 2022: 51-52).
Dalam rumah tangga bahagia, senantisa tergalang pergaulan yang harmonis antara sesama keluarga. Semuanya menempatkan diri laksana awak kapal yang sedang mengarung samudera luas dan penuh gelombang, masing-masing dari sejak kapten atau nahkoda sampai mualim dan penjaga mesin, kelasi dan tukang masak menjalankan tugas masing-masing dengan gembira dan tanggung jawab demi keselamatan bersama. Unsur berikutnya dalam pembinaan rumah tangga yang bahagia adalah hemat dan hidup sederhana. Sebagian besar kehancuran rumah tangga karena keroyalan hidup. Tidak berhemat dan tidak memikirkan hari esok, tidak mengerti ada musim hujan dan musim panas. Hawa nafsu ingin hidup mewah akan tetapi tidak seimbang dengan sumber pendapatan yang ada, sehingga timbullah satu keadaan yang gawat di rumah tangga itu, besar pasak daripada tiang.
Selanjutnya menyadari cacat diri sendiri, banyak orang yang terlalu rajin melihat cacat orang lain tetapi jarang sekali melihat cacatnya sendiri. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Apabila setiap pemimpin rumah tangga menyadari sepenuhnya, maka dapat dihindarkan perasaan benar sendiri (Bidang Urais, 2022: 54-55).
3. Memahami Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Tujuan perkawinan yang sangat mulia di atas tidak akan terwujud apabila pasangan suami isteri tersebut tidak memahami hak dan kewajibannya masing-masing. Apabila pasangan suami istri tersebut sudah mengetahui peran dan fungsinya masing-masing serta memahami apa hak dan kewajibannya, maka dambaan bahtera rumah tangga yang Bahagia, kekal dan penuh cinta kasih akan terwujud.
Masalah hak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 diatur di dalam Bab IV Pasal 30-34, sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam Bab XII Pasal 77-84. Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan: “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan Masyarakat”. Sementara KHI Pasal 77 ayat (1) berbunyi: “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang Sakinah, mawaddah dan Rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan Masyarakat” (Ahmad Rofiq, 1997: 183).
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI Pasal 79 ayat (2) menyatakan: “Hak dan kewajiban isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam Masyarakat”. Selanjutnya pada Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI Pasal 77 ayat (2) menyatakan: “Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan dapat memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”. Kewajiban suami memberikan nafkah kepada isterinya tercantum pada Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kewajiban memberikan nafkah juga ditegaskan dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa suami sesuai dengan penghasilannya, wajib menanggung: (a) Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri, (b) biaya rumah tangga, perawatan, dan pengobatan bagi istri dan anak, (c) biaya pendidikan anak.
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama sebagaimana tercantum pada Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI Pasal 77 ayat (5).
4. Meningkatkan komunikasi dan harmonisasi relasi dalam keluarga
Fenomena meningkatnya angka perceraian pasca pengangkatan ASN/PPPK mulai mencuat di berbagai daerah. Banyak pasangan yang bertahan dalam keterbatasan, justru berpisah setelah mencapai kehidupan yang dianggap mapan. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang tidak bisa dijawab secara sederhana: mengapa stabilitas ekonomi tidak sejalan dengan stabilitas emosional dan relasi?
Dalam logika umum, kemapanan seharusnya memperkuat rumah tangga. Namun, kehidupan manusia tidak berjalan linier. Saat status sosial berubah, cara pandang seseorang terhadap dirinya dan pasangannya pun ikut berubah. Dalam banyak kasus, pengangkatan sebagai ASN/PPPK membawa perubahan identitas yang cukup drastis: dari “yang berjuang” menjadi “yang berhasil”, dari “yang menggantungkan” menjadi “yang merasa mandiri”. Perubahan ini tidak selalu disadari. Namun dalam relasi, ia hadir dalam bentuk ketimpangan baru. Pasangan yang dulu berjalan beriringan, kini merasa berada di jalur yang berbeda. Waktu, perhatian, dan energi yang dulu diprioritaskan untuk keluarga, mulai terbagi ke dalam urusan dinas, pelatihan, pergaulan baru, dan tuntutan profesionalisme.
Fenomena ini juga berkaitan erat dengan dinamika makna dalam hidup. Setelah kebutuhan ekonomi terpenuhi, manusia kerap mencari makna yang lebih dalam. Namun, jika makna itu tidak ditemukan dalam relasi, maka pasangan bisa merasa kosong, tidak nyambung, bahkan tak lagi tahu untuk apa mereka tetap bersama. Inilah yang kerap menjadi penyebab “perceraian senyap”, tanpa konflik besar, tapi dilandasi rasa keterasingan yang makin membesar. Ketimpangan ritme hidup juga ikut memperlebar jarak. Salah satu pasangan mulai hidup dalam dunia yang lebih sistematis—penuh aturan dan target. Sementara yang lain masih berada dalam dunia hidup yang lama. Perbedaan ini menciptakan semacam “dunia dalam dunia” yang tak mudah dijembatani jika tidak ada komunikasi yang reflektif.
Selain itu, masyarakat kita masih menempatkan ASN/PPPK sebagai simbol keberhasilan. Ini sering kali membentuk ego baru dalam diri seseorang. Mereka merasa lebih dihargai, lebih mampu, bahkan kadang merasa tak lagi membutuhkan pasangan secara emosional maupun finansial. Dalam kondisi ini, relasi mudah tergelincir menjadi relasi kuasa, bukan lagi relasi kesetaraan.