Hukum Keluarga di Sudan

Hukum Keluarga di Sudan

Islam diyakini sebagai agama yang universal, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia. Sebagaimana firman Allah swt:

اَفَغَيْرَ دِيْنِ اللّٰهِ يَبْغُوْنَ وَلَهٗ ٓ اَسْلَمَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ طَوْعًا وَّكَرْهًا وَّاِلَيْهِ يُرْجَعُوْنَ

Artinya: Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. (Q.S. Ali Imran:83)[1]

Dari ayat di atas, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana manusia itu berada. Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat yang bersahaja. Ketika berhadapan dengan masyarakat modern dengan tantangan modernitasnya, Islam tentunya dituntut untuk dapat menghadapi tantangan modernitas.

Dalam konteks ini tak terkecuali hukum keluarga yang berlaku di Indonesia yang terjelmakan dalan UU. No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga membutuhkan pembaharuan terkait dengan kondisi sosiologis, kultur dan kompleksitas persoalan hidup bangsa Indonesia yang selalu bergerak dinamis kedepan. Walaupun mungkin dulu diawal atau pada saat hukum keluarga tersebut dibentuk sedikit banyak dapat menjadi jawaban bagi tuntutan realitas sosial yang ada.

Pembahasan

  1. Sejarah Hukum di Sudan

Seperti banyak negara-negara Afrika (terutama negara-negara Afrika Timur) Sudan mewarisi sistem hukum kolonial. Sudan merupakan negara Muslim, dengan Muslim yang membentuk lebih dari 75 persen dari populasi (1), dan pemerintah yang telah berkuasa di Sudan sejak tahun 1989 telah secara sadar administrasi berdasarkan nilai-nilai Islam. Michael Field ‘Inside the Arab World’ menyatakan bahwa Sudan pasca-1989 adalah unik di antara polities Islam: “Satu-satunya negara Arab yang telah diberlakukan, republik, ide-ide Islam “. (2) Sementara Sudan telah disalah pahami sebagai teokratis, negara Islam fundamentalis, pengalaman Islam Sudan berbeda dari pengalaman Arab Saudi dan sangat berbeda dari model Islam di Iran.

Sistem peradilan Sudan yang ada sekarang merupakan puncak dari sejarah hukum yang dilalui oleh negeri ini. Akarnya dimulai sejak abad pertengahan, bahkan jauh sebelum itu. Perkembangan tersebut dimulai dari masa Kerajaan Funji, disebut juga Kesultanan Islam Sennar (1504-1820), dilanjutnya dengan masa pemerintahan penjajahan Turki (1880-1899), pemerintahan al-Mahdi (1821-1885), dan masa pemerintahan Inggeris-Mesir (1899-1956).[2] Peradilan nasional dimulai sejak 1 Januari 1956 ketika Sudan menyatakan diri terlepas dari kekuasaan Inggeris-Mesir.

Pada masa Kesultanan Islam Sennar, pengadilan tertinggi disebut Mahkamah al-‘Umum (Court of Common) dan pengadilan yang berada di bawahanya disebut Mahkamah Syar’iyah. Hukum Islam yang diterapkan adalah mengikuti mazhab Maliki. Di antara hakim-hakim yang terkenal pada masa ini tersebut nama Hakim Dishin dan Hakim Alaraki.

Di zaman pemerintahan Turki, Mahkamah Agung masih disebut Mahkamah al-‘Umum, tetapi hukum yang diterapkan mengikuti mazhab Hanafi sesuai mazhab yang berlaku di seluruh wilayah Turki Usmani. Selain itu, ibukota negara dipindahkan dari Sennar ke Wad Madani, dan akhirnya Khartoum.

Selanjutnya dalam pertempuran Skekan, Muhammad Ahmad al-Mahdi (meninggal 1885) berhasil mengusir pemerintahan Turki. Al-Mahdi memulai pemerintahan baru garis keras dengan mengumumkan Syari’at Islam sebagai hukum negara. Ia membuat kompilasi hukum yang disebut al-Mansyurat al-Mahdiyyah (The Mahdi Circular) serta memindahkan ibukota dari Khartoum ke Omdurman. Mahkamah Agung disebut Mahkamah al-Islam dan peradilan di bawahnya mempunyai kompetensi tertentu seperti Pengadilan Pasar dan Pengadilan Militer. Al-Mahdi sebagai kepala negara mengangkat dan memberhentikan hakim. Di zamannya, al-Mahdi telah mengangkat dua Ketua Mahkamah Agung berturut-turut. Pertama adalah Qadhi al-Islam (Ketua MA) Ahmad Ali yang menjabat selama 12 tahun. Setelah meninggal di penjara, ia digantikan oleh Hussain Wad Zahra.[3]

Masa Inggeris-Mesir disebut sebagai pemerintahan bilateral berdasarkan kesepatakan antara kedua negara Inggeris dan Mesir pada tanggal 19 Januari 1899 yang disebut Condominium Agreement. Di antara isi perjanjian tersebut dinyatakan bahwa hukum Mesir tidak akan diberlakukan di Sudan dan syari’at Islam priode al-Mahdi dinyatakan tidak berlaku. Untuk mengisi kekosongan, pemerintah jajahan mengimpor hukum Inggeris yang berlaku di anak benua India, baik perdata maupun pidana.

Pengadilan di zaman Inggeris-Mesir terbagi dua. Pertama adalah Bagian Sipil dan yang kedua Bagian Syariah.[4] Bagian Sipil terdiri dari perdata dan pidana dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung berkebangsaan Inggeris sampai tahun 1956. Bagian Sipil menerapkan hukum acara perdata dan pidana Inggeris di India dan hukum substantif menerapkan murni hukum Inggeris.

Sedangkan Bagian Syariah diketuai oleh the Grand Qadhi atau Qadhi al-Qudhat yang diisi oleh orang Mesir sampai tahun 1947. Kewenangannya terbatas dalam bidang Hukum Pribadi (al-Ahwal ash-Shakhshiyyah) berdasarkan mazhab Hanafi. Istilah Hukum Pribadi, menurut Syekh Mustafa

Zarqa’ dari Suria, tidak berasal dari perbendaharaan hukum Islam, tetapi dari hukum Perancis. Kewenangannya menyangkut masalah perkawinan, perceraian, keturunan, penyusuan, hadhanah, perwalian, warisan dan sejenisnya. Hukum acaranya diatur berdasarkan Ordonansi Hukum Islam Tahun 1902 (The Mohammadan Law Court Odinance of 1902). Kedua bagian pengadilan ini berada di bawah Sekretaris Hukum yang merupakan salah seorang anggota Majelis Gubernur-Jendral (Governor-General’s Council) yang memerintah Sudan. Dewan ini dibentuk pada tahun 1910. Gubernur Jendral mempunyai tiga orang sekretaris. Sekretaris pertama menangani masalah sipil, sekretaris kedua masalah keuangan, dan sekretaris ketiga masalah hukum.

Sekretaris I bertugas dalam bidang pelayanan administrasi seperti kesehatan, pendidikan, pertanian, kehutanan, pemerintahan daerah, administrasi bumi putera, polisi, penjara polisi, penerbangan sipil dan perburuhan. Sekretaris II menangani auditing, pabean, irigasi, perkeretaapian dan lain-lain. Sedangkan Sekretaris III mengurus masalah legislasi, peradilan, pertanahan dan pencatatan tanah.[5] Ketiga sekretaris ini berperan seolah-olah menteri koordinator dalam sebuah kabinet yang dipimpin oleh Gubernur Jeneral. Kekuasaan penuh Gubernur-Jenerral adalah berdasarkan Perjanjian Kondominium (Condominium Agreement) 19 Januari 1899 yang memberi kuasa Inggerís untuk menunjuk seorang perwira Inggeris sebagai Gubernur-Jendral yang memegang kepemimpinan militer dan politik serta mengendalikan kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Berdasarkan Pasal 5 Ordonansi Peradilan Sipil Tahun 1900 (The Civil Judiciary Ordinance of 1900), maka urutan Peradilan Sipil terdiri Pengadilan Komisioner (Courts of the Judicial Commissioner) sebagai Mahkamah Agung, Pengadilan Kelas I Magistrate, Pengadilan Kelas II Magistrate, dan Pengadilan Kelas III Magistrate.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan