Hukum Perkawinan di Indonesia (II)
Peminangan dalam Perkawinan.
Pengertian Peminangan.
Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa Arab disebut “khitbah”. Secara etimologis, meminang atau melamar artinya (antara lain) “meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau orang lain)”.70 Menurut terminologi, peminangan ialah “kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita”.71 Atau, “Seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi isterinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat”.72 Wahbah al-Zuhaily memberi pengertian khitbah atau peminangan adalah “keinginan untuk menikah terhadap seorang wanita yang sudah jelas atau memberitahukan keinginan untuk menikah kepada walinya”.73 Pasal 1 huruf a KHI memberi pengertian peminangan sebagai berikut:
70 Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. ke 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 556.
71 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, … hlm. 73.
72 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Jilid 2, hlm. 20.
73 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1984), Juzu’ VII,hlm. 10.
Peminangan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Jadi, khitbah merupakan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita. Definisi peminangan di atas juga memberi isyarat, bahwa yang melakukan peminangan atau pelamaran pada umumnya datang dari pihak laki- laki, sedangkan pelamaran yang datang dari pihak perempuan tidak lazim terjadi, kecuali pada sistem kekeluargaan dari pihak ibu, seperti di Minangkabau yang berlaku adat meminang dari pihak wanita kepada pihak laki-laki.74 Tapi, untuk masa sekarang peminangan dapat saja dilakukan oleh pihak perempuan atau keluarganya terhadap keluarga laki-laki. Hal ini disebabkan semakin banyaknya jumlah wanita. Peminangan ini juga memberi kesempatan kepada kedua calon suami isteri untuk saling kenal mengenal. Malah Rasulullah menganjurkan kepada calon suami untuk melihat calon isterinya ketika meminang sebelum ada kata pasti sebagai calon isterinya.
Seorang laki-laki yang akan memilih pasangannya sebaiknya mempedomani hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan 4 (empat) kriteria calon isteri. Hadits tersebut berbunyi sebagai berikut:
عَـنْ اَبِى هُـرَيْـَرَةَ رضى اللـه عـنـه عن الـنـبي صلعـم قَـالَ
تُنْـكِـحُ المَـرْأةُ لِرَْبَـعٍ لِمَـالِهَـا وَلَِـسَبِـهَـا وَلِـجَـمَـالِهَـا وَلِـدِيْـنِـهَا فَاظْـفَرْ بِذَاتِ الـدّيْـنِ تَـرِبَتْ يَـدَاكَ. مـتـفق عـلـيـه.
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: Wanita dinikahi karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu”. (Muttafaq ‘alaih)
74 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Cet. I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), hlm. 69.
Berdasarkan hadits tersebut Nabi SAW. menganjurkan supaya seorang laki-laki mengutamakan memilih yang menjadi jodohnya itu adalah yang beragama. Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang ingin mencari jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercayai (Pasal 11 KHI). Demikian pula, peminangan dapat dilakukan dengan terang-terangan atau dengan sindiran.
Melihat Calon Isteri.
Ada pepatah mengatakan, siapa tak kenal, maka tak sayang. Bagaimana mungkin seseorang akan mengasihi yang lainnya bila jumpa dan kenal pun tidak. Oleh karena itu melihat dan mengenal lebih dekat lagi calon isteri dan sebaliknya sangat penting, demi untuk kelangsungan hidup rumah tangga yang akan dibina oleh suami isteri. Oleh sebab itu, mereka yang hendak menempuh kehidupan perkawinan lebih baik mengetahui identitas calon pendamping hidupnya secara komprehensif, baik pekerjaan, pendidikan, nasab, dan yang lebih penting lagi adalah akhlak dan agama calon. Semua ini dilakukan untuk bahan pertimbangan bagi yang bersangkutan sebelum memutuskan untuk hidup bersama.75 Untuk keperluan tersebut agama Islam memberikan kesempatan melihat calon isteri,
sebagaimana hadits Nabi SAW. berikut ini:
عَـنْ الْـمُـغِيْـرَةِ ابْـن شُـعْـبَـةَ أَنَّـهُ خَـطَـبَ اِمْـرَأَةَ فَـقَـالَ لَـهُ رَسُـوْلُ الْلَـهِ صـل اللـه عـلـيه وسـلـم: أَنَـظَـرْتَ إِلَـيْـهَـا قَـالَ: لَا, قَـالَ: اُنْـظُـرْ اِلَـيْـهَـا فَانَّـهُ أَنْ يُـؤْدِمَ بَيْـنَـكُـمَـا. رواه النسائ وابن ماجه والترمذى.
Dari Mughirah bin Syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya: Sudahkah engkau lihat
75 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, … hlm. 43.
dia? Ia menjawab: Belum. Sabda Nabi: Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama libih langgeng.
Dalam hadits lain dijelaskan oleh Rasulullah SAWsebagai berikut:
عَـنْ أَبِى هُـرَيْرَةَ أَنَّ الَّنـبَِّي صـل اللـه عـلـيه وسـلـم قَـالَ لِرِجَـالٍ تَـزوَّجَ اِمْـرَأَةً )أَيْ أَرَادَ ذَلِكَ🙁 أَنَـظَـرْتَ اِلَـيْـهَا قَالَ: لَا, إِذْهَـبْ فَانْـظُـرْ إِلَـيْـهَا. رواه مـسـلـم.
Dari Abu Hurairah Nabi SAW. bersabda kepada seseorang yang akan mengawini seorang wanita, “Sudahkah engkau melihat wanita itu?” Dia berkata: ‘Belum.’ Kemudian Nabi memerintahkan, “Pergi dan lihatlah dia.” (H.R. Muslim)
Adapun tempat-tempat yang diperbolehkan untuk dilihat oleh calon suami, menurut jumhur ulama adalah wajah dan telapak tangan. Menurut mereka, kedua anggota badan tersebut dianggap mewakili seluruh anggota badan. Wajah mewakili kecantikan si wanita, sedangkan tangan mewakili kondisi kesuburan anggota yang lainnya. Sebagian ulama memperbolehkan melihat sampai pada liku- liku kewanitaan. Jadi, seluruh anggota tubuh. Hal ini dilakukan untuk cepat mengantarkan mereka kejenjang perkawinan.76
Di antara ulama yang membolehkan melihat wajah dan dua telapak tangan calon isteri ketika meminang adalah Imam Malik. Fuqaha yang lain (seperti Abu Daud Azh-Zhahiriy) memboleh melihat seluruh badan, kecuali dua kemaluan. Sementara fuqaha yang lain lagi, melarang melihat sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan dua telapak tangan.77
Kalau sekiranya, calon suami merasa sangsi terhadap organ tubuh calon isterinya yang lain, maka ia boleh mengirim utusan seorang perempuan yang dapat dipercayai untuk melihat bagian yang masih diragui oleh calon suami tersebut. Perempuan yang mendapat amanah untuk melihat organ tubuh calon isteri dari laki-laki ini, harus berkata sejujur-jujurnya tentang keadaan perempuan yang dilihatnya itu, sehingga jangan sampai pihak calon suami tertipu.
Mayoritas ulama fiqh hanya membolehkan melihat muka dan dua telapak tangan, karena berdasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat al-Nur ayat 31 sebagai berikut:
وَقُل لِّلْمُؤْمَِٰنتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبَْٰصرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا…
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. …
Dalam ayat di atas terdapat kalimat “perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya”, adalah muka dan dua telapak tangan. Di samping itu juga diqiyaskan dengan kebolehan membuka muka dan dua telapak tangan pada waktu berhaji.78 Fuqaha yang melarang melihat calon isteri, mereka berpegang kepada aturan pokok, yaitu larangan melihat orang-orang wanita.79
Memperhatikan hadits-hadits di atas seolah-olah yang memiliki hak untuk melihat calon pasangan hidupnya hanyalah laki-laki, sedangkan perempuan hanya menunggu dan diposisikan sebagai objek pilihan. Menurut Amiur Nuruddin ada pemikiran yang bias jender atau setidaknya ada pemikiran yang tidak memihak pada perempuan. Hal ini bisa dikembalikan pada teori besar fikih munakahat Islam yang sangat patriarkhi.80 Menurut Amiur Nuruddin, kendati secara zahir, khitab (tunjukan) hadits tersebut tertuju kepada laki-laki tetapi substansinya menuntut agar wanita juga melakukan hal yang sama.81 Menurut hemat penulis, hal ini berlaku maffium mukhallafah, di mana ayat tersebut ditujukan kepada laki-laki, tapi juga berlaku bagi perempuan. Berarti perempuan juga mempunyai hak untuk melihat calon suaminya.
Yusuf Qardhawi menyatakan, jika pria diharuskan menyelidiki calon isterinya, wanita dan keluarganya pun hendaknya melakukan hal yang sama.82 Calon mempelai wanita dan keluarganya juga harus melihat bagaimana akhlak, ketakwaan dan hubungannya dengan Tuhan dan manusia. Demikian juga halnya, bentuk fisik calon mempelai pria juga harus diperhatikan dengan baik, ketampanannya, dan tubuhnya.83
Syarat Peminanagan.
Pasal 12 KHI mengatur tentang syarat-syarat untuk meminang seorang wanita. Pada prinsipnya peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Bila dirinci yang menjadi syarat untuk meminang seorang wanita adalah sebagai berikut:
- Wanita yang dipinang tidak isteri
- Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan laki-laki lain. Hal ini mengingat hadits Rasulullah SAW.
لَا يَـخْطُبُ اَحَـدُكـُمْ عَـلَ خِـطْـبَةِ اَخِـيْهِ حَـتَّ يَتْـرُكَ الـخَـاطِـبُ قَـبْلَهُ اَوْ يَـأْذَنَ لَُه.
Janganlah seseorang dari kamu meminang (wanita) yang dipinang saudaranya, hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau telah mengizinkannya. (Muttafaq ‘alaih)
81 Ibid., hlm. 85.
82 Yusuf Qardhawi, Bicara Soal Wanita, (Bandung: Arasy, 2003), hlm. 67.
83 Ibid., hlm. 68.
- Wanita yang dipinang tidak dalam masa iddah raj’i. Perempuan yang menjalani masa iddah raj’i, suaminyalah yang berhak
- Wanita dalam masa iddah suaminya wafat, hanya boleh dipinang dengan sindiran (kinayah).
- Wanita dalam masa iddah bain sughra boleh juga bekas
- Wanita dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang bekas suaminya, setelah kawin dengan laki-laki lain, di-dukhul dan 84
Apabila peminangan sudah dilangsungkan oleh seorang laki- laki terhadap seorang wanita, maka belum berakibat hukum antara mereka berdua. KHI Pasal 13 menegaskan, “(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan. (2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.”
Hikmah Disyari’atkan Peminangan.
Akad nikah merupakan prosesi yang amat agung dan sakral dalam Islam. Karena dengan akad nikah ini menjadikan halalnya hubungan keduanya, di mana sebelumnya diharamkan oleh syara’. Dengan dilakukan peminangan, maka calon suami dan isteri akan saling kenal mengenal untuk mendorong mereka ke jenjang pernikahan.
Pertunangan.
Baik KHI maupun UUP tidak mengatur tentang pertunangan ini. Pertunangan ini dikenal dalam hukum adat dan merupakan kelanjutan setelah terjadi peminangan. Apabila peminangan sudah dilakukan dan akad nikah tidak segera dalangsungkan, mungkin menunggu beberapa bulan atau tahun berikutnya, maka masa menjelang akad nikah tersebut disebut pertunangan. 84 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, …, hlm. 65.
Wirjono Prodjodikoro menyebutkan di dalam bukunya istilah tunangan dan bukan peminangan. Menurutnya keadaan tunangan ini ada, apabila telah ada persetujuan antara kedua belah pihak untuk mengadakan perkawinan. Dan persetujuan ini tentunya didahului dengan suatu lamaran, yaitu suatu permintaan atau tawaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.85
Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tidak hanya mengenal hukum Islam, tapi juga mengenal hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, yakni hukum adat. Dalam hukum adat dikenal adanya perkawinan pinangan (aanzoekhuwelijk), yaitu suatu perkawinan yang didahului dengan adanya pertunangan dan adanya lamaran (pinangan) sebelum bertunangan tersebut. Menurut hukum adat bahwa suatu persetujuan untuk bertunangan baru mengikat apabila kedua pihak yang bersangkutan mempertukarkan tanda (zichtbaar teken) sebagai bukti adanya persetujuan untuk itu. Dengan adanya pertukaran tanda itu terjadilah peristiwa pertunangan, yang merupakan suatu peristiwa hukum.86
Meskipun telah terjadi pertunangan, kedua belah pihak belum halal untuk bergaul terlalu dekat, bahkan bersalaman saja diharamkan oleh Allah, apalagi berpelukan dan berdua-duan tanpa ada yang mengawasinya. Pada dasarnya, pertunangan hanyalah upaya untuk mengenal lebih dekat antara dua pihak, sehingga ketika menikah, mereka tidak merasa tertipu, dan rumah tangganya menjadi tenteram, damai, dan abadi sampai ke liang lahat.87
Namun demikian, ada anggapan yang keliru dalam kehidupan sosial masyarakat tertentu saat ini bahwa apabila seorang laki-laki sudah bertunangan dengan seorang wanita seakan-akan sudah ada jaminan bahwa mereka kelak akan menjadi suami isteri sehingga boleh-boleh saja berdua-duaan. Masyarakat yang mempunyai anggapan demikian dapat disebut nilai-nilai moral keagamaannya sudah luntur karena tidak tertutup kemungkinan kepada mereka akan melakukan perbuatan perzinaan.88
Demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban antara calon suami dan calon isteri, agama belum mengaturnya. Pemberian yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain sama dengan pemberian biasa, tidak ada ikatan, dan tidak wajib dikembalikan pemberian itu seandainya pertunanagan diputuskan. Pertunangan adalah semacam perjanjian biasa, karena itu membatalkan pertunangan sama hukumnya dengan membatalkan perjanjian biasa.89 Dalam hal pemutusan pertunangan ini yang adil ialah bila ditinjau dari segi “siapa pihak yang dirugikan”. Jika pihak yang memutuskan pertunangan itu adalah pihak yang pernah memberi, berarti dengan pemutusan pertunangan atas kehendaknya itu, ia merelakan semua yang pernah diberikannya kepada pihak yang lain. Sebaliknya jika yang memutuskan pertunangan itu pihak yang pernah menerima, tentu saja pemutusan pertunangan itu merugikan pihak yang pernah memberi, karena itu pihak yang pernah memberi berhak menuntut kepada pihak menerima pengembalian yang pernah diberikannya itu. Dasarnya ialah pihak yang pernah memberikan sesuatu kepada pihak yang menerima, karena adanya ikatan pertunangan yang menuju ke gerbang perkawinan. Ia tidak akan memberikan sesuatu kepada pihak yang lain, seandainya tidak ada harapan terjadinya perkawinan itu.90 Malah menurut sebagian adat yang berlaku di daerah tertentu, pihak yang menerima pemberian (biasanya pihak perempuan) yang membatalkan pertunangan, berkewajiban untuk mengembalikan pemberian teresebut sebanyak dua kali lipat dari yang diterimanya.
88 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 11.
89 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 35.
90 Ibid., hlm. 36.
Salah satu syarat calon mempelai yang akan melakukan perkawinan, yang diatur di dalam buku fiqh adalah kebolehan keduanya untuk menikah. Maksudnya antara keduanya tidak ada larangan sebagai penghalang untuk melakukan perkawinan, baik larangan syara’
maupun larangan Undang-undang.
Ketentuan dalam fiqh ini diatur kembali di dalam UU. No. 1/1974 Pasal 8 dan 9. Sedangkan KHI mengaturnya dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 44.
Jadi, berkenaan dengan larangan perkawinan yang termuat di dalam fiqh, UUP dan KHI tidak menunjukkan adanya pergeseran konseptual dari fiqh. Hal ini disebabkan karena masalah larangan perkawinan ini adalah masalah normatif yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang take for granted.104
Sehubungan dengan larangan nikah dengan orang-orang tertentu ini, maka dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut asas selektivitas. Maksudnya dari asas ini adalah seseorang yang hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah.105 104 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam … hlm.153
105 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 34.
Untuk lebih mudah memahami tentang yang dilarang dinikahi, baik menurut UU. No. 1/1974 maupun menurut KHI, penulis mengikuti sistematika fiqh. Fiqh atau hukum Islam juga mengenal adanya larangan perkawinan yang dalam fiqh disebut dengan mahram (orang yang haram dinikahi). Di kalangan masyarakat istilah ini sering disebut dengan istilah muhrim sebuah istilah yang tidak terlalu tepat. Muhrim kalaupun kata ini ingin digunakan maksudnya adalah suami yang menyebabkan isterinya tidak boleh kawin dengan pria lain selama masih terikat dalam sebuah perkawinan atau masih berada dalam iddah talak raj’i. Di samping itu, muhrim itu juga digunakan untuk menyebut orang yang sedang ihram.106
Larangan nikah (mahram) ini dibagi dua macam. Pertama mahram muabbad (larangan untuk selamanya), dan kedua mahram muaqqat (larangan untuk sementara waktu).
Mahram Muabbad
Mahram Muabbad (larangan untuk selamanya) terdiri dari empat kelompok.
Haram dinikahi karena hubungan nasab (al-muharramat min al-nasab).
Larangan karena hubungan nasab ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat al-Nisa’ ayat 23 sebagai berikut:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمََّٰهتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخََٰوتُكُمْ وَعََّٰمتُكُمْ وََٰخَٰلتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلَْخِ وَبَنَاتُ ٱلْخُْتِ…
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
106 Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, tt.), Jilid 3, hlm. 1049.