Hukum Perkawinan di Indonesia (IX)
Pengertian ‘Iddah.
‘Iddah adalah bahasa Arab yang berasal dari akar kata ‘adda – ya’uddu – ‘idatan dan jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata (etimologi) berarti: “menghitung” atau “hitungan”. Kata ini digunakan untuk maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber-‘iddah menunggu berlalunya waktu.421
Pengertian ‘iddah yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin sebagai berikut:
اسـم لـمـدة تتـربص بهـا الـمـرأة عـن الـتويج بعـد وفـاة زوجـهـا وفـراقـه لـهـا.
Nama bagi suatu masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya.422
421 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam … hlm. 303.
422 Ibid.
Pengertian lain dari iddah adalah:
مدة تتـربص فيـهـا الـمـرأة لـتعـرف برائة رحـمـهـا للـتـعبد.
Masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk beribadah.423
Abu Zahrah, sebagaimana yang dikutip dalam buku “Ilmu Fiqh“, mengemukakan pengertian iddah sebagai berikut:
أَجَـلٌ ضُِبَ لِنْقِـضَاءِ مَـابَقِـىَ مِـنْ أَثَـارِ الـنِّـكَاحِ.
‘Iddah ialah suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri pengaruh- pengaruh perkawinan.424
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat dirumuskan, bahwa ‘iddah menurut istilah hukum Islam ialah: “Masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, sebagai akibat ditinggal mati oleh suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, dalam rangka membersihkan dari pengaruh dan akibat hubungannya dengan suaminya itu atau untuk melaksanakan perintah Allah”.
Hukum dan Dasar Hukumnya.
Masa tunggu atau ‘iddah dijalani oleh seorang isteri setelah putus perkawinannya dengan suaminya, baik putus karena kematian, perceraian, mapun atas putusan pengadilan. Masa ‘iddah ini hanya berlaku seorang isteri yang telah melakukan hubungan suami isteri. Sedangkan bagi seorang isteri yang belum melakukan hubungan suami isteri (qabla al-dukhul), tidak berlaku masa ‘iddah baginya.
Dalam UUP diatur dalam Pasal 11, sebagai berikut:
- Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
423 Ibid., hlm. 304.
424 Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, … hlm. 274.
- Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah
KHI mengaturnya dalam Pasal 153 ayat (1), sebagai berikut: “Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau ‘iddah, kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 49, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَِّينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَِّحُوهُنَّ سََاحًا جَِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka
‹iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
Sedangkan bagi perempuan yang putus perkawinannya dari suaminya dalam bentuk apa pun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau monopause, wajib menjalankan ‘iddah atau masa tunggu itu. Kewajiban menjalan masa ‘iddah ini dapat dilihat dari beberapa ayat al-Quran, di antaranya adalah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228, sebagai berikut:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتََربَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ الَُّل فِ أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِالَِّل وَالَْوْمِ الْخِرِ ۚ وَبُعُولَُتهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِ َٰذلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَِّي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَالَُّل عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru›. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma›ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Di antara hadits Nabi yang menyuruh menjalani masa ‘iddah tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah menurut riwayat Ibnu Majah dengan sanad yang kuat yang berbunyi:
أمـر الـن صل الل عـليـه وسلـم بريرة أن تـعـتـد بـثلاث
حـيض.
Nabi SAW. menyuruh Burairah untuk beriddah selama tiga kali haid.
Tujuan dan Hikmahnya.
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa semua ‘iddah tidak lepas dari sebagian maslahat yang dicapai, yaitu sebagai berikut:
- Mengetahui kebebasan rahim dari percampuran
- Memberikan kesempatan suami agar dapat intropeksi diri dan kembali kepada isteri yang tercerai.
- Berkabungnya wanita yang ditinggal meninggal suami untuk memenuhi dan menghormati perasaan
- Mengagungkan urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan terkumpulnya kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian yang 425
Amir Syarifuddin mengemukakan ada dua tujuan disyariatkannya ‘iddah bagi seorang perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya, yaitu:
- Untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut dari bibit yang ditinggalkan mantan Hal ini disepakati para ulama. Pendapat ulama waktu itu didasarkan kepada dua jalur pikir:
- Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit orang yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam perut perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan anak siapa sebenarnya yang dikandung oleh perempuan tersebut. Untuk menghindarkan pembauran bibit itu, maka perlu diketahui atau diyakini bahwa sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih dari peninggalan mantan suaminya.
- Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak kecuali dengan datangnya beberapa kali haid dalam masa itu. Untuk diperlukan masa
Alur pikiran pertama tersebut di atas tampaknya waktu sekarang tidak relevan lagi karena sudah diketahui bahwa bibit yang akan menjadi janin hanya dari satu bibit dan berbaurnya beberapa bibit dalam rahim tidak akan memengaruhi bibit yang sudah memproses menjadi janin itu. Demikian pula alur pikir kedua tidak relevan lagi karena waktu sekarang sudah ada alat yang canggih untuk mengetahui bersih atau tidaknya rahim
perempuan dari mantan suaminya. Meskipun demikian, ‘iddah tetap diwajibkan dengan alasan di bawah ini.
- Untuk ta’abud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu lagi.426 ‘Iddah di dalam Islam sebenarnya merupakan masa bagi wanita untuk mengembalikan kestabilan kondisi batinnya setelah menerima sesuatu yang Bagaimanapun perceraian merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki setiap wanita, kecuali dalam keadaan terpaksa. Jika masa ‘iddah itu tidak ada, dikhawatirkan wanita tersebut mengelami kekagetan, terlebih lagi ketika ia memasuki pernikahannya yang kedua.
Selain itu, hikmah ‘iddah untuk membersihkan rahim dari janin, bagi pasangan suami isteri yang sedang konflik, hikmahnya yang terpenting adalah agar mereka bisa memanfaatkan masa ‘iddah itu untuk melakukan koreksi total atas sikap-sikap yang dipandang tidak diterima oleh suami iateri tersebut, yang dikembangkan dalam rumah tangga selama ini.
425 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
… hlm. 320.
Macam-macam’Iddah.
‘Iddah dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- Putus perkawinan karena ditinggal mati
Pasal 39 ayat (1) huruf a PP. No. 9/1975 menjelaskan: “Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari”. Ketentuan ini dalam KHI diatur dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a. Pasal 153 ayat (2) huruf a KHI ini sedikit berbeda dengan Pasal 39 ayat (1) huruf a PP. No. 9/1975. Bedanya, dalam KHI terdapat kalimat “walaupun qobla al-dukhul”. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 234, sebagai berikut:
وَالَِّينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتََربَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
426 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam … hlm. 305.
Pengertian Ruju’
Ruju’ atau dalam istilah hukum disebut raj’ah secara arti kata berarti “kembali”. Orang yang rujuk kepada isterinya berarti kembali kepada isterinya.433 Rahmat Hakim memberi pengertian ruju’ ialah ruju’ berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Secara terminologi ruju’ artinya kembalinya seorang suami kepada isterinya yang ditalak raj’i, tanpa melalui perkawinan dalam masa ‘iddah.434
Pengertian lain dalam pengertian fiqh yang dikemukakan oleh al-Mahalli, sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, sebagai berikut:
الـرد ال الـنـكاح مـن طلاق غـي بـائن ف الـعـدة.
Kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan ba’in, selama dalam masa ‘iddah.435
433 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam … hlm. 337.
434 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, … hlm. 209.
435 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam … hlm. 337.
Dari definisi-definisi tersebut di atas, ada beberapa kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perbuatan hukum yang bernama rujuk itu.436
Pertama: kata atau ungkapan “kembalinya suami kepada isteri”. Hal ini mengandung arti bahwa di antara keduanya sebelumnya telah terikat dalam tali perkawinan, namun ikatan tersebut sudah berakhir dengan perceraian. Laki-laki yang kembali kepada orang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini.
Kedua: ungkapan atau kata ”yang telah ditalak dalam bentuk raj’iy”, mengandung arti bahwa isteri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau bain. Hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada isteri yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’iy, tidak disebut rujuk.
Ketiga: kata atau ungkapan “masih dalam masa ‘iddah”, mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selama isteri masih berada dalam ‘iddah. Bila waktu ‘iddah telah habis, mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada isterinya dengan nama rujuk. Untuk maksud itu suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad baru.
Hukum dan Dasar Hukumnya.
Jumhur ulama mengatakan bahwa rujuk itu adalah sunat.437 Dalil yang digunakan ulama itu adalah firman Allah SWT dalam surat al- Baqarah ayat 229:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تسَِْيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يََافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ الَِّل ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ الَِّل فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ الَِّل فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ الَِّل فَأُوَٰلئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
436 Ibid., hlm. 337-338.
437 Ibid., hlm. 339.
228:
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma›ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum- hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum- hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.
Demikian pula firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat
..وَبُعُولَُتهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِ َٰذلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَِّي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَالَُّل عَزِيزٌ حَكِيمٌ
… dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma›ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalil dalam hadits Nabi SAW. di antranya adalah apa yang
disampaikan oleh Ibnu Umar muttafaq alaih yang bunyinya:
طلـقـت امـرأت وهـى حائض فسـأل عـمـر الـنبي صل الل عـليه وسـلـم فقـال مـره فـلياجـعـهــا.
Ibnu Umar berkata: “Saya menceraikan isteri saya sedang dalam haid, maka Umar menanya Nabi SAW. tentang itu”. Nabi berkata: “Suruhlah dia merujuki isterinya”.
Kata imsak dalam ayat pertama dan kata rad dalam ayat kedua mengandung maksud yang sama yaitu kembalinya suami kepada
isteri yang telah diceraikannya. Tidak ada perintah yang tegas dalam kedua ayat tersebut untuk rujuk. Adanya perintah Nabi SAW. supaya Ibnu Umar rujuk adalah karena sebelumnya dia menalaknya dalam keadaan haid. Oleh karena itu hukum rujuk itu adalah sunat.
Ulama Zhahiriyah yang berpendapat wajibnya hukum asal dari perkawinan juga berpendapat wajibnya hukum rujuk, bahkan bentuk wajib di sini lebih kuat karena adanya sifat mengukuhkan yang telah terjadi.438
Tujuan dan Hikmah Rujuk.
Diaturnya rujuk dalam hukum syara’ karena padanya terdapat beberapa hikmah yang akan mendatangkan kemaslahatan kepada manusia atau menghilangkan kesulitan dari manusia. Banyak orang yang menceraikan isterinya tidak dengan pertimbangan yang matang sehingga segera setelah putusnya perkawinan timbul penyesalan di satu atau dua pihak. Dalam keadaan menyesal itu sering timbul keinginan untuk kembali dalam hidup perkawinan, namun akan memulai perkawinan baru menghadapi beberapa kendala dan kesulitan. Adanya lembaga rujuk ini menghilangkan kendala dan kesulitan tersebut.
Seorang isteri yang berada dalam ‘iddah thalaq raj’iy di satu sisi diharuskan tinggal di rumah yang disediakan oleh suaminya, sedangkan suami pun dalam keadaan tertentu diam di rumah itu juga; di sisi lain dia tidak boleh bergaul dengan suaminya itu. Maka terjadilah kecanggungan psikologis selama dalam masa ‘iddah itu. Untuk keluar dari kecanggungan itu Allah memberi pilihan yang mudah diikuti yaitu kembali kepada kehidupan perkawinan sebagaimana semula. Kalau tidak mungkin ya, meninggalkan isteri sampai habis masa ‘iddahnya sehingga perkawinan betul-betul menjadi putus atau ba’in.439
438 Ibid., hlm. 340.
439 Ibid.
Ahmad Rafiq mengemukakan hikmah rujuk sebagai berikut:
- Menghindari murka dan kebencian Allah, seperti dinyatakan dalam sabda Nabi :
اَبْـغَضُ الـحـلَالِ اِلَ الِل الـطَّلَاقُ )رواه ابوداود وابن مـاجـه.(
Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian) (H. R. Abu Daud dan Ibnu Majah).
- Bertobat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untuk bertekad
- Untuk menjaga keutuhan keluarga, dan menghindari perpecahan keluarga. Terlebih lagi adalah untuk menyelamatkan masa depan anak, bagi pasangan yang telah mempunyai keturunan. Telah diketahui bahwa perceraian yang terjadi dengan alasan apapun tetap saja menimbulkan ekses negatif pada anak.
- Mewujudkan ishlah atau perdamaian. Meski hakikatnya hubungan perkawinan suami isteri bersifat antar pribadi, namun hal ini sering melibatkan keluarga besar masing-masing.440
Ketentuan Rujuk dalam Undang- Undang.
Rujuk tidak diatur dalam UUP dan PP. No. 9/1975. Sementara KHI mengaturnya dalam bab XVIII Pasal 163 s.d. 169.
Pasal 163 menjelaskan:
- Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa ‘iddah.
- Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:
- Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla al-dukhul.
- Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khulu’.
440 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 323.
Pasal 164 KHI menegaskan: “Seorang wanita dalam ‘iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 164 KHI tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa:
- Rujuk harus mendapat persetujuan dari
- Rujuk dihadiri oleh dua orang
- Rujuk dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Rujuk yang dilakukan oleh suami, tapi tidak mendapat persetujuan isteri, maka rujuk tersebut dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama (Pasal 165 KHI).
Tentang kesaksian rujuk, ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi dalam rujuk, sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah.441 Keharusan adanya saksi bukan dilihat dari segi rujuk itu memulai nikah atau melanjutkan nikah, tetapi karena adanya perintah Allah untuk itu, sebagaimana terdapat dalam surat al-Talaq ayat 2, sebagai berikut:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لَِِّل
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah …
Menurut ulama perintah untuk mempersaksikan rujuk dalam ayat tersebut menunjukkan wajib.
441 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam … hlm. 343.