Menu

Mode Gelap

Pernikahan · 17 Sep 2025 13:39 WIB ·

Hukum Perkawinan di Indonesia (VI)

Penulis: UMI FIRMANSYAH


 Hukum Perkawinan di Indonesia (VI) Perbesar

Hukum Perkawinan di Indonesia (VI)

Hak dan Kewajiban Suami Isteri.

Hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain.326 Masing-masing suami dan isteri mempunyai tanggungjawab dan hak yang sama dalam hidup berumah tangga. Kedua-duanya mempunyai kewajiban dan hak bersama-sama dalam waktu yang sama pula.

Hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam Pasal 30 s.d. 33 UU. RI. No. 1/1974 jo Pasal 77 s.d. 79 KHI. Pasal 31 menyatakan:

  1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
  2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
  3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah                                                                                                                                                                                                 3

326 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam …, hlm. 159.

Pasal 31 UU. No. 1/1974 ini, diatur kembali dalam KHI, yakni pada Pasal 79, tapi berbeda posisi dari ayat-ayat pasal tersebut, seperti ayat (3) dari Pasal 31, KHI menempatkannya pada posisi ayat (1) tanpa merubah redaksinya.

Pasal 31 UUP jo Pasal 79 KHI ini sangat berarti sekali, terutama bagi kaum wanita atau isteri, karena selama ini wanita dianggap kelas rendahan tidak setara dengan laki-laki. Maka menurut hemat penulis dengan adanya Pasal 31 UUP jo Pasal 79 KHI ini mengandung beberapa hal penting:

  1. UUP dan KHI berhasil menempatkan derajat wanita setara dengan derajat laki-laki, baik di dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan dalam masyarakat. Al-Quran juga menempatkan suami dan isteri dalam posisi derajat yang sama, namun al-Quran menyatakan derajat suami sedikit lebih tinggi dari isteri, seperti firman Allah SWT berikut ini:

…وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَِّى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَٱلَُّل عَزِيزٌ حَكِيمٌ

dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya, Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini menjelaskan bahwa isteri mempunyai hak dan isteri juga mempunyai kewajiban. Kewajiban isteri merupakan hak bagi suami. Hak isteri semisal hak suami yang dikatakan dalam ayat ini mengandung arti hak dan kedudukan isteri semisal atau setara atau seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Meskipun demikian, suami mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut di atas.327

327 Ibid.

  1. Suami isteri mempunyai tanggung jawab yang sama untuk membina dan membangun rumah tangga dan keluarga yang islami dengan berpedoman kepada etika dan akhlak al-karimah, yakni berlandaskan kepada بـالـمـعـــروف وعـاشـروهـــن (bergaul dengan cara yang ma’ruf atau patut). Ayat 19 dari surat al-Nisa’ ini tidak hanya ditujukan kepada suami atau laki-laki untuk bergaul secara ma’ruf, tapi maffiun mukhalafahnya juga menuntut kepada isteri atau wanita untuk bergaul secara ma’ruf atau secara patut terhadap si suami dan keluarganya.
  2. Pasal 31 UUP jo Pasal 79 KHI ini memposisikan suami sebagai kepala keluarga, hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan suami sebagai pemimpin di dalam rumah tangganya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Nisa’ ayat 34 sebagai berikut:

ٱلرِّجَالُ قََّٰومُونَ عََ ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱلَُّل بَعْضَهُمْ ََٰع بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا مِنْ أَمَْٰولِهِمْ…

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki- laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…

  1. RI. No. 1/1974 ini juga memberi kebebasan kepada isteri atau wanita untuk melakukan perbuatan hukum, di mana sebelumnya berdasarkan kepada ketentuan hukum perdata, isteri tergolong kepada handelingsonbekwaam (tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum).328 Hanya saja diharapkan kebebasan untuk melakukan perbuatan hukum ini jangan sampai melanggar norma agama, norma hukum dan norma kesusilaan serta norma kesopanan.

328 Selain wanita bersuami, tergolong juga ke dalam handelingsonbekwaam adalah anak- anak yang belum dewasa (belum 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin) dan orang-orang yang ada di bawah pengampuan. Lihat C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. ke VI, (Jakarta: PN. Balai Pustaka,1984), hlm. 220.

Dari pasal-pasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami isteri tersebut, yakni Pasal 77 dan 78 KHI dapat dirincikan sebagai berikut:

  1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
  2. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang
  3. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh danmemelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan
  4. Suami isteri wajib memelihara
  5. Suami isteri berhak mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, kalau salahseorang darimereka melalaikan
  6. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan ditentukan oleh suami isteri bersama.

Dalam buku-buku fiqh munakahat ditemukan hak dan kewajiban suami isteri, di mana sedikit berbeda dengan yang diatur dalam KHI dan UU. No. 1/1974. Di antaranya buku Fiqh Munakahat karya Abdul Rahman Ghozali,329 hak dan kewajiban suami isteri adalah sebagai berikut:

  1. Suami isteri dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual. Perbuatan ini merupakan kebutuhan bersama suami isteri yang dihalalkan secara timbal Jadi, bagi suami halal berbuat kepada isterinya, sebagaimana isteri kepada suaminya. Mengadakan hubungan seksual ini adalah hak bagi suami isteri, dan tidak boleh dilakukan kalau tidak secara bersamaan, sebagaimana tidak dapat dilakukan secara sepihak saja.

329 Ghozali, Fiqh Munakahat, … hlm. 155-156. Lihat Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 157-158.

  1. Haram melakukan perkawinan; yaitu isteri haram dinikahi oleh ayah suaminya, datuknya (kakaknya), anaknya dan cucu- cucunya. Begitu juga ibu isterinya, anak perempuannya dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh
  2. Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah, bilamana salah seorang meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan perkawinan; yang lain dapat mewarisi hartanya, sekalipun belum pernah berhubungan
  3. Anak mempunyai nasab (keturunan) yang jelas bagi
  4. Kedua belah pihak wajib bergaul (berperilaku) yang baik, sehingga dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup. Hal ini berdasarkan ayat 19 surat al-Nisa’ sebagai berikut:

…وَعَشُِوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ…

… dan bergaullah dengan mereka secara patut…

 

Amir Syarifuddin membagi hak dan kewajiban suami isteri kepada dua bagian, yaitu:

  1. Hak bersama suami isteri;
  2. Kewajiban bersama suami 330

Timbal balik dari pasangan suami isteri terhadap yang lain.

Adapun hak bersama itu adalah sebagai berikut:

  1. Bolehnya bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Inilah hakikat sebenarnya dari perkawinan
  2. Timbulnya hubungan suami dengan keluarga isterinya dan sebaliknya hubungan isteri dengan keluarga suaminya, yang disebut hubungan mushaharah.

330 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam … hlm. 160.

  1. Hubungan saling mewarisi di antara suami isteri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain bila terjadi kematian.331

Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama dengan telah terjadinya perkawinan itu adalah:

  1. Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari per- kawinan tersebut.
  2. Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah 332

Hal ini berdasarkan kepada ayat 21 dari surat al-Rum, sebagai berikut:

وَمِنْ ءَاَٰيتِهِٓۦ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزَْٰوجًا لِّتَسْكُنُوٓا إِلَْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحَْةً ۚ إِنَّ فِ َٰذلِكَ لَءَاَٰيتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

 

Kewajiban Suami.

Kewajiban suami dalam rumah tangga merupakan hak bagi isteri. Dalam UUP diatur pada Pasal 34 ayat (1), berbeda dengan KHI. KHI mengaturnya pada Pasal 80 dan lebih rinci jika dibandingkan dengan UUP. Isi dari Pasal 80 KHI adalah sebagai berikut:

  1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting- penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
  2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan Kemampuannya.

331 Ibid., hlm. 163.

332 Ibid., hlm. 163-164.

  1. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
  2. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
    1. Nafhah, kiswah dan tempat kediaman bagi
    2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak
    3. Biaya pendidikan

Kewajiban suami pada nomor 4 huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isteri. Isteri dapat pula membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada nomor 4 huruf a dan b. Kewajiban suami menjadi gugur bilamana isteri nusyuz. Nusyuz-nya isteri harus dibuktikan di muka hakim Pengadilan Agama.

Dalam perspektif fiqh kewajiban suami terhadap isteri, sebagaimana yang dikutip oleh Amiur Nuruddin dari Imam Nawawi sebagai berikut:

  1. Memberi nasihat, menyuruh dan mengingatkan untuk berbuat baik serta menyenangkan hati isteri.
  2. Memberi nafhah isteri sesuai dengan usaha dan
  3. Selalu bersabar dan tidak mudah marah apabila isteri berkata dan berbuat sesuatu yang
  4. Bersikap lemah lembut dan berbuat baik terhadap isteri karena pada umumnya mereka kurang sempurna akal dan agama.
  5. Menuntun isteri dalam jalan
  6. Mengajari dalam urusan agama seperti berkenaan dengan Kewajiban suami terhadap isteri adalah menyediakan segala kebutuhan hidup sesuai dengan kemampuan suami, taharah dan lain-lain.333

333 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam … hlm. 181-182.

dapat berupa nafhah, tempat tinggal, biaya pengobatan dan lain-lian. Dalam surat al-Thalaq ayat 6 dijelaskan sebagai berikut:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّٓوهُنَّ لُِتضَيِّقُوا

عَلَيْهِنَّ ۚ وإَنِ كُنَّ أُوَٰلتِ حَْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حََّٰت يَضَعْنَ حَْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ ۖ وإَنِ تَعَاسَْتُمْ فَسَتُْرضِعُ لَُهٓۥ أُخْرَٰى.

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Suami juga wajib bergaul dengan isterinya dengan cara yang baik, lemah lembut, tidak cepat marah dsb. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surat al-Nisa’ ayat 19 yang sudah penulis kemukakan sebelumnya. Demikian pula hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:

أَكْـمَـلُ الـمُـؤْمِـنِـيْـنَ اِيْمَـانًـا أَحْـسَـنُـهُـمْ خُـلُـقًـا

وَخِـيَـارُكُـمْ خِـيَـارُكُـمْ لِـنِسَـاءِهِـمْ. الـحـديـث

Yang paling baik iman seorang mukmin adalah yang palinh baik akhlaknya dan yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik kepada isterinya.

Amir Syarifuddin membagi kewajiban suami kepada isterinya ini kepada dua bagian, yakni:

 

HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

Harta Bawaan.

Setiap orang menginginkan harta kekayaan, hal ini sudah menjadi fitrah, apa lagi harta kekayaan itu sangat dominan untuk menunjang dalam kehidupan setiap orang. Hal ini tercermin dari firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 14 sebagai berikut:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهََٰوتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلَْبنِيَن وَٱلْقََٰنطِيِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلَْخيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلَْنَْٰعمِ وَٱلَْرْثِ ۗ َٰذلِكَ مََٰتعُ ٱلَْيَٰوةِ ٱلُّدنْيَا ۖ وَٱلَُّل عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa- apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah- lah tempat kembali yang baik (surga).

Demikian pula dengan suami isteri dalam kehidupan berumah tangga, mereka juga berusaha untuk mengumpulkan harta kekayaan, guna untuk menopang kehidupan meraka. Ada kemungkinan harta itu diperoleh sebelum mereka menikah, baik dari hasil usaha masing- masing, atau diperoleh dari hadiah, warisan dan lain-lain.

Harta yang diperoleh oleh masing-masing suami isteri sebelum mereka menikah, atau harta yang diperoleh dari warisan, hadiah dll, baik diperoleh sebelum maupun sesudah akad nikah dilangsungkan disebut dengan harta bawaan. Hilman Hadikusuma memberi pengertian harta bawaan sebagai berikut: “Harta bawaan yaitu harta yang dibawa masing-masing suami isteri ke dalam ikatan perkawinan, mungkin berupa harta hasil jerih payahnya sendiri, dan mungkin juga berupa harta hadiah atau harta warisan yang didapat masing- masing suami isteri sebelum atau sesudah perkawinan.”338

  1. No. 1/1974 mengatur tentang harta bawaan ini dalam Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2). Pasal 35 ayat (2) berbunyi sebagai berikut: Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Sementara Pasal 36 ayat (2) berbunyi: Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Kedua pasal tersebut memberi wewenang kepada suami dan isteri untuk dapat menentukan status dari harta yang dimiliki masing-masing, dan mereka dapat bertindak sepenuhnya terhadap harta tersebut, sepanjang mereka tidak menentukan dalam bentuk perjanjian perkawinan terhadap harta yang mereka miliki.

Harta bawaan dari masing-masing suami isteri dapat saja disatukan dengan harta bersama, dengan cara mereka sepakat dalam bentuk perjanjian perkawinan yang disahkan oleh PPN sebelum akad nikah dilangsungkan. Jadi statusnya menjadi harta bersama.

Sementara KHI mengatur tentang harta bawaan ini pada Pasal 87, berbunyi sebagai berikut:

338 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, … hlm. 123.

  1. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian
  2. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau

Apa yang diatur dalam KHI tidak jauh berbeda dengan yang diatur dalam UUP tentang harta bawaan ini. KHI juga membenarkan harta bawaan itu dapat dijadikan sebagai harta bersama, dalam bentuk perjanjian perkawinan.

Berdasarkan pengamatan penulis, selama ini belum ada pasangan suami isteri yang membuat perjanjian perkawinan. Kemungkinan bagi masyarakat di sekitar penulis beranggapan, bahwa perjanjian perkawinan merupakan hal yang baru dan tidak biasa dilakukan hal yang demikian. Seolah-olah perjanjian perkawinan itu dianggap tidak mempercayai pasangannya. Kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Islam di lingkungan tempat tinggal penulis, mungkin juga di tempat lain, setelah dilangsungkan perkawinan, harta suami atau isteri dijadikan harta bersama. Dari praktek masyarakat yang dianggap baik tersebut, sangat sesuai dengan kaidah yang berbunyi:

الـعَـادَةُ مُـحَـكَّمَـةً

Kebiasaan itu dijadikan hukum.

Demikianlah kebiasaan hukum tentang harta kekayaan yang berlaku dalam masyarakat, di mana harta bawaan sama statusnya dengan harta bersama. Sebaiknya pasangan suami isteri menentukan status harta bawaan tersebut, apakah dijadikan harta bersama atau tetap menjadi harta milik masing-masing suami isteri dalam bentuk perjanjian perkawinan.

Harta bawaan ini akan diwarisi oleh masing-masing keluarganya bila pasangan suami isteri itu meninggal dunia dan mereka tidak mempunyai anak.

Harta Bersama.

Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 35 ayat (1) UU. RI. No. 1/1974, “Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa harta bersama adalah harta yang didapat suami isteri selama perkawinan (harta pencarian).339 Sedangkan Ahmad Rafiq memahami harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan.340 Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka, atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.341

Dalam masyarakat Indonesia mempunyai nama tersendiri terhadap harta bersama, seperti di daerah Aceh disebut dengan nama heureuta sihauhekat, di Minangkabau Sumatera Barat disebut harta suarang, di daerah Sunda disebut guna kaya atau tumpang kaya, atau raja kaya (Kabupaten Sumedang), di Jakarta disebut harta pencaharian, di Jawa disebut barang gana atau gono-gini, di Bali disebut drube gabro, di Kalimantan disebut barang berpantangan, di Sulawesi (Bugis dan Makassar) dikenal dengan barang cakar atau di Madura disebut dengan nama ghuna-ghana.342

Harta yang diperoleh oleh suami isteri selama dalam ikatan perka- winan disebut dengan harta bersama, dalam istilah muamalat dapat di- samakan dengan syirkah (kerja sama) atau join antara suami isteri, baik syirkah dalam bentuk harta maupun syirkah dalam bentuk usaha.

339 Ibid.

340 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 200.

341 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 89.

342 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 71. Lihat M.A. Tihami, Fiqh Munakahat, … hlm. 180.

 

Dalam konteks konvensional, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajmen ekonomi rumah tangganya. Dalam pengertian yang lebih luas, sejalan dengan tuntutan perkembangan, isteri juga dapat melakukan pekerjaan yang dapat mendatangkan kekayaan. Jika yang pertama, digolongkan ke dalam syirkah al-abdan, modal dari suami, isteri andil jasa dan tenaganya. Dan yang kedua disebut dengan syirkah ‘inan.343

KHI mengatur tentang harta bersama ini mulai dari Pasal 85 s.d.Pasal 85 berbunyi sebagai berikut: Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri.

Sedangkan Pasal 86 menyatakan:

  1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
  2. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh

Berdasarkan kedua pasal tersebut, KHI memberi isyarat bahwa masing-masing suami isteri mempunyai hak untuk memiliki dan menguasai harta mereka masing-masing. Mereka juga dapat melakukan perbuatan hukum terhadap harta yang dikuasai tersebut. Ketentuan ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 32 sebagai berikut:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ ٱلَُّل بِهِۦ بَعْضَكُمْ ََٰع بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكْتَسَبَْ ۚ وَسْـَٔلُوا ٱلََّل مِن فَضْلِهِٓۦ ۗ إِنَّ ٱلََّل كَنَ بِكُلِّ شَْءٍ عَلِيمًا

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. 

343 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 201.

 

 

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 11 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Waris (Faraidh V)

1 Oktober 2025 - 04:12 WIB

Mengapa Verifikasi Calon Pengantin Adalah Keharusan di Era Digital?

30 September 2025 - 11:22 WIB

Taukil Wali bil lisan melalui daring, apakah diperbolehkan?

29 September 2025 - 16:46 WIB

Menggapai Keluarga SAMARA

29 September 2025 - 11:36 WIB

Waris (Faraidh IV)

25 September 2025 - 15:37 WIB

Waris (Faraidh III)

25 September 2025 - 15:19 WIB

Trending di Pernikahan
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x