Hukum Perkawinan di Indonesia (VII)
HADHANAH (PEMELIHARAAN DAN PENDIDIDKAN ANAK)
Pengertian Hadhanah.
Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan”. Karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan di pangkuannya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai ia sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.348
Para ulama fiqh mendefinisikan: Hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.349
348 Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, … hlm. 206.
349 Ghozali, Fiqh Munakahat, … hlm. 175-176.
Dasar hukum hadhanah ini adalah firman Allah SWT dalam surat al-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:
ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا قُوٓا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَٰلَٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّ يَعْصُونَ ٱلََّل مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Kandungan ayat ini adalah orang tua diperintahkan Allah SWT memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menghentikan larangan-larangan Allah termasuk dalam anggota keluarga dalam ayat ini ialah anak.
Asal Usul Anak.
Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain.
Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.350 Ini pemahaman kaum sunni. Sementara kaum syi’ah memahami bahwa anak zina atau anak di luar nikah tidak mempunyai hubungan kekerabatan baik ayah maupun ibu yang melahirkannya, sehingga tidak dapat menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya.351
350 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam … hlm. 276.
Jadi yang dimaksud dengan anak sah menurut hukum Islam ialah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut sebagai anak zina (walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.352
Guna mengantisipasi jangan sampai terjerumus kepada perbuatan zina, maka secara implisit al-Quran surat al-Mukminun ayat 5 dan 6 menyatakan:
وَٱلَِّينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ َٰحفِظُونَ .إِلَّا ََٰعٓ أَزَْٰوجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيَْٰمنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيُْ مَلُومِيَن
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
Demikian pula firman Allah SWT dalam surat al-Isra’ ayat 32 mengingat supaya jangan sampai mendekati zina:
وَلَا تَقْرَبُوا ٱلزَِّٰنٓ ۖ إِنَّهُۥ كَنَ َٰفحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Larangan-larangan al-Quran di atas, tidak saja dimaksudkan agar setiap orang menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga yang lebih penting menghindarkan dampak buruk dari pelanggaran larangan itu. Lahirnya anak zina, sebenarnya adalah akibat dari pelanggaran larangan-larangan Allah tersebut.
351 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam … hlm. 62.
352 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam … hlm. 277.
- No. 1/1974 mengatur tentang anak pada Pasal 42 s.d. 44.
Pasal 42 menyatakan:
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akaibat perkawinan yang sah.
Pasal 43:
- Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.353
- Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sementara KHI mengaturnya dalam Pasal 99 s.d. 101, sebagai berikut:
Pasal 99:
Anak yang sah adalah:
- Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
- Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri
Pasal 100:
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 42 UUP dan Pasal 99 huruf a KHI, muatannya sama mengatur tentang status anak sah. Persoalan yang muncul dari pasal ini adalah pernyataan anak kalimat yang pertama, anak yang sah adalah “anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah.” Ungkapan kalimat ini menggambarkan bahwa setiap anak yang lahir dalam perkawinan dianggap anak sah, sekalipun konsepsinya terjadi sebelum perkawinan dilangsungkan. Sedangkan anak kalimat kedua dari Pasal 42 UUP dan 99 huruf a KHI adalah anak yang sah adalah “anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah.” Statman ini sejalan dengan ketentuan dalam fiqh, walaupun kelahiran anak tersebut setelah ayah ibunya bercerai, baik cerai hidup maupun mati. Menurut Ahmad Rafiq pasal ini memberi tolenransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan.354 Jumhur ulama telah menetapkan batas miniminal masa kehamilan itu ialah selama enam bulan.355
353 Status anak yang lahir diluar nikah ini pasca putusan MK sudah dibahas sebelumnya, pada pembahasan nikah siri.
Jika dianalisis pandangan fikih berkenaan dengan anak sah ini dapatlah dipahami bahwa anak sah dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi di dalam perkawinan yang sah. Dari sinilah penetapan anak sah tersebut dilakukan.356
Sementara Zainuddin Ali mengemukakan, bilamana dianalisis ayat-ayat al-Quran yang berkaitan proses kejadian manusia, ditemukan bahwa bayi yang berumur 120 hari belum mempunyai roh dan sesudah 120 hari barulah Allah memerintahkan malaikat meniupkan roh kepada bayi tersebut. Apabila kajian ini dihubungkan dengan hadits yang mengungkapkan bahwa sesudah bayi mempunyai roh disempurnakan bentuknya selama dua bulan sehingga batas minimal kandungan yang dapat dikategorikan anak yang sah adalah anak yang lahir minimal 6 bulan sesudah pelaksanaan akad nikah.357 Dengan demikian hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari
sesudah perkawinan terputus.358
354 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 222.
355 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam … hlm.278.
356 Mustafa Rahman, Anak Luar Nikah; Status dan Implikasi Hukumnya, (Jakarta: Atmaja, 2003), hlm. 45.
357 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam … hlm. 63.
358 Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, … hlm. 72.
Jadi menurut hukum Islam apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, berarti anak tersebut tidak dapat dihubungkan dengan kekerabatannya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Anak tersebut memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja.
Sedangkan Pasal 99 huruf b mengandung pembaharuan hukum dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bayi tabung, yaitu proses ovulasi yang direkayasa di luar rahim, melalui tabung yang disiapkan untuk itu, kemudian dimasukkan lagi ke dalam rahim isteri, dan dilahirkan juga oleh isteri tersebut. Jadi tetap dibatasi antara suami dan isteri yang terikat oleh perkawinan yang sah.359
Jadi, baik UUP maupun KHI sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia, menetapkan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dari atau akibat perkawinan yang sah. Sepanjang bayi itu lahir dari ibu yang berada dalam perkawinan yang sah, maka ia dianggap sebagai anak sah. Secara implisit dapat dipahami, bahwa anak yang lahir dari atau dalam ikatan perkawinan yang sah, baik perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa mempertimbangkan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran si bayi, maka status anaknya adalah sah. Ini membawa implikasi bahwa anak yang “hakikat”nya anak zina, secara formal dianggap sebagai anak sah.360
Penyangkalan Terhadap Anak.
Baik UU. No. 1/1974 maupun KHI memberi kesempatan kepada suami untuk menyangkal atau mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya. Penyangkalan terhadap anak yang dilahirkan oleh isteri, menurut hukum Islam harus dapat dibuktikan dengan hal-hal berikut:
- Suami belum pernah menjima’ isterinya, akan tetapi isteri tiba- tiba melahirkan.
359 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 222.
360 Wirjono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, … hlm. 72.
- Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima’ isterinya, sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup
- Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si isteri tidak dijima’ suaminya.361
Pasal 44 UU. No. 1/1974 menyatakan:
- Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.
- Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya atas permintaan pihak yang
Sementara KHI mengaturnya dalam Pasal 101 dan 102 sebagai berikut:
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.
Pasal 102:
- Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan
- Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat
Pasal 44 UUP dan Pasal 101 KHI menjelaskan bahwa anak sah dapat dilakukan pembatalannya atau keabsahan anak tersebut dapat dilakukan penyangkalannya dengan mengajukan permohonan gugatan ke Pangadilan Agama, sekalipun anak itu lahir dari perkawinan yang sah.
361 Amiur Nuruddin dan Azhari Akamal Tarigan, Hukum Perdata Islam … hlm. 284
Pembatalan ini terjadi akibat pengingkaran suami terhadap anak yang dilahirkan oleh isterinya itu. Seorang suami yang mengingkari sahnya seorang anak yang dilahirkan sedangkan isterinya tidak menyangkalnya, maka menurut hukum Islam suami dapat menguatkan pengingkarannya dengan li’an. Sedangkan UUP tidak mengenal dengan istilah li’an tersebut.
Batas180 hari atau 6 bulan, demikian pula batas 360 hari bukan menunjukkan batas minimal dan maksimal usia kandungan seorang perempuan mengandung. Ketentuan tersebut merupakan batas waktu bagi suami untuk mengajukan permohonan penyangkalan anak yang dilahirkan oleh isterinya itu ke Pengadilan Agama.
Jumhur ulama telah menetapkan batas minimal masa kehamilan seorang perempuan, yaitu 6 (enam) bulan. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Ahqaf ayat 15 yang berbunyi sebagai berikut:
وَوَصَّيْنَا ٱلِْنَٰسنَ بَِٰولَِديْهِ إِحَْٰسنًا ۖ حََلَتْهُ أُمُّهُۥ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَْلُهُۥ وَفَِٰصلُهُۥ ثََٰلثُونَ شَهْرًا
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan …
Dan ayat 14 dari surat Luqman:
وَوَصَّيْنَا ٱلِْنَٰسنَ بَِٰولَِديْهِ حََلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا ََٰع وَهْنٍ وَفَِٰصلُهُۥ فِ عَمَيِْن أَنِ ٱشْكُرْ لِ وَلَِٰولَِديْكَ إِلََّ ٱلْمَصِيُ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dalam surah al-Ahqaf ayat 15 dijelaskan secara kumulatif jumlah mengandung dan menyapih yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam surah Luqman dijelaskan batas maksimal menyapih adalah 2 tahun (24 bulan). Jadi masa hamil yang paling sedikit adalah 30 puluh bulan dikurangi 24 bulan sama dengan enam bulan.362
Menurut Ahmad Rafiq, informasi ini diperoleh dari Ibnu Abbas dan disepakati para ulama yang menafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa penyapihannya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh empat bulan. Berarti bayi memebutuhkan waktu 30-24=6 bulan di dalam kandungan.363 Pendapat ini disepakati para ulama yang diperoleh dengan menangkap dalil isyarah al- Quran. Bahkan Wahbah al-Zuhaily menyebutnya sebagai satu bentuk pengambilan hukum yang sahih.364
Mengenai batas maksimal usia bayi dalam kandungan para ulama berbeda pendapat. Batasan ini dipergunakan untuk mengetahui nasab bayi yang lahir dari seorang perempuan yang dicerai atau ditinggal mati. Dihitung mulai putusnya perkawinan atau ditinggal mati suami. Ada yang berpendapat usia maksimal janin dalam kandungan adalah 1 (satu) tahun qamariyah, ada yang berpendapat 1 (satu) tahun syamsyiyah, ada yang menetapkan 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, dan bahkan 5 (lima) tahun, yang menurut Ibnu Rusyd, penentuan tersebut, berdasarkan fakta empiris (tajribah).365
Ulama yang menetapkan batas maksimal usia janin dalam kandungan 1 (satu) tahun adalah Muhammad Ibn al-Hakam, yaitu tahun qamariyah. Hukum waris Mesir menetapkannya satu tahun syamsiyah. Ulama Hanafiyah menetapkan 2 (dua) tahun, dengan
dasar hadits dari Aisyah riwayat al-Daruqutny dan al-Baihaqi, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَـاتَـزِيْـدُ الـمَـرْأَةُ فِ الـحَـمْـلِ عَـلَ سَنَـتَيْـنِ بِقَـدْرِمَـا يَـتَحَـوَّلُ ظِـلُّ عَـمُـوْدِ الـمَـعْـزِلِ. رواه الدارقـطـن والبيهقى.
Wanita tidak menambah masa kandungannya dari dua tahun dengan sepergeseran bayang-bayang tiang berdiri.
Al-Lais Ibn Sa’ad menetapkan usia janin dalam kandungan paling lama 3 (tiga) tahun. Ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad ibn Hanbal menetapkannya 4 (empat) tahun. Dasar pendapat ini adalah riwayat al-Syafi’i, bahwa al-Dahak dilahirkan setelah dalam kandungan 4 (empat) tahun. Pada saat lahir, ia sudah bergigi dua dan pandai tertawa. Demikian juga ‘Abd al-Aziz ibn al-Majsyun dilahirkan setelah 4 (empat) tahun dalam kandungan. Isteri al-Majsyun tersohor dalam masyarakat sebagai isteri yang melahirkan kandungan setelah empat tahun. Ulama Malikiyah menetapkan batas waktu yang lebih lama yaitu 5 (lima) tahun.366
362 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam … hlm. 279.
363 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 224.
364 Mushtafa Rahman, Anak Luar Nikah … hlm. 45.
365 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 226.
Dalam menentukan batas maksimal bayi berada dalam kandungan, dapat ditempuh dengan cara mengambil kelaziman yang terjadi dalam masyarakat, misalnya satu tahun, atau bahkan cukup sepuluh bulan. Jadi bukan atas dasar kejadian yang langka atau kausuistik.367 Sejalan dengan kaidah:
الصْلُ اَنَّ الـسُؤَالَ وَالـخِـطَابَ يَمْـضِ عَـلَ مَـاغَـمَّ وَعَـلَبَ لَا عَـلَ مَـاشَـذَّ وَنَـدَرَ.
Pada dasarnya pertanyaan atau pembicaraan berlaku pada hal-hal yang umum dan lumrah, bukan pada hal yang janggal atau langka. 6 Ibid.
367 Ibid., hlm. 229.
Dan kaidah yang lain:
الـنَّادِرُ كَلـعَـدَمِ.
Sesuatu yang langka itu seperti sesuatu yang tidak ada.
Adapun pembuktian asal usul anak, UUP mengaturnya dalam Pasal 55, sedangkan KHI mengaturnya dalam Pasal 103 yang isinya hampir sama, sebagai berikut:
- Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti
- Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat
(1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
- Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2) maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang
Ketentuan hukum perlunya akta kelahiran sebagai bukti otentik asal-usul anak, meski sesungguhnya telah diupayakan sejak lama, secara metodologis ia merupakan inovasi hukum positif terhadap ketentuan hukum dalam hukum Islam. Jika dalam hukum Islam asal-usul anak diketahui dengan adanya ikatan perkawinan yang sah, dipertegas dengan batasan minimal atau maksimal yang lazim usia janin dalam kandungan, maka pembuktian secara formal – kendati ini bersifat administratif – asal-usul anak, dengan akta kelahiran atau surat kelahiran. Petentuan perlunya akta kelahiran tersebut, didasarkan atas prinsip maslahat mursalah, yaitu merealisasikan kemaslahatan bagi anak. Selain anak akan mengetahui secara persis siapa orang tuanya, juga apabila suatu saat timbul permasalahan, dengan bantuan akta anak tersebut dapat melakukan upaya hukum.368
368 Ibid., hlm. 233-234.
Akta sebagai bukti asal-usul anak, juga untuk menentukan kedudukan anak itu sendiri, karena hal ini menyangkut dengan hubungan hukum lainnya seperti waris, nafhah anak dan lain-lain.
Pemeliharaan Anak.
Pemeliharaan anak (hadhanah) hukumnya wajib, yakni mendidik dan merawatnya serta segala sesuatu yang menjadi kebutuhan bagi si anak, termasuk masalah ekonomi. Tanggung jawab untuk mendidik dan merawat ini adalah tanggung jawab bersama suami isteri, sebagai mana sudah ditegaskan pada hak dan kewajiban suami isteri. Tapi oleh karena tugas suami sebagai kepala rumah tangga dan yang berkewajiban memberi nafhah kepada isteri dan anak-anaknya, maka si suami kemungkinan lebih banyak berada di luar rumah, jika dibandingkan dengan isteri. Namun tidak menutup kemungkinan di era globalisasi ini, di mana isteri juga ikut bekerja mencari nafhah rumah tangga, sehingga anak diserahkan kepada pengasuhnya. Dalam hal pemeliharaan anak ini suami dan isteri dituntut untuk bekerja sama dan memelih pengasuh anak dengan sebaik mungkin, sehingga antara pengasuh dengan orang tua memilki ide yang sama. Menurut Zainuddin Ali, pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan skunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketentraman, dansegala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya.369 Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafhah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang
dewasa yang telah mempu berdiri sendiri.370
369 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam … hlm. 64.
370 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hlm. 204.
Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai adanya globalisasi dalam semua aspek kehidupan manusia, term pemeliharaan anak perlu dipahami secara lebih luas dan menyeluruh. Ini dimaksudkan, agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibannya pada terpenuhinya kebutuhan materiil si anak, tetapi lebih dari itu kebutuhan mereka akan cinta dan kasih sayang, turut menjadi faktor penentu pembentukan kepribadian anak. Kualitas komunikasi antara anak dan orang tuanya mutlak perlu mendapat perhatian. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pada akhirnya si anak akan mencari kompensasi di luar, yang besar kemungkinan akan lebih besar mendapat pengaruh negatif dari pergaulan mereka.371
Sehubungan dengan pemeliharaan anak ini, KHI menjelaskan sebagai berikut, yakni Pasal 98 menyatakan:
- Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
- Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
- Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak
Pasal 98 KHI ini memberi isyarat, bahwa orang tua berkewajiban mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal mereka di hari dewasanya. Di antara pendidikan yang menjadi kewajiban kedua orang tua terhadap anak adalah anak mendapat pendidikan, baik menulis maupun membaca, pendidikan ketrampilan dan mendapatkan rezeki yang halal, sebagaimana sabda Rasulullah berikut ini:
حَـقُّ الـوَلَـدِ عَـلَ وَالِـدِ اَنْ يُـعَـلِّمَـهُ الـكِـتَـابَةَ وَالـسِّبَـاحَةَ وَالـرِّمَـايَةَ وَاَنْ لَايَـرْزُقَهُ إلَّا طَـيِّبًا).رواه الـبيـهـقى(
Hak seorang anak kepada orang tuanya adalah mendapat pendidikan menulis, renang, memanah dan mendapat rezeki yang halal. H.R. Baihaqy.
Dalam riwayat yang lain Ibn Abbas menjelaskan:
حَـقُّ الـوَلَـدِ عَـلَ وَاُلِـدِهِ اَنْ يُـحْـسِنَ اِسْـمَـهُ وَيُـحْـسِنَ مَـوْضِعَـهُ وَيُـحْـسِنَ اَدَبَهُ. )رواه الـبيـهـقى(
Hak seorang anak atas orang tuanya, hendaknya ia memberi nama yang baik, dan mengajari sopan-santun yang baik. H. R. Baihaqy.
Peranan orang tua sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan keagamaan si anak. Oleh karena itu, orang tua jangan sampai gagal dalam menunai kewajibannya dalam hadhanah ini, karena yang rugi tidak hanya si anak, orang tua akan memperoleh kerugian terhadap kegagalan ini, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut:
كُُّ مَـوْلُـوْدٍ يُـوْلَـدُ عَـلَ الـفِـطْـرَةِ حَـتَّ يَـعْـرِبَ لِـسَانُهُ فَاَبَـوَاهُ يُـهَـوِّدَانِـهِ اَوْ يُـنَصِّـرَانِـهِ اَوْ يُـمَـجّـسَانِهِ. )رواه ابو يـعـل والـطـبران والـبيـهـقى(
Setiap (bayi) yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) hingga bergerak lisannya, maka kedua ibu-bapaknya akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. H. R. Abu Ya’la, al-Thabrany dan Baihaqy.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengemukakan dalam Bab X dengan tajuk Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak.
Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian.
Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum (Pasal 1 huruf h KHI).
Jadi seseorang yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum demi kepentingan seorang anak yang tidak mempunyai orang tua lagi, atau orang tuanya sudah dicabut kekuasaannya disebut dengan wali.
Ada juga yang memberi pengertian perwalian, yaitu “pemeliharaan dan pengawasan anak yatim dan hartanya”.375 Kata “wali” dalam bahasa Indonesia berarti orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya selama anak itu belum dewasa.376 Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, pemeliharaan dan pengawasan harta itu bukan hanya untuk anak yatim saja, tetapi juga berlaku untuk orang gila, anak yang masih kecil (kanak-kanak), safih (idiot), dan bangkrut.377
375 M. A. Tihami, Fiqh Mynakahat, … hlm. 208. Lihat Ghozali, Fiqh Munakahat, … hlm. 166.
376 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), Jilid 2, hlm. 192.
Dari pengertian perwalian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa seorang wali ditugasi untuk mengurus diri dan harta anak yang belum dewasa lantaran orang tuanya tidak ada, atau orang tuanya dibebaskan dari tugas tanggung jawab sebagai orang tua dengan alasan-alasan tertentu.
Dalam hukum Islam ada beberapa ayat yang dapat dipedomani untuk menentukan keberadaan wali, sebagai berikut:
فَإِن كَنَ ٱلَِّى عَلَيْهِ ٱلَْقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يسَْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلُِّهُۥ بِٱلْعَدْلِ
… Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur … (Q.S. Al-Baqarah: 282)
وَلَا تُؤْتُوا ٱلسُّفَهَآءَ أَمَْٰولَكُمُ ٱلَّتِ جَعَلَ ٱلَُّل لَكُمْ قَِٰيمًا وَٱرْزُقُوهُمْ فِيهَا وَٱكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata- kata yang baik. (Q.S. Al-Nisa: 5)
وَٱبْتَلُوا ٱلََْٰتَٰم حََّٰتٓ إِذَا بَلَغُوا ٱلِّنكَاحَ فَإِنْ ءَانسَْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَٱدْفَعُوٓا إِلَْهِمْ أَمَْٰولَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَآ إِسَْافًا وَبِدَارًا أَن يَكْبَُروا ۚ
377 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 682.
وَمَن كَنَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَن كَنَ فَقِيًا فَلْيَأْكُلْ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَْهِمْ أَمَْٰولَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكََٰف بِٱلَِّل حَسِيبًا
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu).
Mekanisme Pengangkatan Wali.
Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, bahwa wali adalah pengganti peran orang tua terhadap memeliharaan anak dan hartanya. Ayat- ayat di atas juga memberi gambaran tentang tanggung jawab wali terhadap anak yang berada di bawah pemeliharaannya demikian juga dengan harta si anak tersebut.
Baik UUP maupun KHI mengatur tentang perwalian ini, selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 50 UU. No. 1/1974 menjelaskan:
- Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
- Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
Pasal 51:
- Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
- Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil jujur dan berkelakuan
- Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
- Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya itu pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak
- Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Dari kedua pasal di atas dapat dipahami, bahwa perwalian itu meliputi diri pribadi si anak dan harta bendanya. Sementara mekanisme pengangkatan wali dapat dilakukan dengan wasiat orang tua sebelum meninggal dunia, baik secara lisan maupun secara tertulis. Wasiat dengan cara tertulis, sebaiknya dengan akta otentik, cara yang demikian akan terjamin kepastian hukumnya, hal ini menghindari kerusakan (kerugian) didahulukan dari pada memperoleh manfaat (kebaikan)”.
Wali untuk mengurus anak yang belum dewasa tersebut sebaiknya ditunjuk dari keluarganya sendiri (Pasal 51 ayat (2) UU. No. 1/1974), atau orang lain yang berkelakuan atau berakhlak yang baik. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah SAW.:
اَنَّ الـنَّبَِّي صل الل عـليـه وسلـم قَضَُ فِ ابْنَـةِ حَـمْزَةَ لِـخَـالَِتـهَـا وَقَالَ الَخـالَةُ بِمَنْـزِلَةِ المِّ. )اخرجه البخـارى(
Sesungguhnya Nabi SAW. memutuskan (wali) bagi anak perempuan Hamzah kepada saudara perempuan ibunya dan beliau bersabda: “Saudara perempuan ibu mempunyai kedudukan ibu”. H. R. Al- Bukhari.
وَالـجَارِيَةُ عِـنْـدَ خَـالَـتِهَـا فَاِنَّ الَخـالَةَ والِـدَةٌ.
Rasulullah SAW bersabda: “Bagi anak perempuan (jariyah), (perwaliannya) pada saudara perempuan ibunya (walidah)-nya” (H. R. Ahmad dari Ali ra.).
Secara rinci pembahasan perwalian ini diatur dalam kHI Pasal 107 s.d. Pasal 112, secara garis besar mempertegas ketentuan yang dimuat dalam UUP.
Pasal 107:
- Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
- Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta
- Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat
- Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum.
Pasal 108:
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak- anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 107 dan 108 KHI di atas, ternyata KHI berbeda dengan UUP, disamping adanya persamaan keduanya. KHI lebih tegas lagi menentukan Pengadilan Agama untuk menyelesikan kasus perwalian ini, hal ini tujuannya tidak lain adalah untuk menentukan kepastian hukum dan kemaslahatan anak dan harta kekayaannya.
KHI juga menetapkan wali itu tidak hanya naturlijk persoon (manusia/orang), tapi juga boleh menjadi wali itu personen reght (badan hukum).
Menurut hemat penulis, pengangkat wali tidak hanya melalui wasiat, atau melalui Pengadilan Agama, tapi pengangkatan wali dapat juga dilakukan melalui musyawarah keluarga si anak, kalau mereka tidak sepakat, maka baru diserahkan kepada hakim Pengadilan Agama. Selain mekanisme pengangkatan wali, KHI juga menentukan syarat untuk menjadi wali. Syarat-syarat untuk menjadi wali adalah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
Apabila seorang wali yang sudah ditetapkan, ternyata tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, atau dengan indikasi-indikasi tertentu kelihatan beriktikad tidak baik, maka hak perwaliannya dapat dicabut. Prosedur dan tatacaranya dilakukan oleh keluarga si anak dengan mengajukan permohanan kepada Pengadilan Agama untuk mencabutnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 UU. No. 1/1974:
- Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang terse- but dalam pasal 49 undang-undang ini.
- Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh pengadilan ditunjuk orang lain sebagai
Sementara KHI mengaturnya di dalam Pasal 109, dengan mengemukakan alasan-alasan yang jelas dicabutnya kekuasaan wali tersebut.