Zakat sebagai salah satu rukun Islam, bukan hanya ibadah personal, melainkan juga memiliki dimensi sosial dan ekonomi yang sangat penting. Perannya sebagai instrumen pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan telah diakui sejak masa awal Islam hingga saat ini, termasuk di Indonesia. Karya ilmiah ini akan mengupas peran negara dalam pengelolaan zakat, model-model pengelolaan zakat yang ada, serta urgensi dan hikmahnya dalam konteks ekonomi nasional Indonesia.
Peran Negara dalam Pengelolaan Zakat telah ada sejak era kenabian. Pada masa Rasulullah saw., syariat zakat diturunkan pada tahun kedua hijriyah. Rasulullah saw. secara langsung menunjuk para sahabat sebagai amil zakat untuk menarik zakat dari para muzaki (wajib zakat), mendatanya di Baitul Maal, dan menyalurkannya kepada mustahik (penerima zakat).
Peran ini berlanjut pada masa Khulafaur Rasyidin dan setelahnya. Pada masa Khalifah Mu’awiyah ra., zakat dikelola dan dipergunakan oleh negara melalui Baitul Maal. Kemudian, pada masa Umar bin Abdul Aziz, ijtihad zakat atas penghasilan ditetapkan oleh khalifah dan bersifat wajib. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat sepenuhnya dilaksanakan oleh waliyul amr, yaitu pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk menarik zakat dari para muzaki.
Di Indonesia, zakat juga memiliki sejarah yang erat dengan peran negara. Zakat pernah digunakan sebagai alat pengumpul logistik untuk perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, yang kemudian dilarang oleh pemerintah kolonial. Pengumpulan zakat oleh negara di Aceh bahkan sudah dimulai sejak masa Kerajaan Aceh, pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah.
Model dan Hukum Pengelolaan Zakat di Indonesia Secara umum, terdapat tiga model pengelolaan zakat oleh negara: Model wajib, di mana pengelolaan zakat diakui oleh negara yang diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan dan bersifat wajib bagi penduduk muslim.
Model diakui namun tidak wajib, di mana pengelolaan zakat diatur dalam undang-undang, tetapi tidak bersifat wajib bagi penduduk muslim (seperti di Arab Saudi dan Sudan).
Model diserahkan kepada masyarakat, di mana pengelolaan zakat tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.
Hukum pengelolaan zakat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang, di mana Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) memiliki peran strategis. BAZNAS merupakan Lembaga Pemerintah Non-Struktural (LNS) yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan tertentu. Peran BAZNAS, sesuai UU No. 23/2011, mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pelaporan, dan penanggungjawaban pengelolaan zakat nasional.
Pengelolaan zakat melalui lembaga memberikan banyak manfaat, seperti:
- Memberikan kepastian bagi muzaki.
- Menghilangkan rasa rendah diri bagi mustahik.
- Meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengumpulan dan penyaluran.
- Menjadi syiar Islam.
Peran Zakat dalam Ekonomi Nasional Zakat memiliki peran vital dalam mengatasi permasalahan ekonomi di Indonesia, seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, dan rendahnya IPM. Dalam Masterplan Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia, zakat merupakan pilar pembangunan ekonomi sebagai religious-financial sector.
Zakat berperan strategis dalam:
- Memoderasi kesenjangan sosial.
- Membangkitkan ekonomi kerakyatan.
- Mendorong model terobosan dalam pengentasan kemiskinan.
- Mengembangkan sumber pendanaan pembangunan kesejahteraan umat di luar APBN.
Zakat Profesi dan Zakat Perusahaan Zakat dikenakan pada berbagai jenis harta, termasuk yang berasal dari profesi dan perusahaan. Meskipun zakat dari hasil profesi tidak umum di masa salaf, beberapa riwayat dari Ibnu Mas’ud dan Umar bin Abdul Aziz menjelaskan bahwa mereka mengambil zakat dari a’thoyat (gaji rutin). Kewajiban zakat profesi didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dan pendapat ulama terdahulu maupun sekarang.
Demikian pula dengan zakat perusahaan, yang landasan hukumnya mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dan hadis Rasulullah saw. Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait menyatakan bahwa perusahaan termasuk dalam kategori syakhsiyyah hukmiyyah (badan hukum yang dianggap orang), sehingga wajib mengeluarkan zakat. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 juga mengemukakan bahwa objek zakat yang wajib dikeluarkan adalah perdagangan dan perusahaan.
Zakat adalah instrumen ibadah dan sosial-ekonomi yang penting, di mana peran negara dalam pengelolaannya telah ada sejak masa Rasulullah saw. dan terus berlanjut hingga saat ini di Indonesia. Pengelolaan zakat oleh lembaga seperti BAZNAS memiliki peran vital dalam meningkatkan efektivitasnya. Dengan demikian, zakat bukan hanya merupakan perwujudan ketaatan pada Allah, tetapi juga menjadi instrumen utama dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi yang berkeadilan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hambali, S.Ag., M.H., Dr. “Hukum Zakat Indonesia”. Materi 17 B Presentasi Zakat Diklat MA.
BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). “Kedudukan BAZNAS Sebagai LNS”. “Peran BAZNAS”.
BPS (Badan Pusat Statistik). “Kesenjangan sosial yang tinggi, Rasio Gini 0,397 (BPS, 2016)”. “Kemiskinan yang tinggi mencapai 10,86% (BPS, 2016)”.
Kementerian Agama Republik Indonesia. “Ps. 3 PMA 2014”.
UNDP (United Nations Development Programme). “IPM Indonesia menengah-rendah (0,684) dengan peringkat 110 dari 188 (UNDP, 2015)”.
UU No. 23/2011. “Sesuai UU No 23/2011, BAZNAS memiliki sejumlah peran strategis pengelolaan zakat nasional”. “Pasal 5 Ayat 3, UU 23/2011”.
UU No. 38/1999. “UU No 38 tahun 1999, tentang pengelolaan zakat, bab IV pasal 11 ayat (2) bagian (b) dikemukakan bahwa diantara obyek zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah perdagangan dan perusahaan”. “Lembaga /petugas : BAZ dan LAZ (UU 38/99)”.
UU No. 39/2008. “membantu tugas Presiden (UU No.39/2008)”.