Isu perkawinan anak di Indonesia masih menjadi tantangan serius yang mengancam tercapainya visi “Indonesia Emas 2045”[1]. Anak-anak yang seharusnya menikmati masa remaja dan pendidikan sering kali terpaksa menghadapi realitas pahit yang menghentikan cita-cita mereka. Dalam upaya mengatasi masalah ini, Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) telah muncul sebagai pendekatan strategis yang krusial, berfokus pada pembekalan remaja dengan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran diri yang diperlukan untuk membuat keputusan matang bagi masa depan mereka.
Peran sentral BRUS terletak pada guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah.[2] Mereka tidak hanya menjalankan tugas mengajar, tetapi juga menjadi ujung tombak dalam memberikan edukasi komprehensif. Melalui penyuluhan, guru BK menyajikan fakta-fakta yang kuat tentang dampak negatif perkawinan anak, baik dari segi kesehatan reproduksi maupun psikologis. Pendekatan ini tidak berhenti pada teori; ia diperkuat dengan kolaborasi lintas sektor yang melibatkan Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) untuk memberikan perspektif yang lebih luas dan otoritatif[3].
Selain edukasi, BRUS juga memberdayakan remaja melalui berbagai kegiatan. Program-program seperti Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) menyediakan ruang aman bagi remaja untuk berdiskusi tentang isu-isu sensitif dan mendapatkan bimbingan dari mentor sebaya.[4] Lebih jauh lagi, keterlibatan dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka atau Palang Merah Remaja (PMR) membantu membentuk karakter, kedisiplinan, dan tanggung jawab, yang secara tidak langsung membekali mereka untuk membuat keputusan hidup yang lebih bijaksana.[5]
Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan sendiri. Keberhasilan BRUS sangat bergantung pada kolaborasi yang erat. Sekolah harus merangkul keluarga, mengadakan lokakarya untuk orang tua agar mereka memahami dampak perkawinan anak dan mendukung penuh pendidikan anak-anaknya. Sinergi ini juga meluas hingga ke instansi pemerintah seperti KUA, Puskesmas, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Mereka adalah mitra strategis yang menyediakan data, ahli, dan dukungan hukum, menciptakan jaring pengaman yang kokoh bagi para remaja.
Namun, implementasi BRUS tidak lepas dari tantangan. Keterbatasan dukungan finansial dan kurangnya partisipasi aktif dari orang tua menjadi hambatan utama.[6] Oleh karena itu, kolaborasi yang kuat antara sekolah, keluarga, dan pemerintah menjadi sangat penting. Workshop untuk orang tua, komunikasi yang intensif, dan sinergi dengan berbagai dinas terkait adalah langkah-langkah yang harus terus diperkuat untuk memastikan program ini mencapai tujuannya secara optimal.
Pada akhirnya, pencegahan perkawinan anak melalui BRUS adalah investasi fundamental untuk masa depan bangsa. Dengan memberikan pendidikan, bimbingan, dan dukungan yang memadai, kita tidak hanya melindungi hak-hak anak, tetapi juga membangun fondasi yang kokoh untuk mewujudkan generasi emas yang cerdas, berdaya, dan siap menghadapi tantangan global di tahun 2045.
[1] Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA), yang melibatkan lintas kementerian dan instansi sebagai upaya kolektif pemerintah
[2] Skripsi Implementasi Program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS), oleh Moh. Taufik Hidayat dan A. Fauzi Aziz, yang menyoroti peran BRUS dalam mencegah pernikahan usia dini
[3] Skripsi Implementasi Program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) oleh KUA Kecamatan Banyuwangi, yang menunjukkan kolaborasi antara KUA dan sekolah
[4] Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan, yang membahas strategi pencegahan pernikahan dini melalui penerapan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R)
[5] Jurnal STIA LAN Makassar, yang mencatat bahwa kegiatan ekstrakurikuler dapat membekali pelajar untuk tidak melakukan tindakan berisiko yang mengarah pada pernikahan dini
[6] Jurnal Public Administration and Government, yang mengidentifikasi tantangan dalam implementasi strategi pencegahan perkawinan anak, termasuk kurangnya partisipasi orang tua.