Abstract
Marriage in Islam is a divine institution encompassing spiritual, moral, and social dimensions. This study analyzes the concepts of justice, maqasid al-shari‘ah, and gender in Islamic marriage law through a normative-theological and qualitative library research method. Findings show that justice is the spirit of every marital regulation; maqasid al-shari‘ah provides a framework to ensure human welfare; and Islamic gender ethics stress partnership and balance between husband and wife. Marriage thus becomes an act of worship and a medium for forming a just, compassionate, and harmonious family in contemporary society.
Keywords: Islamic Marriage, Justice, Gender, Maqasid al-Shari‘ah, Islamic Law.
Abstrak
Perkawinan dalam Islam bukan sekadar hubungan kontraktual antara laki-laki dan perempuan, melainkan lembaga ilahiah yang memuat dimensi ibadah, moral, dan sosial. Penelitian ini menganalisis konsep keadilan, maqasid syariah, dan gender dalam hukum perkawinan Islam melalui pendekatan normatif-teologis dan metode kualitatif berbasis studi pustaka. Hasil menunjukkan bahwa keadilan merupakan ruh dari setiap ketentuan perkawinan; maqasid syariah menjadi kerangka untuk menjamin kemaslahatan; dan etika gender Islam menekankan kemitraan yang seimbang antara suami-istri. Dengan demikian, perkawinan menjadi ibadah dan sarana membentuk keluarga yang adil, penuh kasih, serta relevan dengan kehidupan modern.
Kata Kunci: Perkawinan Islam, Keadilan, Gender, Maqasid Syariah, Hukum Islam.
Introduction (Pendahuluan)
Perkawinan (nikah) dalam Islam adalah institusi sakral yang mengatur hubungan lahir-batin manusia. Tujuan utamanya adalah mewujudkan ketenangan, kasih sayang, dan kemaslahatan. QS. ar-Rum [30]: 21 menegaskan bahwa Allah menciptakan pasangan dari jenis yang sama agar manusia merasa tenteram. Rasulullah SAW bersabda bahwa nikah adalah bagian dari sunah beliau. Hazairin menilai perkawinan sebagai lembaga sosial-keagamaan yang menjaga keturunan dan tatanan moral masyarakat. Maqasid syariah menempatkan hukum perkawinan sebagai sarana menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Quraish Shihab menekankan bahwa keadilan dan kesalingan antara laki-laki dan perempuan adalah fondasi rumah tangga Islami. Keadilan bukan kesamaan mutlak, melainkan keseimbangan hak dan tanggung jawab. Dalam konteks modern, persoalan gender dan keadilan dalam perkawinan menjadi tantangan yang harus direspon dengan semangat maqasid dan kemaslahatan.
Methodology (Metode Penelitian)
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-teologis dan metode kualitatif berbasis studi pustaka (library research). Data primer berasal dari Al-Qur’an, hadis, dan kitab fikih klasik seperti Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali dan Al-Muwafaqat karya Al-Syathibi. Data sekunder mencakup karya Hazairin, Amir Syarifuddin, Juhaya S. Praja, Quraish Shihab, Musdah Mulia, Amina Wadud, dan Fazlur Rahman. Analisis dilakukan secara deskriptif-analitis dengan pendekatan hermeneutik untuk menafsirkan teks keagamaan sesuai konteks sosial. Kerangka teori meliputi teori Maqasid Syariah serta teori Keadilan dan Gender Islam yang menekankan keseimbangan dan kemitraan sejati.
Discussion (Pembahasan)
- Tujuan dan Prinsip Perkawinan dalam Islam
Perkawinan dalam Islam memiliki makna teologis dan sosial yang saling terkait. Tujuan utamanya adalah membentuk ketenangan, kasih sayang, dan kemaslahatan hidup. Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia berpasangan agar saling melengkapi dan menumbuhkan cinta kasih di antara mereka (QS. ar-Rum [30]: 21).
Imam al-Ghazali dalam *Ihya’ Ulumuddin* mengemukakan bahwa perkawinan memiliki lima fungsi utama: (1) menjaga keturunan yang sah, (2) menyalurkan naluri seksual secara halal, (3) melindungi akhlak, (4) melatih tanggung jawab, dan (5) membangun masyarakat yang berkeadilan.
Keluarga dengan demikian menjadi fondasi peradaban Islam—tempat di mana nilai spiritual, moral, dan sosial bertemu dalam harmoni.
Hazairin menambahkan bahwa perkawinan merupakan lembaga sosial yang bertujuan mengatur keturunan serta menjaga tatanan moral masyarakat. Nilai-nilai itu hanya dapat diwujudkan jika keadilan dan tanggung jawab ditegakkan dalam rumah tangga.
- Teori Keadilan dalam Konteks Hukum Perkawinan
Keadilan dalam Islam tidak sebatas konsep hukum, tetapi juga moral dan spiritual. Allah memerintahkan manusia berlaku adil dalam setiap urusan (QS. an-Nahl [16]: 90). Keadilan berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya (*wad‘ al-syai’ fi mahallihi*), yakni proporsional antara hak dan tanggung jawab.
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua: *distributive justice* (keadilan pembagian hak dan tanggung jawab sesuai kapasitas) dan *corrective justice* (pemulihan atas ketimpangan). Konsep ini sejalan dengan prinsip Islam bahwa keadilan harus mempertimbangkan kondisi manusia secara kontekstual, bukan sekadar formalistik.
Dalam QS. an-Nisa [4]: 34, laki-laki disebut sebagai *qawwamun* (pelindung) bagi perempuan. Quraish Shihab menafsirkan bahwa istilah ini tidak berarti superioritas, melainkan tanggung jawab moral. Suami wajib menjaga, menafkahi, dan memperlakukan istri dengan penuh kasih, sebagaimana perintah Allah: “Dan bergaullah dengan istri-istri secara patut” (QS. an-Nisa [4]: 19).
Rasulullah SAW menegaskan: *“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.”* (HR. Tirmidzi).
Hadis ini menegaskan bahwa ukuran kesalehan laki-laki adalah perilaku adil dan lembut terhadap keluarganya.
- Perspektif Gender dalam Hukum Perkawinan Islam
Konsep gender dalam Islam berpijak pada prinsip kesetaraan spiritual dan kemanusiaan. Al-Qur’an menyatakan:
“Orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain” (QS. at-Taubah [9]: 71).
Ayat ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra sejajar dalam tanggung jawab sosial dan moral.
Musdah Mulia berpendapat bahwa keadilan gender dalam Islam tidak menghapus perbedaan biologis, melainkan menegaskan kesalingan (*musyarakah*). Islam menolak subordinasi perempuan, sebab keduanya diciptakan dari substansi yang sama dan memiliki martabat yang setara di hadapan Allah.
Amina Wadud dalam *Qur’an and Woman* menafsirkan bahwa banyak ayat yang tampak patriarkal sesungguhnya bersifat kontekstual. Tafsir yang berorientasi gender menempatkan perempuan sebagai subjek aktif dalam masyarakat dan keluarga.
Dalam praktik rumah tangga, prinsip *mu‘asyarah bil ma‘ruf* menjadi pedoman etika: suami-istri harus saling menghormati, bekerja sama, dan saling menolong.
Pandangan ini sejalan dengan maqasid syariah yang menekankan kemaslahatan bersama. Dengan demikian, kesetaraan gender bukanlah gagasan modern Barat, melainkan ruh Islam yang autentik dalam menegakkan keadilan dan kemanusiaan.
- Analisis Maqasid Syariah terhadap Hukum Perkawinan
Konsep *maqasid al-syariah* menegaskan bahwa seluruh hukum Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan (*maslahah*). Menurut al-Syathibi, terdapat lima prinsip utama (al-kulliyat al-khamsah) yang menjadi fondasi hukum: menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.
Dalam konteks perkawinan, maqasid syariah berfungsi sebagai jembatan antara teks dan konteks.
* **Menjaga agama (hifz al-din)**: keluarga menjadi tempat pendidikan iman.
* **Menjaga jiwa (hifz al-nafs)**: perkawinan mencegah perzinaan dan menjaga kehormatan.
* **Menjaga keturunan (hifz al-nasl)**: menjamin nasab yang sah.
* **Menjaga akal (hifz al-‘aql)**: keluarga mendidik kecerdasan dan akhlak.
* **Menjaga harta (hifz al-mal)**: mengatur ekonomi rumah tangga dengan prinsip halal dan adil.
Amir Syarifuddin menegaskan bahwa maqasid syariah adalah dasar fleksibilitas hukum Islam; selama suatu praktik keluarga membawa kemaslahatan, maka ia sesuai dengan spirit syariah.
- Relevansi Sosial Kontemporer
Di era modern, lembaga perkawinan menghadapi berbagai tantangan seperti perceraian, kekerasan rumah tangga, dan ketimpangan ekonomi. Prinsip keadilan, maqasid syariah, dan gender Islam menjadi solusi normatif untuk mengembalikan makna sakral perkawinan.
Juhaya S. Praja menyatakan bahwa hukum Islam bersifat *shalih likulli zaman wa makan* (relevan sepanjang masa). Dengan demikian, interpretasi hukum perkawinan harus terus berkembang agar mampu menjawab kebutuhan sosial, tanpa meninggalkan nilai dasar syariah.
Keluarga yang dibangun atas dasar keadilan dan kasih sayang merupakan miniatur masyarakat madani. Ketika prinsip keadilan dan kesetaraan ditegakkan dalam rumah tangga, maka akan lahir generasi yang berakhlak, beriman, dan bertanggung jawab sosial.
Perkawinan dalam Islam bukanlah sistem patriarkal, tetapi sistem tanggung jawab yang berorientasi pada kemaslahatan, keseimbangan, dan cinta kasih yang universal.
Conclusion (Kesimpulan)
Perkawinan dalam Islam merupakan lembaga ilahiah yang mengandung dimensi spiritual, sosial, dan moral. Tujuannya tidak hanya untuk pemenuhan biologis, tetapi untuk membangun kehidupan yang berkeadilan, beradab, dan bermartabat. Prinsip keadilan (al-‘adl) menjadi dasar hubungan suami-istri agar tidak terjadi dominasi dan ketimpangan.
Melalui pendekatan *maqasid al-syariah*, hukum perkawinan dapat dipahami sebagai sistem yang bertujuan menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Keadilan yang diamanatkan oleh Al-Qur’an harus diterapkan dalam seluruh aspek keluarga, mulai dari pembagian peran, tanggung jawab, hingga perlakuan antarpasangan.
Perspektif gender Islam memperkuat bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra sejajar dalam membangun keluarga. Perbedaan biologis bukan alasan untuk diskriminasi, melainkan dasar untuk saling melengkapi dalam tanggung jawab. Kesetaraan gender yang diajarkan Islam meruakan manifestasi dari nilai tauhid dan kemanusiaan universal.
Dengan demikian, perkawinan dalam Islam harus dipahami sebagai sistem kemitraan yang menegakkan keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan. Dalam konteks sosial kontemporer, penerapan prinsip keadilan dan maqasid syariah dalam keluarga dapat menjadi solusi terhadap problem modern seperti kekerasan rumah tangga, krisis moral, dan ketimpangan sosial.
Keadilan dan kasih sayang adalah dua pilar yang harus berjalan beriringan agar rumah tangga menjadi *sakinah, mawaddah, wa rahmah* — tenang, penuh cinta, dan rahmat Allah.
References (Daftar Pustaka)
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Fikr, 2000.
Al-Syathibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah. Kairo: Dar al-Hadits, 1997.
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
Fazlur Rahman. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
Hazairin. Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1982.
Juhaya S. Praja. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1997.
- Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2011.
Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 2006.
Wadud, Amina. Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. New York: Oxford University Press, 19