MENULIS sering dianggap pekerjaan sepi, sunyi, dan kadang membosankan. Padahal di balik kesunyian itu tersimpan kekuatan besar: kemampuan untuk merekam, memahami, bahkan mengubah kehidupan. Menulis bukan hanya keterampilan teknis menuangkan kata ke dalam kalimat, melainkan praktik refleksi mendalam yang menuntut kepekaan, ketajaman, dan keberanian.
Dalam pengalaman saya sebagai Penghulu sekaligus pernah bertugas sebagai Penyuluh Agama, menulis bukan sekadar tambahan, melainkan kebutuhan. Mengapa? Karena hampir semua pekerjaan kita bersentuhan dengan realitas sosial dan spiritual umat. Kita menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa penting: akad nikah, konflik keluarga, keresahan remaja, kegelisahan orang tua, hingga dinamika keberagamaan di tengah masyarakat. Setiap peristiwa itu sejatinya menyimpan pelajaran hidup yang luar biasa. Namun sayang, tidak semuanya kita abadikan.
Padahal, di situlah letak pentingnya menulis bagi para khadimul ummahโpara pelayan umat. Menulis berarti mengikat ilmu, pengalaman, dan hikmah agar tidak lenyap ditelan waktu. Menulis adalah cara sederhana, tetapi bermakna, untuk menjadikan tugas kita tidak berhenti pada administrasi dan rutinitas, melainkan bertransformasi menjadi catatan sejarah sekaligus bekal ilmu untuk generasi berikutnya.
๐๐๐ง๐ ๐ก๐ฎ๐ฅ๐ฎ ๐๐๐ง ๐๐๐ง๐ฒ๐ฎ๐ฅ๐ฎ๐ก, ๐๐๐ค๐ฌ๐ข ๐๐ข๐๐ฎ๐ฉ ๐๐๐๐ฅ๐ข๐ญ๐๐ฌ ๐๐ฆ๐๐ญ
Penghulu di KUA bukan hanya โpejabat pencatat pernikahan.โ Ia adalah konsultan hukum Islam, mediator konflik keluarga, tempat bertanya bagi umat yang resah dengan problem kehidupan. Dari urusan talak, rujuk, sampai nasihat rumah tanggaโsemuanya mengalir di meja Penghulu. Begitu juga Penyuluh, yang sehari-hari hadir di tengah masyarakat. Ia menjadi corong informasi agama, pendamping kelompok binaan, dan advokat moral di tengah kompleksitas zaman.
Betapa banyak cerita inspiratif yang kita temukan dalam menjalankan tugas ini. Ada pasangan muda yang gigih mempertahankan rumah tangga meski hidup sederhana. Ada pemuda yang tersadar kembali setelah dibimbing dalam kelompok pengajian. Ada pula keluarga yang bangkit dari krisis karena mendapatkan nasihat agama. Semua itu adalah โmutiaraโ yang sangat berharga. Namun tanpa ditulis, mutiara itu hanya akan hilang begitu saja, tertimbun dalam ingatan yang perlahan memudar.
๐๐๐ง๐ฎ๐ฅ๐ข๐ฌ, ๐๐๐ซ๐ข ๐๐๐ฉ๐จ๐ซ๐๐ง ๐๐ข๐ง๐ ๐ ๐ ๐๐๐ง๐ฎ๐ง๐ ๐๐ง
Sebagian dari kita mungkin berpikir, menulis hanyalah soal laporan rutin. Memang benar, membuat laporan kegiatan adalah kewajiban fungsional yang tidak bisa diabaikan. Namun mari kita melihat lebih jauh: laporan bukan sekadar kewajiban birokrasi, tetapi juga latihan intelektual. Di dalam laporan, kita belajar menyusun data, mengolah fakta, dan mengekspresikan gagasan secara runtut.
Lebih dari itu, pengalaman yang sama bisa dikembangkan menjadi tulisan reflektif, artikel opini, bahkan karya ilmiah. Misalnya, sebuah kasus perceraian bisa menjadi bahan renungan tentang pentingnya pendidikan pra-nikah. Sebuah pengajian rutin bisa menginspirasi tulisan tentang transformasi spiritual di desa. Sebuah mediasi konflik bisa membuka wawasan tentang pendekatan dakwah yang humanis.
Dengan menulis, kita tidak hanya menyimpan data, tetapi juga membagikan makna. Tulisan kita bisa dibaca rekan sejawat, mahasiswa, bahkan masyarakat luas. Siapa tahu, dari tulisan sederhana seorang Penghulu atau Penyuluh lahirlah gagasan besar yang mampu memberi arah baru bagi pelayanan umat.
๐๐๐ง๐ ๐๐ฉ๐ ๐๐ข๐ญ๐ ๐๐๐ซ๐ฎ๐ฌ ๐๐๐ง๐ฎ๐ฅ๐ข๐ฌ?
Pertama, menulis melatih kepekaan intelektual. Kita belajar tidak hanya melihat, tetapi juga memahami. Menulis memaksa kita bertanya: mengapa ini terjadi? bagaimana sebaiknya? apa solusinya? Dengan begitu, kita tidak terjebak pada rutinitas mekanis, melainkan terus berkembang menjadi insan pembelajar.
Kedua, menulis menumbuhkan keberanian. Tidak semua orang berani menyampaikan pikirannya secara terbuka. Dengan menulis, kita berlatih jujur pada diri sendiri, berani berbeda pendapat, dan siap berdialog dengan ide orang lain.
Ketiga, menulis adalah ibadah ilmu. Rasulullah SAW pernah bersabda, โIkatlah ilmu dengan menulisnya.โ (HR. al-Khatib al-Baghdadi). Setiap ilmu dan hikmah yang kita abadikan dalam tulisan, insyaAllah menjadi amal jariyah. Bayangkan, laporan sederhana atau artikel singkat kita bisa menjadi jalan kebaikan bagi orang yang membacanya.
๐๐๐ง๐ฎ๐ฅ๐ข๐ฌ ๐๐ญ๐ฎ ๐๐ข๐๐๐ค ๐๐ฎ๐ฅ๐ข๐ญ
Banyak yang merasa menulis itu berat. Padahal kuncinya sederhana: mulai saja dari apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan. Tidak perlu menunggu pintar, tidak perlu menunggu sempurna. Justru dengan menulis, kepintaran akan tumbuh dan kesempurnaan akan mendekat.
Pengalaman lapangan kita adalah bahan mentah yang kaya. Cukup catat peristiwa, refleksikan maknanya, lalu susun dalam kalimat yang jujur dan mengalir. Jangan khawatir soal gaya bahasa atau aturan akademik. Itu bisa diperbaiki sambil jalan. Yang terpenting adalah keberanian untuk memulai.
Menulis ibarat menanam pohon. Mula-mula hanya biji kecil yang tampak remeh. Tetapi bila dirawat, ia tumbuh, berbuah, dan memberi manfaat luas. Demikian pula tulisan kitaโmulanya mungkin terasa sederhana, tetapi bisa tumbuh menjadi karya yang menginspirasi banyak orang.
๐๐๐ง๐ฃ๐๐๐ข ๐๐๐ง๐ฎ๐ฅ๐ข๐ฌ ๐๐๐ก๐ข๐๐ฎ๐ฉ๐๐ง
Saudara-saudaraku, para Penghulu dan Penyuluh Agama di manapun berada, mari kita jadikan menulis sebagai bagian dari ibadah kita. Jangan biarkan pengalaman berharga bersama umat hilang tanpa jejak. Jangan biarkan tugas mulia kita hanya tercatat di lembar administrasi.
Dengan menulis, kita bukan hanya melaksanakan kewajiban, tetapi juga meninggalkan warisan. Warisan berupa ide, pelajaran, dan inspirasi yang akan terus hidup bahkan ketika kita sudah tiada.
Kita adalah saksi hidup perjalanan umat. Maka jadilah juga penulis kehidupan. Sebab pada akhirnya, pena seorang pelayan umat kadang lebih tajam daripada pidato, lebih abadi daripada lisan, dan lebih menggetarkan daripada sekadar angka dalam laporan.[]
Paya Dedep, 25 September 2025
Mahbub Fauzie, S.Ag., M.Pd
(Penghulu Ahli Madya dan Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah. Pernah menjadi Penyuluh Agama Islam Fungsional)