Menu

Mode Gelap

Hikmah · 16 Sep 2025 15:35 WIB ·

Kewarisan Beda Agama: Perspektif Hukum Islam, Hukum Perdata, Psikologi, dan Komparasi Internasional

Penulis: Dian Rahmat Nugraha


 Kewarisan Beda Agama: Perspektif Hukum Islam, Hukum Perdata, Psikologi, dan Komparasi Internasional Perbesar

 

Abstrak

Kewarisan beda agama merupakan persoalan kontemporer yang terus menimbulkan perdebatan dalam ranah hukum Islam dan hukum perdata di Indonesia. Hukum Islam, berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits, menegaskan bahwa perbedaan agama menjadi penghalang dalam saling mewarisi (Q.S. al-Nisa: 11, 12, 176; HR. al-Bukhari & Muslim). Sementara itu, KUHPerdata Indonesia tidak menjadikan agama sebagai hambatan hak waris, melainkan lebih menekankan pada hubungan kekerabatan dan perkawinan. Artikel ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi pustaka, menganalisis aspek hukum Islam, hukum perdata, dan psikologi agama, serta membandingkan dengan praktik hukum waris di Malaysia, Mesir, dan negara-negara Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara fiqh klasik, perbedaan agama menghalangi kewarisan, namun solusi alternatif seperti *wasiat wajibah* atau hibah dapat menjadi jembatan untuk menghindari diskriminasi. Secara psikologis, penolakan warisan akibat perbedaan keyakinan berpotensi menimbulkan konflik intra-keluarga. Kajian maqashid al-syari‘ah menunjukkan pentingnya perlindungan terhadap keluarga (*hifz al-nasl*) dan harta (*hifz al-mal*). Oleh karena itu, pendekatan integratif diperlukan agar hukum Islam tetap sesuai dengan prinsip keadilan dalam masyarakat plural.

Kata kunci: waris beda agama, hukum Islam, hukum perdata, psikologi agama, maqashid al-syari‘ah

1. Pendahuluan

Permasalahan kewarisan beda agama telah lama menjadi perdebatan baik dalam wacana akademik maupun praktik hukum di Indonesia. Al-Qur’an secara tegas menetapkan bagian warisan dalam Q.S. al-Nisa ayat 11, 12, dan 176, sementara hadis sahih riwayat Usamah bin Zaid menegaskan:
La yarithu al-muslim al-kafira wa la al-kafir al-muslima”* (HR. al-Bukhari dan Muslim) – *“Seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari muslim.”*
Ketentuan ini menjadi dasar mayoritas fuqaha (jumhur ulama) bahwa perbedaan agama merupakan *mani‘ al-irth* (penghalang waris). Namun, dalam hukum positif Indonesia, KUHPerdata Pasal 832 tidak mempersoalkan agama sebagai syarat waris.

Kontradiksi ini menimbulkan problematika psikologis dalam keluarga. Anak atau orang tua yang berbeda agama sering merasa diperlakukan tidak adil bila tidak mendapatkan bagian warisan. Oleh karena itu, kajian ini mencoba memberikan analisis multidisipliner: hukum Islam, hukum perdata, psikologi agama, serta perbandingan dengan hukum waris di negara lain.

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Hukum Islam
Mayoritas ulama menegaskan larangan kewarisan beda agama (al-Zuhaili, 1989; Ibn Qudamah, 1968). Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf c juga menyatakan bahwa ahli waris harus beragama Islam. Namun, sebagian ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi (1995) mengusulkan pendekatan maqashid al-syari‘ah untuk menghindari ketidakadilan dalam keluarga.
2.2 Hukum Perdata
KUHPerdata Pasal 832–838 menekankan bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan pasangan sah, tanpa mempertimbangkan agama. Menurut Hazairin (1981) dan Mertokusumo (1988), hukum perdata lebih menekankan asas keadilan dan kepastian hukum melalui hubungan darah dan perkawinan.
2.3 Psikologi Agama
Psikologi agama menurut Thouless (1992) dan Bustaman (1995) melihat bahwa diskriminasi dalam pembagian waris dapat menimbulkan gangguan emosional, rasa tidak adil, hingga perpecahan keluarga. Hal ini bertentangan dengan prinsip Al-Qur’an dalam Q.S. al-Nisa: 9 yang menegaskan agar orang tua tidak meninggalkan keluarganya dalam keadaan miskin.
3. Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan **yuridis normatif** dengan **studi pustaka**. Sumber primer meliputi Al-Qur’an, hadits, Kompilasi Hukum Islam, dan KUHPerdata. Sumber sekunder berupa literatur akademik tentang hukum waris, maqashid al-syari‘ah, dan psikologi agama. Analisis dilakukan melalui pendekatan komparatif hukum

3. Hasil dan Pembahasan

4.1 Perspektif Hukum Islam
Dalam fiqh klasik, hadis-hadis sahih menegaskan larangan waris beda agama. Namun, solusi alternatif ditawarkan melalui konsep *wasiat wajibah* (Ibn Hazm; Khallaf, 1978). Wasiat ini memungkinkan pemberian harta kepada ahli waris beda agama dengan kadar tertentu untuk menjaga rasa keadilan.
4.2 Perspektif Hukum Perdata
Hukum perdata Indonesia, seperti hukum Barat pada umumnya, tidak membatasi warisan berdasarkan agama. Prinsip *equality before the law* diterapkan, sehingga semua anak berhak atas warisan orang tuanya. Hal ini memberikan kepastian hukum bagi keluarga multikeyakinan.
4.3 Perspektif Psikologi
Diskriminasi dalam warisan dapat menimbulkan rasa terasing, konflik saudara, dan trauma keluarga. Menurut Maslow, kebutuhan akan rasa memiliki dan keadilan merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, pewarisan yang adil penting untuk menjaga keharmonisan keluarga.
4.4 Komparasi Internasional
* **Malaysia**: Mengikuti hukum Islam (Syariah Court) yang sama dengan Indonesia, namun *wasiat wajibah* lebih banyak diterapkan bagi non-muslim yang menjadi kerabat dekat.
* **Mesir**: Ulama Mesir melalui Mahkamah Syariah cenderung memegang teguh larangan waris beda agama, tetapi solusi *hibah* dan *wasiat* diperkuat dalam praktik hukum.
* **Negara Barat**: Waris sepenuhnya diatur oleh hukum negara tanpa mempertimbangkan agama. Kebebasan berwasiat diakui luas, sehingga pewaris bebas menentukan pembagian harta.
4.5 Analisis Maqashid al-Syari‘ah
Dalam perspektif maqashid al-syari‘ah (al-Syatibi, 1982), tujuan hukum Islam adalah menjaga agama (*hifz al-din*), jiwa (*hifz al-nafs*), keturunan (*hifz al-nasl*), akal (*hifz al-‘aql*), dan harta (*hifz al-mal*). Penolakan hak waris anak beda agama dapat bertentangan dengan *hifz al-nasl* dan *hifz al-mal*. Oleh karena itu, solusi *wasiat wajibah* adalah jalan tengah yang sesuai dengan maqashid.#

4. Kesimpulan

1. Hukum Islam klasik menolak kewarisan beda agama, namun solusi seperti *wasiat wajibah* atau hibah dapat menjaga keadilan dan keharmonisan keluarga.
2. Hukum perdata Indonesia dan hukum Barat tidak membatasi warisan berdasarkan agama, menekankan hubungan darah dan perkawinan.
3. Secara psikologis, diskriminasi warisan berpotensi menimbulkan konflik dan keretakan keluarga.
4. Komparasi internasional menunjukkan variasi penerapan: Malaysia dan Mesir tetap ketat berdasarkan syariah, sementara Barat lebih inklusif.
5. Pendekatan maqashid al-syari‘ah dapat menjadi landasan untuk merumuskan hukum kewarisan yang lebih adil dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia.

5. Daftar Pustaka

* Abu Zahrah, M. (1997). *Ushul al-Fiqh*. Kairo: Dar al-Fikr.
* Al-Syatibi, A. (1982). *Al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah*. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
* Al-Zuhaili, W. (1989). *Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu*. Damaskus: Dar al-Fikr.
* Bustaman, H. D. (1995). *Psikologi Agama*. Bandung: Pustaka Setia.
* Hazairin. (1981). *Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis*. Jakarta: Tintamas.
* Ibn Qudamah. (1968). *Al-Mughni*. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
* Khallaf, A. W. (1978). *Ilm Ushul al-Fiqh*. Kairo: Dar al-Qalam.
* Mertokusumo, S. (1988). *Hukum Acara Perdata Indonesia*. Yogyakarta: Liberty.
* Qaradawi, Y. (1995). *Fiqh al-Awlawiyat*. Kairo: Dar al-Shuruq.
* Thouless, R. H. (1992). *An Introduction to the Psychology of Religion*. Cambridge: CUP.

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 59 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

“Cuan” Memboming Dengan Aksi Viral [catatan harian penghulu]

1 Oktober 2025 - 00:03 WIB

Mengapa Verifikasi Calon Pengantin Adalah Keharusan di Era Digital?

30 September 2025 - 11:22 WIB

Musrenbang Sebagai Penjembatan Program KUA Kecamatan

29 September 2025 - 21:27 WIB

Taukil Wali bil lisan melalui daring, apakah diperbolehkan?

29 September 2025 - 16:46 WIB

Menggapai Keluarga SAMARA

29 September 2025 - 11:36 WIB

Pengukuhan dan Rakerwil PW APRI Aceh 2025–2029: Momentum Kebersamaan, Profesionalisme, dan Penguatan Peran Penghulu

29 September 2025 - 06:21 WIB

Trending di Opini
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x