MENINGKATKAN kompetensi adalah sebuah keharusan bagi siapa pun yang ingin terus bertumbuh. Dunia kerja, profesi, maupun kehidupan sosial kita menuntut adanya pembaruan diri. Tanpa kesediaan untuk belajar dan berproses, seseorang akan tertinggal dalam arus perubahan yang semakin cepat.
Sayangnya, tidak sedikit orang yang merasa terancam ketika melihat orang lain lebih unggul. Rekan sejawat, seprofesi, atau bahkan bawahan sekalipun sering dianggap sebagai saingan yang berbahaya. Perasaan “dikangkangi” muncul hanya karena ada orang lain yang punya kelebihan atau kesempatan lebih besar. Padahal, cara pandang seperti itu justru akan mengerdilkan diri kita sendiri.
Sikap terbaik adalah melihat orang lain sebagai mitra, bukan ancaman. Keunggulan rekan kerja mestinya menjadi cermin sekaligus pemacu semangat agar kita ikut meningkatkan kapasitas diri. Allah sendiri telah menuntun kita dalam Al-Qur’an dengan ajakan “fastabiqul khairat”—berlomba-lombalah dalam kebaikan. Artinya, kita didorong untuk bersaing secara sehat, bukan dengan menjatuhkan orang lain, melainkan dengan memperbaiki diri.
Profesi apa pun yang kita jalani, baik guru, penghulu, penyuluh, jurnalis, dokter, pedagang, pengusaha, atau birokrat, semuanya memerlukan sikap rendah hati dalam belajar. Tidak ada yang sempurna. Bahkan dari bawahan, kita bisa belajar cara baru, ide segar, dan semangat yang mungkin sudah mulai luntur dalam diri kita. Justru keberadaan mereka adalah anugerah untuk memperkaya wawasan serta menantang kita agar tidak berhenti di zona nyaman.
Bayangkan jika kita mau membuka diri. Di kantor, keberhasilan seorang teman bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk bekerja sama lebih baik. Di lapangan profesi, prestasi kolega seharusnya menjadi inspirasi agar kita ikut menorehkan kontribusi. Dengan begitu, kita tidak hanya memperbaiki diri, tapi juga ikut membangun lingkungan kerja yang sehat, produktif, dan penuh harmoni.
Hidup ini bukan tentang siapa yang paling tinggi berdiri, melainkan siapa yang paling bermanfaat. Kompetensi tanpa sikap lapang dada akan melahirkan kesombongan. Sebaliknya, sikap lapang dada tanpa kompetensi hanya akan menjadikan kita penonton. Maka keduanya harus berjalan seiring: terus belajar dan terus merendahkan hati.
Jadikanlah setiap orang di sekitar kita sebagai guru. Anggap kelebihan mereka sebagai cahaya yang menuntun kita, bukan api yang membakar iri hati. Dengan begitu, kita akan selalu punya energi baru untuk melangkah maju. Dan pada akhirnya, kita dapat benar-benar hidup sesuai pesan agung itu: berlomba-lomba dalam kebaikan. Insya Allah. Wallahul muwafiq ilaa aqwamith thariq []