PENDAHULUAN
Pasca meninggalnya Rasulullah SAW mulai banyak bermunculan permasalahan-permasalahan baru yang berkaitan dengan agama. Hal ini membuat para sahabat dituntut untuk berijtihaad dengan mengidentifikasi permasalahan yang muncul. Dalam menganalisis permaslahan yang ada, para sahabat berijtihad dengan cara melihat teks al Quran, dan hadis-hadis nabi SAW. Kemudian jika tidak ditemukan jalan keluar, maka para sahabat akan menempuh jalur musyawarah dengan menggunakan ra’yu yakni melalui analisis qiyas dan maslahah (Asriyati 2015).
Masa ini merupakan awal munculnya permasalahan perkembangan hukum islam. Dalam sejarah tercatat bahwa, telah terjadi perkembangan teori dalam hukum islam. Perkembangan ini tentunya berkaitan erat dengan adanya taghayur al-zaman wa al-amkan (Hazairin 1963). Maka hal ini perlu adanya pembaharuan hukum yang menjadi ciri khas dari hukmu al-islam. Konsep maslahah menjadi bahasan yang fundamental dalam perkembangan hukum islam.
Kehadiran para pemikir muslim yang berani untuk menginterpretasikan hukum baru sangatlah dibutuhkan (Alim 2010). Hal ini dikarenakan banyaknya bermunculan problematika umat. Salah satu bentuk jalan istinbat yang bisa dipilih adalah melalui maslahah mursalah.
Maslahah mursalah merupakan salah satu metode yang masyhur digunakan oleh pakar fikih untuk beristinbat. Salah satu ulama yang menggunakan metode ini adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Al-ghazali menggunakannya untuk kasus yang tidak ada nash dalam al quran maupun hadis. Menurut ulama yang masyhur dengan sebutan hujjah al-islam metode maslahah adalah bentuk metode dengan jalan meraih manfaat atau menghindarkan madharat yakni kearah memelihara maudhu’ as-syar’i. Tujuan ini meliputi hifdzu addin, nafs, aql’, nasl, dan mal.
Perkawinan usia dini menjadi salah satu polemik yang hangat diperbincangkan di berbagai daerah. Penentuan usia perkawinan menjadi bukti adanya pembaharuan hukum islam yang mementingkan kemaslahatan. Penentuan batas usia nikah tidak ditentukan oleh syariat. Hal ini menjadikan manusia berusaha untuk berijtihad sendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun dalam merumuskan hukum tetap sejalan dengan tujuan syariat (Rofiq 2013).
Batas usia perkawinan disamaratakan menjadi Sembilan belas tahun bagi laki-laki dan wanita. Perubahan ini terjadi setelah adanya perubahan UU nomor 1 tahun 1974 pada pasal 7 ayat 1 tentang Batasan usia perkawinan, menjadi UU nomor 16 Tahun 2019 yang tertuang dalam pasal 1 ayat 1, bahwa ketentuan pasal 7 diubah sehingga berbunyi, perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan Wanita sudah mencapai umur semilan belas tahun.
Perubahan pasal ini didasari atas beberapa pertimbangan yang matang. Diharapkan dengan perubahan usia minimal perkawinan ini bisa meminimalisir derasnya angka kelahiran dan rasio kematian pada ibu dan anaknya (Zahra dkk 2013).
Adanya perubahan UU tentang batas usia perkawinan tentunya memberikan dampak positif, hal ini dikarenakan perkawinan anak usia dini merupakan hal yang dilematis. Banyak orang tua yang mengabaikan kesiapan dan kematangan psikologi anaknya sehingga mereka sesukanya menikahkan diusia muda.
Dari pemaparan diatas, maka bisa dipahami bahwa teori maslahah mursalah memiliki peranan yang sangat fundamental sebagai alat beristinbat. Pemikiran konsep maslahah al Ghazali ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam dengan menempatkan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang batas usia perkawinan. Apakah batasan usia perkawinan ini sudah sesuai dengan konsep maslahah yang dijelaskan oleh al Ghazali. Oleh karena itu penulis akan menganalisa lebih jauh UU Nomor 16 Tahun 2019 dengan menggunakan konsep maslahah mursalah al Ghazali.
METODE PENELITIAN
Penilitian ini merupakan penelitian pustaka atau libarary research, maksdunya adalah sumber data yang diperoleh penulis melalui sumber kepustakaan (Moleong 2008). Teknik analisis data yang penulis gunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Penulis akan mencoba menganalisa pertimbangan maslahah yang dijadikan dasar perubahan aturan batas minimal perkawinan. Dari kesimpulan yang telah didapat kemudian di analisa apakah benar yang menjadi landasan hukum adalah konsep maslahah al-Ghazali. Langkah-langkah yang penulis lakukan, pertama pengumpulan data, pengorganisasian data, analisis data, dan interpretasi atau temuan dari hasil analisis. Sumber data primer yang penulis gunakan berupa UU Nomor 16 tahun 2019 pasal 1 ayat 1 tentang perubahan pada pasal 7 tentang batas usia perkawinan. Kedua sumber data sekunder sebagai penunjang yakni Kitab al Mustasyfa karya al Ghazali, Kaidah-kaidah fikih karya A. Dzajuli, dan beberapa jurnal, karya ilmiah yang memiliki korelasi dengan pembahasan ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Definisi Maslahah Dan Landasan Hukum
Maslahah Mursalah merupakan memiliki satu kesatuan arti. Ditinjau dari konteks harfiyah, Maslahah mursalah dibangun dari dua kata bentuk masdar dari maslahah dan mursalah. Maslahah merupakan bentuk dari kata so-la-ha dimana maslahah diartikan sebagai perkara yang mendatangkan kebaikan. Sementara itu, pada kalimat mursalah dibentuk dari kata ar-sa-la yang merupakan kata singular bermakna terlepas atau terbebas. Konsep maslahah mursalah tersebut merujuk pada tindakan serta behavior yang diambil demi kemaslahatan umum dimana konsep tersebut tidak dijelaskan secara definitive dalam nash (Khalaf 2004). Maslahah mursalah adalah prinsip yang memungkinkan hukum Islam tetap relevan dengan perubahan zaman dan kondisi sosial.
Dalam kitab al-Mustasyfa al-Ghazali mendefinisikan maslahah sebagai berikut:
المصلحة ما لم يشهد له من الشرع بالبطلان ولا بالاعتبار ن ص معين
“maslahah merupakan sesutau yang tidak ada dalil nash yang membatalkanya dan tidak ada dalil tertentu yang menyinggungnya” (al-Ghazali t.t).
Suatu kemaslahatan haruslah sejalan dengan syariat meski bertentangan dengan maudhu annas. Pandangan al-Ghazali ini didasari karena kemaslahatan manusia itu tidak selamanya didasarkan pada kehendak syara’. Maka kesimpulanya adalah yang membentuk kemaslahatan adalah maudhu’ as-syar’i bukan maudhu’ annas (Hidayatullah 2012).
Landasan hukum yang membentuk konsep maslahah tidak secara eksplisit ditemukan dalam dalil dalil nash. Namun disisi lain banyak yang perkara yang memiki substansi yang menjelaskan konsep maslahah. Adapun landasan hukum yang mendasari diperbolehkannya menggunakan maslahah sebagai salah satu model istinbat hukum terdapat dalam surat Al-Anbiya ayat 107 berikut:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Dan kami mengutusmu, hanya untuk mejadi rahmat bagi seluruh alam.”.
Kemudian yang menjadi landasan maslahah mursalah juga terdapat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah No. 2340 Ad-Daraquthni no. 4540 dalam kitab Al-Arbain An-Nawawi.
قَالَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»حَدِيْثٌ حَسَنٌ..
“Bahwa Rasulallah SAW bersabda tidak ada mudharat dan tidak boleh mendatangkan mudharat”(an-Nawawi t.t).
Konsep Maslahah al Ghazali
Pada corak pemikiran Imam Ghazali dalam kitab Al-Mushtafa ‘Ilm al Ushul dipapaparkan bahwa maslahah mursalah harus berkorelasi dengan tujuan syariah serta harus sesuai dengan subtansi kaidah fiqh yang paling universal yang dijadikan pijakan kaidah fikih lainya yaitu dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (Bakar t.t). Hal tersebut membuat pemahaman yang berbeda (mafhum mukholafah) dibandingakan dengan paradigma ulama lainya.