Layanan Nikah : Menyatukan Regulasi dalam Harmonisasi Pelayanan Publik

Layanan Nikah : Menyatukan Regulasi dalam Harmonisasi Pelayanan Publik

 

Pencatatan pernikahan merupakan bagian krusial dari administrasi kependudukan di Indonesia. Dari proses inilah akan lahir dokumen penting seperti Kutipan Akta Nikah, yang menjadi dasar legal bagi status pernikahan seseorang, sekaligus menjadi prasyarat administratif untuk berbagai layanan publik lainnya. Namun dalam praktiknya, layanan nikah — khususnya antara instansi Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) — masih menghadapi sejumlah tantangan regulatif dan teknis yang berdampak langsung terhadap masyarakat.

_Dua Lembaga, Dua Jalur Regulasi_

Di Indonesia, pencatatan nikah bagi umat Muslim menjadi kewenangan KUA, sedangkan bagi non-Muslim ditangani oleh Dispendukcapil. Ini sesuai dengan amanat UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan turunannya. Di sinilah letak persoalan mulai mengemuka: satu jenis layanan publik namun dijalankan oleh dua instansi berbeda dengan regulasi dan pendekatan prosedural yang berbeda pula.
Perbedaan yang Mendasar: Perspektif Teknis dan Pelayanan
Terdapat beberapa aspek penting yang menunjukkan perbedaan mencolok antara prosedur di KUA dan Dispendukcapil:
1. Aspek Waktu Pelaksanaan. KUA mewajibkan seluruh persyaratan terpenuhi sebelum pelaksanaan akad nikah. Hal ini dikarenakan akad nikah dan pencatatan dilakukan dalam satu waktu oleh Penghulu sebagai petugas pencatat nikah. Sementara itu, Dispendukcapil justru mencatat pernikahan setelah upacara pernikahan dilakukan oleh pemuka agama atau penghayat kepercayaan. Sehingga terjadi jarak waktu antara peristiwa pernikahan dan pencatatannya.
2. Aspek Persyaratan Administratif. KUA mensyaratkan sejumlah dokumen tambahan seperti akta kelahiran, surat kesehatan, surat izin orang tua (jika usia belum 21 tahun), N5, bahkan level instansi PA dll juga terkait dalam urusan dispensasi usia nikah, bahkan status pernikahan yang siri juga diperjelas dengan isbat nikah dulu, dan lain lainnya. Persyaratan ini bukan tanpa alasan; KUA juga menjalankan fungsi pembinaan, pengawasan, dan penguatan keluarga melalui tahapan pemeriksaan dan bimbingan calon pengantin (Bimwin). Di sisi lain, Dispendukcapil lebih sederhana: cukup dengan surat pernyataan dari pemuka agama dan identitas pribadi.
3. Aspek Pelaksanaan dan Pengawasan. Petugas KUA, khususnya Penghulu, hadir langsung dalam proses akad nikah sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi keagamaan dan administrasi negara. Penghulu tidak hanya mencatat, tetapi juga menjadi saksi sah secara hukum dan agama. Sedangkan Dispendukcapil hanya menerima pelaporan berupa dokumen, tanpa keterlibatan dalam proses pernikahan secara langsung.
4. Aspek Prosedur dan Pendampingan. Pemeriksaan fisik calon pengantin dan pemberian edukasi pernikahan merupakan fitur khas layanan KUA yang tidak ditemukan dalam pelayanan Dispendukcapil. Tujuannya jelas: menyiapkan calon pengantin membangun keluarga yang kokoh secara spiritual dan sosial.

_Masalah Serius: Ketidaksinkronan Data dan Ketiadaan Solusi Regulatif_

Namun layanan pernikahan di KUA juga tidak luput dari problematika yang meresahkan, terutama ketika berbenturan dengan dokumen kependudukan lain seperti KTP, KK, dan Akta Kelahiran. Persoalan umum yang sering ditemukan meliputi :
1. Ketidaksesuaian nama, tempat/tanggal lahir, atau nama orang tua anak antara berbagai dokumen.
2. Masih ditemukannya “bukan anak kandung” dalam akta kelahiran dan KM, yang menyulitkan sinkronisasi data sesuai realita pengakuannya
3. Prosedur pembenahan data di Dispenduk yang tidak responsif atau lamban, sehingga menghambat proses pengurusan nikah di KUA.
4. Ketidakjelasan standar layanan yang menyebabkan masyarakat merasa “dilempar-lempar” dari satu instansi ke instansi lain.

Ironisnya, regulasi terbaru di lingkungan Kementerian Agama (misalnya dalam PMA No. 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan) tidak secara eksplisit memuat klausul penting yang seharusnya membantu KUA menghadapi kasus-kasus seperti :
1. Ketiadaan ketentuan bahwa seluruh data administrasi harus seragam dan sinkron.
2. Tidak adanya dasar hukum untuk menolak permohonan nikah karena ketidaksamaan data.
3. Ketiadaan kebijakan yang memperbolehkan diskresi atau Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dalam kondisi data tidak seragam.
4. Tidak jelasnya konsekuensi hukum bagi pejabat KUA yang mengambil kebijakan sendiri (diskresi) ketika harus mengambil keputusan cepat demi pelayanan masyarakat.

_Perlunya Sinergi: KUA dan Dispendukcapil Wajib Duduk Bersama_

Agar layanan pernikahan berjalan optimal dan tidak merugikan masyarakat, perlu ada forum resmi kolaboratif antara Kementerian Agama (melalui KUA) dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Beberapa hal yang harus menjadi agenda utama dalam pembahasan lintas-instansi ini antara lain:
1. Standarisasi data dan sistem pembaruan cepat bila terjadi ketidaksesuaian informasi pada KK, KTP, dan Akta Kelahiran.
2. Pengakuan legalitas dokumen hasil diskresi administratif seperti SPTJM yang dapat digunakan dalam keadaan darurat atau perbedaan kecil data.
3. Pembuatan SOP lintas-instansi yang saling mengikat agar masyarakat tidak menjadi korban ketidaksinkronan sistem dan prosedur.
4. Digitalisasi dan integrasi data antar instansi agar KUA bisa mengakses data kependudukan resmi secara real-time untuk mempercepat verifikasi.
5. Pelatihan bersama dan komunikasi reguler antar petugas di lapangan agar tidak terjadi penumpukan kesalahan atau perbedaan pemahaman regulasi.

_Penutup_

Menuju Pelayanan Nikah yang Terintegrasi dan Manusiawi
Kutipan Akta Nikah bukan sekadar dokumen hukum, tetapi simbol pengakuan negara terhadap ikatan sosial yang sakral. Jika masyarakat masih kesulitan mengaksesnya akibat regulasi yang tumpang tindih dan pelayanan yang tidak seragam, maka negara telah gagal menghadirkan keadilan administratif.
KUA dan Dispendukcapil, sebagai dua pilar pencatatan sipil dan agama, harus bersinergi, bukan berjalan sendiri-sendiri. Digitalisasi, transparansi, dan kolaborasi adalah kata kunci agar layanan pernikahan di Indonesia menjadi lebih efektif, efisien, dan bermartabat.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan