Oleh H. Deni Firman Nurhakim
(Penghulu Ahli Madya / Kepala KUA Karawang Timur)
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan instansi publik terlihat dalam apa yang disebut Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Menurut hasil survei Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kemenag RI tertanggal 13/01/2025 (lihat www.pijakan.balitbangdiklat.net), secara umum, pada tahun 2024 yang lalu IKM terhadap layanan KUA adalah 85,09 (sangat tinggi).
Sekalipun demikian, secara kasuistik ada saja ketidakpuasan masyarakat terhadap layanan KUA. Antara lain soal ketepatan waktu kehadiran penghulu di lokasi akad nikah. Terlebih lagi di bulan-bulan padat pernikahan, seperti Syawal dan Dzulhijjah.
Di bulan yang hari-harinya itu disebut sebagai ‘’Hari Kondangan Nasional’’ tersebut, ada banyak permohonan calon pengantin (catin) kepada KUA untuk menikah di jam-jam utama (prime time), seperti Pukul 8, 9, dan 10. Tapi di sisi lain, terbatasnya jumlah penghulu yang ada tidak memungkinkan untuk memenuhi semua permohonan itu. Sehingga bila tidak diatur sedemikian rupa akan berdampak pada keterlambatan penghulu hadir di lokasi akad.
Tulisan singkat ini berupaya untuk menjelaskan penyebab keterlambatan penghulu datang ke lokasi akad nikah dan menawarkan langkah-langkah antisipasinya berdasarkan pengalaman pribadi penulis.
***
Akad Nikah: Momen Khidmat
Salah satu indikator suksesnya penyelenggaraan akad nikah adalah terlaksana tepat waktu sesuai jadwal. Sohibul Hajat (catin dan keluarga) senang, Wedding Organizer (WO) senang, dan penghulu pun senang.
Namun, selalu ada dinamika yang terjadi di lapangan. Seperti, penghulu datang terlambat; rombongan catin pria terhambat datang tepat waktu; atau bahkan wali nikah berhalangan hadir sesuai jadwal. Akibatnya, pihak yang kecewa akan memasang muka masam sebagai pertanda tidak senang.
Bahkan, dalam kasus penghulu yang datang terlambat, rekan penulis sesama penghulu pernah mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan. Saat datang ke lokasi akad nikah ia disambut dengan semburan kata-kata kasar dari seseorang yang mengundang kontak fisik dengan dirinya bila tidak dilerai oleh hadirin. Pada akhirnya, momen akad nikah yang seharusnya khidmat, sakral, dan mengesankan pun berubah menjadi kacau-balau !
Oleh karena itu, diperlukan kesepahaman dan dukungan dari semua pihak untuk menjaga kekhidmatan dan sakralitas pernikahan dengan membangun komunikasi yang baik sejak awal pendaftaran kehendak nikah. Hal tersebut penting dilakukan agar momentum akad nikah tetap khidmat, dan tidak lantas menjadi bak “kiamat”.
First Come, First Served
Hal pertama yang perlu diketengahkan di sini, dalam pelayanan itu ada prinsip First Come, First Served (datang duluan, dilayani duluan). Prinsip tersebut penting untuk diterapkan agar pelayanan yang dilakukan berjalan tertib.
Begitu pula dalam pelayanan akad nikah. Siapa yang daftar duluan, maka dialah yang berhak untuk dijadwalkan duluan. Prinsip tersebut harus diterapkan dengan tidak pandang bulu. Sama kepada siapapun dan berasal dari lapisan sosial manapun.
Dalam konteks pendaftaran akad nikah secara offline, penjadwalan akad nikah oleh Petugas Penerima Pendaftaran KUA itu harus berdasarkan jumlah penghulu yang bertugas di KUA tersebut. Apabila di KUA itu ada 2 orang penghulu misalnya, maka penjadwalan akad nikah catin oleh KUA di jam yang sama itu adalah maksimal 2 pasang catin.
Dengan demikian, bila datang pasangan catin yang ketiga memohon akad nikah di jam yang sama, maka catin yang datang belakangan ini harus legowo jadwal akad nikahnya dimundurkan ke satu jam berikutnya atau dimajukan ke satu jam sebelumnya yang masih tersedia. Dan pemberitahuan penyesuaian jam tersebut harus langsung disampaikan kepada catin saat pendaftaran nikah. Dengan begitu, kepastian kehadiran penghulu sesuai jadwal menjadi lebih terjamin.
Begitu pula, ketika catin mendaftar nikah secara online di aplikasi SIMKAH Gen.4. Saat catin memilih jam akad nikah dan ternyata jam yang dipilih sudah terisi maksimal, maka sistem akan memberitahu catin agar memilih jam lain yang masih tersedia.
Bila tidak diatur seperti itu, bisa dipastikan akan terjadi keterlambatan penghulu dalam menghadiri acara akad nikah.
Jadwal Akad Nikah = Jadwal Penghulu “Manggung”
Hal berikutnya yang penting juga dipahami oleh semua, penentu jadwal akad nikah itu adalah KUA, bukan catin. Itulah mengapa formulir pendaftaran nikah yang diajukan oleh catin kepada KUA itu disebut permohonan kehendak nikah (Form. N2). Yang namanya permohonan itu bisa disetujui sesuai permohonan atau tidak disetujui, sehingga perlu diubah-sesuaikan dengan ketersediaan penghulu yang ada.
Bila permohonan jam akad nikah telah disetujui oleh KUA, maka semua pihak terkait harus paham bahwa jam tersebut adalah jadwal penghulu ‘’manggung’’, bukan jadwal dimulainya rangkaian acara akad nikah. Misalnya, jadwal yang disetujui itu adalah Jam 9, maka itu artinya Jam 9 tersebut adalah jadwal penghulu mulai memimpin akad nikah. Sehingga bila ada kegiatan semisal upacara adat, sambutan serah-terima dari perwakilan keluarga catin, pembacaan al-Qur’an, pembacaan Deba’/Barzanji, maka itu semua harus dilaksanakan bukan di Jam 9, melainkan 1 jam atau 1,5 jam sebelumnya, yakni Jam 8 atau Jam 7.30 WIB.
Dengan demikian, semua pihak akan nyaman dalam menjalani setiap rangkaian prosesi akad nikah. Penghulu pun tidak terburu-buru dikejar waktu untuk hadir ke lokasi berikutnya. Berdasarkan pengalaman penulis, durasi yang dibutuhkan untuk memimpin akad nikah sampai dengan penyerahan Buku Nikah itu sekitar 15 sampai dengan 20 menit. Terlebih lagi, dengan diwajibkannya catin mengikuti kegiatan Bimbingan Perkawinan (Bimwin), maka pemeriksaan yang mendetail itu sudah dilakukan saat Bimwin. Sehingga saat jelang akad nikah itu, penghulu hanya membacakan secara singkat hasil pemeriksaaan berkas para pihak yang termasuk rukun nikah (nama pasangan catin, wali nikah, dan dua orang saksi nikah).
Bila hal di atas dipedomani bersama oleh semua pihak (sohibul hajat dan WO), maka bisa dipastikan penghulu sudah bisa hadir di lokasi akad nikah itu sebelum jadwal yang telah ditetapkan. Namun bila diabaikan, bak kartu domino, hal itu akan berdampak pada keterlambatan penghulu hadir di lokasi-lokasi berikutnya.
Penutup
‘Alaa kulli haal, untuk kesuksesan penerapan manajemen jadwal akad nikah yang telah diuraikan di muka, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
- KUA dengan segenap SDM yang dimilikinya, utamanya Penghulu dan Penyuluh Agama Islam, melakukan sosialisasi yang massif kepada semua elemen masyarakat tentang prinsip “First Come, First Served (datang duluan, dilayani duluan)” dan “Jadwal Akad Nikah = Jadwal Penghulu ‘Manggung’ “ melalui pelbagai forum, seperti Minggon Kecamatan, Minggon Desa/Kelurahan, atau forum pertemuan formal/nonformal lainnya. Potensi penolakan tentu ada saja. Namun, bila dijelaskan alasannya dengan baik, yakin pada akhirnya warga pun akan bisa menerima;
- Kepala KUA harus menjadi manajer yang mampu mengatur jadwal akad nikah dengan baik dan adil, serta menugaskan penghulu untuk menghadirinya berdasarkan kedekatan akses lokasi akad nikah yang satu dengan lokasi-lokasi berikutnya;
- Penghulu yang ditugaskan oleh Kepala KUA harus proaktif membangun komunikasi yang baik dengan sohibul hajat. Antara lain, dengan memberitahukan rencana kehadirannya kepada catin sehari sebelumnya dan mengingatkan kembali kepada sohibul hajat soal kepatuhan terhadap jadwal akad nikah. Termasuk segera mengkomunikasikan kepada catin bila ada potensi sedikit keterlambatan.
Setelah semua ikhtiar untuk tepat waktu telah dimaksimalkan, namun di luar kuasa kita tetap ada keterlambatan misalnya, maka diharapkan semua pihak bisa menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang merusak kekhidmatan acara akad nikah.
Demikian, semoga bermanfaat.