Belakangan ini, semakin sering kita dengar kalimat “Marriage is scary”—pernikahan itu menyeramkan. Bukan hanya dari remaja yang belum menikah, tapi juga dari orang-orang yang pernah atau sedang menjalani pernikahan. Ungkapan ini menggambarkan ketakutan yang cukup serius dan meluas: takut gagal membina rumah tangga, takut disakiti pasangan, takut kehilangan kemandirian, hingga takut tidak bisa memenuhi ekspektasi masyarakat dan keluarga.
Rasa takut terhadap pernikahan adalah hal yang manusiawi. Dalam psikologi, rasa takut merupakan bentuk pertahanan diri terhadap sesuatu yang dianggap berisiko atau mengancam. Masalahnya, jika rasa takut ini tidak dikaji dan dikelola, ia bisa berubah menjadi kecemasan berlebihan, bahkan membuat seseorang enggan menikah sama sekali.
Ketakutan ini sering kali tidak datang dari pengalaman pribadi, melainkan dari cerita-cerita buruk di sekitar kita—perceraian orang tua, kasus KDRT, perselingkuhan, tekanan ekonomi, atau bahkan tontonan yang menampilkan rumah tangga sebagai ladang konflik tak berkesudahan. Semua itu menumpuk dan membentuk persepsi: pernikahan bukan solusi, melainkan sumber masalah.
Padahal dalam Islam, pernikahan justru diposisikan sebagai solusi fitrah manusia. Rasulullah SAW bersabda, “Nikah itu bagian dari sunnahku. Siapa yang tidak suka kepada sunnahku, maka ia bukan bagian dari golonganku.” (HR. Ibnu Majah). Pernikahan adalah ibadah, bukan jebakan. Ia adalah ikatan suci yang memuliakan hubungan laki-laki dan perempuan dalam kerangka tanggung jawab dan kasih sayang.
Nabi Muhammad SAW memberikan teladan yang sangat indah dalam membina rumah tangga. Beliau tidak pernah menjadikan pernikahan sebagai beban, tetapi sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang kuat. Bersama Khadijah RA, Nabi menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh cinta dan pengorbanan. Ketika Khadijah wafat, Nabi tidak berhenti menikah, melainkan terus membangun hubungan yang membawa maslahat—baik sosial, spiritual, maupun politik.
Rumah Nabi bukanlah rumah yang steril dari persoalan, namun beliau selalu menyelesaikan konflik dengan kelembutan, kesabaran, dan komunikasi yang baik. Bahkan dalam beberapa riwayat, beliau membantu pekerjaan rumah, menjahit sendiri bajunya, dan memanggil istrinya dengan panggilan mesra. Semua ini menegaskan bahwa pernikahan dalam Islam adalah ladang amal dan cinta, bukan ladang derita.
Sayangnya, banyak anak muda yang menunda atau menghindari pernikahan karena merasa “belum siap”. Namun, siap seperti apa yang ditunggu? Apakah harus mapan secara finansial? Harus stabil emosinya? Harus selesai dengan masa lalu? Jika semua itu menjadi syarat, maka bisa jadi tidak ada seorang pun yang benar-benar siap menikah.
Kesiapan dalam pernikahan bukanlah kondisi absolut yang harus ada sejak awal. Ia justru dibentuk dan dilatih dalam proses pernikahan itu sendiri. Sebab, pernikahan bukanlah tujuan akhir, melainkan awal perjalanan. Ia bukan hanya soal romantisme, tetapi tentang komitmen untuk tumbuh bersama dalam suka maupun duka.
Alih-alih terjebak dalam rasa takut, generasi hari ini perlu diajak untuk memahami pernikahan dengan cara yang lebih jernih. Belajarlah dari teladan Nabi, perdalam ilmu tentang relasi keluarga, dan bangun niat menikah karena Allah, bukan semata karena tekanan sosial. Karena pernikahan yang diberkahi bukanlah yang sempurna, melainkan yang dijalani dengan kesungguhan dan akhlak yang baik.
Pernikahan juga bukan ajang pamer kebahagiaan di media sosial, tetapi tempat belajar memahami, mengalah, dan berkomunikasi. Rumah tangga yang sehat bukanlah yang bebas dari konflik, melainkan yang mampu menyelesaikan konflik dengan kepala dingin dan hati yang lapang.
Sudah saatnya narasi “Marriage is scary” digantikan dengan “Marriage is sacred”. Kita tidak boleh membiarkan ketakutan kolektif mengaburkan nilai-nilai luhur dari pernikahan itu sendiri. Karena yang menakutkan bukan pernikahannya, tetapi ketidaksiapan, ketidaktahuan, dan keengganan untuk belajar dan bertanggung jawab.
Pernikahan adalah ladang ibadah. Di dalamnya, dua insan saling menguatkan, saling menyempurnakan kekurangan, dan bersama-sama mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketika dijalani dengan ilmu, iman, dan niat yang lurus, pernikahan tidak lagi tampak menyeramkan—melainkan menjadi jalan menuju ketenteraman dan surga.
Wallahu a’lam.