Maslahah Mursalah dalam Hukum Keluarga Islam
Pandangan manusia sebagai Kholifah fil ardh menjadi dasar bahwa Tuhan sangat memuliakan ciptaan-Nya dengan kemuliaan dan hormat. Sehingga hukum buatan manusia seharusnya tidak mereduksi kemuliaan dan hormat sebatas yang dikatakan dalam undang-undang. Hukum progresif memahami konsep keadilan sebagai hukum yang benar-benar memperhatikan sumber-sumber hukum yang baru untuk tercapainya keadilan. Sehingga tidak lagi mendasar bahwa wanita dan anak adalah subyek hukum yang paling lemah
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan.[1] Menurut bahasa aslinya kata maslahah berasal dari kata salahu, yasluhu, salahan, صلح , يصلح , صلاحا artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.[2] Sedang kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama (al-Qur’an dan al-Hadits) yang membolehkan atau yang melarangnya.[3]
Menurut Abdul Wahab Khallaf, maslahah mursalah adalah maslahah di mana syari’ tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudkan maslahah, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.[4]
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahra, definisi maslahah mursalah adalah segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ (dalam mensyari’atkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya.[5]
Dengan definisi tentang maslahah mursalah di atas, jika dilihat dari segi redaksi nampak adanya perbedaan, tetapi dilihat dari segi isi pada hakikatnya ada satu kesamaan yang mendasar, yaitu menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam al-Qur-an maupun al-Sunnah, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan.
- Landasan Hukum Maslahah al-Mursalah
Sumber asal dari metode maslahah mursalah adalah diambil dari alQur’an maupun al-Sunnah yang banyak jumlahnya, seperti pada ayat-ayat berikut:
- S. Yunus : 57
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ ٥٧
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.S. Yunus : 57)
- S. Yunus : 58
قُلۡ بِفَضۡلِ ٱللَّهِ وَبِرَحۡمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلۡيَفۡرَحُواْ هُوَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ ٥٨
Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (Q.S. Yunus : 58).
- S. Al-Baqarah : 220
فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۗ وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡيَتَٰمَىٰۖ قُلۡ إِصۡلَاحٞ لَّهُمۡ خَيۡرٞۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ ٱلۡمُفۡسِدَ مِنَ ٱلۡمُصۡلِحِۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَعۡنَتَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٢٢٠
Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Baqarah : 220)
Sedangkan nash dari al-Sunnah yang dipakai landasan dalam mengistimbatkan hukum dengan metode maslahah mursalah adalah Hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Majjah yang berbunyi:
حدثنا محمد بن يحي , حدثنا عبدالرزاق . انبٲ نا معمر عن جابر الجعفى عن عكرمة عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : الضرر والضرا ر[6].
Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur Razzaq bercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn Abbas: Rasulullah SAW bersabda, “ tidak boleh membuat mazdarat (bahaya) pada dirinya dan tidak boleh pula membuat mazdarat pada orang lain”. (HR. Ibn Majjah)
Atas dasar al-Qur’an dan al-Sunnah di atas, maka menurut Syaih Izzuddin bin Abdul Salam, bahwa maslahah fiqhiyyah hanya dikembalikan kepada dua kaidah induk, yaitu:
د رء المفاسد .1 Artinya: Menolak segala yang rusak
جلب المصالح .2 Arinya: Menarik segala yang bermasalah[7]
Sementara itu Prof. Dr. Hasbi Asy-Siddieqy mengatakan bahwa kaidah kully di atas, pada perkembangan berikutnya dikembangkan menjadi beberapa kaidah pula, diantaranya adalah:
ان الضرر يزال .1
ان الضرر ال يزال بالضرر .2
وان د رء المفسدة مقدم على جلب المصلحة .3
ان الضرر الخاص يحتمل لد فع الضررالعام .4
انه يرتكب اخف الضررين .5
ان الضرورات تبيح المحظورات .6
ان الحاجة تنزل منزلة الضرورة .7
ان الحرج مرفوع .8
ان المشقة تجلب التيسير .9
Artinya :
- Sesungguhnya kemazdaratan itu harus dihilangkan
- Sesunggunhnya kemazdaratan itu tidak boleh dihilangkan dengan membuat kemazdaratan pula
- Sesungguhnya menolak kemazdaratan harus didahulukan atas menarik kemaslahatan
- Sesungguhnya kemazdaratan yang khusus harus dipikul untuk menolak kemazdaratan umum.
- Sesungguhnya harus dikerjakan (dilakukan) kemazdaratan yang lebih ringan dari kedua kemazdaratan.
- Sesungguhnya segala yang darurat (yang terpaksa dilakukan) membolehkan yang terlarang Sesungguhnya hajat itu di tempatkan di tempat darurat Sesungguhnya kepicikan itu harus dihilangkan
- Sesungguhnya kesukaran itu mendatangkan sikap kemudahan[8].
Pemikiran at-Tûfî tentang kemaslahatan berbeda dengan para pendahulunya, semisal al-Ghazali atau asy-Syâtibî at-Tûfî merumuskan teori maslahah-nya. Menurut at-Tûfî, tujuan utama hukum Islam adalah memberikan perlindungan terhadap kemaslahatan manusia. Artinya, manusia memiliki hak untuk memperoleh kemaslahatan bagi dirinya. Menurut at-Tûfî, ada dua hak yang dimiliki manusia berkaitan dengan kemaslahatan ini, yaitu hak Allah dan hak manusia. Hak Allah terdiri dari hal-hal yang terkait dengan ibadah dan akidah. Hak Allah ini termaktub di dalam nash. Oleh karena itu, manusia wajib menaati isi dari nash yang mengatur dirinya. Sementara itu, hal-hal yang berkaitan dengan diri manusia itu menjadi hak atau kewenangan manusia. Kalau ada sumber di luar dirinya, termasuk dalam hal ini adalah nash, maka manusia berhak menolak nash. Artinya, kemaslahatan manusia yang menjadi hak manusia lebih didahulukan dari hak Allah (nash)[9].
Tolok ukur kemaslahatan, menurut at-Tûfî, didasarkan pada perspektif manusia sehingga perlindungan terhadapnya dalam masalah hukum muamalat lebih didahulukan atas pertimbangan hukum lain, termasuk dari al-Quran, asSunnah al-Makbûlah, dan ijmâ.‘ Artinya, jika ada nash yang tidak selaras dengan kemaslahatan manusia, maka kemaslahatan manusia harus diberi prioritas di atas nash[10]. Cara menentukan kemaslahatan, kata at-Tûfî, adalah melalui cara-cara yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu sifat-sifat alami, pengalaman-pengalaman hidup manusia sendiri, dan tuntunan akal atau intelegensinya sendiri. Dengan kata lain, hakim tertinggi dari kemaslahatan kehidupan manusia bukanlah teks-teks keagamaan atau kesimpulan ahli hukum, melainkan tuntutan-tuntutan akal atau intelegensia dalam seluruh kehidupan manusia itu sendiri[11]. Dari pendapat at-Tûfî ini dapat disimpulkan bahwa kemaslahatan berdasarkan perspektif manusia ini dapat dijadikan sebagai dalil yang mandiri tanpa harus dijustifikasi oleh dalil atau sumber hukum lainnya[12]. Pendapat at-Tûfî ini memang revolusioner dibanding dengan pendapat para ulama sebelumnya, sebut saja misalnya, tokoh mazhab Hanafî, Mâlikî, Syâfi‘î, dan Hanbalî. Di antara keempat ini tidak ada satu pun yang melegalisasikan kemaslahatan berdasarkan perspektif manusia sebagai dalil hukum yang mandiri. Oleh karena itu, oleh berbagai kalangan dikatakan bahwa at-Tûfî telah melakukan dekonstruksi sumbersumber hukum Islam
- Syarat-Syarat Maslahah al-Mursalah
Maslahah mursalah sebagai metode hukum yang mempertimbangkan adanya kemanfaatan yang mempunyai akses secara umum dan kepentingan tidak terbatas, tidak terikat. Dengan kata lain maslahah mursalah merupakan kepentingan yang diputuskan bebas, namun tetap terikat pada konsep syari’ah yang mendasar. Karena syari’ah sendiri ditunjuk untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat secara umum dan berfungsi untuk memberikan kemanfaatan dan mencegah kemazdaratan (kerusakan). Kemudian mengenai ruang lingkup berlakunya maslahah mursalah dibagi atas tiga bagian yaitu:
- Al-Maslahah al-Daruriyah, (kepentingan-kepentingan yang esensi dalam kehidupan) seperti memelihara agama, memelihara jiwa, akal, keturunan, dan harta.
- Al-Maslahah al-Hajjiyah, (kepentingan-kepentingan esensial di bawah derajatnya al-maslahah daruriyyah), namun diperlukan dalam kehidupan manusia agar tidak mengalami kesukaran dan kesempitan yang jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan kerusakan dalam kehidupan, hanya saja akan mengakibatkan kesempitan dan kesukaran baginya.
- Al-Maslahah al-Tahsiniyah, (kepentingan-kepentingan pelengkap) yang jika tidak terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan kesempitan dalam kehidupannya, sebab ia tidak begitu membutuhkannya, hanya sebagai pelengkap atau hiasan hidupnya.[13]
Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan hukum Islam, maka harus mempunyai dua dimensi penting, yaitu sisi pertama harus tunduk dan sesuai dengan apa yang terkandung dalam nash (alQur’an dan al-Hadits) baik secara tekstual atau kontekstual. Sisi kedua harus mempertimbangkan adanya kebutuhan manusia yang selalu berkembang sesuai zamannya. Kedua sisi ini harus menjadi pertimbangan yang secara cermat dalam pembentukan hukum Islam, karena bila dua sisi di atas tidak berlaku secara seimbang, maka dalam hasil istinbath hukumnya akan menjadi sangat kaku disatu sisi dan terlalu mengikuti hawa nafsu disisi lain. Sehingga dalam hal ini perlu adanya syarat dan standar yang benar dalam menggunakan maslahah mursalah baik secara metodologi atau aplikasinya.