Menu

Mode Gelap

Artikel · 1 Okt 2025 12:24 WIB ·

Memaknai Kesaktian Pancasila dari Meja Akad Nikah: Refleksi Seorang Penghulu

Penulis: Muhammad Ismail


 Memaknai Kesaktian Pancasila dari Meja Akad Nikah: Refleksi Seorang Penghulu Perbesar

Tanggal 1 Oktober 2025. Setiap tahun, bangsa kita berhenti sejenak untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Sebuah hari yang menjadi pengingat bahwa ideologi bangsa kita pernah coba digoyahkan, namun tetap berdiri kokoh. Di tengah hiruk pikuk perbincangan nasional, mungkin ada yang bertanya, apa relevansi Hari Kesaktian Pancasila bagi kami, para pelayan masyarakat di tingkat kecamatan, seperti seorang Penghulu di Wonosari, Klaten? Jawabannya, sangat relevan. Sebab, kesaktian Pancasila sesungguhnya tidak hanya teruji di medan perang, tetapi juga diuji dalam sunyinya ruang konseling dan khidmatnya meja akad nikah.
<span;>​Bagi seorang Penghulu, Pancasila bukanlah sekadar hafalan atau lambang di dinding kantor. Ia adalah ruh dan panduan dalam setiap aspek kinerja. Tugas kami bukan hanya menikahkan dua insan secara sah menurut agama dan negara, tetapi juga meletakkan fondasi bagi unit terkecil bangsa, yaitu keluarga. Dari sinilah kesaktian Pancasila dipertahankan dan diwariskan. ​Implementasi Nilai Pancasila dalam Kinerja Penghulu
Bagaimana Pancasila menjelma dalam tugas keseharian kami? Mari kita bedah satu per satu.

• ​Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa Inilah napas dari profesi kami. Setiap prosesi akad nikah yang kami pimpin adalah peneguhan nilai Ketuhanan. Kami memastikan bahwa pernikahan, sebagai sebuah ikatan suci (mitsaqan ghalidzan), dimulai dengan menyebut nama Tuhan. Dalam bimbingan perkawinan, kami selalu menekankan bahwa fondasi utama keluarga adalah ketakwaan. Keluarga yang dibangun di atas nilai spiritual akan lebih tangguh menghadapi badai kehidupan. Inilah cara kami menanamkan sila pertama, membangun masyarakat yang religius dan beradab dari unit terkecilnya.

Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Di meja kami, semua calon pengantin diperlakukan setara. Tidak ada perbedaan status sosial, ekonomi, atau latar belakang. Kami memastikan hak dan kewajiban suami-istri, seperti mahar dan persetujuan wali, terpenuhi secara adil. Proses bimbingan perkawinan adalah sarana kami menanamkan pentingnya saling memanusiakan pasangan, berkomunikasi dengan adab, dan menjauhi kekerasan dalam rumah tangga. Keluarga yang adil dan beradab adalah cerminan langsung dari sila kedua.

Sila Ketiga: Persatuan Indonesia Setiap keluarga yang kami satukan adalah simpul kecil dari tenun kebangsaan Indonesia. Pernikahan seringkali menyatukan dua keluarga besar dengan latar belakang suku, budaya, atau kebiasaan yang berbeda. Tugas kami adalah membantu mereka menemukan titik temu dan harmoni. Dengan membentuk keluarga yang kokoh, kami secara langsung berkontribusi pada persatuan bangsa. Keluarga yang rapuh dan terpecah belah adalah ancaman kecil bagi ketahanan sosial. Sebaliknya, keluarga yang bersatu adalah benteng pertama persatuan Indonesia.
• ​Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan Prinsip musyawarah mufakat adalah kunci utama dalam bimbingan dan mediasi keluarga. Kami mengajarkan kepada calon pengantin dan pasangan suami-istri untuk menyelesaikan setiap masalah rumah tangga melalui dialog (musyawarah<span), bukan dengan ego atau kekerasan. Suami dan istri adalah mitra yang setara, di mana setiap keputusan besar harus diambil melalui pertimbangan bersama. Keluarga yang “demokratis” dan penuh hikmah akan melahirkan generasi yang menghargai perbedaan pendapat dan mampu mencari solusi bersama.
Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Tugas kami dalam mencatat pernikahan adalah wujud kehadiran negara untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga. Dengan buku nikah, hak-hak istri dan anak-anak di masa depan (seperti waris, akta kelahiran, dan nafkah) menjadi terlindungi. Pelayanan yang kami berikan tanpa diskriminasi, baik bagi yang mampu maupun yang kurang mampu, adalah bentuk implementasi keadilan sosial dalam pelayanan publik. Keluarga yang sejahtera dan terjamin hak-haknya secara hukum adalah pilar utama terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.

Penutup: Dari Wonosari untuk Indonesia

Memperingati Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2025 ini adalah momentum bagi kita semua untuk merefleksikan kembali peran masing-masing. Bagi kami di KUA Kecamatan Wonosari, kesaktian Pancasila diwujudkan bukan dengan angkat senjata, melainkan dengan tinta di atas buku nikah, dengan nasihat tulus di ruang bimbingan, dan dengan doa di setiap ijab kabul yang kami saksikan.
Kinerja kami adalah upaya senyap untuk memastikan nilai-nilai luhur Pancasila hidup, tumbuh, dan berakar kuat dalam setiap keluarga yang kami layani. Karena kami percaya, bangsa yang tangguh lahir dari keluarga yang kukuh. Dan keluarga yang kukuh adalah keluarga yang dibangun di atas pondasi Pancasila.

1 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 46 kali

Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Sekolah Dibangun, Pernikahan Dini Menurun,* Sebuah Harapan Baru

14 November 2025 - 17:17 WIB

Telaah Peran Penghulu di Masa Kolonial: Antara Adat, Agama, dan Kekuasaan

11 November 2025 - 14:35 WIB

“Kuntul Baris” KUA Delanggu

10 November 2025 - 10:10 WIB

Lebih dari Sekadar Upacara: Meneladani Semangat Pahlawan dalam Tugas Pelayanan Publik Peringatan Hari Pahlawan dan Makna “Kepahlawanan” Masa Kini

10 November 2025 - 09:23 WIB

Mengarungi Bahtera dengan Cinta dan Iman, Sebuah Nasehat Untuk Pengantin Baru

7 November 2025 - 15:10 WIB

Kabupaten Klaten Gelar Apel Kesiapsiagaan Bencana dan Peralatan Tahun 2025: Perkuat Sinergi Hadapi Potensi Bencana

7 November 2025 - 13:24 WIB

Trending di Artikel
1
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x