AHAD, 21 September 2025 M bertepatan dengan 27 Rabiul Awwal 1447 H, saya mendapat kehormatan untuk hadir sekaligus menyampaikan taushiah pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Jamik Al-Muhajjirin Kampung Tanoh Abu, Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah.
Acara ini diprakarsai oleh remaja masjid, dihadiri tokoh agama, tokoh pendidikan, masyarakat, termasuk Mukim Burni Reje Linge, serta para perangkat kampung.
Dengan iringan shalawat yang dilantunkan oleh 2 remaja putri Kampung Tanoh Abu, sambutan panitia, sambutan Reje, suasana menjadi semakin khidmat dan penuh semangat kebersamaan.
Dalam kesempatan itu saya mengajak jamaah untuk kembali menelusuri sejarah kelahiran manusia pilihan, Rasulullah Muhammad SAW. Beliau lahir pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal Tahun Gajah.
Disebut Tahun Gajah karena pada masa itu terjadi peristiwa besar: pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah di Mekkah.
Namun dengan kuasa Allah, pasukan itu dibinasakan melalui burung Ababil yang melempari mereka dengan batu dari sijjil. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Fil.
Hikmah yang bisa kita renungkan adalah bahwa betapapun besar kekuatan manusia, sehebat apapun jabatan, pangkat, dan kuasa yang dimiliki, semuanya akan sirna jika Allah berkehendak.
Abrahah dengan bala tentara dan gajah-gajahnya yang gagah perkasa tidak mampu melawan kekuasaan Allah yang mutlak. Dari situ kita belajar bahwa hanya dengan izin Allah segalanya dapat terjadi, kun fayakun.
Dalam suasana itulah lahir manusia pilihan yang akan membawa perubahan besar bagi dunia, Muhammad SAW. Beliau hadir membawa risalah Islam yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, minaz zhulumaati ilan nuur.
Beliau menjadi suri teladan dalam segala aspek kehidupan. Allah menegaskan dalam firman-Nya: “Laqad kana lakum fii rasuulillaahi uswatun hasanah” — sungguh pada diri Rasulullah itu ada teladan yang baik bagi kalian.
Kita sebagai umatnya patut berbangga dan bersyukur. Karena kita termasuk pengikut Rasulullah, semoga kelak kita memperoleh syafaat beliau di hari akhir.
Namun, kebanggaan itu tentu tidak boleh hanya berhenti pada kata-kata. Ia harus diwujudkan dalam amal, dalam usaha meneladani beliau dalam kehidupan sehari-hari.
Rasulullah pernah bersabda: “Innamaa bu’itstu liutammima makaariimal akhlaaq” — sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Inilah inti dari dakwah beliau.
Maka memperingati maulid sejatinya bukan sekadar seremonial, melainkan momentum untuk memperkuat akidah, memperbaiki ibadah, dan memperindah akhlak.
Rasul juga meninggalkan dua warisan yang sangat berharga: Al-Qur’an dan Sunnah. Dua pedoman inilah yang harus kita pegang teguh agar tidak tersesat dalam hidup.
Menjalankan syariat Islam berarti taat kepada Allah dan Rasul. Namun dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kita juga diajarkan untuk taat kepada pemerintah selama tidak bertentangan dengan syariat.
Ketaatan ini perlu dipahami secara luas, termasuk dalam hal pernikahan. Menikah bukan sekadar urusan pribadi, melainkan ibadah yang diatur dalam syariat dan juga administrasi negara. Dari sisi agama, pernikahan harus memenuhi rukun dan syarat yang sah.
Dari sisi pemerintahan, pernikahan harus tercatat di KUA, umur calon mempelai harus sesuai aturan, dan dokumen harus lengkap. Inilah bentuk ketaatan ganda: kepada Allah melalui syariat-Nya, dan kepada negara melalui aturan hukum yang berlaku.
Dalam momentum maulid, kita juga perlu memperkuat ukhuwah dan silaturrahmi. Rasulullah mencontohkan kehidupan yang penuh kasih sayang, saling menolong, dan menghargai satu sama lain.
Sebagai orang tua, kita harus meneladani beliau dalam mendidik anak-anak dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Sebagai pemuda, kita harus mengambil semangat perjuangan beliau, berani berkorban, jujur, disiplin, dan bekerja keras.
Hari ini, umat Islam menghadapi berbagai tantangan, baik dari sisi moral, sosial, maupun teknologi. Arus globalisasi membawa dampak positif sekaligus negatif.
Anak-anak muda kita mudah terpengaruh oleh budaya luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Di sinilah pentingnya kita kembali ke teladan Rasulullah. Kita jadikan beliau sebagai kompas dalam melangkah, agar tidak tersesat dalam pusaran zaman.
Peringatan maulid bukan sekadar mengenang kelahiran Nabi, melainkan juga ajang muhasabah: sudah sejauh mana kita meneladani akhlak beliau?
Apakah kita sudah benar-benar menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman? Ataukah kita hanya sebatas merayakan tanpa mengamalkan? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu kita renungkan bersama.
Semoga dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini, kita semakin mantap dalam berakidah, rajin dalam beribadah, dan indah dalam berakhlak.
Semoga kita mampu menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam setiap peran: sebagai anak, sebagai ayah, sebagai pemuda, sebagai pemimpin, dan sebagai warga negara.
Dengan begitu, insyaAllah kita bukan hanya berbangga menjadi umat beliau, tetapi juga benar-benar layak untuk mendapat syafaatnya kelak. Aamiin.
Oleh: Mahbub Fauzie, S.Ag., M.Pd; Penghulu Ahli Madya & Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah.