Oleh :
KHAERUL UMAM, S.Ag*)
(Penghulu Ahli Madya KUA Pakuhaji)
A. PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin yang terbentuk antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai sepasang suami istri. Pernikahan dapat dikatakan sebagai sebuah ikatan suci bagi kedua manusia untuk dapat berhubungan secara sah. Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan, bahwa pernikahan adalah akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan yang juga merupakan aktualisasi litanāsul al-insāniyyah. Setiap manusia di dalam menjalin hubungan, ada hal yang harus didapatkan dan juga ada kewajiban yang harus ditunaikan. Kewajiban terhadap orang lain menjadi tanggung jawab sosial termasuk hubungan suami istri, sudah menjadi rumus hukum yang sama-sama harus dilakukan, maka disinilah Islam mengatur hubungan rumah tangga, bahwa suami harus memberikan hak-hak istri dengan memberikan nafkah dan istri memberikan hak-hak suami dengan melayaninya, memelihara, dan mendidik anak-anaknya. Sebuah ikatan pernikahan inilah menjadi ikatan yang sama-sama harus dijaga keberlangsungannya dengan memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing. Istri bertanggung jawab atas pemeliharaan rumah tangga dan taat pada sang suami, sebaliknya, suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istri, memberi belanja kepada istri.
Kasus-kasus di masyarakat yang kerap kali muncul Adalah adanya ketimpangan pada salah satu pihak, seperti suami kaya, istri miskin atau sebaliknya, istri kaya suami miskin. Bagaimana nafkah dalam kondisi yang demikian? Apakah hanya dilihat berdasarkan kondisi suami? Misalnya suami dari kalangan elit dan istri dari kalangan tidak punya. Apakah besaran nafkahnya juga harus besar? atau sebaliknya, istri kaya suami tidak punya, apakah dilihat berdasarkan kondisi istri ataukah dipertimbangkan keadaan dan kondisi keduanya? Mengapa suami wajib memberi nafkah? nafkah apa saja yang harus di berikan suami kepada istri ? Di mana batas suami wajib memberikan nafkah kepada sang istri? Tulisan ini mencoba mengulas dan menghadirkan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Semoga bermanfaat..!
B. PEMBAHASAN
- Definisi Nafkah
Nafkah berasal dari bahasa Arab yaitu al-nafaqah: al-maṣrūfu wa al-infāqu artinya biaya belanja, pengeluaran uang, dan biaya hidup . Nafkah secara bahasa adalah pengeluaran harta kepada diri sendiri atau keluarga (Syekh Murtadla az Zabidi, Tajul `Arus min Jawahiril Qamus, XIII/464, Darul Kutub Al Ilmiyah, 2015). Nafkah menurut bahasa adalah al-ikhrāju wa al-dhahābu (mengeluarkan harta benda). Nafkah kemudian digunakan untuk merujuk kepada sesuatu yang diberikan kepada orang yang menjadi tanggungannya. Dalam Fikih, Nafkah adalah kecukupan yang diberikan seseorang dalam hal makanan, pakaian dan tempat tinggal kepada keuarganya. Tidak hanya tiga hal pokok tersebut, melainkan segala hal pokok yang menjadi kelaziman dalam menopang kehidupan seseorang, seperti pengobatan, perawatan dan pendukung kehidupan lainnya. Sedangkan menurut istilah adalah pemenuhan kebutuhan istri berupa ṭa’ām (makanan), maskan (tempat tinggal), pelayanan, dan pengobatan walaupun istri dalam kondisi kaya atau berkelebihan.(Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1995: 539).
Nafkah menurut para fuqaha adalah:
النفقة هي إخراج الشخص مؤونة من جتب عليه نفقته من خبز, وأدمكسوة, ومسكن, و وما يتبع ذلك من مثن ماء, ودهن, ومصباح, وحنو ذلك
Artinya: “Nafkah adalah membelanjakan atau mentasarufkan uang kepada orang yang wajib diberikan nafakah/menerima nafakah berupa roti, lauk makanan, asesoris(pakaian) rumah, dan apa yang berkaitan dengan harga air, emas, lampu, dan hal-hal yang serupa dengan itu” (Abdur Raḥman al-Jazīri, al-Fiqh ‘Alā al-Madhāhib al-Arba’ah, Beirut: Dār alFikr, 2002, hlm 426).
Sebagaimana juga dikatakan bahwa nafkah:
كفاية من يمونه من الطعام والكسوة والسكن
Artinya:“Mencukupi apa yang menjadi kebutuhan orang yang dalam tanggungannya berupa makanan, pakaian dan rumah tempat tinggal” (Abdur Raḥman al-Jazīri, Ibid: 485). Sedangkan menurut Syekh Muhammad Ali Ibnu Allan as Shadiqi adalah pemberian kepada seseorang yang ditanggungnya seperti istri, anak, dan pembantu baik berupa pakaian, harta, dan tempat tinggal. (Kitab Dalilul Falihin lithuruqi Riyadlis Shalihin, III/94, Darul Kutub Al Ilmiah, 2017).
Sementara itu menurut Syaikh Wahbah Al-Zuhailiy, nafkah adalah sesuatu yang ditasarufkan seseorang kepada keluargannya (Wahbah Al- Zuhailiy, 1989:765). Dari definisi Wahbah Al- Zuhailiy ini, nafkah itu umum, bisa mencakup material dan bisa mencakup non-materi, sehingga kewajiban seorang suami adalah memberikan nafkah materi dan non-materi. Menurut para ulama, nafkah merupakan kewajiban yang final dan telah ditetapkan dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas (Abu Zahrah, Aḥwāl Shakhṣiyah, Beirut: Dār al-Fikr, 1951: 232).
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh suami kepada istri, baik berupa materi yakni kebutuhan bersifat benda, ataupun non-materi yakni kebutuhan yang bersifat batiniyah, psikologis.
- Dalil Wajibnya Nafkah
Nafkah adalah segala yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam konteks ini adalah nafkah yang diberikan suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya. Memberi nafkah kepada istri hukumnya wajib menurut Al-Qur’an, hadits, dan ijma’. Ada pun dalilnya dari Al-Qur’an antara lain sebagai berikut:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Artinya: “Hendaklah orang yang mempunyai keluasan (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas (disempitkan) rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. At-Talaq: 7).
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf “ (QS. Al-Baqarah: 233).
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka..” (QS. At-Thalaq: 6).
Dalil dari hadits, di antaranya sebagai berikut:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah; Shahih).
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita. Sesungguhnya kalian telah mengambil mereka sebagai amanat Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah, dan mereka wajib menjaga untukmu supaya tidak ada seorang lelaki pun yang kamu benci memasuki kamarmu. Apabila mereka melakukan itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Dan kalian wajib memberi makan dan pakaian kepada mereka secara ma’ruf.” (HR. Muslim).
عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِىِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
Artinya: “Dari Muawiyah al-Qusyairi, ia berkata, aku bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak istri kami?” Beliau bersabda, “Engkau memberinya makan apa yang engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul mukanya, janganlah engkau menjelekannya, dan janganlah engkau meninggalkannya melainkan masih dalam satu rumah.” (HR. Abu Dawud; Hasan).
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ ، وَلَيْسَ يُعْطِينِى مَا يَكْفِينِى وَوَلَدِى ، إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهْوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku sehingga aku mesti mengambil darinya tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah apa yang mencukupi untuk keperluan kamu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan dalil dari ijma’, Imam Ibnu Qudamah mengatakan, “Para ulama sepakat tentang kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri-istrinya jika suami sudah berusia baligh kecuali kalau istrinya itu berbuat durhaka.” Berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits di atas hak nafkah istri dari suaminya adalah tempat tinggal, makanan, dan pakaian. Namun, di samping makanan, pakaian, dan tempat tinggal, Syekh Az-Zuhayli menambahkan lauk-pauk, alat kecantikan, peralatan rumah tanggal, termasuk asisten rumah tangga.
Sementara itu berdasarkan aturan regulasi atau perundang-undangan di Indonesia masalah nafkah yang termasuk ke dalam pembahasan hak dan kewajiban suami isteri ini diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab VI Pasal 30-34, dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam Bab XII Pasal 77-84 (Ahmad Rofiq, 1997: 183).
- Penyebab adanya Kewajiban Nafkah
Syarat utama seorang istri berhak mendapat nafkah adalah pernikahan yang sah. Sebab, syariat mengatur, setelah akad nikah berlangsung, maka fokus perhatian dan pelayanan istri beralih kepada suami, ketaatannya bertambah untuk suami, tinggalnya harus di rumah suami, tugasnya mengurus rumah tangga suami, mengasuh serta mendidik anak-anak suami. Maka sebagai imbalannya, sang istri mendapatkan hak nafkah yang cukup selama bangunan rumah tangganya tegak berdiri, tidak ada perbuatan nusyuz darinya, dan faktor penghalang yang lainnya.
Lebih lengkapnya, Syekh Sayyid Sabiq merinci lima syarat seorang istri mendapatkan nafkah. 1. Suami dan istri terikat akad nikah yang sah, 2. Istri memasrahkan dirinya kepada suami, 3. Suami berkesempatan untuk bersenang-senang layaknya suami-istri, 4. Istri tidak menolak untuk dipindahkan ke tempat yang diinginkan suami, dan 5. Keadaan suami dan istri sudah normal secara seksual dan bukan anak di bawah umur (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 170). Artinya, ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka istri tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami. Begitu pula ketika istri tidak memasrahkan dirinya kepada suami, atau istri tidak mau diajak berhubungan intim, atau tidak mau diajak pindah rumah yang diinginkan suami tanpa ada alasan yang kuat, maka gugurlah hak nafkahnya. Sebab, perkara yang menggugurkan itu datang dari pihak istri.
Bagaimana jika si istri mau memasrahkan diri, namun ia masih di bawah umur dan tidak mungkin diajak berhubungan badan, maka menurut mazhab Imam Maliki dan Imam Syafi’i, maka nafkah untuknya tidak wajib. Diriwayatkan, sewaktu menikah dengan Siti ‘Aisyah, Rasulullah SAW tidak memberikan nafkah. Beliau memberinya nafkah ketika sudah bisa diajak tinggal bersama layaknya suami-istri. Tidak ada pengganti nafkah yang terlewatkan dari Rasulullah SAW. Meski demikian, bila suami meridai istri yang masih di bawah umur itu berada di rumahnya dengan tujuan sebagai teman pendampingnya, maka kondisi itu tetap mewajibkan nafkah. Lain halnya jika istri dewasa, suami yang masih di bawah umur. Maka dalam kondisi itu, menurut pendapat sahih, nafkah dari suami tetap wajib. Sebab, tidak ada unsur penggugur nafkah dari pihak istri.
Kemudian, di antara beberapa pihak yang wajib dinafkahi seorang laki-laki, istri menduduki posisi pertama setelah dirinya dan nafkahnya yang terlewatkan tidak gugur begitu saja. Syekh Musthafa Al-Khin menyebutkan:
يقدم بعد نفسه: زوجته، لأن نفقتها آكد، فإنها لا تسقط بمضي الزمان، بخلاف نفقة الأصول والفروع، فإنها تسقط بمضي الوقت
Artinya, “Setelah dirinya, suami harus mendahulukan istrinya. Menafkahinya lebih ditekankan karena nafkahnya tidak gugur seiring dengan berlalunya waktu. Berbeda halnya dengan nafkah untuk orang tua atau anak. Nafkah mereka gugur seiring dengan berlalunya waktu”.
Setelah diri dan istrinya, posisi orang yang harus dinafkahi seorang laki-laki adalah anaknya, kemudian ibunya yang tidak mampu, kemudian ayahnya yang tidak mampu, kemudian anak dewasanya yang tidak mampu, kemudian kakeknya yang tidak mampu. (Lihat Al-Fiqhul Manhaji ala Mazhabil Imamis Syafi‘i, jilid IV, halaman 178). Saking besarnya hak nafkah, sampai-sampai seorang istri diperbolehkan mengambil hak tersebut secukupnya. Hal itu didasasarkan pada hadits riwayat Hindun binti ‘Utbah. Ia pernah mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasul, sesungguhnya Abu Sufyan itu kikir. Ia tidak mau memberiku nafkah kepadaku dan anakku kecuali yang aku ambil darinya di luar sepengetahuannya.” Rasulullah SAW bersabda, “Ambillah secara makruf apa yang membuatmu dan anakmu cukup,” (HR As-Syafi‘i).
- Bentuk dan Besaran Nafkah
Bentuk- bentuk nafkah dibagi menjadi dua, yaitu:
- Nafkah materil (zahiriah), di antaranya adalah :
Suami wajib memberi nafkah, kiswah dan tempat tinggal (Abū Zahrah, Aḥwāl al-Shakhṣiyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1951: 232). Seorang suami mendapatkan tanggung jawab dan beban material berupa pemenuhan keputuan primer berupa sandang pangan papan hal ini menjadi kewajiban pokok didalam pemenuhan aulawiyah didalam suatu keluarga. Suami wajib memberikan biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak serta biaya pendidikan bagi anak.
2. Nafkah non-materil (batiniah)
Tanggung jawab seorang suami, selain pemenuhan kebutuan material, juga memiliki kewajiban moral non-material terhadap istrinya, yakni : Suami mengajarkan nilai-nilai tauhid, akhlak dan ibadah kepada sang istri, sebab Islam adalah agama tauhid sehingga nilai nilai tauhid sebagai kebutuhan batiniah seorang istri harus benar-benar diperhatikan dan dijaga keberlangsungannya oleh suami. Sebab Jika tauhidnya benar maka ibadahnya akan benar, karena tugas suami menyalamatkan istri dan anak-anaknya dari neraka Allah SWT. Hal ini relevan dengan surat at-Tahrim ayat 6. Suami wajib memperlakukan istri dengan baik, lembut halus sebagaimana firman Allah SWT berdasarkan QS. an-Nisa ayat 19. Suami memberi kedaulatan kepada istri untuk berintraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat secara umum. Sang suami memberi pemakluman dan memaafkkan apa yang menjadi kekurangan istri, serta melakukan hubungan intim suami istri (Wahbah al-Zuhaily, Tafsīr al-Munīr, jilid II, cet. II, Beirut: Dar al-Fikr, 1989: 635).
Selain itu, dalam literatur fiqih nafkah terbagi menjadi dua, yaitu nafkah tamlik yaitu nafkah yang bisa dimiliki oleh sang istri dan nafkah imta’ yang hanya bisa dinikmati kemanfaatannya oleh sang istri tanpa menjadi hak milik. (Syekh Nawawi Al Bantani, Nihayatuz Zain, 329, Darul Kutub Al Ilmiyyah, 2002). Contoh nafkah tamlik adalah makanan dan pakaian. Jadi ketika sang suami memberikan pakaian atau pun kebutuhan makanan kepadanya maka sang istri berhak atas nafkah itu dan dia bebas untuk mendistribusikannya karena nafkah itu sudah menjadi haknya. Nafkah ini diberikan sesuai dengan kemampuan suami. Jika suami termasuk kategori orang yang miskin maka nafkah cukup dengan 1 mud (0,6 Kilogram)/hari, ketika termasuk kategori tengah-tengah maka 1,5 mud/hari, jika termasuk kategori kaya maka 2 mud/hari. (Syekh Ibnu Qasim Al Ghazi, Fathul Qarib Al Mujib, Darul Kutub Al Ilmiyyah, 136, 2016).
Adapun contoh nafkah imta` adalah tempat tinggal dan pembantu. Jika sang suami menyediakan rumah dan pembantu bukan berarti sang istri berhak untuk menjual, menghibahkan, ataupun memberikannya kepada orang lain tanpa izin sang suami. Nafkah yang berupa tempat tinggal dan pembantu bagi sang istri hanya berlaku hak menempati dan memanfaatkan tenaga dari pembantu saja tanpa bisa melakukan pendistribusian kepada siapa pun karena nafkah ini bukan milik sang istri. Nafkah ini diberikan sesuai dengan kondisi sang istri. Jika memang sebelum nikah dia sudah terbiasa dilayani oleh pembantu maka sang suami baik yang termasuk kategori kaya, sedang, ataupun miskin wajib untuk memberikan pembantu. (Syekh Sulaiman bin Muhammad Bin Umar Al Bujairimi, Bujairami `Ala al Khatib, IX/465, Darul Kutub al Ilmiyyah, 2015)
Ringkasnya, jika berupa nafkah tamlik yaitu nafkah yang sifatnya dapat dimiliki oleh sang istri seperti nafkah kebutuhan makan dan pakaian, maka yang dijadikan patokan adalah kondisi suami. Jika berupa nafkah imta’ yaitu nafkah yang sifatnya sekunder atau tersier seperti tempat tinggal, alat kosmetik, dan lain-lain, maka yang menjadi patokan adalah kondisi sang istri.
Dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tidak ada ketentuan besarannya secara rinci. Namun, Al-Qur’an menggunakan istilah ma’ruf. Bahwa nafkah itu harus cukup, layak, dan pantas. Kedua, sesuaikan dengan kemampuan, sebagaimana dalam Surat Ath Talaq ayat 6 dan 7. Ketentuan umum seperti ini sebenarnya memberikan kemudahan dan kebaikan untuk seluruh keluarga muslim. Di satu sisi ia tidak memberatkan suami, di sisi yang lain tidak menzalimi istri. Lalu bagaimana menentukan kadar ma’ruf nafkah suami kepada istri, berapa besaran minimalnya? Di sinilah para ulama berijtihad. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat, besaran nafkah tidak ditetapkan secara syariat. Ia dikembalikan kepada tempat, waktu, kemampuan suami, dan kebutuhan istri. Sementara Imam Syafii menyatakan sebaliknya. Besaran nafkah ditetapkan oleh syariat, yaitu dua mud (1 mud ialah 543 gram) bagi suami yang berkecukupan, satu setengah mud bagi suami kalangan menengah, dan satu mud bagi suami yang miskin. Namun rupanya besaran yang ditetapkan oleh Imam Syafii hanya berupa makanan. Sedangkan yang lain tidak ditentukan. Ada pula yang berpendapat, besaran nafkah tidak ada dibatasi kecuali batas kecukupan. Sedangkan kecukupan dikembalikan kepada adat kebiasaan. Suami tidak perlu memaksakan diri di luar kemampuannya. Yang penting sudah berusaha maksimal memenuhi kewajiban nafkah. Hal itu didasarkan ayat di atas, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya,” (Surat At-Thalaq ayat 7). Demikian yang dikemukakan oleh Musthafa Al-Khin. (Lihat Al-Fiqhul Manhaji, jilid IV, hal. 173).
Para ulama mazhab sepakat, bahwa ukuran besar kecilnya nafkah tergantung pada kondisi realitas kehidupan suami dan istri. Apabila seorang tergolong orang yang mampu, maka ukuran nafkah yang harus ditunaikan berdasarkan kategori orang mampu. Kalau kategori tidak mampu, maka nafkah yang diberikan pun dikondisikan sebagaimana keadaannya. Adapun maksud dari kadar “mampu” dan “tidak mampu”nya istri adalah tergantung pada kadar berada dan tidak beradanya keluarga istri, yakni kadar penghidupan ekonomi dalam keluarganya (Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘Alā Madzāhib al-Khamsah, Beirut : Dar al-Fikr, 2012: 422). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق ِما أَتههللا . Menurut Abu Zahrah, ukuran nafkah dilihat dari dua pembagian berikut: pertama التمكين وجوب, yakni ukuran keberadaan yang pokok, seperti sandang yang layak, makanan yang dibutuhkan, dan papan, yakni tempat tinggal. Kedua وجوب التمليك , yakni berdasarkan harta yang dimiliki seperti jatah setiap bulan, minggu, dan harian sebagaimana disepakati antar keduanya menurut kebiasaan yang berlaku di adat setempat (Abū Zahrah, Aḥwāl al-Shakhṣiyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1951: 240).
Menurut mazhab Maliki dan Hanbali, ukuran nafkah yang diberikan dan yang diterima, tidak terpaku dan berlandaskan ukuran syara’ atau syaria’at Islam, tetapi harus mempertimbangkan realitas kehidupan suami-istri. Ukuran ini akan berbeda seiring berbedanya waktu, tempat, dan keadaan (Ibnu Rusyd al-Qurṭuby al-Andalusiy, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid, Beirut: Dāar al- Fikr, 1998: 41). Keadaan zaman dahulu dengan zaman sekarang tentu akan sangat berbeda, kebutuhan dulu dengan sekarang tentu akan sangat berbeda pula. Begitupula letak geografis dan kondisi sosial masing-masing, turut berpengaruh pada kondisi besaran nafkah.
Menurut Mazhab Syafi’i, ukuran minim nafaqah didasarkan pada adat setempat di suatu daerah. Pendapat Mazhab Syafi’i ini berkesesuaan dengan kaidah fikhiyah” العادة محكمة” “adat bisa dijadikan pertimbangan hukum”. Namun inipun diperinci lagi, bahwa apabila sang suami memiliki keluasan, dan adat yang berlaku di suatu daerah adalah memiliki pelayan atau asisten rumah tangga, maka seorang suami juga hendaknya mencarikan pelayan rumah tangga untuk istrinya karena menjadi bagian dari memberikan nafkah kepada istri, sebagaimana berlaku di daerah tersebut. Akan tetapi jikasebaliknya, sang suami dalam keadaan kesulitan secaraekonomi, maka ia tidak wajib menyediakannya, sebab pembantu atau asisten rumah tangga bukan sebagai kebutuhan primer atau ḍarūrī ((Abū Zahrah, Aḥwāl al-Shakhṣiyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1951: 244).
Adapun ukuran minim nafaqah yang ditunaikan seorang suami sebagai kewajiban terhadap sang istri adalah satu mud (enam ons). Ukuran standarisasi tersebut disamakan dan disepadankan dengan ukuran mud Nabi Muahammad SAW yang berupa bahan makanan pokok tempat suami-istri berada, sehingga dalam satu bulan totalnya berjumlah 30 mud, danbegitu pula bagi pembantu istrinya, dalam satu bulan juga minim 30 mud (Imam Syafi’i, al-Umm, (Beirut : Dār al–Fikr, t.t.:107). Jadi menurut Syafi’i, nafkah itu ditentukan besarnya. Untuk kelompok orang yang menengah ke atas atau kaya, sebesar dua mud. Sedangkan golongan menengah, sebesar satu setengah mud, dan bagi golongan menegah ke bawah atau kelompok miskin sebesar 1 mud (Ibnu Rusyd al-Qurṭuby al-Andalusiy, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid, Beirut: Dāar al- Fikr, 1998: 41), hal ini ditentukan berdasarkan ketentuan hukum yang harus memiliki ukuran-ukuran yang jelas di dalam kasuistik peradilan.
Menurut Abu Hanifah, ukuran dan standar orang yang berada secara ekonomi, wajib mentasarufkan dan manafkahi istrinya sebesar tujuh dirham dalam sebulan. Adapun orang yang masuk kategori ekonomi menegah ke bawah, maka ia harus mentasarufkan sebesar empat ampai lima dirham setiap bulannya. Sementara itu, mayoritas ulama Mazhab Imamiyah mengatakan, bahwa ukuran estimasi nafkah utama didasarkan pada kebutuhan sang istri, berupa makanan dengan lauknya, pakaian dan tempat tinggal menetap, serta pelayan dan perabot rumah tangga. Namun ukuran ini berlaku untuk kebutuhan dan kebiasaan di daerah masing-masing. Sementara jumhur ulama ulama mazhab berpendapat, bahwa kondisi suamilah yang dijadikan patokan, bukan kondisi istri (Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘Alā Madzāhib al-Khamsah, Beirut : Dar al-Fikr, 2012: 423).
C. PENUTUP
Pernikahan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Allah SWT, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan diantara keduanya. Namun demikian, karena tujuan pernikahan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan isteri masing-masing. Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami isteri terpenuhi, maka dambaan suami isteri dalam bahtera rumah tangganya akan dapat terwujud, didasari rasa cinta dan kasih sayang.
Salah satu yang menjadi hak isteri dan menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh suami adalah memberi nafkah kepada isterinya. Nafkah merupakan konskuensi logis dari akad nikah, baik nafkah zahir ataupun bathin. Nafkah zahir ( Nafkah Materil) berkaitan dengan kebutuhan pokok sehari-hari yang dapat digolongkan dalam tiga macam, yaitu الكسوة (sandang), الطعام (pangan) dan السكن (papan), biaya rumah tangga dan perawatannya, serta biaya pendidikan anak. Sedangkan nafkah bathin (Nafkah Non-Materil) dapat berupa: mengajarkan nilai-nilai tauhid, akhlak dan ibadah kepada sang istri, memperlakukan istri dengan baik, lembut dan halus, memberikan kedaulatan kepada istri untuk berintraksi dan bersosialisasi dengan Masyarakat secara umum, memberi pemakluman dan memaafkkan apa yang menjadi kekurangan istri, melakukan hubungan intim suami istri.
Nafkah zahir ( Nafkah Materil) dalam penggunaannya terbagi menjadi dua, yaitu nafkah tamlik yaitu nafkah yang sifatnya dapat dimiliki oleh sang istri seperti nafkah kebutuhan makan dan pakaian, maka yang dijadikan patokan adalah kondisi suami. Jika berupa nafkah imta’ yaitu nafkah yang hanya bisa dinikmati kemanfaatannya oleh sang istri tanpa menjadi hak milik, sifatnya sekunder atau tersier seperti tempat tinggal, alat kosmetik, dan lain-lain, maka yang menjadi patokan adalah kondisi sang istri.
Prinsip dalam menentukan besaran nafkah, yaitu kelayakan, kecukupan dan kepantasan (ma’ruf), sesuai kemampuan pemberi nafkah, serta didasari kesyukuran dan ibadah. Para ulama mazhab sepakat, bahwa ukuran besar kecilnya nafkah tergantung pada kondisi realitas kehidupan suami dan istri, dan jumhur ulama mazhab berpendapat, bahwa kondisi suamilah yang dijadikan patokan, bukan kondisi istri. Wallahu ‘Alamu Bisshawab..
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Abu bakar. Kitab al-Nafaqah. Bombai: Dār al-Falasifa, 2004.
Andalusiy (al), Ibnu Rusyd al-Qurṭuby. Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid. Beirut: Dār al- Fikr, 1998.
Bahri, Syamsul. “Konsep Nafkah dalam Hukum Islam”, Kanun, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 18. No. 66. Agustus, 2015.
Bajuri (al), Ibrahim. Hāshiyah al-Bājūri. Beirut: Dār-al-Fikr, t.th..
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syamil Qur’an, 2009.
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Intermasa, 2001.
Imam Syafi’i, al-Umm, Beirut : Dār al–Fikr, t.th..
Jaziri (al), Abdur Rahman. al-Fiqh ‘ala al-Madhāhib al-Arba’ah. Beirut: Dār al-Fikr, 2002.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Al-Fiqh ‘ala Madzāhib al-khamsah. Beirut : Dār al-Fikr, 2012.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif,1997.
Nelli, Jumni. “Analisis Tentang Kewajiban Nafkah Keluarga dalam Pemberlakuan Harta Bersama”, Al-Istinbath :Jurnal Hukum Islam. Vol. 2, No. 1, Mei, 2017.
Qurtubi (al), Muhammad. Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an, Juz XVIII. Beirut: Dār-al-Iḥya’ li Tirkah al-`Arabi, 1985.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo, 1997.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dār al-Fikr, 1995.
Sharbiniy (al). Mugni al-Muḥtāj. Beirut : Dār al-fikr, t.th.
Shaukaniy (al). Tafsir Fatḥ al-Qadīr. Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2007. jilid II.
Shihab, M. Quraisy. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2003.
Subaidi, “Konsep Perkawinan Menurut Hukum Perkawinan Islam”, Isti’dal, Vol. 1, No. 2. Juli-Desember 2014.
Zahrah, Abu. Aḥwāl Shakhṣiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1951.
Zuhaily (al), Wahbah. al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, Beirut: Dār al-Fikr, 1989.
———
**)Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang, da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan