Menjodohkan Kepada Pria Shalih
Seorang laki-laki tua yang shalih berkata kepada Musa Alaihissallam:
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ انِيَ حِجَجٍ
“ Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun .” [Al-Qashash/28: 27].
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menawarkan puterinya, Hafshah Radhiyallahu anha kepada laki-laki terbaik umat ini. Kita mendengarkan penuturan darinya.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiih nya bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma menuturkan, ketika Hafshah binti ‘Umar menjanda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi; ia seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggal di Madinah, maka ‘Umar berkata: “Aku datang kepada ‘Utsman lalu aku menawarkan Hafshah kepadanya, tapi dia berkata: ‘Aku akan melihat urusanku.’ Setelah beberapa hari kemudian, dia datang kepadaku seraya mengatakan: ‘Tampaknya aku belum menikah pada saat ini.’ ‘Umar melanjutkan: “Kemudian aku datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, lalu aku katakan: ‘Jika kamu suka, aku menikahkanmu dengan Hafshah binti ‘Umar.’ Tetapi Abu Bakar diam dan tidak memberikan jawaban apa pun. Aku lebih marah daripada kemarahanku atas ‘Utsman. Setelah beberapa hari kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminangnya, lalu aku menikahkannya dengan beliau. Kemudian Abu Bakar menemuiku, lalu berkata: ‘Mungkin kamu marah padaku ketika kamu menawarkan Hafshah dan aku tidak memberikan jawaban apa pun.’ Aku menjawab: ‘Ya.’
Abu Bakar berkata: ‘Tidak ada yang menghalangiku untuk memberi jawaban kepadamu tentang apa yang kamu tawarkan kepadaku, kecuali karena aku telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut Hafshah. Dan aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka aku menerimanya.’” [1]
Ibnu Hajar memaparkan hadits ini: “Hadits ini berisi anjuran agar manusia menawarkan puterinya atau selainnya dari wanita yang berada di bawah perwalian kepada orang yang berkeyakinan kebaikan dan keshalihannya, karena di dalamnya terdapat manfaat yang akan kembali kepada wanita yang ditawarkan kepadanya. Dan tidak boleh malu mengenai hal itu. [2]
Berikut ini (kisah) salah satu dari hamba Allah yang shalih yang menikahkan anak gadisnya kepada pemuda shalih tanpa melihat kepada materi yang telah dijadikan (ukuran) oleh kebanyakan orang dalam menikahkan anak-anak puteri mereka dengan pria fasik lagi gemar melakukan maksiat.
Dalam biografi hamba yang shalih, Sa’id bin al-Musayyab, disebutkan bahwa ‘Abdul Malik bin Marwan meminang puterinya untuk puteranya, al-Walid, ketika ia mengangkatnya sebagai putera mahkota. Tapi Sa’id menolak untuk menikahkan puterinya dengannya. Abu Wada’ah berkata: “Aku biasa berteman dengan Sa’id bin al-Musayyab, lalu ia kehilanganku selama beberapa hari. Ketika aku datang kepadanya, ia bertanya: ‘Dimana kamu berada?’ Aku menjawab: ‘Isteriku meninggal dunia sehingga aku sibuk.’ Ia berkata: ‘Mengapa tidak memberitahukan kepada kami sehingga kami bisa menyaksikan pemakamannya?’ Ketika aku hendak bangkit, ia bertanya: ‘Apakah kamu sudah mendapatkan wanita selainnya?’ Aku menjawab: ‘Semoga Allah merahmatimu. Adakah orang yang akan menikahkanku (dengan puterinya), sedangkan aku tidaklah memiliki (harta) kecuali dua atau tiga dirham?’ Ia berkata: ‘Jika aku melakukannya, apakah kamu bersedia?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Kemudian ia memuji Allah dan bershalawat atas Nabi, lalu menikahkanku dengan mahar dua atau tiga dirham. Aku berdiri dan aku tidak tahu apa yang aku lakukan dengan kegembiraan ini. Aku kembali ke rumahku dan mulai memikirkan dari siapa aku mencari pinjaman? Aku melakukan shalat Maghrib. Saat itu aku berpuasa, maka aku mendahulukan makan malamku untuk berbuka. Makan malam tersebut adalah roti dan minyak. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, maka aku bertanya: ‘Siapa?’ Ia menjawab: ‘Sa’id.’ Maka Aku membayangkan setiap orang yang bernama Sa’id, kecuali Sa’id bin al-Musayyab. Sebab, ia tidak pernah terlihat sejak 40 tahun kecuali antara rumahnya dan masjid. Aku pun berdiri dan keluar, ternyata Sa’id bin al-Musayyab. Aku mengira dia muncul di sini, maka aku bertanya: ‘Wahai Abu Muhammad, mengapa kamu tidak mengirim orang lain kepadaku lalu aku datang kepadamu?’ Ia menjawab: ‘Tidak, Anda dapat mengunjunginya.’ Aku bertanya: ‘Apa yang akan kamu perintahkan untuk tidur?’ Ia menjawab: ‘Engkau adalah seorang duda yang telah menikah, maka aku tidak suka kamu bermalam sendirian. Ini adalah isterimu.’ Ternyata dia berdiri di belakangnya, karena Sa’id berpostur tinggi (sehingga puterinya tidak terlihat). Kemudian dia menyerahkannya di pintu dan menutup pintu kembali, lalu wanita ini jatuh karena malu. Lalu aku mengikat pintu, lalu aku naik ke loteng dan memanggil para tetangga. Mereka datang dan bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ Aku menjawab: ‘Sa’id bin al-Musayyab menikahkanku dengan puterinya. Ia sudah datang dengan membawa puterinya yang shalihah, dan sekarang berada di dalam rumah.’ Mereka pun turun untuk memeluk dan kabar ini sampai kepada ibuku sehingga dia datang seraya berkata: ‘Aku tidak akan melihat wajahmu jika engkau menyentuh (menggauli)-nya sebelum aku mempersiapkannya selama tiga hari.’ Aku pun menunggu selama tiga hari, kemudian aku menemuinya, ternyata dia adalah wanita yang paling cantik, paling hafal Kitabullah,paling mengetahui tentang Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling mengetahui hak suami. Selama setiap bulan Sa’id tidak datang padaku dan aku pun tidak datang kepadanya. Kemudian aku datang kepadanya setelah peristiwa itu berlangsung sebulan sekali, saat dia berada di halaqahnya, aku mengucapkan salam kepadanya dan dia menjawab salamku. Dia tidak berbicara sambil tidur hingga orang-orang yang berada di masjid telah pergi. Ketika tidak ada lagi seorang pun kecuali aku, dia bertanya: ‘Bagaimana kedaan orang itu?’ Aku menjawab: ‘Dalam keadaan yang disukai oleh Sahabat dan dibenci oleh musuh.’”[3]
Betapa tenteramnya hati Tabi’i yang mulia ini terhadap “masa depan” anaknya, sehingga dia tidak berpikir untuk memperhatikan keadaannya. Karena dia merasa tenteram bahwa puterinya berada dalam belaian laki-laki bertakwa yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengetahui hak puterinya di atasnya, serta kedudukannya di sisinya. [4]
Nabi memerintahkan kepada kita agar menikahkan puteri-puteri kita dengan orang-orang shalih. Karena jika orang shalih menyukainya, maka dia akan memuliakannya dan jika tidak me-nyukainya, maka dia tidak akan menghinakan dan tidak akan menzhaliminya. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُـمْ مَنْ تَرْضَـوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ.
‘ Jika ada orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya me-minang puteri kalian, maka nikahkanlah ia (dengan puterimu); jika kalian tidak melakukannya, maka fitnah di bumi dan kerusakan yang besar akan terjadi. ‘” [5]
Syaikh al-Mubarakfuri berkata dalam Tuhfatul Ahwadzi tentang sabda beliau: “Dan kerusakan yang besar”: “Sebab, jika kalian tidak menikahkannya kecuali dengan orang yang berharta atau berngkat, mungkin kebanyakan wanita-wanita tetap tidak bersuami atau kebanyakan pria kalian tidak beristeri. perbuatannya. Jangan menikahkan wanita muslimah dengan pria kafir atau wanita shalihah dengan pria fasik, dan jangan pula wanita merdeka dengan pria hamba sahaya. Jika wanita tersebut atau wali-nya ridha meskipun tidak se kufu’ (sederajat), maka pernikahannya sah.” [6]
Di antara hal yang patut disebutkan di sini adalah kisah pernikahan ayah dari Imam al-‘Azhim ‘Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah yang diberkahi. Ia adalah orang Turki dan hamba sahaya milik seorang pedagang Khawarizmi dari Hamdzan dari Bani Hanzhalah. Ia seorang yang bertakwa lagi shalih, banyak menghabiskan waktu untuk beribadah, suka ber khalwat (menyendiri dalam rangka beribadah) dan sangat wara’. Di antara kisahnya bahwa dia sedang bekerja di kebun kelapa sawit, dan bermukim di sana selama beberapa waktu lamanya. Kemudian, pemilik kebun ini, suatu hari datang kepadanya. Ia mengatakan kepadanya: “Aku ingin buah delima yang manis.” Ia pun pergi ke sebuah pohon dan menghidangkan beberapa buah delima kepadanya. Setelah membelahnya dan merasakannya asam, ia marah kepadanya sambil berkata: “Aku meminta yang manis, tapi kenapa kamu menghidangkan yang asam? Ambilkan yang manis.” Ia pun pergi dan memetik dari pohon yang lain. Ketika mengitarinya dan masih merasakannya asam, maka dia semakin marah padanya. Ia melakukan hal itu yang ketiga, lalu dia mengkliknya, dan masih juga merasakannya asam, maka dia bertanya sesudahnya: “Apakah Engkau tidak bisa membedakan antara yang manis dan yang asam?” Ia menjawab: “Tidak.” Dia bertanya: “Mengapa demikian?” Ia menjawab: “Karena aku tidak pernah makan darinya sedikitpun sehingga aku mengetahui.” Dia bertanya: “Mengapa kamu tidak mengobrol?” Ia menjawab: “Karena engkau tidak mengizinkanku untuk menikmatinya.” Mendengar hal ini, pemilik kebun ini bertanya-tanya. Dia mengorek kebenaran hal itu, ternyata dia benar, sehingga ia menjadi mulia di matanya dan kemuliaannya bertambah di sisinya. Dia mempunyai anak gadis yang sering dilamar orang lain; maka dia bertanya kepadanya: “Wahai Mubarak, pesan kepada siapa wanita ini dinikahkan?” Ia menjawab: “Kaum Jahiliyyah menikahkan karena kedudukan, kaum Yahudi menikahkan karena harta, kaum Nasrani menikahkan karena ketampanan/kecantikan, dan umat ini menikahkan karena agama.” Akalnya begitu mengagum-kannya. Dia pun pergi lalu mengabarkannya kepada isterinya dan mengatakan kepadanya: “Aku tidak melihat seorang (calon) suami yang lebih tepat untuk putriku ini selain Mubarak.” Akhirnya dia menikahkan puterinya dengan Mubarak sehingga lahirlah ‘Abdullah bin al-Mubarak. Sempurnalah keberkahan ayahnya, dan Allah menumbuhkannya sebagai ‘tumbuhan’ yang baik. [7]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Catatan Kaki
[1] HR. Al-Bukhari (no. 5122) kitab an-Nikaah , an-Nasa-i (no. 3248) kitab an- Nikaah , Ahmad (no. 75).
[2] Fat-hul Baari (IX/178).
[3] ‘Audatul Hijaab (II/582), dan dinisbatkan kepada kitab Min Akhlaaqil ‘Ulamaa’ , Muhammad Sulaiman (hal. 123-125).
[4] ‘Audatul Hijab (II/582).
[5] SDM. At-Tirmidzi (no. 1090), kitab an-Nikaah , dan disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i (no. 865) dan al-Irwaa’ (no. 1668).
[6] Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jaami’ at-Tirmidzi (IV/173).
[7] ‘Audatul Hijaab (II/358), dan menisbatkannya kepada kitab ‘Uyuunul Akhbaar , karya Ibnu Qutaibah (IV/17), Wafayaatul A’yaan , Ibnu Khalkan (II/237), Syadz- dzaraatudz Dzahab , karya Ibnul ‘Imad (I/296), Mir-aatul Janaan , karya al-Yafi’i (I/379).