NIKAH BERSYARAT
MENURUT IBNU QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNIY
Oleh : HERIZAL, S. Ag, M.A
(Kepala KUA Depati Tujuh Kerinci Jambi)
- PENDAHULUAN
Dalam kehidupan di dunia, semua makhluk hidup tidak bisa terlepas dari pernikahan, demi kelestarian dan kelangsungan lingkungan alam semesta. Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mulia. Maka Islam memerintahkan kepada orang; yang telah memiliki kemampuan (al-ba’ah) untuk menjalankan syari’at ini, karena didalamnya terkandung tujuan yang sangat agung dan suci, serta mempunyai hikmah yang begitu besar bagi kehidupan manusia. Tujuan dari pernikahan adalah untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang tenang, tentram, damai dan bahagia dalam bingkai mawaddah warahmah. Karena itu, pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi.[1] Hal ini merupakan prinsip dasar teori keluarga sakinah, sebagaimana termaktub secara jelas dalam firman Allah SWT.
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Qs. Ar Ruum:21).
Menikah menurut Islam adalah nikah yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, lengkap dengan syarat dan rukunnya, tidak ada satu hal yang menghalangi keabsahannya, tidak ada unsur penipuan dan kecurangan dari kedua belah pihak, serta niat dan maksud dari kedua mempelai sejalan dengan tuntunan syari’at Islam.[2] Oleh karena itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling rela, demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia.[3]
Prinsip dasar akad nikah diadakan adalah untuk langgengnya kehormatan perkawinan, suatu “perjanjian atau ikatan yang kokoh”, maka tidak sepatutnya di rusak dan disepelekan, apalagi akad nikah yang dilaksanakan dengan tujuan akhir perceraian. Bahkan mayoritas ahli fiqh mengatakan bahwa talak adalah suatu hal yang terlarang”, kecuali karena ada alasan yang benar atau darurat.[4] Walaupun dalam Islam persyaratan perceraian (talak) dan bahkan menghalalkannya, akan tetapi hal ini bukan berarti Islam mencetuskan ide perceraian yang memang sudah ada di segala kebudayaan pada tahap perkembangannya Islam mengalaminya akan tetapi membatasi legitmasinya.[5]
Keutuhan dan kelanggengan kehidupan merupakan suatu tujuan yang digariskan Islam. Karena itu, perkawinan dinyatakan sebagai ikatan antara suami istri dengan ikatan yang paling suci dan paling kokoh.[6] Istilah ikatan suci dan kokoh antara suami istri oleh Al-Qur’an disebut mitsa qun ghalizah.[7] Jika ikatan suami istri dinyatakan sebagai ikatan yang kokoh dan kuat, maka tidak sepatutnya apabila ada pihak-pihak yang merusak ataupun menhancurkannya. Karenanya, setiap usaha dengan sengaja untuk merusak hubungan antara suami istri adalah dibenci oleh Islam, bahkan dipandang telah keluar dari Islam dan tidak pula mempunyai tempat kehormatan di dalam Islam.[8]
- Nikah Bersyarat Menurut Ibnu Qudamah
Ibnu Qudamah adalah seorang ulama yang menganut madzhab hambali, dia adalah tokoh yang memperbaharui, membela, mengembangkan, dan memperhatikan ajaran-ajaran madzhab hambali terutama dalam bidang muamalah[9]29. Menurut Tahido, Ibnu Qudamah dalam menetapkan hukum lebih menitikberatkan pada hadis, yaitu apabila ditemukan hadis shoheh, maka sama sekali tidak diperhatikan faktor pendukung lainnya.
Apabila didapati hadis mursal atau dhoif, maka hadis tersebut justru lebih dikuatkan dari pada qiyas kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Dengan kata lain, Ibnu Qudamah dalam pengendalian sebuah hukum, ketika tidak ditemukan dalam nash sebuah pengharaman terhadap sesuatu maka hal itu boleh dan sah-sah saja. Begitu halnya dengan hukum nikah bersyarat.
Para ulama dan fuqaha telah menetapkan persyaratan bila seorang ingin menikahi lebih dari seorang isteri :
- Dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi
- Dia harus memperlakukan semua isterinya itu dengan adil. Setiap isteri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya.[10] Sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 3 :
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terahdap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” ( Q. S. an-Nisa ayat 3).
Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam Islam pun adalah monogami. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami atau beristeri dapat dipenuhi dengan baik.[11]
Dalam kitab Abu Daud dari harits bin Qais, berkata :
أسلمت و عندي ثمان نسوة، فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلّم فقال: أختر منهنّ أربعا [12]
Artinya : “saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isetri saya, lalu saya menceritakan kepada Nabi Saw”. maka sabda beliau “ maka pilihlah empat orang di antara mereka”.
Sebelum perkawinan dilangsungkan terkadang ada syarat-syarat yang disepakati oleh kedua mempelai atau dari pihak orang tua mempelai yang tujuannya demi kebaikan calon mempelai, karena untuk membina rumah tangga selanjutnya. Di dalam kitab-kitab fiqh telah membahas mengenai syarat-syarat tersebut. Adapun pengertian syarat dalam perkawinan ialah :
الشروط في الزواج هي ما يشترطه احد الزوجين على الأخر مما فيه غرض [13]
Artinya : “Sesuatu yang disyaratkan oleh salah satu mempelai atas suatu yang lain, yang mana sesuatu itu memang dikehendaki adanya tujuan “.
Ada akad nikah yang dikaitkan dengan beberapa syarat, ada syarat yang sesuai dengan tujuan akad dan ada pula yang berlawanan dengan tujuan akad. Ada syarat yang manfaatnya kembali kepada pihak perempuan, dan ada pula yang dilarang oleh syara’ masing-masing syarat itu mempunyai hukum tersendiri.[14] Ulama fiqh sepakat bahwa syarat yang sesuai dengan tujuan akad harus dipenuhi oleh kedua mempelai. Misalnya syarat akan mempergauli isteri dengan baik, pakaian, tempat tinggal dan akan minta izin pada suami apabila isteri bepergian dan syarat lain yang sifatnya tidak menyeleweng dari hukum Allah. Mereka juga sepakat tentang melarang syarat yang tidak sesuai dengan tujuan akad, misalnya syarat bahwa suami tidak akan memberikan nafkah kepada isteri, tidak akan memberi maskawin atau isteri harus memberi nafkah kepada suami atau isteri hanya akan dipergauli pada siang hari, tidak malam hari atau syarat lain yang bertentangan dengan tujuan akad. Akan tetapi, ulama fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat yang tidak sejalan tetapi tidak berlawanan dengan tujuan akad. Artinya syarat tersebut memang bermanfaat bagi salah satu calon mempelai, misalnya syarat bahwa isteri tidak akan diusir dari rumah atau kampungnya, tidak berpergian bersama (isteri), tidak akan kawin lagi dan sebagainya.[15] Menurut sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah bahwa perkawinannya sah tetapi syarat itu sia-sia, tidak mengikat, suami tidak wajib memenuhi janjinya,18 mereka beralasan dengan hadits :
عن ابن عمر رضي الله عنهما : كل شرط خلف كتاب الله فهو باطل و ان اشترط مائة شرط ( رواه البخاري)[16]
Artinya : “Dari Umar r.a : Semua syarat yang tidak sesuai dengan kitabulllah maka syarat itu batal meskipun seratus syarat”.
Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat di atas bukan dari kitab Allah, karena syari’at tidak menghendakinya dan syarat tersebut tidak akan menambahkan kebaikan akad dan tujuan akad.[17]
عن عمر وابن عوف المزني رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : المسلمون على شروطهم الا شرطا احل حراما أو حرم حلالا (رواه الترمذي وصحح) [18]
Artinya : Dari Umar bin Auf al-Mazani r.a bahwa Sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda : “Orang Islam itu terikat dengan syarat yang mereka buat, kecuali syarat menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. (HR. Turmudzi dan hadits ini Shahih)
Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat di atas dianggap mengharamkan yang halal, seperti kawin lagi (poligami) dan bepergian kedua hal itu adalah halal.[19] Sebagian ulama lainnya. Hambaliyah mewajibkan dipenuhinya syara-syarat terhadap wanita. Apabila tidak dipenuhi maka perkawinanya dapat difasakhkan.[20]
Mereka beralasan dengan hadits Nabi :
عن عقبة بن عامر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن أحق الشرط أن يوفي به ما استحللتم به الفروج (رواه الجماعة) [21]
Artinya : Dari Uqbah bin Amir telah berkata : telah berabda Rasulullah Saw : Syarat yang lebih patut untuk dipenuhi yaitu perjanjian yang menyebabkan halalnya kehormata perempuan. (HR Riwayat Bukhari dan Muslim dari Uqbah bin Amir).
Pendapat yang mangatakan kalau syarat tidak berpoligami dalam akad nikah dianggap mengharamkan yang halal terbantah, sebab syarat itu tidak mengharamkan yang halal tetapi memberikan pilihan bagi si perempuan untuk minta fasakh apabila syarat itu tidak dipenuhi.[22]
Di dalam kitab al-Mughni karangan Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa ada syarat yang manfaatnya kembali kepada isteri, maka syarat itu harus dipenuhi oleh suami, misalnya isteri tidak akan diusir dari kampungnya atau negaranya, tidak bepergian bersama isteri, tidak akan kawin lagi dan tidak akan menyakitinya. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi suami, maka perempuan (isteri) dapat minta fasakh terhadap suaminya.[23]
Sayyid Sabiq berpendapat : “membolehkan si isteri menuntut pasakh apabila suami melanggar perjanjian tersebut”
فلو شرطت الزوجة في عقد الزواج على زوجها الا يتزوجا عليه صح الشرط ولزم وكان لها حق فسخ الزواج اذا لم يف لها الشرط
Artinya : Apabila seorang isteri mensyaratkan pada waktu akad nikah agar suaminya tidak kawin lagi (memadunya), maka syarat itu sah dan mengikat, dan berhak menuntut fasakh nikah apabila suami melanggar perjanjian itu.[24]
Menurut Ibnu Taimiyah di dalam kitab al-Ikhtiyat al-Fiqhiyah berpendapat bahwa sebagai berikut : Apabila pihak suami memberikan syarat kepada pihak isteri dalam akad nikah atau mereka sepakat sebelum akad, agar isteri tidak pindah dari rumahnya atau negaranya atau suami tidak akan kawin lagi, maka isteri berhak meminta talaknya, maka syarat seperti itu sah.[25]
Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy bependapat kepada keharusan memenuhi segala syarat yang manfaatnya kepada si wanita sehingga dia mau dinikahi dan jika tidak dipenuhi, maka si wanita boleh menfasahkan penikahan itu.[26] Ibnu Rusyd berkata sebabnya terjadi perselisihan, ialah berlawanan nash yang umum dengan nash yang khusus, nash yang umum ialah nash yang mengatakan bahwa segala syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, batal. Sedangkan nash yang khusus ialah nash yang menandaskan, bahwa syarat yang paling berhak dipenuhi ialah syarat yang dilakukan untuk memperoleh keridhaan wanita yang dinikahi. Kedua hadits ini shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Namun demikian menurut paham yang mashur dalam kalangan ulama ushul fiqh, ialah mempergunakan khusus dan mengalahkan yang umum, yaitu memenuhi syarat-syarat yang disyaratkan itu.[27]
- Analisis Terhadap Pendapat Ibnu Qadamah Tentang Hukum Menikah dengan Niat Cerai
Menikah dengan niat cerai sama sekali tidak ditemukan atsar maupun khabar yang menyebutkan tentang larangannya. Hal ini dijelaskan lebih mendetail oleh Ibnu Thaimiyah. Dalam al Fatawa al Kubra, ia mengungkapkan bahwa seseorang boleh menikah dengan niat cerai, tetapi menikah secara mutlak dan tidak disyaratkan penentuan waktu dimana jika ia suka ia akan tetap mempertahankannya, dan jika ia mau ia boleh saja menceraikannya.[28]
Pernikahan dengan niat cerai terjadi ketika seorang laki-laki melaksanakan akad nikah bersama calon istri dan sejak awal akad nikahnya diiringi dengan niat untuk tidak bersama istri selamanya. Contohnya, adalah seseorang pergi ke luar kota atau luar negeri karena melaksanakan studi atau ada kepentingan dan urusan yang lain, kemudian (dengan alasan terjerumus ke lembah zina) melaksanakan pernikahan hanya untuk sementara waktu, yaitu sampai studi atau urusannya selesai.[29] Hal yang demikian ini oleh Ibnu Qudamah boleh dan sah-sah saja dilakukan asal tidak adanya suatu perjanjian yang mengikat, khususnya perjanjian tenggat waktu yang disepakati oleh suami istri. Karenpa bila didapati adanya sebuah perjanjian yang disepakati bersama maka hal tersebut tidak boleh, sebab itu termasuk nikah mut’ah.[30]
Selanjutnya Ibnu Qudamah menyatakan bahwa seorang suami tidak hanya berniat (pada saat akad) untuk mempertahankan istrinya, boleh jadi jika ia serasi dengannya, maka ia akan mempertahankannya dan jika tidak (serasi) maka ia boleh saja menceraikannya[31] Persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan selain dalam hal pengambilan keputusan juga dalam hak ekonomi yakni untuk memiliki harta kekayaan dan tidaklah suami ataupun bapaknya boleh mencampuri hartanya kekayaan itu termasuk yang didapat melalui pewarisan atau yang diusahakannya sendiri. Oleh sebab itu maha atau mas kawin dibayar oleh laki-laki untuk pihak perempuan sendiri, bukan untuk orang tua dan tidak bisa diambil kembali oleh suaminya.[32] Hukum Islam dituntut untuk mengerti seluruh umat Islam yang berasal tidak hanya dari kalangan Arab belaka. Namun juga berasal dari seantero dunia yang tentunya sangat bervariatif kondisi dan kebudayaannya. Maka Islam harus fleksibel dan bisa diterima kapan pun dan dimana pun hukum Islam harus hidup di tengah-tengah masyarakat yang menganutnya.
Hukum Islam yang merupakan syari’ah berasal dari al-Qur’an pada dasarnya ada tiga pokok ajaran, yakni percaya pada keesaan Tuhan, pembentukan masyarakat adil, dan percaya hidup sesudah mati. Al-Qur’an merupakan sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral, bahkan sebagai dokumen hukum. Tetapi ia memang mengandung beberapa pernyataan hukum yang penting yang dikeluarkan selama proses pembinaan masyarakat di Madinah. Kemudian agar penafsiran al-Qur’an dapat diterima dan dapat berlaku adil terhadap tuntutan keilmuwan dan integritas moral, maka salah satunya pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan sejarah atau historis sosiologis.[33]
Sedangkan diantara ulama kontemporer yang melarang nikah dengan niat talak dan menganggapnya serupa dengan nikah mut’ah adalah Muhammad Rosyid Ridha. Dalam tafsir Al-Manar dijelaskan bahwa ulama terdahulu (salaf) dan ulama sekarang (khalaf) sangat keras dalam melarang nikah mut’ah, pendapat ini juga melarang pendapat tentang nikah dengan niat talak. Sekalipun ulama menganggap sah nikah ini karena tidak dinyatakan ketika pelaksanaan sighat akad. Namun demikian sikap menyembunyikan niat itu yang dianggap sebagai perbuatan penipuan mengelabuhi pihak perempuan yang lebih pantas untuk dibatalkan dari pada akad yang bersyarat dengan jelas disebutkan batas waktunya dan disetujui oleh pihak suami istri dan wali.[34]
Berdasarkan beberapa argumen yang telah dikemukakan di atas dapat ditarik sebuah pengertian bahwa nikah dengan niat cerai menurut pandangan Ibnu Qudamah boleh dan sah-sah saja, itu bertentangan dengan beberapa hal, diantaranya keadilan bagi seorang perempuan dalam hal ini yang menjadi objek. Karena dengan konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Qudamah jelas sangat merugikan pihak perempuan, bahkan dapatlah dipertegas nikah dengan niat cerai merupakan kebohongan terselubung yang direncanakan pihak laki-laki terhadap istrinya meskipun sang istri tidak mengetahui.
Nikah dengan niat cerai juga bertentangan dengan tujuan nikah itu sendiri yakni salah satunya membina rumah tangga yang sakinah wamaddah wa rahmah. Bagaimana mungkin sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah akan terbentuk jika dalam hatinya ada niat untuk cerai dikemudian hari. Karena perceraian yang terjadi tidak ada alasan sama sekali. Perceraian terjadi sekonyong-konyong karena keinginan sang suami karena memang sudah direncanakan dan hal itu bertentangan dengan azas-azas perceraian.
- KESIMPULAN
- Asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi dengan baik. Di dalam kitab al-Mughniy karangan Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa ada syarat yang manfaatnya kembali kepada isteri, maka syarat itu harus dipenuhi oleh suami, misalnya isteri tidak akan diusir dari kampungnya atau negaranya, tidak bepergian bersama isteri, tidak akan kawin lagi dan tidak akan menyakitinya. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi suami, maka isteri dapat minta fasakh terhadap suaminya.
- Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni berpendapat bahwa menikah dengan niat cerai adalah boleh dan sah-sah saja dilakukan. Karena menurutnya pernikahan model ini bukanlah nikah mut’ah atau nikah tahlil sebagaimana yang telah jelas dilarang oleh agama Islam. Ibnu Qudamah beranggapan bahwa ketika tidak ada nash yang secara explisit menerangkan keharaman sebuah perkara maka perkara tersebut sah-sah saja dilakukan. Begitu juga dengan pernikahan dengan niat cerai, menurutnya tidak adanya sebuah sumber hukum yang secara tegas melarang hal tersebut. Dengan begitu nikah dengan niat cerai boleh dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman I. Doi, Perkawinan dan Syari’at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Al-Bukhari, Al-Imam, Shahih Bukhari, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1992.
Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘alaa Mazahib al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Asmawi, Mohammad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Cet. I
Yogyakarta: Das As-Salam, 2004.
Al-Mansur, al-Aziz., Saleh Ibn Abd, Al-Azis al-Mansur, Nikah Dengan Niat Talak? Alih bahasa Al Pran MA jabbar, Cet.I, Surabaya: Pustaka Progresif, 2004.
Al-Maraghi, Abdullah Mustafa, Faham-faham Fiqh Sepanjang Sejarah, Alih Bahasa, Tusain Muhammad, Cet.I, Yogyakarta: LKPSM, 2001.
Asy-Syafi’i, Al-Umm, Cet.1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993.
Ata, Mahmud Abd. Al-Qadr dan Mustafa Abd. Al-Qadr Ata, Al Fatamen Al-Kubra, li Al-Imam al-Alamah Taqi’y Abd. ibn Taimiyah, Edisi Ke. 1, Beirut: Dari al-Kutub al-Ilmiyah, 1987.
Borsard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, Alih Bahasa Oleh HM Rasjid, Cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan Penafsir Al-Qur’an, 1967.
Dahlan, Abdul Aziz, dkk., (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.V, Jakarta: Velution Baru Islam Houve, 2001.
Dirjen BIMAS, Islam dan Penyelenggara Haji, Pegangan Calon Pengantin, (ttp:Program Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, 2001.
Djaelani, Abdul Qodr, Keluarga Sakinah, cet. ke I, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum VII, Jakarta; Yayasan Tengku Muhammad ash-Shiddieqy, 2001.
Ibrahim, Abu Ishaq Ibn Ali Ibn Yusuf asy Syirazi al Muhazzab, fi Fiqh Mazhab al-Imam asy Syafi’i, Beirut: Dar al Fikr, 1994.
[1] Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1
(Yogyakarta: Das As-Salam, 2004), hlm. 18
[2] Saleh Ibn Abd, Al-Azis al-Mansur, Nikah Dengan Niat Talah? Alih bahasa Al Pran MA jabbar, cet ke-1 (Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), hlm. 7
[3] Marcel A. Borsard, op. cit., hlm. 120
[4] As-Sayyed Sabiq, Fiqh As-Sunnah, cet. ke-4 (Beirut: Dar Fiqkrm, 1983,), him. 206
[5] Ibid., hlm 121
[6] Abdul Qadir Al-Jaelani, Keluarga Sakinah, cet ke-3 (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995),
hlm 316
[7] Baca QS. An-Nisaa’ , ayat 21.
[8] Abdul Qadir Jailani, op cit., hlm 316
[9] Huzaimah Tahido Yanggo, op.cit, hlm. 146.
[10] Abdurrahman I. Doi, Perkawinan dan Syari’at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm.
[11] Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm.
[12] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (tarj.), Muh. Thalib, Bandung: al-Ma’arif, 1997, hlm. 150.
[13] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam, juz, VII, Beirut : Dar al-Fikr, 1997, hlm. 53
[14] H. S. A. Al-Hamdani, op. cit., hlm. 59
[15] Wahbah al-Zuhaily, op. cit., hlm. 34
[16] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1992, hlm. 251.
[17] H. S. A. Al-Hamdani, op. cit., hlm. 34.
[18] Ismail al-Kahlani, Subu al-Salam, juz III, Semarang: Toha Putra, hlm. 59.
[19] Sayid Sabiq, op, cit, hlm. 72
[20] Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz. VII, Dar al-Kutb al-Alamiyah, hlm. 448.
[21] Imam Muslim, op. cit., hlm. 1036.
[22] Ibnu Qudamah, loc, cit.
[23] Ibid.
[24] Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 169
[25] Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995, hlm. 183.
[26] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum VII, Jakarta; Yayasan Tengku Muhammad ash-Shiddieqy, 2001, hlm. 92
[27] Ibid.,hlm. 93
[28] Mahmud Abd. Al-Qadr Ata dan Mustafa Abd. Al-Qadr Ata, Al Fatamen Al Kubra, li Al-Imam al-Alamah Taqi’y Abd. ibn Taimiyah, Edisi Ke. 1, (Beirut: Dari al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), hlm. 100
[29] Ibnu Qudamah, op.cit, hlm.645
[30] Ibid.
[31] Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah al-Maqdisi, op. cit., hlm. 647
[32] Mansur Faqih, op. cit., hlm. 130
[33] Mohammad Abd. Al-Qadir Ata dan Musthafa Abd. Al-Qadir Ata, Al Fatamen Al-Kubra Li Al Iman Al-Alamah Taqiy Abd. Ibn Taimiyah, Edisi Ke. I, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1987), hlm. 100
[34] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Cet. Ke. 2, (Ttp: Tnp, 19973), hlm. 17