Oleh :
KHAERUL UMAM, S.Ag*)
(Penghulu Ahli Madya KUA Pakuhaji)
A. Muqadimah
Islam memang dien (agama) sempurna dan istimewa, seluruh aturannya datang dari Allah SWT, Sang Maha Pencipta manusia yang Maha Mengetahui makhluk-Nya. Semua aturan-Nya sesuai fitrah manusia dan memuaskan akal sehingga akhirnya akan menenteramkan jiwa. Islam mengatur segala hal dengan sangat rinci, termasuk di dalamnya tuntunan berumah tangga yang harus dijadikan pijakan oleh setiap pasangan suami istri dalam menjalani pernikahan. Pernikahan merupakan tuntunan din Islam dalam menjaga fitrah makhluk ciptaan-Nya, yaitu melestarikan keturunan. Pernikahan yang dijalankan sesuai tuntunan syariat akan menjadi salah satu jalan bagi seorang muslim untuk mencapai keridaan Allah SWT menuju surga-Nya.
Ketika pernikahan diawali dengan cinta karena Allah SWT, menjadikan aturan Allah SWT sebagai tuntunan, maka dapat dipastikan dua anak manusia yang menikah akan berusaha menyelesaikan berbagai persoalan dalam rumah tangganya sesuai tuntunan Allah SWT. Sehingga kehidupan pernikahannya tidak hanya berorientasi duniawi, tetapi juga untuk meraih akhirat, meraih surga Allah SWT. Oleh karenanya, pernikahan merupakan ladang pahala dan surga, tidak hanya bagi istri, tetapi juga bagi para suami.
Ketika ijab kabul sudah terjadi, maka sah seorang laki-laki menjadi suami dan seorang perempuan menjadi istrinya. Pada saat itulah, masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Seketika itu pula, pahala akan berlimpah kepada istri maupun suami, ketika keduanya menjalani kehidupan pernikahan sesuai tuntunan Islam. Apa saja amalan yang bisa dilakukan suami-isteri dalam menjalani rumah tangganya sehingga pahala dari Allah SWT tercurah berlimpah ruah padanya, bahkan surga Allah SWT akan menjadi miliknya?
Pernikahan memiliki banyak hikmah, baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat. Dengan memahami hikmah tersebut, umat Islam dapat menata niat pernikahannya agar selalu berorientasi pada ibadah dan ridha Allah SWT. Dalam artikel ini, penulis akan membahas hikmah-hikmah pernikahan dalam Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW, disertai penjelasan yang menggambarkan keindahan dan kedalaman makna di balik ikatan pernikahan dalam Islam.
B. Menggapai Pernikahan Yang Bertabur dan Berlimpah Pahala
- Jangan Hidup Menjomblo
Boleh menjomblo untuk sementara waktu, namun –sebaiknya– jangan untuk selamanya. Setiap manusia akan merasakan kesulitan, kecemasan, kejenuhan, kesepian, hingga mencicipi rasa hidup kurang bermakna apabila ia hidup dalam kesendirian. Hidup menyendiri tanpa di dampingi kekasih yang menyayangi, memerhatikan dan melindungi adalah ibarat hidup dalam keterasingan dan kesepian meskipun berada di tengah-tengah keramaian. Hidup membujang atau tanpa pasangan “menjomblo” bagi kebanyakan orang bisa dilakukan untuk sementara waktu, tetapi hal itu amat menyiksa jiwa raga jika itu dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Ada sangat banyak alasan klasik yang biasa dikemukakan mereka yang dalam waktu lama hidup “menjomblo” tanpa pasangan dalam ikatan perkawinan yang sah.
Rasulullah SAW melarang umatnya untuk hidup menjomblo selamanya, dalam beberapa hadits disebutkan:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).
إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي
Artinya: “Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (H.R. Al Baihaqi).
Di antara alasan yang umum mengapa seseorang belum segera menikah adalah belum menemukan pasangan hidup yang cocok dan sepadan, belum bekerja sehingga belum mampu menafkahi keluarga, ada calon suami/isteri namun tidak/belum mendapatkan persetujuan dari orang tua, merasa ragu-ragu memasuki jenjang perkawinan, masih ingin menyelesaikan sekolah/kuliah. Pendek kata, sangatlah banyak alasan lain yang bisa mereka kemukakan. Padahal, jika mau ada seribu jalan dan jika tidak mau juga ada seribu alasan. Ada banyak juga yang menunda perkawinan/pernikahan dengan alasan belum mendapatkan pasangan yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang telah ia tentukan demi mendapatkan pasangan yang ideal bahkan sempurna. Orang semacam ini mungkin merasa bahwa “seolah-olah” dalam dirinya ada semua sifat kesempurnaan dan kosong dari segala sifat kekurangan. Padahal semakin banyak syarat dan kriterianya maka akan semakin sedikit orangnya. Akibatnya, ia mempersulit dirinya sendiri dalam mendapatkan pasangan ideal untuk hidup berkeluarga melalui pernikahan yang sah.
Kecemasan biasa menghinggapi jiwa siapa saja yang mendambakan pasangan hidup namun tak kunjung tiba, bahkan hingga ia mengidap kecemasan dan kegelisahan yang berlebihan. Jiwanya merasa resah, sedih, tidak berguna, galau, putus asa, sulit memejamkan mata meski malam telah larut dan semua mata telah terpejam. Semua yang ia rasakan menyayat hati dan seperti tiada ujungnya. Lalu tiba-tiba tubuhnya pun tertimpa sakit yang sulit diobati, lambungnya, lehernya, kepalanya dan lalu ia menjadi orang yang sensitif, mudah tersinggung, pemarah dan tidak lagi percaya diri. Kecemasan terkait masalah jodoh bukan saja dirasakan oleh siapa yang ingin segera menikah, melainkan juga seringkali dirasakan oleh kedua orang tua yang terutama memiliki anak gadis dewasa. Cemas karena belum ada tanda-tanda pujaan hati yang mendekatinya, apalagi melamar anak gadisnya. Kecemasan itu adakalanya ia simpan rapat-rapat dalam hatinya dan adakalanya dengan terbuka ia sampaikan kepada para sahabat dekatnya. Ia cemas jika anak (bujang/gadis)nya tidak segera berjodoh.
2. Menikah: Hikmah penuh cinta, menuai pahala dan meraih surga
Pernikahan dalam Islam bukan hanya sekadar penyatuan dua insan, tetapi merupakan ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah SWT. Dalam Al-Qur’an dan hadits, pernikahan digambarkan sebagai jalan menuju ketenangan, kebahagiaan, dan keberkahan hidup. Melalui pernikahan, manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan fitrahnya, tetapi juga menjalankan salah satu sunnah Rasulullah SAW. Oleh karena itu, memahami hikmah pernikahan Islam menjadi hal penting agar setiap pasangan menyadari makna mendalam di balik ikatan suci ini.
Beberapa waktu terakhir, banyak kalangan yang telah melangsungkan pernikahan. Undangan resepsi juga kerap diterima. Namun dalam waktu yang bersamaan, kabar soal keretakan keluarga menghiasi dan tentu saja membuat prihatin. Allah yang menciptakan rasa cinta di dalam diri manusia, dan menciptakan ketertarikan manusia pada lawan jenis. Oleh sebab itu Allah memberi petunjuk kepada manusia bagaimana menjalin cinta dalam ikatan yang benar dan suci, yaitu dengan ikatan suci pernikahan. Allah SWT berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar-Rum: 21).
Pernikahan adalah sesuatu yang sangat penting dalam roda kehidupan manusia. Dari pernikahanlah lahir generasi-generasi baru yang akan melanjutkan keberlangsungan kehidupan di dunia ini. Saking pentingnya pernikahan, baginda Nabi Muhammad SAW bersabda:
أَمَا وَاللهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ للهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ؛ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya: Ingatlah, demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah, akan tetapi aku berpuasa, tidak berpuasa, aku sholat, aku tidur dan aku menikahi para perempuan. Barangsiapa tidak menyukai sunahku, maka ia bukan termasuk dari golonganku. (HR Bukhari).
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ تَعَالَى عَوْنُهُمْ : الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ الْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْعَفَافَ
Artinya: “Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapatkan pertolongan Allah Swt., yakni seorang yang berjihad di jalan Allah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya” (H.R. Ahmad).
مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِه
Artinya: ”Tidak ada keberuntungan bagi seorang mukmin setelah bertaqwa kepada Allah kecuali memiliki seorang istri yang sholihah. Yang bila disuruh, menurut dan bila dipandang menyenangkan, dan bila janji menepati, dan bila ditinggal pergi bisa menjaga diri dan harta suaminya.” (H.R. Ibnu Majah).
Pernikahan memiliki banyak hikmah, baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat. Dengan memahami hikmah tersebut, umat Islam dapat menata niat pernikahannya agar selalu berorientasi pada ibadah dan ridha Allah SWT. Melalui pernikahan, banyak aspek ibadah berlimpah pahala, kesabaran, dan cinta kasih dapat dijalankan, yang kesemuanya dapat membawa seseorang menuju keridhaan Allah dan, insya Allah, jalan ke surga. Berikut ini, hikmah-hikmah yang bisa diraih dalam kehidupan berumah tangga:
a. Memperbaiki Niat
Perlu diingat bahwa sesungguhnya ada sesuatu yang tidak kalah penting dengan pernikahan itu sendiri namun sering terlupakan, yaitu niat yang baik saat menikah. Sebab, pada dasarnya hukum menikah adalah mubah yang tidak ada pahala di dalamnya. Namun pernikahan akan menjadi ibadah jika disertai niat yang baik semisal niat menjalankan sunnah, memejamkan pandangan (dari perkara yang haram) dan niat-niat sesamanya. Di dalam kitab Al-Minhaj as-Sawi disampaikan:
ذكر الفقهاء رحمهم الله أنه يستحب أن ينوي المتزوج بالنكاح إقامة السنة وغض البصر – إلى أن قال – ونحو ذلك من المقاصد الشرعية لأن النكاح يكون عبادة بهذه المقاصد وأشباهها فيثاب عليه ثواب العبادات وإلا فهو من المباحات التي لا ثواب فيها كأن يكون قصده مجرد اللهو والتمتع أو تحصيل مال أو نحوه
Artinya: Para ulama fiqih rahimahullah berkata: Sesungguhnya bagi orang yang menikah hendaknya pernikahannya diniati menegakkan sunah, memejamkan pandangan dari perkara yang haram… dan sesamanya dari tujuan-tujuan syariat. Karena sesungguhnya pernikahan akan menjadi ibadah jika disertai niat-niat ini dan niat sesamanya, sehingga pernikahan tersebut diberi pahala ibadah. Jika tidak, maka pernikahan tersebut termasuk dari perkara-perkara mubah yang tidak berpahala seperti pernikahan dengan tujuan sekadar main-main, mencari kesenangan, mendapatkan harta atau sesamanya. (Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumith, Al-Minhaj as-Sawi, Yaman, Dar al-‘Ilmi wa ad-Da’wah, cetakan pertama, 2008, halaman 683-684).
Di dalam kitab Al-Minhaj as-Sawi dikutip beberapa contoh niat baik dalam menikah yang disampaikan oleh Al-Imam al-Habib Idrus bin Husain al-‘Idrus:
نَوَيْتُ بِهَذَا التَّزْوِيْجَ مَحَبَّةَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّعْيَ فِيْ تَحْصِيْلِ الْوَلَدِ لِبَقَاءِ جِنْسِ الْإِنْسَانِ –
Artinya: “Dengan pernikahan ini aku niat cinta kepada Allah Azza wa Jalla dan berusaha menghasilkan
anak untuk keberlangsungan manusia”.
نَوَيْتُ مَحَبَّةَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ تَكْثِيْرِ مَنْ بِهِ مُبَاهَاتُهُ –
Artinya: “Aku niat mencintai Rasulullah SAW di dalam memperbanyak orang yang akan dibanggakan oleh
Beliau”.
نَوَيْتُ بِهِ التَّبَرُّكَ بِدُعَاءِ الْوَلَدِ الصَّالِحِ بَعْدِيْ –
Artinya: “Aku niat menikah untuk mendapatkan berkah doa anak saleh setelah aku tiada”.
نَوَيْتُ بِهِ التَّحَصُّنَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَكَسْرَ التَّوْقَانِ وَدَفْعَ غَوَائِلِ الشَّرِّ وَغَضَّ الْبَصَرِ وَقِلَّةَ الْوَسْوَاسِ –
Artinya: “Aku niat menikah agar terjaga dari setan, memenuhi hasrat (yang tidak terkendalikan),
mencegah godaan-godaan kejelekan, memejamkan pandangan dari perkara haram,
meminimalisir godaan godaan”.
نَوَيْتُ حِفْظَ الْفَرْجِ مِنَ الْفَوَاحِشِ –
Artinya: “Aku niat menjaga farji (kemaluan) dari perbuatan-perbuatan hina (zina)”.
نَوَيْتُ بِهِ تَرْوِيْحَ النَّفْسِ وَإِيْنَاسَهَا بِالْمُجَالَسَةِ وَالنَّظَرِ وَالْمُلَاعَبَةِ إِرَاحَةً لِلْقَلْبِ وَتَقْوِيَّةً لَهُ عَلَى الْعِبَادَةِ –
Artinya: “Saya niat niat untuk membahagiakan dan menyenangkan hati dengan duduk bersama istri,
memandang dan bergurau dengannya agar menyenangkan dan menguatkan hati untuk
beribadah”.
نَوَيْتُ بِهَذَا التَّزْوِيْجِ مَا نَوَاهُ عِبَادُ اللهِ الصَّالِحُوْنَ وَالْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ –
Artinya: “Dengan pernikahan ini aku niat seperti yang diniati oleh hamba-hamba Allah yang saleh dan
para ulama yang mengamalkan ilmunya”. (al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumith, al-Minhaj as-
Sawi,Yaman, Dar al-‘Ilmi wa ad-Da’wah, cetakan pertama, 2008, halaman 684 – 685)
b. Pernikahan sebagai Ibadah yang Berpahala
Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar hubungan emosional atau kontrak sosial, melainkan bentuk ibadah. Setiap tindakan yang dilakukan suami-istri, mulai dari saling memperhatikan, bekerja sama dalam kebaikan, hingga saling mencintai, adalah bagian dari ibadah yang mendatangkan pahala. Bahkan, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa hal-hal kecil dalam pernikahan, seperti bercanda atau berhubungan suami istri, pun bisa berpahala ketika diniatkan karena Allah. Terdapat sebuah hadits yang menjelaskan hal demikian, yakni:
إن الرجل إذا نظر إلى امرأته ونظرت إليه نظر الله إليهما نظرة رحمة فإذا أخذ بكفها تساقطت ذنوبهما من خلال أصابعهما
Artinya: “Apabila seorang suami memandang istrinya dan istrinya memandang suaminya maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan rahmat (kasih sayang). Dan jika suami memegang tangan istrinya maka dosa keduanya akan berguguran dari celah jari-jarinya”.
Hadits lain dalam redaksinya yang cukup panjang bahkan menjelaskan bahwa hubungan suami-istri bisa bernilai ibadah jika diniatkan dengan baik:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Artinya: “Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Rasulullah SAW berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi SAW bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap tahmid adalah sedekah, tiap-tiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah“. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah SAW menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim no. 2376).
c. Menjadi Ladang Sabar dan Kesucian Hati
Pernikahan adalah gerbang untuk belajar kesabaran dan ketulusan. Tidak ada hubungan yang terbebas dari ujian, dan dalam pernikahan, ujian itu mungkin lebih besar karena ada tanggung jawab, kebiasaan, dan sifat yang berbeda. Suami dan istri akan diuji untuk tetap bersabar dan memahami satu sama lain. Kesabaran ini menjadi nilai ibadah yang sangat besar di sisi Allah dan bisa menjadi jalan bagi keduanya untuk memasuki surga. Seorang suami yang sabar atas omelan istrinya bahkan dijamin Rasulullah SAW akan mendapatkan pahala setara pahala Nabi Ayyub AS.:
وَرُوِيَ عَنِ الَّنبِي صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ مَن صَبَرَ عَلَى سُوءِ خُلُقِ امْرَأَتَهِ أَعْطَاهُ اللّٰهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَا أَعطَا أَيُّوبَ عليه السلام عَلى بَلَاءِهِ
Artinya: “Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda: “Barang siapa sabar atas jeleknya akhlak istrinya, maka Allah memberikan pahala kepada dirinya seperti pahala yang diberikan Allah kepada Nabi Ayyub AS atas cobaan (yang menimpa)”.
Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa Nabi Ayyub ialah Nabi Allah yang diuji dengan jalan diberikan berbagai macam penyakit dan kehilangan harta benda serta keturunan. Beliau menjalani semua itu dengan penuh kesabaran.
d. Sarana Menuju Ridha Allah melalui Peran dan Tanggung Jawab
Dalam pernikahan, laki-laki dan perempuan memiliki peran dan tanggung jawab yang diamanahkan oleh Allah. Suami memiliki kewajiban sebagai pemimpin rumah tangga yang bertanggung jawab untuk menjaga, melindungi, dan menafkahi keluarganya. Sebaliknya, istri memiliki peran penting dalam menjaga rumah tangga, mendidik anak, dan mendukung suaminya. Ketika masing-masing menjalankan peran ini dengan baik, maka mereka menjalani kehidupan pernikahan yang membawa ridha Allah. Suami yang berusaha melindungi keluarganya dan membimbing mereka ke jalan Allah memiliki kedudukan yang tinggi di sisi-Nya. Sebaliknya, istri yang taat kepada suami dan menjalankan peran keibuannya dengan ikhlas juga akan mendapatkan pahala yang besar.
إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
Artinya: “Apabila seorang wanita mendirikan sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.’” (HR. Ahmad).
e. Saling Menolong dalam Kebaikan dan Ketakwaan
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an bahwa laki-laki dan perempuan adalah penolong satu sama lain. Suami dan istri yang menikah karena Allah memiliki tujuan yang sama: menjadi lebih baik dan lebih taat kepada Allah. Melalui pernikahan, mereka saling membantu untuk menguatkan ibadah, menjaga diri dari dosa, dan terus mengingatkan dalam kebaikan. Dengan saling menasihati dan menjaga, pasangan suami istri bisa bersama-sama meraih keridhaan Allah, yang menjadi jalan menuju surga. Dalam surat An-Nisa ayat 19, Allah SWT memberikan perintah tegas untuk memperlakukan istri dengan sebaik mungkin (ma’ruf). Sebagian dari kebaikan tersebut ialah dengan saling mendukung: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara ma’ruf” Dalam surat Al-Baqarah ayat 228. Allah SWT juga menfirmankan hal yang sama: وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ Artinya: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”
f. Anak Saleh sebagai Penerus Amal Jariyah
Melalui pernikahan, pasangan suami istri dapat melahirkan keturunan yang saleh dan salehah. Dalam Islam, anak yang saleh adalah amal jariyah yang terus mengalir pahalanya meskipun orang tua sudah meninggal. Orang tua yang mengajarkan kebaikan dan menanamkan nilai-nilai Islam pada anak-anaknya akan mendapat balasan yang besar di akhirat. Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Artinya: “Apabila seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
g. Surga bagi Suami yang Memuliakan Istri dan Istri yang Taat Bagi seorang suami.
Memuliakan dan memperlakukan istrinya dengan baik adalah salah satu jalan menuju surga. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwa lelaki terbaik adalah mereka yang memperlakukan istrinya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Demikian juga, istri yang taat dan berbakti kepada suaminya serta menjaga amanah rumah tangga akan mendapatkan balasan surga.
Sayyidah Aisyah RA. meriwayatkan sebuah hadits, dimana Rasulullah SAW menyatakan:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي
Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi).
h. Mewujudkan Rumah Tangga sebagai Miniatur Surga
Pernikahan juga memberikan kesempatan bagi suami dan istri untuk menciptakan “surga” dalam rumah tangga mereka. Rumah tangga yang penuh dengan kasih sayang, kebahagiaan, dan keberkahan menjadi cerminan kehidupan surga di dunia. Dengan hidup saling mendukung dan saling memahami, rumah tangga menjadi tempat yang penuh kedamaian dan kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarga. Dalam surat Ar-Rum ayat 21, Allah SWT berfirman:
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Pernikahan adalah gerbang surga yang Allah siapkan bagi laki-laki dan perempuan yang mau menjalankan kehidupan rumah tangga dengan ikhlas, sabar, dan penuh rasa tanggung jawab. Pernikahan bukan hanya tentang kebahagiaan dunia, tetapi juga ladang untuk mengumpulkan pahala menuju akhirat. Suami dan istri yang menjalani pernikahan dengan niat ibadah, ketakwaan, dan saling mendukung dalam kebaikan, insya Allah, akan meraih keridhaan Allah dan meraih surga sebagai ganjaran yang indah.
C. PENUTUP
Pernikahan dalam Islam bukan hanya sekadar penyatuan dua insan, tetapi merupakan ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah SWT. Dalam Al-Qur’an dan hadits, pernikahan digambarkan sebagai jalan menuju ketenangan, kebahagiaan, dan keberkahan hidup. Melalui pernikahan, manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan fitrahnya, tetapi juga menjalankan salah satu sunnah Rasulullah SAW. Oleh karena itu, memahami hikmah pernikahan Islam menjadi hal penting agar setiap pasangan menyadari makna mendalam di balik ikatan suci ini.
Pernikahan memiliki banyak hikmah, baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat. Dengan memahami hikmah tersebut, umat Islam dapat menata niat pernikahannya agar selalu berorientasi pada ibadah dan ridha Allah SWT. Pernikahan bukan sekadar akad di depan penghulu, tapi perjalanan panjang menuju akhir hayat. Dari awal ijab kabul hingga salah satu berpulang, pahala terus mengalir bagi yang menjalaninya dengan iman dan takwa. Rumah tangga adalah bahtera ibadah. Di dalamnya ada kesempatan meraih pahala besar melalui cinta, tanggung jawab, dan pengorbanan. Pernikahan menjaga separuh agama kita, dan sisanya adalah ketakwaan yang terus dijaga.
Maka jadikan rumah tangga sebagai ladang amal dan jalan menuju surga. Karena sejatinya, surga itu bisa dimulai dari dalam rumah kita. Pernikahan bukan hanya tentang kebahagiaan dunia, tetapi juga ladang untuk mengumpulkan pahala menuju akhirat. Suami dan istri yang menjalani pernikahan dengan niat ibadah, ketakwaan, dan saling mendukung dalam kebaikan, insya Allah, akan meraih keridhaan Allah dan meraih surga sebagai ganjaran yang indah. Wallahu a’lam bis shawab.
———
**)Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang-Banten, da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan








