Nikah siri, yang juga dikenal dengan nikah di bawah tangan atau nikah liar, adalah pernikahan yang dilangsungkan tanpa tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru dan sepertinya akan tetap berlangsung selama dipersepsikan sebagai praktik yang lumrah dan biasa. Nikah siri, selain memiliki penyebab, juga menimbulkan dampak yang belum banyak diketahui dan dipahami masyarakat secara umum.
Penulis adalah penghulu fungsional yang bertugas di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan dari tahun 2011 sampai sekarang. Sekarang penulis bertugas di KUA Sungai Pandan. Tulisan ini menyajikan beberapa penyebab dan dampak nikah siri berdasarkan kasus-kasus yang ditemukan penulis selama bertugas di KUA. Sajian ini diharapkan dapat dipahami semua pihak, karena nikah siri tidak hanya dipraktikkan masyarakat biasa tapi juga oleh masyarakat yang berpendidikan bahkan berstatus ASN.
PENYEBAB NIKAH SIRI
Usia calon pengantin belum 19 tahun. Usia pasangan calon pengantin (catin) yang diizinkan menikah adalah 19 tahun. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 juga menjelaskan bahwa dalam keadaan sangat mendesak orang tua dapat meminta dispensasi kepada pengadilan agama. Pasangan catin, baik keduanya atau salah satunya yang usianya kurang dari 19 tahun, lebih memilih nikah siri daripada mengajukan dispensasi nikah di Pengadilan Agama. Alasan mereka adalah (1) sebab tidak mengetahui bahwa dapat dimintakan dispensasi kepada pengadilan agama, (2) sebab hari dan tanggal resepsi pernikahan sudah ditetapkan sehingga untuk mengurus ke Pengadilan Agama tidak memungkinkan, (3) sebab Pengadilan Agama memutuskan ditolak namun mereka tetap melangsungkan nikah siri, (4) sebab tidak berani atau tidak memahami tata cara pengurusan di Pengadilan Agama.
Poligami. Peraturan Menteri Agama Nomor 30 tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan mengatur bahwa bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang harus menyertakan penetapan izin poligami dari pengadilan agama. Ketidaktahuan terhadap peraturan tersebut, walaupun alasan ini sangat jarang ditemukan, adalah salah satu penyebab suami melangsungkan nikah siri dengan calon istri kedua. Adapun yang banyak ditemukan adalah seorang suami tidak mendapatkan persetujuan dari istri pertama, dan calon istri kedua bersedia nikah siri.
Belum memiliki akta cerai. Pasangan suami istri, menurut penyataan mereka, telah lama ”bercerai” namun tidak dilakukan di pengadilan agama sehingga mereka tidak memiliki akta cerai. Seorang wanita, yang beranggapan telah lama dicerai suaminya, ketika dipinang oleh laki-laki lain lebih memilih nikah siri daripada mengurus perceraiannya di pengadilan agama terlebih dahulu. Seorang wanita perawan kadang juga bersedia dinikahi siri oleh laki-laki yang pernah beristri dan mengaku telah menceraikan istrinya tanpa proses pengadilan.
Nikah siri sebelumnya. Pasangan suami istri dengan status nikah siri, status perkawinan mereka di Kartu Keluarga tertulis ”Kawin belum Tercatat”. Apabila kemudian mereka bercerai, maka status perkawinan mereka menjadi ”Cerai Hidup belum Tercatat”. Dengan status tersebut, apabila mereka hendak nikah dengan calon pasangan baru, mereka akan kembali melakukan nikah siri karena tidak memiliki akta cerai.
Untuk kasus ini, untuk mendapatkan akta cerai, dapat diupayakan dengan cara itsbat nikah untuk bercerai di pengadilan (KHI pasal 7 ayat 3 huruf a). Namun ada juga yang ”kemungkinan besar” tidak dapat diupayakan, misalnya bagi seorang wanita perawan yang dinikahi siri oleh seorang laki-laki yang beristri atau sebaliknya.
Waktu. Pasangan suami istri dengan status nikah siri, selain sebagaimana diuraikan di atas, beralasan tidak cukup waktu untuk mengurus kelengkapan syarat-syarat pendaftaran kehendak nikah. Alasan tidak cukup waktu misalnya adanya kesibukan, tempat tinggal jauh dari kantor desa/keluharan, dan lain-lain.
Tidak mendapat izin wali. Wali nikah adalah salah satu rukun nikah. Dalam keadaan tertentu, terdapat wali nikah (wali nasab) yang adhal atau enggan menikahkan seorang wanita, misalnya seorang ayah enggan menikahkan anaknya dengan seorang laki-laki. Seorang wanita, sebab wali nikahnya enggan menikahkannya dengan seorang laki-laki, memilih nikah siri dengan wali muhakkam.
KHI pasal 23 ayat 2 dan PMA nomor 30 tahun 2024 pasal 13 ayat 6 menerangkan bahwa wali nikah bagi seorang wanita yang walinya adhal adalah wali hakim setelah ada putusan pengadilan agama. Wali hakim adalah ”penghulu yang diberi tugas tambahan sebagai kepala KUA”. Aturan ini, menurut sebagian masyarakat, dianggap mempersulit pasangan calon pengantin yang hendak menikah di KUA, sehingga mereka memilih nikah siri.
Ekonomi. Alasan ini sebenarnya tidak logis karena nikah di KUA gratis, namun alasan ini ditemukan pada sebagian kecil masyarakat. Dalam hal ini, penulis belum memverifikasi kapan pernikahan mereka berlangsung dan dari mana atau dari siapa mereka mendapatkan infomasi tersebut. Sehingga dalam beberapa kesempatan, penulis sering menyampaikan aturan tentang biaya pernikahan.
Ketidaktahuan akan aturan. Selain kasus-kasus yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti ketidaktahuan bahwa usia catin yang belum 19 tahun dan izin poligami dapat dimintakan dispensasi kepada pengadilan agama, juga terdapat sebab ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan lain tentang pernikahan yang menyebabkan mereka melangsungkan nikah siri. Contohnya, pasangan suami istri, dengan status nikah siri, melangsungkan nikah siri pada usia 19 tahun ke atas karena mereka mengira bahwa usia minimal untuk menikah adalah 20 tahun atau lebih.
Persepsi. Terdapat anggapan sebagian kecil masyarakat bahwa nikah di KUA sulit atau istilah lain ”ribet”. Padahal ”sulit” berbeda dengan ”dipersulit”. Selama sesuai peraturan seyogyanya syarat-syarat yang ditetapkan tidak dapat dikatakan sulit. Sebagai contoh syarat yang dianggap sulit adalah sebagaimana uraian di atas, syarat dispensasi pengadilan bagi catin yang belum berusia 19 tahun, izin poligami dari pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang, dan penetapan wali hakim dari pengadilan agama bagi wali nikah yang enggan. Selain itu, contoh lain adalah catin belum memiliki akta kelahiran dan catin belum mengambil akta cerai di pengadilan agama.
Anggapan lain sebagian kecil masyarakat, khususnya bagi catin yang tidak sempat melengkapi syarat-syarat pernikahan, adalah nikah siri sudah sah dan nikah di KUA hanya formalitas. Bahkan ada yang cenderung ”abai”, khususnya catin yang sebenarnya cukup kelengkapan syarat-syarat pernikahan, dengan mengatakan ”nanti gampang saja nikah ulang di KUA”.
Beberapa penyebab nikah siri tersebut, sehingga membuat nikah siri tetap langgeng pada sebagian kecil masyarakat, dimungkinkan karena mereka tidak mengetahui dampak setelah nikah siri. Oleh karena itu, penting disampaikan beberapa dampak dari nikah siri.
DAMPAK NIKAH SIRI
Jarak tanggal nikah dan lahir anak berdekatan. Kartu Keluarga merupakan dokumen kependudukan yang berisi identitas keluarga, seperti nama, tanggal lahir dan tanggal pernikahan. Apabila pasangan suami istri yang telah nikah siri kemudian mendaftarkan pernikahan mereka di KUA saat istri sedang mengandung beberapa bulan, maka tidak beberapa lama setelah mereka akad nikah akan anak lahir. Ketika mereka mengurus kartu keluarga di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil maka di kartu keluarga tertulis tanggal nikah sesuai buku nikah dan tanggal lahir anak sesuai keterangan lahir dari bidan, sehingga jarak antara tanggal nikah dan tanggal lahir anak berdekatan (kurang dari sembilan bulan).
Keraguan akan keabsahan nikah. Lembaga yang berwenang menetapkan keabsahan pernikahan adalah pengadilan agama, sebagaimana diatur dalam KHI pasal 7 ayat 3. Beberapa warga yang konsultasi tentang keabsahan pernikahan disarankan untuk ke pengadilan agama.
Contoh nikah siri yang ”diragukan” keabsahannya, Pertama, Seorang wanita yang pernah bersuami resmi, kemudian nikah siri dengan seorang laki-laki lain, berpendapat bahwa dia telah bercerai dengan suaminya karena suaminya tidak menafkahinya selama tiga bulan. Pendapat seperti ini sering ditemukan di masyakarat, padahal redaksi sighat taklik menyebutkan bahwa talak suami jatuh kepada istrinya apabila istrinya tidak rida, sebab suami melanggar sighat taklik, kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan agama dan gugatannya diterima serta membayar iwad sebesar Rp. 10.000,-. Kedua, penetapan wali nikah. Dalam hal ini, ditemukan tiga pasangan suami istri yang telah menikah secara siri, baik untuk mendaftar nikah atau konsultasi terkait status pernikahan mereka. Pasangan pertama mendaftar nikah dalam keadaan istri sedang hamil 6 bulan dari pernikahan siri. Pada pernikahan siri tersebut, yang menjadi wali nikah adalah saudara kandung padahal ayah kandung masih hidup. Pasangan kedua mendaftar nikah dalam keadaan istri sedang hamil 7 bulan dari pernikahan siri. Ketika nikah siri, wali nikahnya adalah wali muhakkam karena tidak ada wali nasab. Padahal seharusnya yang menjadi adalah wali hakim. Selain itu, dalam proses pengangkatan wali muhakkam hanya dilakukan pihak istri. Pasangan ketiga konsultasi pernikahan siri mereka dan telah dikaruniai seorang anak yang berumur dua tahun. Pernikahan siri dilaksanakan dengan wali muhakkam karena wali nasab (ayah) enggan menjadi wali nikah, seharusnya wali hakim. Pasangan ketiga ini disarankan ke Pengadilan Agama dan putusan pengadilan menyatakan pernikahan mereka tidak dapat diterima karena kesalahan penetapan wali nikah. Ketiga, seorang wanita menjadi istri kelima. Islam mengajarkan seorang suami hanya diperkenankan memiliki empat orang istri. Berkenaan dengan kasus ini, terdapat seorang wanita yang dinikahi secara siri oleh seorang laki-laki yang beristri empat. Dimana pernikahan mereka sudah berlangsung bertahun-tahun. Hal ini terjadi karena ketidaktahuan wanita tersebut.
Nikah berikutnya siri lagi. Ketika seorang wanita perawan (atau sebaliknya) dinikahi oleh seorang laki-laki yang masih beristri atau dinikahi oleh seorang laki-laki yang mengaku telah menceraikan istri pertamanya namun tidak memiliki akta cerai, maka status perkawinan mereka di kartu keluarga ”Kawin belum Tercatat”. Apabila mereka bercerai maka status perkawinan mereka di kartu keluarga ”Cerai Hidup belum Tercatat” (Permendagri No. 109 Tahun 2019). Dampak dari status cerai tersebut, ketika mereka hendak menikah di KUA dengan calon pasangan baru, mereka tidak dapat melampirkan akta cerai sehingga dimungkinkan mereka akan kembali menikah secara siri.
Pasangan suami istri tidak bisa mendapatkan buku nikah. Berkenaan dengan hal ini, terdapat tiga contoh. Contoh pertama, pasangan suami istri berstatus jejaka/perawan menikah secara siri sebab usia belum 19 tahun dan pernikahan mereka belum memiliki anak. Contoh kedua, pasangan suami istri berstatus duda/janda menikah secara siri sebab mengabaikan urusan pernikahan tercatat dan pernikahan mereka juga belum memiliki anak. Contoh ketiga, pasangan suami istri menikah secara siri sebab keduanya atau salah satunya tidak memiliki akta cerai dengan pasangan mereka sebelumnya. Untuk kepentingan tertentu pasangan-pasangan suami istri tersebut telah mengurus kartu keluarga dengan status ”kawin belum tercatat”.
Istri ”tidak dapat” menikah dengan calon suami baru. Kasus ini terjadi ketika seorang wanita dinikahi secara siri oleh seorang laki-laki beristri. Setelah beberapa lama mereka menjadi pasangan suami istri siri dan kemudian terjadi ketidakcocokan. Dalam hal ini, terdapat dua contoh kasus, pertama suami tidak berkenan menceraikan istrinya dan kedua suami pergi tanpa menceraikan istrinya dan keberadaannya tidak diketahui. Umumnya nikah siri tidak ada sighat taklik talak dari suami, sehingga seorang istri tidak dapat menikah dengan calon suami baru.
Demikian, uraian berkenaan dengan penyebab dan dampak dari praktik pernikahan siri bagi masyarakat. Diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan sehingga pernikahan siri tidak dipandang sebagai ”solusi” dalam pernikahan.