Oleh: H. Jinto, S.H.I
Kepala KUA/ Penghulu Ahli Madya KUA Kec. Kemalang Kab. Klaten
“Kok buku nikah (sighat ta’liq) nya langsung ditanda tangani pengantin laki-laki pak? kenapa tidak dibaca terlebih dahulu sighat ta’liq pak?” Tanya seorang saksi dalam sebuah upacara akad nikah kepada penghulu. “Biasanya kan membaca?” kembali ia bertanya, padahal pertanyaan yang pertama belum dijawab.
Begitulah yang sering terjadi di perhelatan akad nikah. Penghulu ternyata berbeda-beda dalam menerapkan tata urutan upacara akad nikah. Ada yang tidak meminta pengantin laki-laki membaca sighat ta’liq usai akad nikah, ada yang meminta suami membaca tanpa suara tetapi ada juga yang menyuruhnya membaca dengan suara nyaring. Tetapi yang menarik rata-rata para penghulu menyuruh pengantin laki-laki menandatangani naskah sighat ta’liq yang tercantum pada buku nikah. Dan karena tanda tangan suami itulah suatu saat dapat menjadi bukti di Pengadilan Agama apabila istri mengajukan gugat cerai.
Perilaku penghulu tersebut paralel dengan amar putusan hakim di Pengadilan Agama. Sejumlah lampiran putusan Pengadilan Agama tentang gugat cerai yang diajukan istri banyak yang masih mendasarkan pada sighat ta’liq. Bahkan hasil penelitian Fatha Aulia Riska pada Pengadilan Agama Tulung Agung menyebutkan bahwa 40 persen putusan gugat cerai di pengadilan tersebut mendasarkan pada suami yang melanggar sighat ta’liq.
Sighat Ta’liq.
Secara lengkap bunyi Sighat ta’liq adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Sesudah akad nikah saya …… bin .…. berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami dan akan saya pergauli istri saya bernama ……. Binti ……. dengan baik (mu’asyarah bi al ma’ruf) menurut ajaran agama islam.
Selanjutnya saya membaca sighat taklik atas istri saya sebagai berikut:Sewaktu-waktu saya:
1.Meninggalkan istri saya 2 tahun berturut-turut.
- Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
- Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya,
- Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) istri aya 6 bulan lamanya, kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000 sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam cq. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah untuk keperluan Ibadah Sosial. (Suami)”
Dasar hukum
Hukum positif pembacaan sighat ta’liq talaq adalah Maklumat Kementerian Agama Nomor 3 tahun 1953. Inti dari maklumat tersebut adalah bahwa hendaknya suami setelah akad nikah agar membaca sighat ta’liq. Dan ternyata perkembangan mutakhir tentang sighat ta’liq ini adalah begitu mudahnya seorang istri mengajukan gugat cerai. Karena saking mudah dan murahnya talak khulu’ ini perkembangan perceraian di Indonesia itu lebih banyak yang gugat cerai dari istri dengan memakai khulu’ dibanding talak biasa.
Pendapat M. Quraish Shihab
Pendapat adalah merupakan ijtihad hukum dan implementasi Pendapat ke dalam administrasi pernikahan merupakan bentuk positifikasi hukum munakahat. Karena itu penghulu sebagai administrator hukum munakahat sudah semestinya bukan hanya memahami teknis administrasinya tetapi juga mengerti “asbabul wurud” dari teknis administrasi tersebut. Dengan langkah ini penghulu akan merasakan adanya “ ruh” dibalik lembaran-lembaran berkas pernikahan. Bila tidak, yang terjadi adalah sekularisasi dari administrai pernikahan. Bila demikian, tidak ada lagi perbedaan antara Kantor Catatan Sipil dengan Kantor Urusan Agama.
Terkait dengan masalah tersebut, M. Quraish Shihab telah mengeluarkan Pendapat. “Memang ta’liq itu sendiri sah-sah saja dan merupakan upaya pembelaan terhadap hak-hak istri menghadapi kemungkinan kesewenangan suami, akan tetapi membacanya saat akad sambil menyebut perceraian dihadapan hadirin dinilai sebagai sesuatu yang kurang pada tempatnya. Dalam kontek ini, kalaupun ta’liq itu dianggap sangat diperlukan, maka bisa saja calon suami diminta untuk mempelajarinya sekian lama sebelum akad nikah, lalu pada saat akad, wali menanyakan kepadanya: “apakah anda telah membaca dan memahami redaksi ta’liq dan bersedia menandatanganinya?” jika ia besedia, maka tanpa membacanya lagi ia langsung menandatanganinya. Cara semacam ini jauh lebih baik daripada menyodoran kepadanya naskah ta’liq yang kemungkinan besar belum pernah dibacanya apalagi dipahamimnya dengan baik dan bila demikian halnya, maka yang bersangutan telah dipojokkan di depan hadirin, karena tentu saja ia tidak dalam posisi untuk berkata : “tidak bersedia”.” M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 64-65.
Wallahul Muwafiq ila Aqwamit Thoriq