PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

 

 

KATA PENGANTAR

 

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada Rasulullah saw. Berkat limpahan serta rahmatnya, penulis dapat merampungkan makalah ini. Penulis meminta maaf jika di dalam penyusunan artikel   atau   materi ini tidak maksimal. Artikel ini disusun agar pembaca bisa memperluas pengetahuan yang saya sajikan dari beragam sumber informasi, referensi, serta berita.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada admin Pustaka Penghulu yang telah memberikan kesempatan untuk mengirim artikel ini dan semoga bermanfaat, dapat  menambah  wawasan  dan pengetahuan sesuai dengan jurusan yang dipelajari. Penulis menyadari, makalah yang di tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun, penulis nantikan demi kesempurnaan  makalah ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

 

 

Purwakarta, 13 Mei 2024 M

 

Penyusun

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. i

DAFTAR ISI. ii

BAB I. 1

PENDAHULUAN.. 1

  1. Latar Belakang. 1
  2. Rumusan Masalah. 2

BAB II. 3

PEMBAHASAN.. 3

  1. Paradigma Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. 3
  2. Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia. 5
  3. Aspek-aspek Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia. 6
  4. Contoh Kasus Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Putusan Pengadilan Agama 12

DAFTAR PUSTAKA.. 15

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hukum keluarga Islam sebagai tawaran untuk menyelesaikan beberapa permasalahan, sebab hukum keluarga dianggap sebagai inti syariah. Pada hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif, artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga berakibat kepada anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam.

Secara historis, berbagai regulasi hukum keluarga di Indonesia dijabarkan secara personal oleh para ulama atas dasar pembacaan dan pembelajaran mereka dari guru-guru mereka. Pada sisi inilah maka progresivitas hukum menjadi terhambat karena penjelasan dari para ulama dianggap sakral dan tidak boleh dipertentangkan apalagi dievaluasi dan direvisi. Tidak bisa dipungkiri bahwa era stagnasi (jumud) ilmu pernah terjadi pada masa lalu akibat sakralisasi masyarakat terhadap ulama, baik pribadinya maupun pemikirannya.

Di Indonesia, upaya konkret pembaruan hukum keluarga Islam dimulai sekitar tahun1960-an yang kemudian berujung lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum hukum perkawinan diatur, urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, antara lain hukum adat, hukum Islam tradisional, ordonasi perkawinan Kristen, hukum perkawinan campuran dan sebagainya sesuai dengan agama dan adat istiadat masing- masing penduduk. Upaya pembaruan hukum keluarga berikutnya terjadi pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali. Upaya ini ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang diperuntukkan untuk umat Islam.

Saat ini umat Islam di Indonesia merasa nyaman dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam dan berimplikasi pada sakralitas baru sehingga KHI seolah-olah tidak lagi dapat dievaluasi apalagi direvisi. Padahal, sejarah banyak  hal hukum keluarga. Oleh karena itu, melalui pendekatan historis, makalah ini akan menggambarkan secara holistik sejarah evolusi hukum keluarga Islam di Indonesia seputar konsep, metode dan model pembaharuannya serta aspek pembaharuan yang dilakukan.

Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum di dunia ini banyak yang hilang dari peredaran, kecuali hukum keluarga. Dewasa ini hukum Islam bidang keluarga di Indonesia yang mempunyai daya tahan dari hempasan arus westernisasi yang dilaksanakan melalui sekularisme di segala bidang kehidupan, telah diperbaharui, dikembangkan selaras dengan perkembangan zaman, tempat, dan dikodifikasikan, baik secara parsial, maupun total, yang telah dimulai secara sadar sejak awal abad XX setahap demi setahap.2 Perkembangan hukum Islam bidang keluarga di Indonesia cukup terbuka disebabkan antara lain oleh Undang- Undang Dasar 1945 atau dengan ungkapan lain bahwa konstitusi sendiri memang mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan hukum keluarga, agar kehidupan keluarga yang menjadi sendi dasar kehidupan masyarakat, utamanya kehidupan wanita, isteri, ibu dan anak-anak di dalamnya, dapat terlindungi dengan ada kepastian hukumnya.

B.     Rumusan Masalah

  1. Paradigma Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia
  2. Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
  3. Aspek-Aspek Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
  4. Contoh kasus Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Putusan Pengadilan Agama.

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Paradigma Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia

Secara garis besarnya, hukum Islam meliputi empat bidang, yaitu: pertama, bidang ibadah, yakni merupakan penataan hubungan antara manusia dengan Allah Swt. Kedua, bidang munakahah, merupakan penataan hubungan antara manusia dalam lingkungan keluarga. Ketiga, bidang muamalah, merupakan penataan hubungan antar manusia dalam pergaulan hidup masyarakat. Keempat, bidang jinayah, merupakan penataan pengamanan dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin kes- elamatan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat.[1]  Sedangkan menurut A. Jazuli, hukum Islam meliputi: bidang ibadah, bidang ahwal al-Syakhshiyah (perkawinan, kewarisan, wasiat, dan wakaf ), bidang muamalah (dalam arti sempit), bidang jinayah, bidang aqdhiyah (per- adilan), dan bidang siyasah (dusturiyah, maliyah, dan dauliyah).[2] Pembidangan hukum Islam tersebut, sejalan dengan perkemba- ngan pranata sosial, sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Oleh karena itu, semakin beragam kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata sosial, maka semakin berkembang pula pemikiran ulama dan pembidangan hukum Islam pun mengalami pengembangan. Hal itu menunjukkan, terdapat korelasi positif antara perkembangan pranata sosial dengan pemikiran ulama secara sistematis. Atau sebaliknya, penyebarluasan produk pemikiran ulama yang mengacu kepada firman Allah melahirkan berbagai pranata sosial.[3]

Hukum Islam yang termaktub di dalam ayat-ayat ahkam, hadis- hadis ahkam, dan terutama di dalam kitab-kitab fikih dipahami terus mengalami perkembangan dan pengembangan. Dalam proses pengem- bangan, hukum Islam mengalami internalisasi ke dalam berbagai pra- nata sosial yang tersedia di dalam masyarakat. Terjadi proses alokasi hukum Islam, dalam dimensi syari’ah ke dalam pranata sosial, menjadi landasan dan memberi makna serta arah dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Hasil dari proses pengembangan hukum Islam yang terjadi dalam rentang waktu berabad-abad, berkembang berbagai pra- nata sosial yang bercorak keislaman.[4]

Pranata-pranata sosial dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: pertama, ia merupakan aktualisasi hukum Islam yang tertumpu kepada interaksi sosial yang mempola setelah mengalami pergumulan dengan kaidah-kaidah lokal yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang majemuk. Dalam pergumulan itu, terjadi adaptasi dan modifikasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal. Dengan perkataan lain bahwa proses sosialisasi dan institusionalisasi hukum Islam terjadi dalam hubungan timbal balik dengan kaidah-kaidah lokal yang dianut. Selain itu, terjadi intervensi hukum barat terutama sejak masa penjajahan Belanda.

Kedua, pranata-pranata sosial merupakan perwujudan interaksi sosial di dalam masyarakat Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Interaksi sosial itu berpatokan dan mengacu kepada keyakinan (kesepakatan tentang benar dan salah), nilai (kesepakatan tentang baik dan buruk), dan kaidah (kesepakatan tentang yang mesti dilakukan dan yang mesti ditinggalkan), yang dianut oleh mereka. Ia merupakan per- wujudan amal shaleh sebagai ekspresi keimanan dalam interaksi sosial.[5]

Dengan demikian, pembaruan hukum Islam sebagai aktualisasi perintah Allah mempunyai beragam bentuk dan mencakup beragam pranata sosial. Oleh karena itu, pembaruan hukum Islam di Indonesia terpola pada internalisasi hukum Islam ke dalam pranata-pranata sosial atau sebaliknya pranata sosial terinternaliosasi ke dalam hukum Islam. Pada konteks ini, tampak relasi yang saling mendukung antara hukum Islam dan pranata sosial.

B.   Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Pembaruan pemikiran hukum Islam pada masa kontemporer, umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang digunakan lebih cendrung menekankan wahyu dari sisi konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dengan perubahan sosial tidak hanya disusun dan dipahami melalui interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Ada dua konsep dalam pembaruan, yakni; (1) konsep konvensional, dan (2) konsep kontemporer yang muncul dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam kontemporer dalam bentuk kodifikasi.

Penerapan metode konvensional, para ulama terlihat dalam berijtihad dan menerapkan pandanagn hukumnya dengan mencatat ayat al Quran dan Sunnah. Para ahli menetapkan, ada beberapa cirihas atau karasteristik metode penetapan hukum Islam (fiqh) yaitu; menggunakan pendekatan parsial (global), kurang memberikan perhatian terhadap sejarah, terlalu menekankan pada kajian teks/harfiah, metodologi fiqh seolah-olah terpisah dengan  metodologi  tafsir,  terlalu  banyak  dipengaruhi  budaya-budaya dan  tradisi-tradisi setempat, dan dalam beberapa kasus di dalamnya meresap praktek-praktek tahayul, bid’ah dan kufarat, khususnya yang berkaitan dengan ibadah. Masuknya unsur politik di dalamnya atau pengaruh kepentingan penguasa dalam menerapkan teori-teori fiqh.

Sedangkan metode kontemporer pada prinsipnya metode pembaruan yang digunakan dalam melakukan kodifikasi hukum keluarga Islam kontemporer di Indonesia yaitu:

 

  • Takhayyur yaitu memilih pandangan salah satu ulama fiqh, termasuk ulama di luar madzhab, takhayyur secara substansial disebut tarji
  • Talfiq, yaitu mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama (dua atau lebih) dalam menetapkan hukum satu masa
  • Takhshish al-qadla, yaitu hak negara menbatasi kewenangan peradilan baik dari segi orang, wilayah, yuridiksi dan hukum acara yang ditetapkan.
  • Siyasah syar’iyah  yaitu  kebijakan  penguasa  menerapkan  peraturan  yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari’ah, reinterpretasi nash terhadap nash (al Quran dan sunnah).

Adapun sifat dan metode reformasi yang digunakan di negara-negara muslim modern (termasuk Indonesia) dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

 

  • Intra doctrinal reform tetap merujuk pada konsep fiqh konfensional dengan cara; tahyir  (memilih   pandangan   salah   satu   ulama   fiqh,   termasuk   ulama diluar    madzhab), dapat pula disebut tarjih, dan talfiq, (mengkombinasikan sejumlah pendapat).
  • Extra doctrinal reform pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fiqh konvensional tapi merujuk pada nash al Quran dan sunnah dengan melakukan penafsitran ulang terhadap nash (reinterpretasi).[6]

 

C.    Aspek-aspek Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Pembaruan hukum keluarga Islam merupakan kebutuhan yang harus segera direspon sebagai upaya memberikan jawaban terhadap problema kontemporer. Formulasi hukum keluarga Islam yang tertuang dalam kitab-kitab fikih bukan rumusan baku yang tidak boleh berubah, melainkan harus dipandang sebagai penafsiran atau rumusan para ulama pada zamannya yang membutuhkan kritisisme sesuai dengan tuntutan perubahan. Oleh karena itu, hukum keluarga Islam harus senantiasa ditafsir agar responsif dengan persoalan umat tanpa harus kehilangan prinsip dasarnya. Hal ini penting agar hukum keluarga Islam tidak mengalami fosilisasi), dan pada gilirannya akan kehilangan aktua- litanya dan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri.

Dalam konteks pembaruan hukum Islam dalam hukum keluarga di Indonesia, menampakkan potret pembaruan yang unik sekaligus pro- blematik. Dikatakan demikian karena di Indonesia berlaku tiga sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Ketiga sis- tem hukum ini, menurut Hooker tidak ada satupun sistem hukum yang saling menyisihkan. Di lain pihak, kesamaan derajat berlakunya ketiga sistem hukum ini tidak selamanya berjalan dalam jalur yang searah. Akan tetapi, pada situasi dan kondisi tertentu kadangkala ketiga sistem hukum ini berada dalam konflik.24  Konflik ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, pada akhirnya melahirkan ketegangan. Ketega- ngan yang terjadi antara ketiganya pada gilirannya menjadi problem yang serius dalam pembaruan hukum Islam di Indonesia.

Dengan demikian, pembaruan hukum Islam dalam hukum keluarga di Indonesia tidak tunggal dan berdiri sendiri. Akan tetapi, selalu konfiguratif dengan aspek-aspek yang mengitarinya. Aspek-aspek yang terkait dengan pembaruan hukum keluarga di Indonesia, antara lain:

  1. Aspek Material

Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, pembaruan materi hukum mulai dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengganti hukum warisan kolonial Belanda yang bertentangan dengan konstitusi Negara Indonesia merdeka. Menurut Hazairin, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan UUD 1945 dijadikan sebagai konstitusi Negara, maka semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda tidak berlaku lagi.[7] Dengan demikian pembaruan materi hukum di Indonesia dimaksudkan untuk mengganti produk-produk hukum yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini penting karena beberapa produk hukum kolonial Belanda yang sampai saat ini tetap berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip dasar negara Indonesia yang merdeka.

Dalam kerangka pembaruan hukum keluarga Indonesia, hukum Islam meempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Dikatakan demikian karena hukum keluarga Islam, di samping diakui sebagai sumber hukum secara yuridis, juga mempunyai prinsip-prinsip yang universal serta sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Bahkan, secara sosiologis hukum keluarga Islam telah mengakar dan menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah mayoritas masyarakat Indonesia.

  1. Aspek Metodologis

Pembaruan hukum Islam dalam konteks hukum keluarga di Indo- nesia, bukan persoalan yang mudah. Paling tidak, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:

  1. Kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang pluralistik harus menjadi salah satu variabel pertimbanga Hal ini penting untuk menghindari pembaruan hukum Islam yang kontra produktif sehingga merugikan umat Islam sendiri.
  2. Pembaruan hukum yang dilakukan harus memperhatikan aspek metode perumusan hukum Islam dalam kontek pembaruan hukum keluarga Indonesi Hal ini dimaksudkan agar formulasi hukum Islam yang dirumuskan tidak bertentangan dengan kesa- daran dan karakteristik hukum nasional.

Dalam konteks pembaruan hukum Islam, aspek metodologi dipan- dang sebagai faktor yang menentukan wujud hukum (hasil ijtihad) yang dilakukan. Oleh karena itu, dalam kerangka pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat dan sesuai dengan karakteristik hukum nasional, dapat digunakan beberapa pendekatan, yaitu :

  1. Pendekatan historis, dimaksudkan untuk mengetahui latarbelakang sejarah suatu produk hukum. Penerapan pendekatan historis dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia dapat dilihat pada ketentuan pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 6 ayat 1 dan 2 KHI yang mengatur tentang ketentuan pencatatan per- kawinan. Dalam kitab-kitab fikih klasik tidak ditemukan ketentuan tentang pencatatan perkawinan. Menurut Ahmad Rofiq bahwa tidak ditemukannya ketentuan pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fikih klasik karena pada waktu itu tingkat amanah kaum muslimin masih tinggi, sehingga kemungkinan penyelewengan perkawinan relatif kecil.[8] Dengan demikian, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin modern dan semakin kompleksnya problema masyara- kat, maka ketentuan pencatatan perkawinan menemukan vitalitasn
  2. Pendekatan Maslahah, Tingkat kemaslahatan suatu rumusan pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia, idealnya dijadikan sebagai ruh dari setiap ketentuan hukum. Oleh karena itu, ketentuan pencatatan perkawinan dipandang sebagai prestasi brilian para pakar hukum Islam di Indonesia. Dikata- kan demikian karena pencatatan perkawinan mengandung nilai kema- slahatan yang tinggi dan merupakan solusi hukum atas merebaknya perkawinan di bawah tangan (baca; nikah sirri).28 Dengan demikian, ber- dasarkan pertimbangan maslahat dapat dikatakan bahwa perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah karena di samping bertentangan dengan ketentuan hukum positif Indonesia juga bertentangan ruh syari’a
  3. Pendekatan Realitas Sosial, Pendekatan realitas sosial secara konseptual dimaknai sebagai upaya melakukan  pembaruan hukum dengan menghadirkan pen- dekatan realitas sosial dan pendekatan lainnya secara simultan dalam merumuskan (istinbath) hukum. Artinya bahwa dalam kerangka pem- baruan hukum keluarga Islam, realitas sosial menjadi salah satu varia- bel dalam proses analisis atau penemuan hukum sehingga suatu hukum tidak hanya diderivikasi dari teks. Penerapan pendekatan realitas empiris dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia dapat dilihat pada beberapa ketentuan hukum dalam KHI, seperti ketentuan harta orang tua yang dihibahkan kepada anaknya dan setelah orang tua meninggal harta hibah tersebut diperhitungkan sebagai warisan bagi anak yang bersangkuta Ketentuan yang demikian tidak ditemukan dalam litera- tur fikih klasik dan hanya ditemukan dalam hukum adat sebagai realitas sosial.

 

  1. Aspek Sosiologis

Dalam konteks pembaruan hukum, aspek sosiologis yang senan- tiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dipandang sebagai salah aspek yang mengiringi proses pembaruan hukum. Aspek-aspek sosiologis yang mengiringi pembaruan hukum Islam dalam hukum keluarga di Indonesia, antara lain:

  1. Pranata kekerabatan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan pemeliharaan dan pengembangan keturunan (reproduksi). Juga untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan yang dianut secara kolektif. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan pena- taan hubungan antar individu di dalam lingkungan keluarga, seba- gai organisasi sosial terkecil. Pranata itu mengalokasikan nilai dan kaidah al-ahwal al-syakhshiyah, yang berkenaan dengan penerimaan anggota keluarga baru melalui tahapan pelamaran dan per- kawinan; hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan keluarga; pengaturan kelahiran; pengasuhan dan pendidikan anak; penga- turan harta kekayaan perkawinan; perceraian; dan pengoperalihan hak-hak pemilikan harta apabila anggota keluarga meninggal dunia (perihal kewarisan).[9]
  2. Pranata pendidikan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mensosialisasikan keyakinan, nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang di- anut oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya. Selanjutnya, sosialisasi itu meliputi informasi-informasi baru dan berbagai aspek yang dibutuhkan di dalam kehidupan masyarakat. Untuk meme- nuhi kebutuhan tersebut, dilakukan pengaturan yang berkenaan dengan jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Dengan demikian, tingkat pendidikan menjadi faktor yang menentukan dalam proses pembaruan hukum di Indonesi
  3. Pranata keilmuan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah, yaitu ayat- ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah. Ayat-ayat al-Qur’an yang pertama kali diterima Rasulullah Saw. (S. al-Alaq: 1-5) memberikan petunjuk tentang keharusan “membaca” ciptaan Allah Swt. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan tentang sumber, substansi, metode, dan kegunaan hasil pemahaman tersebut. Hasil pemahaman itu disebarluaskan dalam berbagai karya ilmiah di antaranya dalam kitab-kitab fikih dalam berbagai aliran pemikiran (mazhab).[10]
  4. Pranata politik, berfungsi sebagai pemenuhan medium dalam mela- kukan pembaruan hukum keluarga di Indonesia melalui artikulasi politik di dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernega

 

D.    Contoh Kasus Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Putusan Pengadilan Agama

 

Pembaruan atas Pengaturan Itsbat Nikah Melalui Judicial Review

Pembaruan  atas  pengaturan  itsbat  nikah  dilaksanakan  melalui judicial review. Judicial review dilaksanakan terhadap huruf a angka 22 Penjelasan  Pasal  49  ayat (2) UU  Peradilan Agama  2006  yang  hanya memberi kewenangan untuk menyatakan sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Perkawinan 1974 dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Secara lengkap, dalam penjelasan huruf a Penjelasan Pasal 49 UU Peradilan Agama 2006 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan mengenai perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan UU mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain: 1) Izin beristri lebih dari seorang;  2)  Izin  melangsungkan  perkawinan bagi  orang  yang  belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3) Dispensasi kawin; 4) Pencegahan  perkawinan; 5) Penolakan perkawinan oleh Pe- gawai Pencatat Nikah; 6) Pembatalan perkawinan; 7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8) Perceraian karena talak; 9) Gugatan perceraian;  10)  Penyelesaian  harta  bersama;  11)  Penguasaan  anak- anak; 12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya; 13) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14) Putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16) Pencabutan kekuasaan wali; 17) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekua- saan seorang wali dicabut; 18) Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19) Pembebanan kewajiban ganti keru- gian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20) Penetapan asal- usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; 21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; dan 22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Kalau saja angka 22 pada huruf a tersebut tidak ada, Penjelasan Pasal 49 ayat  (2) UU  Peradilan Agama 2006  justru  tidak membatasi masalah waktu pelaksanaan perkawinan siri yang bisa diajukan penge- sahan nikahnya (istbat nikah). Asalkan perkawinannya telah dilaksana- kan secara sah menurut hukum agama, permohonan pihak yang ber- sangkutan atas itsbat nikah siri bisa dikabulkan oleh pengadilan agama.

 

 

 

Putusan Waris Beda Agama di Nias

Hezekieli Marunduri saat itu masih menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen, Medan. Bersama Asamudin Marunduri, Fangoja Marunduri, dan Sofunaso Marunduri, Hezekieli mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, Nias. Tergugatnya adalah Azali Maruhawan (Tergugat-1) dan Zakalia Marunduri (Tergugat-2).

Jika ditelusuri, para penggugat dan tergugat sebenarnya masih punya hubungan kekerabatan. Ayah para penggugat mempunyai saudara kandung bernama Fataya Marinduri dan Satima Marinduri. Meski bersaudara, Fataya dan Satima beragama Islam, sedangkan ayah para penggugat beragama Kristen. Tergugat-1 adalah anak dari Satima Marunduri, sedangkan Zakalia Marunduri masih sepupu dengan Fataya karena nenek mereka bersaudara kandung dan sama-sama menganut agama Islam.

Persoalan muncul ketika Fataya dan isterinya wafat dan meninggalkan harta warisan berupa tanah dan kebun kelapa yang sangat luas. Kebun kelapa itu berasal dari pusaka ayahnya Tetandrosa Marunduni. Para penggugat beralasan merekalah ahli waris yang berhak karena Fataya tak mempunyai keturunan. Itu sesuai dengan hukum adat Nias. Sebaliknya, para tergugat mendalilkan sesuai hukum faraidl, merekalah yang berhak mendapatkan warisan karena sama-sama beragama Islam dengan pewaris.

Upaya perdamaian sudah dilakukan, tetapi menemui jalan buntu. Hingga akhirnya perkara ini masuk ke pengadilan. Di pengadilan, penggugat menghadirkan tujuh orang saksi, empat diantaranya beragama Islam. Para saksi ini pada pokoknya menyatakan bahwa menurut hukum adat Nias yang berlaku, para penggugatlah yang berhak mewarisi. Di daerah Hinako, tempat tinggal pewaris, yang berlaku adalah hukum adat, walaupun dalam satu keluarga itu berlainan agama. Para Tergugat mengajukan enam orang saksi, salah satunya beragama Kristen. Para saksi ini pada intinya menyatakan karena mendiang Fataya Marunduri beragama Islam, maka pembagian waris sesuai dengan hukum Islam.

Dalam pertimbangannya, hakim TW Siregar melihat bahwa keterangan para saksi penggugatlah yang kuat dasar pengetahuannya, atau dapat memberikan contoh yang konkrit di Hinako. Di daerah ini, dalam pembagian waris, hukum adatlah yang berlaku. Misalnya, bapak tergugat II (beragama Islam) yang wafat tanpa meninggalkan anak laki-laki, hartanya dibagi menurut hukum adat. Tergugat II sebagai anak perempuan hanya mendapatkan peragih (pemberian) saja, bukan sebagai ahli waris.

“Keterangan saksi-saksi penggugat lebih kuat dan dapat dipercaya, oleh karena disertai dengan dasar pengetahuan, atau dengan contoh-contoh,” urai hakim dalam pertimbangan. “Terbuktilah bahwa di kampung Hinako, dalam hal pembagian waris berlakulah hukum adat Nias, tanpa melihat agamanya, dan oleh karena itu dalam perkara ini khususnya, untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris dari mendiang Fataya Marunduri, harus dipakai hukum adat Nias,” sambung hakim dalam pertimbangan Bukti putusan Pengadilan Agama yang disertakan para Tergugat ditepis hakim karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama di Luar Jawa dan Madura, Pengadilan Agama seharusnya hanya berwenang mengadili perkara waris jika dalam satu keluarga sama-sama beragama Islam. Hakim juga menegaskan hukum adat Nias menganut patrialkal (garis keturunan bapak). Yang merupakan ahli waris menurut hukum adat Nias adalah laki-laki berdasarkan garis keturunan ayah.

Walhasil, hakim mengabulkan gugatan para penggugat. Meskipun mereka berbeda agama dari pewaris, mereka tetap berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris sesuai dengan hukum adat Nias. Perkara ini diputus hakim TW Siregar pada 13 Agustus 1970, dan menjadi salah satu bagian dari putusan dalam buku Yurisprudensi Indonesia yang diterbitkan Mahkamah Agung pada 1975. Dalam perjalanannya, sudah ada banyak putusan Mahkamah Agung yang mengoreksi putusan-putusan yang mendiskriminasi perempuan dalam pembagian waris. Dalam ada beberapa putusan juga yang menyangkut pembagian waris jika dalam satu keluarga berbeda agama.

Mungkin saja selama empat puluh tahun terakhir sejak putusan PN Gunung Sitoli tersebut keluar, ada banyak putusan sejenis yang memperlihatkan dinamika hukum nasional. [11]

 

Cerai Tidak Menghapus Utang

Perceraian mengakibatkan banyak konsekuensi hukum. Salah satunya utang-piutang yang terjadi saat ikatan pernikahan masih berlangsung. Jika pasangan suami istri cerai, maka utang ditanggung siapa?

Salah satu kasus perceraian dengan meninggalkan hutang terjadi pada salah satu kasus perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama (PA) Semarang. Sepasang suami istri Hendi (40) dan Heny (36) pada 2003, ketika mereka bercerai, mereka mempunyai utang senilai Rp 1 miliar, sehingga terjadi sengketa siapa yang menanggung utang tersebut. Lantas pada 6 September 2008 hakim membuat keputusan bahwa utang tersebut dilunasi dari harta gono-gini.

Hakim berpendapat utang yang dibuat oleh para pihak pada saat perkawinan sedang berlangsung, maka hutang tersebut menjadi beban dan tanggung jawab bersama, sehingga sita jaminan terhadap harta bersama (gono-gini) adalah sah dan berharga.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama : Kumpulan

Tulisan, Cet. I; Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997

Anderson, J.N.D., Islamic Law in Modern World, alih bahasa oleh Machnun Husain dengan judul : Hukum Islam di Dunia Modern, Cet. I; Surabaya : Amar Press, 1991

 

Ash-Shiddiqy, Hasbi, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1966

 

Bisri, Cik Hasan, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,

Cet. I; Jakarta : Logos, 1998

Hanafi, Ahmad, Sejarah dan Pengantar Hukum Islam, Cet. IV; Jakarta : Bulan Bintang, 1986

 

Harahap, M. Hahya, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mem- positifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam Cik Hasan Bisri (Peny.), Kompilasi Hukum  Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. II; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999

al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqiin an Rab al-Alamin, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.

 

Jazuli, A., Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar, Cet. I; Bandung: Orba Shakti,

1991

Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Syaukani, Imam, Rekonstruksi Epistemologi Hukum  Islam dan Rele- vansinya dengan Pembangunan Hukum Nasional, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006

 

Yafie, Ali, Fikih Sosial, Cet. I; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1994.

 

[1]Ali Yafi, Menggagas Fikih Sosial (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 132.

 

[2] A. Jazuli, Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar (Cet. I; Bandung: Orba Shakti, 1991), h. 54.

[3] Cik Jasan Bisri, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia (Cet. I; Jakarta: Logos, 1998), h. 115.

[4] Ibid., h. 116.

 

[5] Ibid., h. 117-118

[6] Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta: Tazzafa dan Accamedia, 2007, hlm 47.

[7] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam dan Relevansinya dengan Pembangunan Hukum Nasional, (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 88.

[8] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 106-107

 

[9] Di dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini fungsi-fungsi keluarga sema- kin berkembang, diantaranya fungsi keagamaan, yang mendorong dikembangkannya keluarga dan seluruh anggota nya menjadi insan-insan agamis yang penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengaturan kehidupan keluarga dalam hal ini perkawinan, diatur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan berbagai peraturan pelaksa- naannya. Alokasi hukum Islam di dalam peraturan itu sangat besar, bahkan dominan.

 

[10] Adanya berbagai mazhab fikih, umpamanya menunjukkan bahwa di dalam masyarakat Islam Indonesia dikenal pranata keilmuan, dengan ulama sebagai sentral- nya. Ia merupakan pengembangan suatu kegiatan intelektual yang dilakukan dengan menggunakan metode dan pendekatan tertentu secara konsisten. Kegiatan itu ber- langsung secara berkelanjutan, yang kemudian dikalangan antropolog dikenal sebagai tradisi tradisi besar (great tradition). Pusat-pusat pengkajian tumbuh dan berkem- bang terutama dalam lingkungan pesantren, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya msyarakat. Demikian halnya, pengkajian dilakukan dalam lingkungan organisasi kemasyarakatan, misalnya dalam lingkungan MUI dilaksanakan oleh Komisi Peng- kajian Masalah Keagamaan. Oleh karena itu, dikalangan umta Islam Indonesia dikenal pranata keulamaan sebagai simbole pewaris para nabi. Ulama, sebagai kelompok elite dalam komunitas Islam di Indonesia memiliki karakteristik sendiri, serta memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan masyarakat b

MAKALAH

PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

“Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kapita Selekta Hukum Keluarga  yang diampu oleh Prof.Dr.H. Encup Supriatna Drs., M.Si dan Dr.H Ramdani Wahyu Sururie M.Ag., M.Si”

 

Disusun oleh : Yayan Nuryana

NIM       : 2210050058

 

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI S-2 HUKUM KELUARGA ISLAM

KONSENTRASI PROGRAM KERJASAMA

UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2022

 

KATA PENGANTAR

 

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada Rasulullah saw. Berkat limpahan serta rahmatnya, penulis dapat merampungkan makalah ini. Penulis meminta maaf jika di dalam penyusunan tugas   atau   materi ini tidak maksimal. Makalah ini disusun agar pembaca bisa memperluas pengetahuan yang saya sajikan dari beragam sumber informasi, referensi, serta berita.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen pengampu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat  menambah  wawasan  dan pengetahuan sesuai dengan jurusan yang dipelajari. Penulis menyadari, makalah yang di tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun, penulis nantikan demi kesempurnaan  makalah ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

 

 

Purwakarta, 08 Oktober 2022

 

Penyusun

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. i

DAFTAR ISI. ii

BAB I. 1

PENDAHULUAN.. 1

  1. Latar Belakang. 1
  2. Rumusan Masalah. 2

BAB II. 3

PEMBAHASAN.. 3

  1. Paradigma Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. 3
  2. Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia. 5
  3. Aspek-aspek Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia. 6
  4. Contoh Kasus Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Putusan Pengadilan Agama 12

DAFTAR PUSTAKA.. 15

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hukum keluarga Islam sebagai tawaran untuk menyelesaikan beberapa permasalahan, sebab hukum keluarga dianggap sebagai inti syariah. Pada hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif, artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga berakibat kepada anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam.

Secara historis, berbagai regulasi hukum keluarga di Indonesia dijabarkan secara personal oleh para ulama atas dasar pembacaan dan pembelajaran mereka dari guru-guru mereka. Pada sisi inilah maka progresivitas hukum menjadi terhambat karena penjelasan dari para ulama dianggap sakral dan tidak boleh dipertentangkan apalagi dievaluasi dan direvisi. Tidak bisa dipungkiri bahwa era stagnasi (jumud) ilmu pernah terjadi pada masa lalu akibat sakralisasi masyarakat terhadap ulama, baik pribadinya maupun pemikirannya.

Di Indonesia, upaya konkret pembaruan hukum keluarga Islam dimulai sekitar tahun1960-an yang kemudian berujung lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum hukum perkawinan diatur, urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, antara lain hukum adat, hukum Islam tradisional, ordonasi perkawinan Kristen, hukum perkawinan campuran dan sebagainya sesuai dengan agama dan adat istiadat masing- masing penduduk. Upaya pembaruan hukum keluarga berikutnya terjadi pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali. Upaya ini ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang diperuntukkan untuk umat Islam.

Saat ini umat Islam di Indonesia merasa nyaman dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam dan berimplikasi pada sakralitas baru sehingga KHI seolah-olah tidak lagi dapat dievaluasi apalagi direvisi. Padahal, sejarah banyak  hal hukum keluarga. Oleh karena itu, melalui pendekatan historis, makalah ini akan menggambarkan secara holistik sejarah evolusi hukum keluarga Islam di Indonesia seputar konsep, metode dan model pembaharuannya serta aspek pembaharuan yang dilakukan.

Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum di dunia ini banyak yang hilang dari peredaran, kecuali hukum keluarga. Dewasa ini hukum Islam bidang keluarga di Indonesia yang mempunyai daya tahan dari hempasan arus westernisasi yang dilaksanakan melalui sekularisme di segala bidang kehidupan, telah diperbaharui, dikembangkan selaras dengan perkembangan zaman, tempat, dan dikodifikasikan, baik secara parsial, maupun total, yang telah dimulai secara sadar sejak awal abad XX setahap demi setahap.2 Perkembangan hukum Islam bidang keluarga di Indonesia cukup terbuka disebabkan antara lain oleh Undang- Undang Dasar 1945 atau dengan ungkapan lain bahwa konstitusi sendiri memang mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan hukum keluarga, agar kehidupan keluarga yang menjadi sendi dasar kehidupan masyarakat, utamanya kehidupan wanita, isteri, ibu dan anak-anak di dalamnya, dapat terlindungi dengan ada kepastian hukumnya.

B.     Rumusan Masalah

  1. Paradigma Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia
  2. Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
  3. Aspek-Aspek Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
  4. Contoh kasus Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Putusan Pengadilan Agama.

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Paradigma Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia

Secara garis besarnya, hukum Islam meliputi empat bidang, yaitu: pertama, bidang ibadah, yakni merupakan penataan hubungan antara manusia dengan Allah Swt. Kedua, bidang munakahah, merupakan penataan hubungan antara manusia dalam lingkungan keluarga. Ketiga, bidang muamalah, merupakan penataan hubungan antar manusia dalam pergaulan hidup masyarakat. Keempat, bidang jinayah, merupakan penataan pengamanan dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin kes- elamatan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat.[1]  Sedangkan menurut A. Jazuli, hukum Islam meliputi: bidang ibadah, bidang ahwal al-Syakhshiyah (perkawinan, kewarisan, wasiat, dan wakaf ), bidang muamalah (dalam arti sempit), bidang jinayah, bidang aqdhiyah (per- adilan), dan bidang siyasah (dusturiyah, maliyah, dan dauliyah).[2] Pembidangan hukum Islam tersebut, sejalan dengan perkemba- ngan pranata sosial, sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Oleh karena itu, semakin beragam kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata sosial, maka semakin berkembang pula pemikiran ulama dan pembidangan hukum Islam pun mengalami pengembangan. Hal itu menunjukkan, terdapat korelasi positif antara perkembangan pranata sosial dengan pemikiran ulama secara sistematis. Atau sebaliknya, penyebarluasan produk pemikiran ulama yang mengacu kepada firman Allah melahirkan berbagai pranata sosial.[3]

Hukum Islam yang termaktub di dalam ayat-ayat ahkam, hadis- hadis ahkam, dan terutama di dalam kitab-kitab fikih dipahami terus mengalami perkembangan dan pengembangan. Dalam proses pengem- bangan, hukum Islam mengalami internalisasi ke dalam berbagai pra- nata sosial yang tersedia di dalam masyarakat. Terjadi proses alokasi hukum Islam, dalam dimensi syari’ah ke dalam pranata sosial, menjadi landasan dan memberi makna serta arah dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Hasil dari proses pengembangan hukum Islam yang terjadi dalam rentang waktu berabad-abad, berkembang berbagai pra- nata sosial yang bercorak keislaman.[4]

Pranata-pranata sosial dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: pertama, ia merupakan aktualisasi hukum Islam yang tertumpu kepada interaksi sosial yang mempola setelah mengalami pergumulan dengan kaidah-kaidah lokal yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang majemuk. Dalam pergumulan itu, terjadi adaptasi dan modifikasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal. Dengan perkataan lain bahwa proses sosialisasi dan institusionalisasi hukum Islam terjadi dalam hubungan timbal balik dengan kaidah-kaidah lokal yang dianut. Selain itu, terjadi intervensi hukum barat terutama sejak masa penjajahan Belanda.

Kedua, pranata-pranata sosial merupakan perwujudan interaksi sosial di dalam masyarakat Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Interaksi sosial itu berpatokan dan mengacu kepada keyakinan (kesepakatan tentang benar dan salah), nilai (kesepakatan tentang baik dan buruk), dan kaidah (kesepakatan tentang yang mesti dilakukan dan yang mesti ditinggalkan), yang dianut oleh mereka. Ia merupakan per- wujudan amal shaleh sebagai ekspresi keimanan dalam interaksi sosial.[5]

Dengan demikian, pembaruan hukum Islam sebagai aktualisasi perintah Allah mempunyai beragam bentuk dan mencakup beragam pranata sosial. Oleh karena itu, pembaruan hukum Islam di Indonesia terpola pada internalisasi hukum Islam ke dalam pranata-pranata sosial atau sebaliknya pranata sosial terinternaliosasi ke dalam hukum Islam. Pada konteks ini, tampak relasi yang saling mendukung antara hukum Islam dan pranata sosial.

B.   Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Pembaruan pemikiran hukum Islam pada masa kontemporer, umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang digunakan lebih cendrung menekankan wahyu dari sisi konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dengan perubahan sosial tidak hanya disusun dan dipahami melalui interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Ada dua konsep dalam pembaruan, yakni; (1) konsep konvensional, dan (2) konsep kontemporer yang muncul dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam kontemporer dalam bentuk kodifikasi.

Penerapan metode konvensional, para ulama terlihat dalam berijtihad dan menerapkan pandanagn hukumnya dengan mencatat ayat al Quran dan Sunnah. Para ahli menetapkan, ada beberapa cirihas atau karasteristik metode penetapan hukum Islam (fiqh) yaitu; menggunakan pendekatan parsial (global), kurang memberikan perhatian terhadap sejarah, terlalu menekankan pada kajian teks/harfiah, metodologi fiqh seolah-olah terpisah dengan  metodologi  tafsir,  terlalu  banyak  dipengaruhi  budaya-budaya dan  tradisi-tradisi setempat, dan dalam beberapa kasus di dalamnya meresap praktek-praktek tahayul, bid’ah dan kufarat, khususnya yang berkaitan dengan ibadah. Masuknya unsur politik di dalamnya atau pengaruh kepentingan penguasa dalam menerapkan teori-teori fiqh.

Sedangkan metode kontemporer pada prinsipnya metode pembaruan yang digunakan dalam melakukan kodifikasi hukum keluarga Islam kontemporer di Indonesia yaitu:

 

  • Takhayyur yaitu memilih pandangan salah satu ulama fiqh, termasuk ulama di luar madzhab, takhayyur secara substansial disebut tarji
  • Talfiq, yaitu mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama (dua atau lebih) dalam menetapkan hukum satu masa
  • Takhshish al-qadla, yaitu hak negara menbatasi kewenangan peradilan baik dari segi orang, wilayah, yuridiksi dan hukum acara yang ditetapkan.
  • Siyasah syar’iyah  yaitu  kebijakan  penguasa  menerapkan  peraturan  yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari’ah, reinterpretasi nash terhadap nash (al Quran dan sunnah).

Adapun sifat dan metode reformasi yang digunakan di negara-negara muslim modern (termasuk Indonesia) dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

 

  • Intra doctrinal reform tetap merujuk pada konsep fiqh konfensional dengan cara; tahyir  (memilih   pandangan   salah   satu   ulama   fiqh,   termasuk   ulama diluar    madzhab), dapat pula disebut tarjih, dan talfiq, (mengkombinasikan sejumlah pendapat).
  • Extra doctrinal reform pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fiqh konvensional tapi merujuk pada nash al Quran dan sunnah dengan melakukan penafsitran ulang terhadap nash (reinterpretasi).[6]

 

C.    Aspek-aspek Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Pembaruan hukum keluarga Islam merupakan kebutuhan yang harus segera direspon sebagai upaya memberikan jawaban terhadap problema kontemporer. Formulasi hukum keluarga Islam yang tertuang dalam kitab-kitab fikih bukan rumusan baku yang tidak boleh berubah, melainkan harus dipandang sebagai penafsiran atau rumusan para ulama pada zamannya yang membutuhkan kritisisme sesuai dengan tuntutan perubahan. Oleh karena itu, hukum keluarga Islam harus senantiasa ditafsir agar responsif dengan persoalan umat tanpa harus kehilangan prinsip dasarnya. Hal ini penting agar hukum keluarga Islam tidak mengalami fosilisasi), dan pada gilirannya akan kehilangan aktua- litanya dan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri.

Dalam konteks pembaruan hukum Islam dalam hukum keluarga di Indonesia, menampakkan potret pembaruan yang unik sekaligus pro- blematik. Dikatakan demikian karena di Indonesia berlaku tiga sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Ketiga sis- tem hukum ini, menurut Hooker tidak ada satupun sistem hukum yang saling menyisihkan. Di lain pihak, kesamaan derajat berlakunya ketiga sistem hukum ini tidak selamanya berjalan dalam jalur yang searah. Akan tetapi, pada situasi dan kondisi tertentu kadangkala ketiga sistem hukum ini berada dalam konflik.24  Konflik ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, pada akhirnya melahirkan ketegangan. Ketega- ngan yang terjadi antara ketiganya pada gilirannya menjadi problem yang serius dalam pembaruan hukum Islam di Indonesia.

Dengan demikian, pembaruan hukum Islam dalam hukum keluarga di Indonesia tidak tunggal dan berdiri sendiri. Akan tetapi, selalu konfiguratif dengan aspek-aspek yang mengitarinya. Aspek-aspek yang terkait dengan pembaruan hukum keluarga di Indonesia, antara lain:

  1. Aspek Material

Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, pembaruan materi hukum mulai dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengganti hukum warisan kolonial Belanda yang bertentangan dengan konstitusi Negara Indonesia merdeka. Menurut Hazairin, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan UUD 1945 dijadikan sebagai konstitusi Negara, maka semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda tidak berlaku lagi.[7] Dengan demikian pembaruan materi hukum di Indonesia dimaksudkan untuk mengganti produk-produk hukum yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini penting karena beberapa produk hukum kolonial Belanda yang sampai saat ini tetap berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip dasar negara Indonesia yang merdeka.

Dalam kerangka pembaruan hukum keluarga Indonesia, hukum Islam meempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Dikatakan demikian karena hukum keluarga Islam, di samping diakui sebagai sumber hukum secara yuridis, juga mempunyai prinsip-prinsip yang universal serta sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Bahkan, secara sosiologis hukum keluarga Islam telah mengakar dan menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah mayoritas masyarakat Indonesia.

  1. Aspek Metodologis

Pembaruan hukum Islam dalam konteks hukum keluarga di Indo- nesia, bukan persoalan yang mudah. Paling tidak, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:

  1. Kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang pluralistik harus menjadi salah satu variabel pertimbanga Hal ini penting untuk menghindari pembaruan hukum Islam yang kontra produktif sehingga merugikan umat Islam sendiri.
  2. Pembaruan hukum yang dilakukan harus memperhatikan aspek metode perumusan hukum Islam dalam kontek pembaruan hukum keluarga Indonesi Hal ini dimaksudkan agar formulasi hukum Islam yang dirumuskan tidak bertentangan dengan kesa- daran dan karakteristik hukum nasional.

Dalam konteks pembaruan hukum Islam, aspek metodologi dipan- dang sebagai faktor yang menentukan wujud hukum (hasil ijtihad) yang dilakukan. Oleh karena itu, dalam kerangka pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat dan sesuai dengan karakteristik hukum nasional, dapat digunakan beberapa pendekatan, yaitu :

  1. Pendekatan historis, dimaksudkan untuk mengetahui latarbelakang sejarah suatu produk hukum. Penerapan pendekatan historis dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia dapat dilihat pada ketentuan pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 6 ayat 1 dan 2 KHI yang mengatur tentang ketentuan pencatatan per- kawinan. Dalam kitab-kitab fikih klasik tidak ditemukan ketentuan tentang pencatatan perkawinan. Menurut Ahmad Rofiq bahwa tidak ditemukannya ketentuan pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fikih klasik karena pada waktu itu tingkat amanah kaum muslimin masih tinggi, sehingga kemungkinan penyelewengan perkawinan relatif kecil.[8] Dengan demikian, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin modern dan semakin kompleksnya problema masyara- kat, maka ketentuan pencatatan perkawinan menemukan vitalitasn
  2. Pendekatan Maslahah, Tingkat kemaslahatan suatu rumusan pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia, idealnya dijadikan sebagai ruh dari setiap ketentuan hukum. Oleh karena itu, ketentuan pencatatan perkawinan dipandang sebagai prestasi brilian para pakar hukum Islam di Indonesia. Dikata- kan demikian karena pencatatan perkawinan mengandung nilai kema- slahatan yang tinggi dan merupakan solusi hukum atas merebaknya perkawinan di bawah tangan (baca; nikah sirri).28 Dengan demikian, ber- dasarkan pertimbangan maslahat dapat dikatakan bahwa perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah karena di samping bertentangan dengan ketentuan hukum positif Indonesia juga bertentangan ruh syari’a
  3. Pendekatan Realitas Sosial, Pendekatan realitas sosial secara konseptual dimaknai sebagai upaya melakukan  pembaruan hukum dengan menghadirkan pen- dekatan realitas sosial dan pendekatan lainnya secara simultan dalam merumuskan (istinbath) hukum. Artinya bahwa dalam kerangka pem- baruan hukum keluarga Islam, realitas sosial menjadi salah satu varia- bel dalam proses analisis atau penemuan hukum sehingga suatu hukum tidak hanya diderivikasi dari teks. Penerapan pendekatan realitas empiris dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia dapat dilihat pada beberapa ketentuan hukum dalam KHI, seperti ketentuan harta orang tua yang dihibahkan kepada anaknya dan setelah orang tua meninggal harta hibah tersebut diperhitungkan sebagai warisan bagi anak yang bersangkuta Ketentuan yang demikian tidak ditemukan dalam litera- tur fikih klasik dan hanya ditemukan dalam hukum adat sebagai realitas sosial.

 

  1. Aspek Sosiologis

Dalam konteks pembaruan hukum, aspek sosiologis yang senan- tiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dipandang sebagai salah aspek yang mengiringi proses pembaruan hukum. Aspek-aspek sosiologis yang mengiringi pembaruan hukum Islam dalam hukum keluarga di Indonesia, antara lain:

  1. Pranata kekerabatan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan pemeliharaan dan pengembangan keturunan (reproduksi). Juga untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan yang dianut secara kolektif. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan pena- taan hubungan antar individu di dalam lingkungan keluarga, seba- gai organisasi sosial terkecil. Pranata itu mengalokasikan nilai dan kaidah al-ahwal al-syakhshiyah, yang berkenaan dengan penerimaan anggota keluarga baru melalui tahapan pelamaran dan per- kawinan; hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan keluarga; pengaturan kelahiran; pengasuhan dan pendidikan anak; penga- turan harta kekayaan perkawinan; perceraian; dan pengoperalihan hak-hak pemilikan harta apabila anggota keluarga meninggal dunia (perihal kewarisan).[9]
  2. Pranata pendidikan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mensosialisasikan keyakinan, nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang di- anut oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya. Selanjutnya, sosialisasi itu meliputi informasi-informasi baru dan berbagai aspek yang dibutuhkan di dalam kehidupan masyarakat. Untuk meme- nuhi kebutuhan tersebut, dilakukan pengaturan yang berkenaan dengan jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Dengan demikian, tingkat pendidikan menjadi faktor yang menentukan dalam proses pembaruan hukum di Indonesi
  3. Pranata keilmuan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah, yaitu ayat- ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah. Ayat-ayat al-Qur’an yang pertama kali diterima Rasulullah Saw. (S. al-Alaq: 1-5) memberikan petunjuk tentang keharusan “membaca” ciptaan Allah Swt. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan tentang sumber, substansi, metode, dan kegunaan hasil pemahaman tersebut. Hasil pemahaman itu disebarluaskan dalam berbagai karya ilmiah di antaranya dalam kitab-kitab fikih dalam berbagai aliran pemikiran (mazhab).[10]
  4. Pranata politik, berfungsi sebagai pemenuhan medium dalam mela- kukan pembaruan hukum keluarga di Indonesia melalui artikulasi politik di dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernega

 

D.    Contoh Kasus Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Putusan Pengadilan Agama

 

Pembaruan atas Pengaturan Itsbat Nikah Melalui Judicial Review

Pembaruan  atas  pengaturan  itsbat  nikah  dilaksanakan  melalui judicial review. Judicial review dilaksanakan terhadap huruf a angka 22 Penjelasan  Pasal  49  ayat (2) UU  Peradilan Agama  2006  yang  hanya memberi kewenangan untuk menyatakan sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Perkawinan 1974 dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Secara lengkap, dalam penjelasan huruf a Penjelasan Pasal 49 UU Peradilan Agama 2006 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan mengenai perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan UU mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain: 1) Izin beristri lebih dari seorang;  2)  Izin  melangsungkan  perkawinan bagi  orang  yang  belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3) Dispensasi kawin; 4) Pencegahan  perkawinan; 5) Penolakan perkawinan oleh Pe- gawai Pencatat Nikah; 6) Pembatalan perkawinan; 7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8) Perceraian karena talak; 9) Gugatan perceraian;  10)  Penyelesaian  harta  bersama;  11)  Penguasaan  anak- anak; 12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya; 13) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14) Putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16) Pencabutan kekuasaan wali; 17) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekua- saan seorang wali dicabut; 18) Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19) Pembebanan kewajiban ganti keru- gian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20) Penetapan asal- usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; 21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; dan 22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Kalau saja angka 22 pada huruf a tersebut tidak ada, Penjelasan Pasal 49 ayat  (2) UU  Peradilan Agama 2006  justru  tidak membatasi masalah waktu pelaksanaan perkawinan siri yang bisa diajukan penge- sahan nikahnya (istbat nikah). Asalkan perkawinannya telah dilaksana- kan secara sah menurut hukum agama, permohonan pihak yang ber- sangkutan atas itsbat nikah siri bisa dikabulkan oleh pengadilan agama.

 

 

 

Putusan Waris Beda Agama di Nias

Hezekieli Marunduri saat itu masih menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen, Medan. Bersama Asamudin Marunduri, Fangoja Marunduri, dan Sofunaso Marunduri, Hezekieli mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, Nias. Tergugatnya adalah Azali Maruhawan (Tergugat-1) dan Zakalia Marunduri (Tergugat-2).

Jika ditelusuri, para penggugat dan tergugat sebenarnya masih punya hubungan kekerabatan. Ayah para penggugat mempunyai saudara kandung bernama Fataya Marinduri dan Satima Marinduri. Meski bersaudara, Fataya dan Satima beragama Islam, sedangkan ayah para penggugat beragama Kristen. Tergugat-1 adalah anak dari Satima Marunduri, sedangkan Zakalia Marunduri masih sepupu dengan Fataya karena nenek mereka bersaudara kandung dan sama-sama menganut agama Islam.

Persoalan muncul ketika Fataya dan isterinya wafat dan meninggalkan harta warisan berupa tanah dan kebun kelapa yang sangat luas. Kebun kelapa itu berasal dari pusaka ayahnya Tetandrosa Marunduni. Para penggugat beralasan merekalah ahli waris yang berhak karena Fataya tak mempunyai keturunan. Itu sesuai dengan hukum adat Nias. Sebaliknya, para tergugat mendalilkan sesuai hukum faraidl, merekalah yang berhak mendapatkan warisan karena sama-sama beragama Islam dengan pewaris.

Upaya perdamaian sudah dilakukan, tetapi menemui jalan buntu. Hingga akhirnya perkara ini masuk ke pengadilan. Di pengadilan, penggugat menghadirkan tujuh orang saksi, empat diantaranya beragama Islam. Para saksi ini pada pokoknya menyatakan bahwa menurut hukum adat Nias yang berlaku, para penggugatlah yang berhak mewarisi. Di daerah Hinako, tempat tinggal pewaris, yang berlaku adalah hukum adat, walaupun dalam satu keluarga itu berlainan agama. Para Tergugat mengajukan enam orang saksi, salah satunya beragama Kristen. Para saksi ini pada intinya menyatakan karena mendiang Fataya Marunduri beragama Islam, maka pembagian waris sesuai dengan hukum Islam.

Dalam pertimbangannya, hakim TW Siregar melihat bahwa keterangan para saksi penggugatlah yang kuat dasar pengetahuannya, atau dapat memberikan contoh yang konkrit di Hinako. Di daerah ini, dalam pembagian waris, hukum adatlah yang berlaku. Misalnya, bapak tergugat II (beragama Islam) yang wafat tanpa meninggalkan anak laki-laki, hartanya dibagi menurut hukum adat. Tergugat II sebagai anak perempuan hanya mendapatkan peragih (pemberian) saja, bukan sebagai ahli waris.

“Keterangan saksi-saksi penggugat lebih kuat dan dapat dipercaya, oleh karena disertai dengan dasar pengetahuan, atau dengan contoh-contoh,” urai hakim dalam pertimbangan. “Terbuktilah bahwa di kampung Hinako, dalam hal pembagian waris berlakulah hukum adat Nias, tanpa melihat agamanya, dan oleh karena itu dalam perkara ini khususnya, untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris dari mendiang Fataya Marunduri, harus dipakai hukum adat Nias,” sambung hakim dalam pertimbangan Bukti putusan Pengadilan Agama yang disertakan para Tergugat ditepis hakim karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama di Luar Jawa dan Madura, Pengadilan Agama seharusnya hanya berwenang mengadili perkara waris jika dalam satu keluarga sama-sama beragama Islam. Hakim juga menegaskan hukum adat Nias menganut patrialkal (garis keturunan bapak). Yang merupakan ahli waris menurut hukum adat Nias adalah laki-laki berdasarkan garis keturunan ayah.

Walhasil, hakim mengabulkan gugatan para penggugat. Meskipun mereka berbeda agama dari pewaris, mereka tetap berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris sesuai dengan hukum adat Nias. Perkara ini diputus hakim TW Siregar pada 13 Agustus 1970, dan menjadi salah satu bagian dari putusan dalam buku Yurisprudensi Indonesia yang diterbitkan Mahkamah Agung pada 1975. Dalam perjalanannya, sudah ada banyak putusan Mahkamah Agung yang mengoreksi putusan-putusan yang mendiskriminasi perempuan dalam pembagian waris. Dalam ada beberapa putusan juga yang menyangkut pembagian waris jika dalam satu keluarga berbeda agama.

Mungkin saja selama empat puluh tahun terakhir sejak putusan PN Gunung Sitoli tersebut keluar, ada banyak putusan sejenis yang memperlihatkan dinamika hukum nasional. [11]

 

Cerai Tidak Menghapus Utang

Perceraian mengakibatkan banyak konsekuensi hukum. Salah satunya utang-piutang yang terjadi saat ikatan pernikahan masih berlangsung. Jika pasangan suami istri cerai, maka utang ditanggung siapa?

Salah satu kasus perceraian dengan meninggalkan hutang terjadi pada salah satu kasus perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama (PA) Semarang. Sepasang suami istri Hendi (40) dan Heny (36) pada 2003, ketika mereka bercerai, mereka mempunyai utang senilai Rp 1 miliar, sehingga terjadi sengketa siapa yang menanggung utang tersebut. Lantas pada 6 September 2008 hakim membuat keputusan bahwa utang tersebut dilunasi dari harta gono-gini.

Hakim berpendapat utang yang dibuat oleh para pihak pada saat perkawinan sedang berlangsung, maka hutang tersebut menjadi beban dan tanggung jawab bersama, sehingga sita jaminan terhadap harta bersama (gono-gini) adalah sah dan berharga.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama : Kumpulan

Tulisan, Cet. I; Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997

Anderson, J.N.D., Islamic Law in Modern World, alih bahasa oleh Machnun Husain dengan judul : Hukum Islam di Dunia Modern, Cet. I; Surabaya : Amar Press, 1991

 

Ash-Shiddiqy, Hasbi, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1966

 

Bisri, Cik Hasan, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,

Cet. I; Jakarta : Logos, 1998

Hanafi, Ahmad, Sejarah dan Pengantar Hukum Islam, Cet. IV; Jakarta : Bulan Bintang, 1986

 

Harahap, M. Hahya, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mem- positifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam Cik Hasan Bisri (Peny.), Kompilasi Hukum  Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. II; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999

al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqiin an Rab al-Alamin, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.

 

Jazuli, A., Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar, Cet. I; Bandung: Orba Shakti,

1991

Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Syaukani, Imam, Rekonstruksi Epistemologi Hukum  Islam dan Rele- vansinya dengan Pembangunan Hukum Nasional, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006

 

Yafie, Ali, Fikih Sosial, Cet. I; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1994.

 

[1]Ali Yafi, Menggagas Fikih Sosial (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 132.

 

[2] A. Jazuli, Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar (Cet. I; Bandung: Orba Shakti, 1991), h. 54.

[3] Cik Jasan Bisri, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia (Cet. I; Jakarta: Logos, 1998), h. 115.

[4] Ibid., h. 116.

 

[5] Ibid., h. 117-118

[6] Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta: Tazzafa dan Accamedia, 2007, hlm 47.

[7] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam dan Relevansinya dengan Pembangunan Hukum Nasional, (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 88.

[8] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 106-107

 

[9] Di dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini fungsi-fungsi keluarga sema- kin berkembang, diantaranya fungsi keagamaan, yang mendorong dikembangkannya keluarga dan seluruh anggota nya menjadi insan-insan agamis yang penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengaturan kehidupan keluarga dalam hal ini perkawinan, diatur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan berbagai peraturan pelaksa- naannya. Alokasi hukum Islam di dalam peraturan itu sangat besar, bahkan dominan.

 

[10] Adanya berbagai mazhab fikih, umpamanya menunjukkan bahwa di dalam masyarakat Islam Indonesia dikenal pranata keilmuan, dengan ulama sebagai sentral- nya. Ia merupakan pengembangan suatu kegiatan intelektual yang dilakukan dengan menggunakan metode dan pendekatan tertentu secara konsisten. Kegiatan itu ber- langsung secara berkelanjutan, yang kemudian dikalangan antropolog dikenal sebagai tradisi tradisi besar (great tradition). Pusat-pusat pengkajian tumbuh dan berkem- bang terutama dalam lingkungan pesantren, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya msyarakat. Demikian halnya, pengkajian dilakukan dalam lingkungan organisasi kemasyarakatan, misalnya dalam lingkungan MUI dilaksanakan oleh Komisi Peng- kajian Masalah Keagamaan. Oleh karena itu, dikalangan umta Islam Indonesia dikenal pranata keulamaan sebagai simbole pewaris para nabi. Ulama, sebagai kelompok elite dalam komunitas Islam di Indonesia memiliki karakteristik sendiri, serta memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan masyarakat bangsa Indonesia.

[11] Termuat dalam Yurisprudensi Indonesia yang diterbitkan Mahkamah Agung 1975.

angsa Indonesia.

[11] Termuat dalam Yurisprudensi Indonesia yang diterbitkan Mahkamah Agung 1975.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *