Menu

Mode Gelap

Artikel · 27 Jan 2025 00:27 WIB ·

PENGHULU: SANG KHADIMIL UMMAT MIN DHULUMATI ILA DHULUMATI (Sebuah Refleksi Eksistensi dan Integritas Penghulu)

Penulis: Khaerul Umam


 PENGHULU: SANG KHADIMIL UMMAT MIN DHULUMATI ILA DHULUMATI (Sebuah Refleksi Eksistensi dan Integritas Penghulu) Perbesar

PENGHULU: SANG KHADIMIL UMMAT MIN DHULUMATI ILA DHULUMATI

(Sebuah Refleksi Eksistensi dan Integritas Penghulu)

Oleh :

 Khaerul Umam, S.Ag*)

 

 

“Selepas melaksanakan shalat shubuh di musholla dekat rumahnya, Ahmad Muzakki segera mengganti bajunya dengan baju dinas dan mempersiapkan perlengkapannya, Ahad pagi itu meski hari libur ia harus bertugas menghadiri dan mencatat pernikahan di perkampungan yang agak jauh di wilayah KUA kecamatan tempatnya bertugas, jadi untuk mengejar waktu dan datang tepat waktu di kediaman calon pengantin harus berangkat pagi buta dari rumahnya yang berbeda kecamatan. Sang penghulu pun siap berangkat, sebelumnya sempat sarapan sepotong goreng pisang dan meneguk teh hangat yang telah disiapkan isterinya dan meghampiri serta mengecup kening putri balita tercintanya yang masih tertidur lelap di kamarnya, kemudian melangkah keluar sambil pamitan dan mencium kening isterinya dan melaju dengan kendaraan roda duanya menuju tempat pernikahan”.

 

A. PENDAHULUAN

I

tulah salah satu ilustrasi dari sebagian kehidupan dan pekerjaan dari sang abdi negara dan pelayan masyarakat yang bekerja dan mendediasikan dirinya di Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu Penghulu. Banyak cerita dan curhatan menarik yang disampaikan sang abdi negara tersebut kepada penulis selain ilustrasi di atas, diantaranya merengek dan marah anak-anaknya karena tak ada hari libur ayahnya untuk anaknya sekedar sehari saja, ada juga curhatan dari sang penghulu yang meneteskan air matanya ketika berangkat melaksanakan tugas pada hari libur (Ahad) di sepanjang jalan terlihat sepasang suami-istri dan anak-anaknya sedang berolah raga atau jogging, mereka tampak gembira dan bahagia karena bisa bersama menghabiskan hari libur dengan keluarganya.

           Kantor Urusan Agama atau yang lebih terkenal dengan singkatan KUA adalah institusi yang memberikan pelayanan terhadap publik atau masyarakat (public services) yang salah satu punggawa utama dan ujung tombaknya adalah penghulu. Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2024 disebutkan, Penghulu adalah pegawai Aparatur Sipil Negara yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak untuk melakukan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam (PMA Nomor 30 Tahun 2024 Bab I, Pasal 1 ayat 3).

           Sebagai lembaga yang melayani kebutuhan publik, KUA mau tidak mau akan dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas layanannya terutama pelayanan di bidang pencatatan pernikahan. Keberadaan Pegawai Pencatat Nikah (PPN/Penghulu) pada setiap peristiwa pernikahan pada hakekatnya mempunyai fungsi ganda, karena disamping tugas pokoknya mengawasi dan mencatat pernikahan, juga sekaligus memandu acara akad nikah agar pelaksanaannya dapat berlangsung dengan baik dan khidmat.

                               Gambar 1: Pelaksanaan pengawasan dan pencatatan nikah pada siang dan malam hari

           Sebagai ASN, kinerja penghulu mencakup pelayanan yang bersifat 24 jam, karena mereka sering kali dihadapkan pada kebutuhan masyarakat yang mendesak dan harus siap melayani kapan saja. Tugas penghulu yang tak kenal waktu menunjukkan komitmen mereka terhadap masyarakat. Mereka selalu siap memberikan pelayanan terbaik demi kebaikan umat, terlepas dari waktu, cuaca, atau kesulitan yang ada, bahkan harus merelakan waktu liburnya bersama keluarga.

            Terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 22 Tahun 2024, awalnya disambut riang gembira, gegap gempita dan perasaan terharu oleh para penghulu karena di Pasal 16 PMA tersebut ada ruang bagi para penghulu untuk mencicipi dan menikmati waktu libur bersama keluarga, yang waktu libur ini merupakan barang mewah dan langka bagi penghulu. Tetapi kemudian Pasal 16 PMA Nomor 22 Tahun 2024 yang menimbulkan kontoversi dan multitafsir beberapa bulan sejak diterbitkan tersebut direvisi kembali dalam PMA Nomor 30 Tahun 2024 yang isinya kembali membolehkan pernikahan dilaksanakan pada hari libur, maka pupus sudah harapan dan mimpi di siang hari bolong penghulu untuk menikmati indahnya libur bersama keluarga.

              Tulisan ini bukan sekedar mengungkapkan curahan perasaan, tetapi dengan tulisan ini diharapkan semua bisa memahami dan mengerti siapa itu penghulu, eksistensi dan integritasnya dalam bekerja sebagai ASN, abdi negara yang selalu berkhidmat dan melayani ummat yang jam kerja menembus waktu, tak kenal waktu libur yang menunjukkan komitmen mereka untuk memberikan pelayanan terbaik bagi ummat, sehingga diharapkan tidak ada lagi yang “nyinyir” dan “cemburu” kepada hasil jerih payah penghulu baik itu gaji, tunjangan dan yang lainnya, dan dengan tulisan ini diharapkan juga bisa membuka mata hati para pemangku jabatan kepenghuluan untuk lebih memahami dan memperhatikan kesejahteraan penghulu.

B. EKSISTENSI DAN INTEGRITAS PENGHULU

  1. Penghulu Dalam Lintasan Sejarah

            Secara historis keberadaan penghulu tidak dapat dilepaskan dari dinamika kehidupan masyarakat dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan secara menyeluruh. Kata penghulu sendiri berasal dari kata hulu yang berarti kepala, orang yang mengepalai atau orang yang penting. Penghulu merupakan sebutan bagi seorang pemimpin di kawasan Melayu. Penghulu dalam bahasa  Melayu kuno, sama dengan pahulu, dalam bahasa Minang, sama dengan panghulu, di mana secara maknanya orang yang disebut dengan penghulu berkedudukan setara dengan raja atau sama juga dengan datuk, di Aceh disebut Imam, di daerah Sunda disebut panghulu, di Jawa disebut penghulu, dan di Madura disebut pangoloh, dan kadi di Kalimantan. Setelah masuknya pengaruh Islam, sebutan penghulu juga digunakan untuk seseorang yang bertugas atau berwenang dalam legalitas suatu pernikahan dalam agama Islam atau Penghulu Nikah sebutan lainnya Tuan Kadhi.

          Tugas kepenghuluan sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Pada saat itu penghulu termasuk orang yang tinggi kedudukannya di Masyarakat, ia memimpin agama dan mempunyai wewenang mengurus seluruh urusan agama Islam seperti Pendidikan agama Islam, kehakiman, Nikah, Talak, Rujuk, mengurus kemasjidan, Zakat, Infak, Shadaqah dan lain-lain yang berhubungan dengan urusan agama Islam. Pada zaman Hindia Belanda penghulu disebut Moskee Personeel (Pegawai Masjid). Dalam mengurus Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR) penghulu berpedoman kepada Huwelijk Ordantie, yaitu: Stbl. 1929 Nomor 348 jo Stbl 1931 Nomor 467, Stbl 1932 Nomor 482, dan Stbl 1933 Nomor 98 (Departemen Agama Kanwil Propinsi Jawa Barat, 1999: 1).

          Perjalanan jabatan penghulu setelah kemerdekaan dimulai pada 3 Januari 1946, pemerintah merdeka Indonesia membentuk Departemen Agama Republik Indonesia. Sejak saat itu, penghulu menjadi bagian dalam struktur Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, yakni subdirektorat kepenghuluan. Setelah Indonesia Merdeka, pengawasan dan pencatatan NTCR (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Dalam perjalanannya, Undang-Undang ini dirasakan belum sepenuhnya dapat menampung persoalan-persoalan yang berkembang di Masyarakat, oleh karena itu diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) maupun Peraturan/Keputusan/Instruksi Menteri Agama bahkan Instruksi/Surat Edaran dari pejabat yang terkait (Ibid, 1999: 2).

            Untuk memperkuat posisi penghulu maka keluarlah peraturan dari Menteri Pendayaan Gunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 tentang jabatan Fungsional Penghulu dan angka kreditnya. Untuk memperkuat peran penghulu yang baru ini, dikeluarkan peraturan khusus tentang kepenghuluan melalui Permen PAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005 tanggal 03-06-2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya. Kemudian Dalam SKB Menag RI dan Kepala BKN Nomor 20 dan 14A Tahun 2005 tgl 14 September 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Angka Kreditnya. Penghulu adalah PNS sebagai PPN yang diberitugas tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Menag atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan NR menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.

           Keberadaan penghulu kemudian diperkuat dalam PMA 11 Tahun 2007 tanggal 25 Juni 2007 tentang pencatatan nikah, Penghulu adalah pejabat fungsional PNS yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan pengawasan NR menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Kemudian yang paling kuat adalah berdasarkan Dalam Perpres RI Nomor 73 Tahun 2007 tanggal 28 Juni 2007, Penghulu adalah Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama. Penghulu merupakan jabatan karier PNS. Jabatan Fungsional Penghulu termasuk dalam rumpun keagamaan. Jabatan Fungsional Penghulu merupakan Jabatan Fungsional kategori keahlian.  Jenjang Jabatan Fungsional Penghulu, dari jenjang terendah sampai dengan jenjang tertinggi, terdiri atas: Penghulu Ahli Pertama; Penghulu Ahli Muda; dan Penghulu Ahli Madya dan Penghulu Ahli Utama.

          Melalui peraturan-peraturan tersebut, tugas penghulu menjadi jelas, khususnya seperti dalam Kepmen PAN Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 pasal 4, bahwa penghulu mempunyai tugas: (1) Melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan; (2) Pengawasan pencatatan NR; (3) Pelaksanaan pelayanan NR, (4) Penasehatan dan konsultasi NR; (5) Pemantauan pelanggaran ketentuan NR; (6) Pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan muamalah; (7) Pembinaan keluarga sakinah; dan (8) Pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan.

           Selanjutnya Permenpan RB Nomor 9 Tahun 2019 mengatur tentang Jabatan Fungsional Penghulu, dan dua terakhir Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 Tahun 2019 dan PMA Nomor 30 Tahun 2024. Pada peraturan ini, tugas penghulu tidak hanya terkait dengan urusan pernikahan, tetapi lebih mendalam dan luas lagi, yaitu Bimbingan Masyarakat Islam sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan Penghulu meliputi pembelajaran dan pembinaan masyarakat Islam. Oleh karena itu, jabatan fungsional penghulu merupakan jabatan fungsional kategori keahlian.

           Peran penghulu yang pada mulanya notabene bertanggung-jawab sebagai pencatat pernikahan telah meluas. Di era globalisasi yang sarat akan dinamika dan problematika sosial keagamaan yang kian pesat, selain mengemban tugas sebagai tokoh agama dan abdi negara, seorang penghulu juga dituntut untuk mengembangkan kompetensi, kualitas dan profesi agar tampil lebih berwawasan dan memiliki daya kritis dalam mengkaji isu-isu kekinian mengenai hukum Islam khususnya fiqh munakahat yang senantiasa akan terus bermunculan di masyarakat.

          Munculnya kasus-kasus kontemporer seputar fiqih munakahat seperti prosesi ijab-qabul lewat media elektronik (telepon, internet, teleconference dsb), pengucapan ikrar talak melalui pesan sms, Inseminasi (penghamilan) buatan melalui teknik bayi tabung, kesetaraan gender dalam rumah tangga, KDRT dan banyak kasus-kasus lainnya yang tentu menuntut penyelesaian hukum dari perspektif keagamaan secara profesional dari seorang penghulu.

         Untuk menghadapi tugas yang semakin banyak dan permasalahan yang semakin konfleks, maka seorang penghulu dituntut mengembanagkan dirinya, dengan mengikuti berbagai pelatihan, baik pelatihan fungsional, pelatihan teknis, maupun. pelatihan manajerial. Penghulu juga harus mengembangkan kompetensinya melalui seringnya mengikuti program pengembangan kompetensi lainnya, dapat berbentuk: short course, seminar, lokakarya (workshop); atau konferensi. Dengan demikian, diharapkan dapat menjadi penghulu yang benar-benar mempunyai kompetensi dan profesionalisme.

  1. Eksistensi, Kinerja dan Integritas Penghulu

            Tugas pokok Kementerian Agama adalah menyelenggarakan Sebagian tugas pemerintahan di bidang keagamaan yang salah satu tugasnya adalah pelayanan pencatatan perkawinan bagi umat Islam, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Untuk melaksanakan tugas tersebut dan melaksanakan amanat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa telah ditetapkannya Pegawai Pencatat Nikah yang sehari-hari dalam masyarakat dikenal dengan sebutan Penghulu (Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 2005: 1).

          Pengertian Penghulu berdasarkan PMA Nomor 30 Tahun 2005, Penghulu adalah pegawai negeri sipil sebagai pencatat nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan (Bidang Urais Kemenag Kanwil Provinsi Banten, 2012: 1). Sedangkan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2024 disebutkan, Penghulu adalah pegawai Aparatur Sipil Negara yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak untuk melakukan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam (PMA Nomor 30 Tahun 2024 Bab I, Pasal 1 ayat 3).

Gambar 2: Pelaksanaan pengawasan dan pencatatan nikah di Balai Nikah/KUA

         Tugas-tugas penghulu berkaitan dengan penerapan ajaran dan syariat agama Islam di bidang pernikahan/perkawinan tidak sekedar sebuah acara seremonial, namun tugas-tugas tersebut juga menjadi sarana perwujudan keta’atan seorang muslim dan pengikat ikatan suci lahir-bathin antara seorang pria dan seorang Wanita. Pernikahan/perkawinan merupakan pintu gerbang seseorang untuk memulai dan membentuk sebuah kehidupan baru dan bahagia dan Sejahtera serta menciptakan generasi penerus yang berkualitas (Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 2005: 3).

         Pada Permenpan RB Nomor 9 Tahun 2019 ini, tugas jabatan fungsional penghulu lebih ditingkatkan untuk pengembangan karier dan peningkatan profesionalisme Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang yang lebih luas lagi dari Permenpan sebelumnya, yaitu melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam. Pada peraturan ini, tugas penghulu tidak hanya terkait dengan urusan pernikahan, tetapi lebih mendalam dan luas lagi, yaitu Bimbingan Masyarakat Islam sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan Penghulu meliputi pembelajaran dan pembinaan masyarakat Islam. Oleh karena itu, jabatan fungsional penghulu merupakan jabatan fungsional kategori keahlian.

          Dengan demikian, tugas penghulu dengan memberikan bimbingan masyarakat Islam, maka perannya semakin luas dan lebih banyak memberikan pelayanan masyarakat Islam. Peran penghulu yang pada mulanya notabene bertanggung-jawab sebagai pencatat pernikahan telah meluas. Dalam pelayanan pernikahan, Penghulu sering kali harus hadir kapan saja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik itu untuk menikahkan pasangan, mengurus administrasi pernikahan, ataupun menyelesaikan urusan lain yang terkait dengan agama. Penghulu tidak hanya berfokus pada satu aspek saja, melainkan memiliki banyak tanggung jawab, mulai dari memimpin pernikahan, memberikan nasihat agama, hingga menyelesaikan sengketa keluarga, yang memerlukan pemahaman mendalam tentang hukum agama dan sosial.

         Sebagai pemimpin agama, Penghulu juga sering bertugas memberikan pembimbingan spiritual kepada masyarakat, yang tidak mengenal waktu atau tempat, karena urusan rohani/spiritual sering kali muncul di waktu yang tidak terduga. Tugas penghulu tidak terbatas pada jam kerja biasa, namun sering kali mereka harus bekerja di luar jam kantor untuk memastikan segala proses berjalan dengan lancar, terutama dalam situasi darurat atau kebutuhan mendesak. Penghulu memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat, terutama dalam konteks pernikahan, administrasi keluarga, dan berbagai permasalahan agama. Kinerja penghulu mencakup pelayanan yang bersifat 24 jam, karena mereka sering kali dihadapkan pada kebutuhan masyarakat yang mendesak dan harus siap melayani kapan saja.

          Tugas penghulu yang tak kenal waktu menunjukkan komitmen dan integritas mereka terhadap masyarakat. Mereka selalu siap memberikan pelayanan terbaik (exelent service) demi kebaikan umat, terlepas dari waktu, cuaca, atau kesulitan yang ada. Sebagai penghulu, mereka memiliki beban kerja yang tidak terbatas pada jam kerja biasa, dan sering kali mereka harus bekerja di luar jam kantor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang mendesak, mereka sering kali terlibat dalam pernikahan yang harus dilaksanakan segera, tanpa mempedulikan waktu atau hari libur, yang membuat waktu libur menjadi barang langka dan berharga bagi penghulu.

Gambar 3: Medan juang ekstrim yang harus dilalui penghulu untuk sampai ke tempat akad nikah

           Karena sifat pekerjaan yang sangat mengandalkan kehadiran langsung, kehidupan pribadi seorang penghulu sering kali terabaikan. Mereka tidak dapat selalu mengatur waktu untuk beristirahat atau menikmati waktu bersama keluarga, karena tuntutan pekerjaan yang terus-menerus. Eksistensi kinerja penghulu yang tak kenal waktu menggambarkan dedikasi dan komitmen seorang penghulu dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemimpin dalam urusan agama dan pernikahan. Eksistensi penghulu yang tak kenal waktu adalah bukti nyata bahwa integritas mereka bukan kaleng-kaleng dan tidak diragukan lagi dalam berkhidmat kepada masyarakat, mereka tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga sebagai pembimbing spiritual yang sangat dihormati dalam masyarakat.

  1. Penghulu dan PNBP NR

         Selain peraturan yang khusus mengatur tentang wajibnya pencatatan pernikahan dalam suatu peristiwa pernikahan, ada pula peraturan yang mengatur khusus tentang biaya pencatatan pernikahan. Dalam hal ini akan disinggung beberapa peraturan yang mengatur tentang biaya pencatatan nikah. Peraturan-peraturan tersebut antara lain: Ketetapan Menteri Agama (KEMA) nomor 122 tahun 1978 tentang biaya pencatatan nikah, Peraturan Menteri Agama (PERMA) nomor 71 tahun 2009 tentang pengelolaan biaya pencatatan nikah dan rujuk, PP No. 47 Tahun 2004, PP No. 48 Tahun 2014, dan PERMA No. 24 Tahun 2014. Ada juga yang menyebutkan peraturan lain yang mengatur tentang biaya pencatatan nikah ini, peraturan itu yakni UU No. 22 Tahun 1945 Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi: “Seorang yang nikah, menjatuhkan talak atau merujuk diwajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya ditetapkan oleh Menteri Agama”.

           Peristiwa seorang penghulu di Kota Kediri menjadi tersangka melakukan gratifikasi karena menerima uang dari keluarga calon pengantin melebihi ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 47 Tahun 2004 telah menimbulkan reaksi dari mayoritas penghulu di Indonesia. Dengan adanya peristiwa tersebut, kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan baru PP No. 48 Tahun 2014 yang merupakan PP pengganti PP No. 47 Tahun 2004. PP No. 48 Tahun 2014 ini memuat tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak biaya nikah dan rujuk yang berlaku di Kementrian Agama. Aturan ini mulai berlaku per 10 Juli 2014. Lahirnya PP ini untuk peningkatan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk, perlu dilakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementrian agama sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama. Dengan pertimbangan tersebut, maka perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang perubahan atas PP no. 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departeman Agama

         Terlepas dari berbagai ketentuan hukum atau peraturan yang mengatur dan mengharuskan adanya suatu pencatatan pernikahan yang dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) yang telah dijelaskan di atas, maka lahirlah PP No. 48 Tahun 2014 yang disahkan pada tanggal 27 Juni 2014, yang merevisi peraturan sebelumnya PP No. 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Agama. Biaya pencatatan nikah dan rujuk, biasa disingkat NR, yang diatur dalam PP No. 47 Tahun 2004 dengan besaran Rp 30.000,00 per peristiwa. Biaya riil pencatatan pernikahan yang telah di tetapkan oleh Kementerian Agama sebesar 30 ribu rupiah, memang layak dipertanyakan. Untuk ukuran sebuah kegiatan yang membutuhkan profesionalitas, biaya tersebut sangatlah tidak layak. Karena suatu pencatatan adalah momentum di mana sepasang pengantin memperoleh legalitasnya untuk hidup bersama dalam suatu ikatan lahir batin. Peristiwa demikian hanya terjadi sekali seumur hidup.

         Setelah berlaku selama 10 tahun, PP No. 47 Tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementerian Agama akhirnya direvisi. Perubahan yang ditetapkan di dalam PP Nomor 48 tahun 2014 diantaranya yaitu adanya multi tarif yang dikenakan kepada masyarakat yang akan menikah ataupun rujuk. Di dalam Pasal 6 PP Nomor 48 tahun 2014, penetapan biaya nikah atau rujuk adalah: 1) Nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama pada hari dan jam kerja dikenakan tarif Rp. 0 (nol) rupiah. 2) Nikah di luar Kantor Urusan Agama dan atau di luar hari dan jam kerja dikenakan tarif Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah). 3) Bagi warga tidak mampu secara ekonomi dan warga yang terkena bencana alam dikenakan tarif Rp. 0 (nol) rupiah dengan melampirkan persyaratan surat keterangan dari Lurah/ Kepala Desa.

            Salah satu pertimbangan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Agama sebagaimana diatur dalam PP ini adalah untuk meningkatkan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk. Tentu masyarakat ingin tahu peningkatan pelayanan seperti apa yang akan dilakukan oleh PPN dengan biaya yang telah dinaikan oleh pemerintah.

          Senada dengan tujuan awal diterapkannya jasa profesi dan transpor, maka kebijakan ini dinilai mampu meminimalisasi adanya pungutan liar (pungli) dan gratifikasi, dengan cara memberikan alokasi biaya jasa profesi dan transpor bagi petugas layanan nikah di luar KUA Kecamatan, sebagaimana disebutkan dalam PMA Nomor 46 Tahun 2014 Pasal 17 Ayat 2 huruf (a) dan (b) dan PMA Nomor 12 Tahun 2016 Pasal 17 Ayat 2 huruf (a) dan (b) Tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk Di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan.  Selain itu, adanya kejelasan tarif pelaksanaan layanan pernikahan di luar KUA bagi masyarakat juga semakin mempersempit celah pungli dan gratifikasi. Akan tetapi, seperti halnya kebijakan lainnya, penerapan PNBP-NR ternyata juga memunculkan kecemburuan, khususnya dengan bertambahnya pundi-pundi penghulu. Setelah diterapkannya jasa profesi dan transpor, penghulu memiliki penghasilan dari sumber lainnya selain gaji, tunjangan keluarga, uang makan dan tunjangan kinerja.

          Jika dirunut secara mendalam, maka PNBP-NR yang lebih besar dialokasikan untuk jasa profesi dan transpor penghulu telah melahirkan beberapa masalah sosial, di antaranya:

  1. Munculnya kecemburuan sosial di tingkat KUA akibat tingkat kesejahteraan penghulu, sementara sektor lain yang juga berkontribusi terhadap layanan KUA tidak mendapat kesejahteraan serupa. KUA sendiri memiliki tugas tidak hanya mencatat pernikahan, melainkan juga melayani bidang zakat, wakaf, haji, dan penyuluhan. Peningkatan income penghulu menjadi isu yang membuat penghulu dan pegawai lainnya kian berjarak.
  2. Munculnya maladministrasi yang mendorong calon pengantin untuk melaksanakan pernikahan di luar kantor, dengan harapan akan menambah take home pay penghulu.
  3. Pendistribusian penugasan layanan nikah di luar kantor yang tidak proporsional, sehingga menimbulkan terjadi persaingan antar-penghulu pada satu KUA. Dalam beberapa kasus, Kepala KUA mendominasi pelaksanaan layanan nikah di luar kantor dibandingkan dengan penghulu lainnya di kantor yang sama.
  4. Pendistribusian SDM penghulu yang kurang merata. Sebanyak 5.945 KUA yang tersebar di seluruh Indonesia dengan kondisi demografi dan geografis yang berbeda-beda, terdapat Sebagian KUA berada di wilayah perkotaan dengan peristiwa nikah yang tinggi. Namun demikian, terdapat Sebagian KUA berada di wilayah kabupaten bahkan terdapat di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) dengan jumlah peristiwa nikah yang rendah. Hal tersebut menimbulkan kesenjangan antar-petugas layanan nikah. Petugas layanan nikah pada KUA tipologi A akan mendapatkan lebih banyak jasa profesi dan transport dibandingkan dengan petugas layanan nikah ada KUA tipologi D1 atau D2, meskipun hal tersebut seiring dengan beban tugasnya.
  5. Kepala KUA sangat berorientasi terhadap pundi-pundi jasa profesi dan transpor, sehingga melupakan fungsi manajerial KUA, di mana di dalamnya terdapat tugas KUA sesuai dengan PMA Nomor 34 Tahun 2016 (Terbaru PMA No.24 Tahun 2024) Tentang Ortaker KUA. Hal ini jelas melemahkan fungsi manajerial KUA sehingga tujuan Peraturan Menteri Agama tersebut tidak terlaksana secara baik.

            Alternatif kebijakan dari beberapa alternatif yang akan disajikan di atas sebagai bahan pengambilan kebijakan di atas, maka Ditjen Bimas Islam telah berupaya untuk memberikan solusi pengganti bagi para penghulu atas kebijakan penghapusan atau penyesuaian jasa profesi dan transpor, dengan mengusulkan penyesuaian tunjangan fungsional penghulu, yang sejak 16 tahun lalu belum pernah diusulkan penyesuaian. Tunjangan fungsional penghulu jauh tertinggal dibandingkan dengan tunjangan sejenis lainnya, sekalipun pada rumpun yang sama. Regulasi terakhir yang memuat tunjangan fungsional penghulu diatur dalam Peraturan Presiden Nomr 73 Tahun 2007. Upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk kesejahteraan penghulu mengeluarkan Perpres Nomor 108 Tahun 2014 dan PMA Nomor 49 Tahun 2014 tentang besaran Tunjangan Kinerja Kementerian Agama serta PMA Nomor 51 Tahun 2014 tentang Nilai dan Kelas Jabatan Struktural dan Fungsional pada Kementerian Agama, yang tentu akan menambah take home pay penghulu.

           Salah satu pertimbangan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 48 tahun 2014 ini adalah untuk meningkatkan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk, dengan cara memberikan alokasi biaya jasa profesi dan transpor bagi petugas layanan nikah di luar KUA Kecamatan. Selain itu, adanya kejelasan tarif pelaksanaan layanan pernikahan di luar KUA bagi masyarakat juga semakin mempersempit celah pungli dan gratifikasi.

           Namun, pada kenyataannya dua tahun terakhir pencairan tunjangan transportasi dan jasa profesi tersebut tersendat atau tertunggak, bahkan tahun 2024 tunjangan jaspro dan transport tersebut terhutang sampai satu tahun. Sengkarut tertunggaknya tunjangan transportasi dan jasa profesi untuk penghulu menjadi persoalan yang senantiasa berulang dari tahun ke tahun. Seluruh penghulu itu merupakan ASN golongan 3A, sama seperti pegawai ASN lain, mereka tiap bulan mendapat gaji pokok, uang makan, uang tunjangan kinerja, lalu menerima tambahan berupa dana Jaspro dan transport. Pendapatan tambahan berupa Jaspro dan uang transport itu sangat berdampak dalam menunjang kinerja penghulu karena para penghulu hampir sering tetap terus bekerja melayani masyarakat di hari libur, bahkan pada malam hari, di saat orang-orang liburan, di saat orang-orang sudah sampai di rumah, kita justru masih ada pelayanan.

           Berdasarkan data yang disampaikan oleh Dirjen Bimas, terlihat dengan jelas bahwa banyak program dan kegiatan yang dibebankan pembiayaannya kepada PNBP NR. Padahal kegiatan-kegiatan tersebut bukanlah tujuan organik dari penggunaan PNBP NR sesuai amanat PP 48 Tahun 2014 jo PP 19 Tahun 2015 jo PP 59 Tahun 2018, yaitu untuk transportasi dan jasa profesi petugas pencatat nikah. Berdasarkan data kegiatan-kegiatan yang pembiayaannya dibebankan dan menyerap  dana PNBP NR tersebut adalah pengadaan tanah KUA, rehab KUA, program mandatory, moderasi beragama, gerakan keluarga maslahat, sertifikasi halal, dan kompetisi film pendek Islami.

           Dalam kasus tertunggaknya PNBP NR, hak para penghulu hanyalah sebagian dari seluruh nominal Rp. 600.000 yang disetorkan ke kas negara. Dari 80 % yang dikembalikan kepada Kemenag senilai Rp. 480.000, setoran PNBP NR yang kembali untuk transportasi dan jasa profesi hanyalah rata-rata Rp. 300.000 per N. Dengan demikian, masih ada sisa Rp. 180.000,- yang bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain selain transportasi dan jasa profesi penghulu. Di samping itu, sesuai amanat Peraturan Pemerintah dan Kepdirjen Bimas Islam Nomor 600 Tahun 2016, pencairan PNBP mestinya diprioritaskan terlebih dahulu untuk transportasi dan jasa profesi penghulu. Pada saat yang sama, para penghulu seringkali dijadikan obyek kebijakan bahwa mereka harus taat regulasi. Saat mereka sedikit melakukan kesalahan, langsung diviralkan, dan seolah seluruh penghulu ikut bersalah. Namun di saat yang sama, para penghulu juga disodorkan oleh fenomena bagaimana para pemangku kebijakan justru tidak taat regulasi.

         Sebenarnya para penghulu tetaplah para pegawai negeri yang mesti taat kepada pimpinan. Saat para pimpinan mereka memiliki kebijakan yang bagus tentu saja mereka akan mendukung. Namun saat kebijakan-kebijakan itu justru menggerogoti hak-hak mereka, tentu saja mereka pun berhak untuk melakukan protes.

C. PENUTUP

           Penghulu adalah pegawai negeri sipil sebagai pencatat nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Penghulu memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat, terutama dalam konteks pernikahan, administrasi keluarga, dan berbagai permasalahan agama. Kinerja penghulu mencakup pelayanan yang bersifat 24 jam, karena mereka sering kali dihadapkan pada kebutuhan masyarakat yang mendesak dan harus siap melayani kapan saja.

          Sebagai penghulu, mereka memiliki beban kerja yang tidak terbatas pada jam kerja biasa, dan sering kali mereka harus bekerja di luar jam kantor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang mendesak, mereka sering kali terlibat dalam pernikahan yang harus dilaksanakan segera, tanpa mempedulikan waktu atau hari libur, yang membuat waktu libur menjadi barang langka dan berharga bagi penghulu. Keluh-kesah keluarganya, mereka abaikan. Rengekan sang buah hati untuk bisa mengisi hari libur bersama, mereka jawab dengan bujukan yang halus meski sambil berlinang air mata.  Terkadang sang penghulu harus berangkat pagi buta di hari libur untuk melaksanakan tugas negaranya di saat sang buah hati masih tertidur lelap dan tak jarang pula ketika pulang sudah larut malam ke rumahnya sang buah hati pun sudah tertidur juga. Itulah Penghulu, Sang abdi negara dan Khadimil Ummat Minadhulumati iladdhulumati (berangkat kerja dalam keadaan masih gelap, dan pulang kerja sudah gelap/larut malam).

           Jadi tidak masuk akal dan di luar logika yang sehat apabila ada yang mengatakan adanya kecemburuan sosial dari pegawai yang lainnya dengan meningkatnya income dan kesejahteraan penghulu terkait dengan adanya tunjangan jaspro dan transport penghulu dari dana PNBP NR. Pendapatan tambahan berupa jaspro dan transport itu merupakan  hal yang wajar dan memang seharusnya karena hasil jerih payah penghulu yang menggadaikan hari libur untuk keluarganya, sesuai dengan kaidah fiqih: “al-Ajru biqodril masyaqah” (upah diberikan sesuai dengan kadar kesulitannya).

            Terkait adanya wacana penghapusan atau penyesuaian jasa profesi dan transport penghulu dari dana PNBP NR dengan mengusulkan penyesuaian tunjangan fungsional penghulu dan tunjangan kinerjanya, maka itu upaya dari para pemangku kebijakan yang tentu akan ditaati oleh semua pegawai termasuk penghulu. Terlepas dari itu semua baik itu nanti dengan dihapusnya jaspro dan transport tersebut atau mungkin akan tetap dipertahankannya, hendaknya pencairan tunjangan jaspro dan transport tersebut jangan sampai tersendat/terhutang, jangan pula dikurangi kalau tidak bisa menambah atau menaikan jaspro dan transport tersebut karena akan melukai hati para penghulu yang sudah berjibaku sebagai pejuang PNBP NR (U’tul Ajiro Ajrohu Qobla An Yazifa ‘Aroquhu), apalagi jika kemudian pelayanan pencatatan nikah/rujuk diarahkan pada jam kerja saja, jadi para penghulu bisa menikmati hari liburnya bersama keluarga tercinta.

            Dengan adanya wacana penghapusan jaspro dan transport tersebut dengan kemudian diikuti dengan kenaikan tunjangan jabatan dan tunjangan kinerjanya tentu ini disambut gembira oleh bukan hanya oleh penghulu tetapi juga oleh ASN Kementerian Agama tentunya, karena kalau memang harus dan boleh “cemburu” para penghulu dan ASN Kementerian Agama merasa tunjangan jabatan dan tukin ini sangat jauh sekali jika dibandingkan dengan para ASN instansi-instansi pemerintah lainnya.

           Akhirnya, penghulu sebagai abdi negara/ASN akan tetap mendukung dan menta’ati kebijakan yang akan diambil pimpinan/pemangku kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawainya, dan sebagai khadimil ummat akan selalu siap memberikan pelayanan terbaiknya untuk masyarakat (exelent service).

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Drs, MA, Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 1997.

Departemen Agama RI, Pedoman Pembinaan Kepala PPN, Departemen Agama  Kantor Wilayah

Provinsi Jawa Barat, Bandung: 1999.

Departemen Agama RI, Pedoman Penghulu, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan

Penyelenggaraan Haji, Jakarta: 2005.

Gamal Hehaitu, H, Tertunggaknya Jasa Profesi dan Transportasi Penghulu Jadi Bom Waktu, Metro

Media.id, Jakarta: 2023.

Kanwil Kemenag Provinsi Banten, Panduan Praktis Penghulu, Bidang Urais Kanwil Kementerian

Agama Provinsi Banten, Banten: 2012.

Kanwil Kemenag Provinsi Banten, Literasi Kepenghuluan, Bidang Urais Kanwil Kementerian

Agama Provinsi Banten, Banten: 2012

Mohamad Misbah Zain, Persepsi Pegawai Pencatat Nikah Terhadap Pemberlakuan PP Nomor 48  

         Tahun 2014 Tentang Biaya Nikah (Skripsi), IAIN Ponorogo: 2017.

Moch.Jasin, Biaya Nikah Problematika dan Solusi, Itjen News Inspektorat Jenderal Kementerian

Agama RI, Jakarta: 2013.

Peraturan Pemerintah  No. 48 Tahun 2014 Tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

        Biaya Nikah dan Rujuk yang berlaku di Kementrian Agama.

PMA Nomor 46 Tahun 2014 dan PMA Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Penerimaan

       Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk Di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Peraturan Menpan RB Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 Tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan

        Angka Kreditnya.

Peraturan Menpan RB Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka

       Kreditnya.

Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 Tahun 2019 dan PMA Nomor 30 Tahun 2024 Tentang

        Pencatatan Pernikahan.

 

———

**) Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang, Da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial

keagamaan.

 

0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 55 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Sekolah Dibangun, Pernikahan Dini Menurun,* Sebuah Harapan Baru

14 November 2025 - 17:17 WIB

Telaah Peran Penghulu di Masa Kolonial: Antara Adat, Agama, dan Kekuasaan

11 November 2025 - 14:35 WIB

“Kuntul Baris” KUA Delanggu

10 November 2025 - 10:10 WIB

Lebih dari Sekadar Upacara: Meneladani Semangat Pahlawan dalam Tugas Pelayanan Publik Peringatan Hari Pahlawan dan Makna “Kepahlawanan” Masa Kini

10 November 2025 - 09:23 WIB

Mengarungi Bahtera dengan Cinta dan Iman, Sebuah Nasehat Untuk Pengantin Baru

7 November 2025 - 15:10 WIB

Kabupaten Klaten Gelar Apel Kesiapsiagaan Bencana dan Peralatan Tahun 2025: Perkuat Sinergi Hadapi Potensi Bencana

7 November 2025 - 13:24 WIB

Trending di Artikel
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x