PERLINDUNGAN HAM DALAM KELUARGA

 

Disusun oleh : Yayan Nuryana

 

KATA PENGANTAR

 

Segala puji bagi Allah swt Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada Rasulullah saw. Berkat  limpahan serta rahmatnya, saya dapat merampungkan tugas  makalah ini. Saya meminta maaf jika di dalam penyusunan tugas   atau   materi ini tidak maksimal. Makalah ini disusun supaya pembaca bisa memperluas pengetahuan yang saya sajikan dari beragam sumber informasi, referensi, serta berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan beragam halangan, baik itu yang datang dari diri penyusun ataupun yang datang dari luar. Tetapi dengan penuh kesabaran serta terlebih pertolongan dari Allah selanjutnya makalah ini bisa teratasi.

Saya mengucapkan terimakasih kepada  yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat  menambah  wawasan  dan pengetahuan sesuai dengan jurusan yang saya pelajari. Saya menyadari, makalah yang di tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun, saya nantikan demi kesempurnaan  makalah ini.

 

 

Purwakarta, 04 Juni 2024

 

Penyusun

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. i

DAFTAR ISI. ii

BAB I. 1

PENDAHULUAN.. 1

  1. Latar Belakang Masalah. 1
  2. Rumusan Masalah. 2
  3. Tujuan Masalah. 2

BAB II. 3

PEMBAHASAN.. 3

  1. Pengertian HAM… 3
  2. Ruang Lingkup Keluarga. 3
  3. Kaitan HAM dengan Keluarga. 6
  4. Contoh Kasus Pelanggaran HAM dalam keluarga. 7
  5. Kekerasan pada anak. 7
  6. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). 9
  7. Patriaki 14

Bab III. 15

PENUTUP.. 15

  1. Kesimpulan. 15
  2. Saran. 15

Daftar Pustaka. 16

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Masalah

Perkembangan dan Pembangunan di Indonesia yang cukup pesat, kalau tidak disebut sebagai perkembangan dan pembangunan yang sangat maju, tentunya mempunyai dampak yang positif atau yang negatif terutama dalam hal hak-hak seseorang baik yang asasi maupun yang derivative, oleh karenanya masyarakat dituntut untuk mengetahui, mampu menjaga dan melaksanakan hak-haknya itu.

Banyak sekali masyarakat yang tidak tahu tentang hak-hak yang menjadi haknya termasuk tidak mengetahui kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya, banyak masyarakat yang masih terabaikan hak-haknya sebagai manusia. Sebagai bangsa yang berbudaya dan berdaulat kita harus mampu menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta menegakkan Hak Asasi Manusia. Dengan banyaknya permasalahan dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia maka negara kita masih harus merevitalisasi paradigma tentang  Hak  Asasi  Manusia  itu  sendiri  karena  kebanyakan masyarakat indonesia pada umumnya masih kurang sekali terhadap pemahaman tentang hak-hak mereka. Kurangnya pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan Hak Asasi Manusia Itu yang nantinya akan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.

Hak asasi manusia adalah masalah lokal sekaligus masalah global, yang tidak mungkin diabaikan dengan dalih apapun termasuk di Indonesia. Implementasi hak asasi manusia di setiap negara tidak mungkin sama, meskipun demikian sesungguhnya sifat dan hakikat hak asasi manusia itu sama. Adanya hak asasi manusia menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia atas hak asasi manusia yang lain. Implementasi hak asasi manusia di Indonesia, meskipun masih banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia dari yang ringan sampai yang berat dan belum kondusifnya mekanisme penyelesaiannya, tetapi secara umum baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda- tanda kemajuan pada akhir-akhir ini. Hal ini  terlihat  dengan adanya regulasi hukum Hak Asasi Manusia melalui peraturan perundang-undangan serta dibentuknya Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi.

B.     Rumusan Masalah

  1. Pengertian HAM
  2. Ruang Lingkup HAM
  3. Keterkaitan HAM dengan keluarga
  4. Contoh Kasus Pelanggaran HAM dalam keluarga

 

C.    Tujuan Masalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pentingnya Hak Asasi Manusia dalam kehidupan  berkeluarga, serta  untuk  mengetahui  lebih mendalam mengenai pelaksanaan dan penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan meneliti bahan-bahan maupun data kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan (Soekamto & Mamudji, 1983). Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis karena bertujuan untuk dapat memberikan gambaran lebih rinci tentang Penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Bahan-bahan berupa data sekunder dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif normatif untuk kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian HAM

Hak Asasi manusia menurut pasal 1 ayat 1 UU No.39 Tahun 1999 yaitu seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib di hormati,di junjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia[1]. Adapun menurut John Locke bahwa manusia itu mempunyai hak untuk hidup dan hak untuk memiliki sesuatu yang tidak dapat diambil oleh siapapun juga, namun hak-hak itu haruslah untuk tujuan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia itu.

Adapun menurut Jefferson Hak Asasi Manusia yaitu bahwa manusia diciptakan oleh sang pencipta memberikan hak kepada manusia yang tidak boleh di ambil oleh siapapun. Adapun hak tersebut berupa hak untuk hidup dan hak kebebasan serta tujuan untuk kebahagian atau kesejahteraan bagi manusia sehingga terdapat persamaan hak antara sesama manusia dalam berbagai bidang seperti bidang politik, hukum dan sebagainya.

 

B.     Ruang Lingkup Keluarga

Keluarga yaitu unit terkecil dalam masyarakat dimana setiap individu membangun dan mengembangkan hubungan primernya sebelum menjalin hubungan dengan masyarakat luas[2].Secara historis keluarga terbentuk dari satuan yang merupakan organisasi terbatas dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pada pihak-pihak yang awalnya mengadakan suatu ikatan. Ia merupakan bagian dari masyarakat yang berintegrasi dan mempunyai peran dalam suatu proses organisasi kemasyarakatan[3].

Adapun Vembriarto mengemukakan bahwa keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang mempunyai hubungan emosi dan tanggung jawab dan memelihara yang menimbulkan motivasi dan bertanggungjawab.[4]Salah satu unsur untuk menjalani kehidupan keluarga yaitu kehidupan bersama antara perempuan dan laki-laki menempuh rumpun pernikahan merupakan tujuan untuk membangun suatu keluarga. Dalam Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah hubungan lahir batin seorang pria dan wanita bagaikan keluarga agar membuat keluarga mereka hidup damai serta abadi berlandaskan perspektif Tuhan[5]. Setiap pasangan yang sudah melangsungkan perkawinan tentu saja menginginkan keluarganya hidup tentram, sejahterah untuk mewujudkan keutuhan Rumah Tangga dan tempat tinggalnya (Dwiatmodjo, 2011).

Perkawinan termasuk suatu perbuatan hukum, sehingga jika terjadi suatu masalah yang menimbulkan akibat hukum kepada dua orang yang sudah membuat kesepakatan misalnya pihak istri atau suami harus menanggung konsekuensinya. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 33 menyatakan maka Perkawinan wajib hukumnya sepasang suami istri mencintai satu sama lain, menghargai, dan membantu kepada sesama[6]. Di dalam perkawinan tidak menjamin bahwa kebahagiaanlah yang dirasakan selamanya, pasti ada berbagai macam rintangan yang dihadapi seperti sedih, berduka, salah paham dan sebagainya (Suryaningsi & Muhammad, 2020).

Keluarga merupakan bagian dari masyarakat yang lahir dan berada di dalamnya, secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka ke arah pendewasaan. Ciri-ciri umum keluarga antara lain seperti dikemukakan oleh Mac Iver dan Page yaitu :

  1. Kebersamaan, keluarga merupakan bentuk yang hampir paling universal diantara bentuk-bentuk organisasi sosial lainnya. Hampir setiap keadaan manusia mempunyai keanggotaan dari beberapa keluarga.
  2. Dasar-dasar emosional, hal ini didasarkan pada suatu dorongan yang sangat mendalam dari sifat organis manusia seperti perkawinan, menjadi ayah, kesetiaan akan maternal dan perhatian orang tua
  3. Pengaruh perkembangan, hal ini merupakan lingkungan kemasyarakatan yang paling awal dari semua bentuk kehidupan yang lebih tinggi, termasuk manusia, dan pengaruh perkembangan yang paling besar dalam kesadaran hidup yang merupakan sumbernya
  4. Ukuran yang terbatas, keluarga merupakan kelompok yang terbatas ukurannya, yang dibatasi oleh kondisi-kondisi biologis yang tidak dapat lebih tanpa kehilangan identitasnya. Oleh sebab itu keluarga merupakan skala yang paling kecil dari semua organisasi formal yang merupakan struktur sosial, dan khususnya dalam masyarakat yang sudah beradab dan keluarga secara utuh terpisah dari kelompok kekerabatan
  5. Tanggungjawab para anggota, keluarga memliki tuntutan-tuntutan yang lebih besar dan kontinyu daripada yang biasa dilakukan oleh asosiasi-asosiasi lainnya
  6. Aturan kemasyarakatan, hal ini khususnya terjaga dengan adanya hal-hal tabu di dalam masyarakat dan aturan-aturan sah yang dengan kaku menentukan kondisi-kondisinya
  7. Sifat kekekalan dan kesementaraannya, sebagai institusi, keluarga merupakan suatu yang demikian permanen dan universal, dan sebagai asosiasi merupakan organisasi yang paling bersifat sementara dan yang paling mudah berubah dari seluruh organisasi-organisasi penting lainnya dalam masyarakat.[7]

 

C.    Kaitan HAM dengan Keluarga

 

HAM berkaitan erat dengan keluarga  memiliki tujuan untuk melindungi antar anggota keluarga dalam tindakan yang tidak diinginkan seperti halnya pertengkaran dan konflik dalam keluarga, kesalah pahaman dan sebagainya. Apabila hubungan dalam keluarga kurang baik maka besar kemungkinan interaksi sosial pun tidak berlangsung secara baik, sehingga kemungkinan terjadinya konflik dalam keluarga sangat besar

Konflik biasanya terjadi dalam Keluarga ketika ada upaya dalam anggota keluarganya untuk memeperebutkan sumber-sumber daya yang langka. Misalnya uang, perhatian, kekuasaan dan kewenangan untuk memainkan peran tertentu. Bahkan para keluarga sering memperundingkan atau mengadakan tawar menawar dalam mencapai tujuan yang saling berkompetisi. Sehingga interaksi konflik yang terjadi adalah interaksi yang sifatnya verbal sampai kepada yang bersifat fisik.

Kondisi tersebut tidak jarang menjadikan ajang konflik bagi kepentingan yang saling bertentangan sehingga akan mempengaruhi keharmonisan berinteraksi dalam keluarga. Sehubungan dengan itu seorang ahli sosiologi, Jetse Sprey mengemukakan bahwa  konflik lebih sering terjadi dibandingkan dengan gejala harmonis.

Adapun HAM dalam mencegah dan melindungi konflik dalam  keluarga sesuai dengan pasal 30 Undang-undang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman[8] dan juga dalam pasal 33 ayat 1 Undang-undang Hak Asasi Manusia di sebutkan bahwa setiap orang berhak bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia.[9]

D.    Contoh Kasus Pelanggaran HAM dalam keluarga

Banyak Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di lingkungan keluarga seperti halnya Kekerasan pada anak, kekerasan dalam rumah tangga serta patriaki.

a.      Kekerasan pada anak

Kekerasan anak menurut Patilima (2003) adalah tindakan yang salah dari orangtua. Tindakan yang salah yaitu segala kegiatan yang dilakukan terhadap anak yang mengakibatkan dari kekerasan yang mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, maupun mental anak. WHO menjelaskan kekerasan merupakan penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan terhadap seseorang yang dapat mengakibatkan luka, kematian, kelainan psikologis, dan kelainan dalam perkembangan diri.

Kekerasan merupakan padanan makna dari istilah violence yang secara etimologi merupakan gabungan dari vis yang mengandung makna daya atau kekuatan dan latus yang berasal dari kata ferre yang mengandung makna membawa. Berdasarkan hal tersebut maka, violence merupakan tindakan yang membawa kekuatan untuk melakukan paksaan atau tekanan fisik maupun non fisik (Maidin Gultom, 2012:14). Kekerasan tidak hanya diartikan secara fisik, tetapi juga secara mental bahkan secara pasif atau tidak melakukan apapun juga dapat menghasilkan dampak yang sama dengan yang ditimbulkan kekerasan (Nyoman Mas Aryani, 2016:21).[10]

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menjelaskan bahwa yang dimaksud kekerasan terhadap anak adalah diskriminasi, eksploitasi baik fisik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya[11]. Kekerasan terhadap anak merujuk pada perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum[12].

Kasus kekerasan anak dapat terjadi di lingkungan sosial seperti lingkungan keluarga dan sekolah. Kasus kekerasan tersebut paling banyak terjadi di lingkungan keluarga mereka dan terjadi pada anak yang berusia 6 – 12 tahun. Kasus kekerasan fisik itu terjadi dikarenakan penyebab dari kenakalan anak, dendam atau emosi, faktor ekonomi, dan persoalan keluarga. Keluarga seharusnya merupakan tempat dimana pertama kalinya anak mengenal aturan dan memberikan perlindungan terhadap anak.

Untuk itu perlu adanya Perlindungan hukum bagi anak yang memiliki ruang lingkup mencakup perlindungan terhadap kebebasan anak, perlindungan terhadap hak asasi anak, dan perlindungan hukum terhadap semua kepentingan anak yang berkaitan dengan kesejahteraannya (Barda Nawawi Arief, 1998:153).  Hal itu sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan perlindungan yang diberikan kepada anak bahwa, setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan[13]. Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

b.      Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Tindak kekerasan dalam keluarga terutama yang selalu terjadi yaitu kekerasan khususnya kepada perempuan merupakan permasalahan serius dibidang sosial, namun minim mendapat respon dari para penegak hukum dan masyarakat akibat adanya berbagai macam alasan, pertama : kekerasan pada istri dalam rumah tangga bersifat pribadi dan menjadi privasi karena berkaitan dengan kerukunan keluarga, kedua tidak adanya catatan kriminal yang sebenarnya, ketiga perbuatan tersebut dianggap hal yang wajar bagi suami karena haknya sebagai kepala dan pemimpin keluarga (Hasbianto, 1996; Gultom, 2010)

Faktor-faktor penyebabnya Terjadinya Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah sebagai berikut :

  1. faktor ekonomi merupakan faktor penyebab yang paling mendominasi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan ekonomi yang didapatkan antara lain:
  • rendahnya pendapatan keluarga karena gaji suami rendah, suami tidak bekerja maupun suami tidak dapat bekerja (akibat disabilitas atau terjerat kasus kriminal)
  • adanya penelantaran rumah tangga (ditandai dengan tidak adanya pemenuhan nafkah oleh suami)
  • ada pula rumah tangga yang harus terbelit urusan hutang piutang. Domestic Violence Roundtable mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang menghambat seorang penyintas untuk melaporkan kekerasan yang diterimanya adalah ketergantungan ekonomi.
  1. Faktor budaya, terdapat beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi juga disebabkan faktor sosial yaitu adanya budaya patriarki. Suatu hubungan yang menempatkan bahwa suami lebih berkuasa daripada istri merupakan Budaya Patriarki. Artinya adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang dan suami ingin selalu menang sehingga muncul banyak tuntutan yang dapat menyudutkan sang istri.
  2. Faktor Sosial yang dapat menyebabkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu tidakseimbangnya dalam pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga. Dengan mengikuti perkembangan zaman, membuat sebagian besar pasangan suami istri melakukan peran ganda. Peran Ganda artinya mereka harus bekerja di dua tempat yaitu di tempat kerja dan dirumah.

Dampak dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga bagi istri atau perempuan menurut Undang-Undang Tahun 2004 No.23 tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dibagi menjadi 4 (empat) macam:

  1. Mengalami kekerasan Psikologi yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,hilangnya rasa percaya diri,hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak percaya dan penderitaan psikis berat.
  2. Mengalami kekerasan fisik yaitu perbuatan yang menimbulkan rasa sakit,jatuh sakit, atau perbuatan yang menimbulkan luka berat.
  3. Mengalami kekerasan seksual yaitu kekerasan ini dapat berupa pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual barupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Dan juga pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
  4. Mengalami kekerasan ekonomi atau Penelantaran Rumah Tangga yaitu setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Penelantaran perbuatan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.[14]

Adapun pelaku Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) maka terkena sanksi ancaman pidananya berupa :

  1. Pidana penjara atau denda sebagaimana diatur dalam pasal 44 sampai dengan pasal 49 UU No.23/2004 tentang Pidana Kekerasan dalam rumah tangga :
  • Pasal 44
  • (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
  • (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
  • (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
  • (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  • Pasal 45
  • (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
  • (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
  • Pasal 46
  • Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

 

  • Pasal 47
  • Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
  • Pasal 48
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang- kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • Pasal 49
  • Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
    1. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
    2. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
  1. Pidana Tambahan sebagaimana dalam pasal 50 dapat berupa pembatasan gerak pelaku dan penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Patriaki

Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. (Pinem, 2009:42). Ayah memiliki otoritas terhadap ibu, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan. Bahkan dinilai sebagai penyebab dari penindasan terhadap perempuan. (Walkins, 2007: 120)

Budaya Patriaki yaitu suatu system sosial yang menganggap bahwa laki-laki lebih superior dalam segala aspek kehidupan baik kehidupan pribadi,keluarga, bermasyarakat dan bernegara di bandingkan dengan perempuan. Konsep budaya dominasi laki-laki (patriarki) dalam segala aspek kehidupan sudah berlaku sejak jaman dahulu dan masih tetap berkembang hingga dewasa ini. Akibatnya masih banyak kaum perempuan yang mengalami subordinasi, marginalisasi, pelecehan, diskriminasi, eksploitasi, dan lain-lain.

Perilaku kekerasan seringkali dikaitkan sebagai salah satu cara kaum pria untuk menyelesaikan masalah. Kekerasan dilakukan sebagai wujud tindakan intimidatif terhadap perempuan sehingga dapat melakukan hal yang dikehendaki oleh pasangannya. Budaya patriarki juga memberikan dampak berupa pola pikir pada perempuan untuk selalu bersikap pasrah, mengalah, mendahulukan kepentingan orang lain, mempertahankan ketergantungannya pada kaum pria, dan selalu mengutamakan peran sebagai pendamping suami dan pengasuh anak-anak.

 

 

Bab III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Hak Asasi Manusia merupakan hak dari sang pencipta kepada manusia yang tidak boleh di ambil oleh siapapun. Adapun hak tersebut berupa hak untuk hidup dan hak kebebasan serta tujuan untuk kebahagian atau kesejahteraan bagi manusia sehingga terdapat persamaan hak antara sesama manusia dalam berbagai bidang seperti bidang politik, hukum dan sebagainya.

HAM berkaitan erat dengan keluarga,  memiliki tujuan untuk melindungi antar anggota keluarga dalam tindakan yang tidak diinginkan seperti halnya pertengkaran dan konflik dalam keluarga, kesalah pahaman dan sebagainya. Apabila hubungan dalam keluarga kurang baik maka besar kemungkinan interaksi sosial pun tidak berlangsung secara baik, sehingga kemungkinan terjadinya konflik dalam keluarga sangat besar

B.     Saran

Tentunya penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974

Undang-undang  Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang  Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Tahun 2004 No. 23 tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri

 

M Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, (Surabaya: Usaha

Nasional,1977), h.23

 

Soekanto, Soejono, Sosiologi Keluarga (Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anakia), Jakarta; Rineka Cipta, 2004.

 

Maidin, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Refika Aditama, Bandung.

 

Gultom, Maidi, 2008, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Rafika Aditama, Bandung

 

Mac Iver, R.M. dan Charles, H. Page. Society On Introductory Analysis, (London: Mac Milan & Co. LTD, 1952), h 50

 

  1. Bazar Harahap dan Nawangsih sutardi.2006.Hak Asasi Manusia dan Hukumnya,Percirindo,Jakarta ,hal.9.

 

Harun Nasution,Hak Asasi dalam Islam,(Jakarta:Pustaka Firdaus,1987),232

 

Soekanto, Soejono, Sosiologi Keluarga (Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anakia), Jakarta; Rineka Cipta, 2004.

Pinem, Saroha. 2009. Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta: Trans Media.

 

Walkins, Alice Susantro (dkk). 2007. Feminisme Untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book.

[1] A. Bazar Harahap dan Nawangsih sutardi.2006.Hak Asasi Manusia dan Hukumnya,Percirindo,Jakarta ,hal.9.

[2] Harun Nasution,Hak Asasi dalam Islam,(Jakarta:Pustaka Firdaus,1987),232

[3] M Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, (Surabaya: Usaha Nasional, 1977), h.23

[4] Vembriarto, S.T,. Sosiologi Pendidikan, (Yokyakarta: Yayasan Paramita, 1882), h. 120

[5]Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan

[6] Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 33

[7] Mac Iver, R.M. dan Charles, H. Page. Society On Introductory Analysis, (London: Mac Milan & Co. LTD, 1952), h 50

[8] pasal 30 Undang-undang  Hak Asasi Manusia

 

[9] pasal 33 ayat 1 Undang-undang Hak Asasi Manusia

[10] Gultom, Maidi, 2008, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Rafika Aditama, Bandung

[11] Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

[12] Maidin, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Refika Aditama, Bandung.

[13] Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang  Hak Asasi Manusia

[14] Undang-Undang Tahun 2004 No. 23 tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *