Hari Santri selalu membawa suasana yang khas: aroma perjuangan, doa yang khusyuk, dan wajah-wajah santri yang penuh semangat menapaki jalan ilmu dan pengabdian. Namun di antara deretan santri yang istiqamah menuntut ilmu, ada juga yang sedang menapaki babak baru kehidupan menuju pernikahan.
Menikah bagi seorang santri bukan sekadar melepas masa lajang. Ia adalah langkah besar yang disertai niat ibadah, keikhlasan hati, dan tanggung jawab yang panjang. Dalam pandangan seorang santri, pernikahan bukan hanya urusan cinta, tetapi juga bagian dari perjuangan menjaga kehormatan, menegakkan sunnah Nabi ﷺ, dan melanjutkan dakwah melalui keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Segala amal bergantung pada niat. Itulah prinsip dasar yang tertanam di dada setiap santri. Maka sebelum membicarakan soal mahar atau pesta, langkah pertama yang disiapkan adalah meluruskan niat. Menikah bukan karena desakan usia, bukan pula karena gengsi, tetapi karena ingin menjaga diri dan membangun kehidupan yang diridhai Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa menikah karena ingin menjaga pandangan dan memelihara kehormatan diri, maka Allah akan menolongnya.”
(HR. Tirmidzi)
Niat yang ikhlas akan menjadi kunci keberkahan. Sebab dari niat yang benar, lahir langkah yang benar pula.
Ada banyak kebiasaan indah yang dijaga para santri menjelang hari pernikahan. Biasanya, calon pengantin santri akan sowan ke kiainya untuk meminta doa restu serta ijazah amalan agar rumah tangganya kelak dipenuhi keberkahan. Tak jarang, sebelum akad nikah, sang calon pengantin melaksanakan mujahadah atau khidmah khusus di pesantren. Ada yang membantu di dapur, menyapu halaman pondok, atau menemani santri-santri kecil mengaji. Semua itu dilakukan sebagai bentuk tawadhu’ (kerendahan hati) dan tabarrukan (mengharap berkah).
Selain itu, santri juga terbiasa shalat hajat dan membaca surat Ar-Rahman atau Al-Waqi‘ah sebagai doa agar pernikahan dilimpahi rezeki dan kasih sayang. Malam sebelum akad, beberapa santri bahkan melakukan khusyu’, menangis dalam sujud, memohon agar rumah tangga mereka kelak menjadi jalan menuju ridha Allah dan restu guru-guru mereka.
Bagi seorang santri, restu kiai dan orang tua adalah dua sayap keberkahan. Restu kiai bukan sekadar simbol spiritual, tapi tanda bahwa niat pernikahan telah mendapat ridha dari guru yang membimbing ilmu dan akhlak. Para kiai biasanya memberikan nasihat sederhana tapi mendalam: “Jaga salatmu, jaga akhlakmu, dan jangan lupa sabar, sebab sabar adalah maharnya rumah tangga.”
Kata-kata itu bukan hanya petuah, tapi cahaya yang menuntun perjalanan panjang kehidupan berdua.
Selanjutnya, sebagai santri yang taat syariat, menjaga kesahihan nikah juga berarti menjaga keabsahan secara hukum negara. Karenanya, santri sangat dianjurkan untuk menikah tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Selain menjadi wujud ketaatan pada peraturan, pencatatan nikah di KUA juga melindungi hak-hak istri dan anak di kemudian hari. Di sinilah para penghulu dan penyuluh KUA hadir bukan sekadar petugas, tapi juga pembimbing ruhani secara eksternal yang memastikan pernikahan berjalan sesuai tuntunan agama dan hukum perundang-undangan yang berlaku.
Ilmu menjadi bekal utama seorang santri, dan itu juga berlaku dalam kehidupan rumah tangga. Sebelum menikah, santri terbiasa mempelajari fikih munakahat tentang hak dan kewajiban sebagai suami-istri, cara bergaul dengan adab, serta tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Pernikahan tanpa ilmu seperti kapal tanpa kompas. Tapi bila dijalani dengan ilmu, rumah tangga bisa menjadi madrasah yang melahirkan generasi saleh dan berakhlak. Sebab, sebagaimana kata ulama, “Al-‘ilmu qoblal ‘amali” ilmu selalu lebih dahulu sebelum amal.
Kiai sering menasihati santrinya bahwa menikah itu bukan hanya soal cinta, tapi kesiapan lahir batin. Rezeki memang datang dari Allah, tapi tanggung jawab adalah ujian nyata bagi setiap kepala rumah tangga. Santri yang baik tidak menunggu kaya baru menikah, tapi berikhtiar agar rezekinya halal dan mencukupi. Ia tahu bahwa berkah lebih mulia daripada limpahan harta. Nafkah yang diperoleh dari jalan yang halal, meski sedikit, akan mendatangkan ketenangan dalam hati dan ridha Allah di setiap langkah.
Akhlak adalah mahkota santri. Dalam rumah tangga pun, adab harus menjadi tiang utama. Suami dan istri hendaknya saling menghormati, saling menasihati, dan bersabar dalam menghadapi kekurangan masing-masing. Pernikahan santri idealnya menjadi cerminan kehidupan pesantren: penuh kedamaian, disiplin, dan kasih sayang. Rumah tangga seperti ini bukan sekadar tempat tinggal, tapi menjadi halaqah cinta yang mendekatkan keduanya kepada Allah.
Akhir,
Pernikahan bagi santri adalah bentuk lain dari pengabdian. Jika di pesantren santri belajar untuk taat dan khidmah kepada guru, maka dalam rumah tangga ia belajar untuk taat dan setia kepada pasangan dalam ridha Allah. Menikah berarti melanjutkan perjuangan: membangun keluarga yang berilmu, berakhlak, dan berbarakah. Setiap langkah menuju rumah tangga yang sah dan diridhai Kiai adalah bagian dari jihad kecil yang bernilai besar.
Di Hari Santri ini, mari kita doakan para santri yang bersiap menikah, semoga pernikahannya menjadi sumber kebaikan, ketenangan, dan keberkahan. Semoga setiap rumah tangga santri menjadi taman ilmu, tempat tumbuhnya cinta yang berpijak pada iman, dan ladang pahala yang tak putus hingga akhir zaman.
Selamat Hari Santri!
Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia
Dari pesantren menuju pelaminan, semoga langkahmu beriring doa, restu kiai, dan ridha Ilahi.
- Muhamad Fathul Arifin – KUA Kesugihan, Cilacap








