Menu

Mode Gelap

Artikel · 5 Agu 2025 19:13 WIB ·

Problematika Pernikahan Sirri dan Solusi Revitalisasi melalui Iceberg Model dan U-Theory

Penulis: Muhammad Hafizh


 Problematika Pernikahan Sirri dan Solusi Revitalisasi melalui Iceberg Model dan U-Theory Perbesar

Pernikahan Sirri: Menyelami Akar Masalah dan Menemukan Jalan Perubahan melalui IcebergModel dan U-Theory

Muhammad Hafizh, S.Ag., M.Pd.

mh00.hafizh@gmail.com

(Penghulu Ahli Pertama Kementerian Agama Kab.Karawang)

Pendahuluan

Pernikahan sirri, yaitu pernikahan yang tidak tercatat secara resmi oleh negara, masih banyak terjadi di Indonesia, baik di pedesaan maupun perkotaan. Data Kementerian Agama tahun 2022 mencatat bahwa sekitar 21,4% pasangan menikah tanpa pencatatan di KUA. Dampaknya sangat serius: anak-anak dari pernikahan ini sulit mendapatkan akta kelahiran, istri tidak memiliki dasar hukum untuk menuntut haknya dalam perceraian, kekerasan rumah tangga, atau warisan. Meski sah secara agama, status hukum yang tidak jelas membuat keluarga hasil pernikahan sirrirentan terhadap pengabaian hukum dan diskriminasi administratif.

Yang lebih mengkhawatirkan, praktik ini diterima secara sosial karena dianggap cukup memenuhi syarat agama. Padahal, di balik fenomena ini tersembunyi pola sosial yang berulang, struktur yang tidak adil, dan cara pandang kolektif yang sudah mengakar. IcebergModel membantu kita melihat bahwa masalah ini bukan sekadar persoalan permukaan, melainkan melibatkan sistem nilai yang lebih dalam. Sementara itu, U-Theory menawarkan pendekatan transformasi yang lebih menyeluruh—berangkat dari kesadaran, empati, refleksi bersama, hingga penciptaan solusi kolektif. Dengan menggabungkan dua pendekatan ini, kita bisa menemukan cara pencegahan dan penanganan yang lebih menyentuh akar persoalan.

Iceberg Theory: Fakta Sosial Pernikahan Sirri dan Melihat Pola-Struktur yang Mengakar  

Di permukaan, pernikahan sirri sering kali dianggap “beres” karena memenuhi syarat agama: ada wali, dua saksi, serta ijab kabul. Namun ketika hubungan ini tidak dicatatkan, maka tidak ada jaminan hukum bagi istri dan anak jika terjadi perceraian, kekerasan, atau masalah warisan. Istri tak bisa menuntut hak nafkah, anak sulit memperoleh akta kelahiran, dan negara tidak bisa memberikan perlindungan hukum yang layak.

Kisah seorang perempuan yang dinikahkan secara sirri, lalu ditinggalkan begitu saja tanpa hak hukum dan anaknya tak dapat mengakses pendidikan karena tak punya dokumen resmi, bukan hal baru. Cerita seperti ini sering terjadi dan menjadi “puncak gunung es” yang kita lihat. Tapi persoalannya jauh lebih dalam.

Melalui pendekatan Iceberg Model, kita diajak melihat bahwa pernikahan sirri adalah hasil dari pola sosial yang terus berulang. Praktik ini sering terjadi di komunitas dengan literasi hukum rendah, tingkat pendidikan terbatas, atau tekanan budaya tertentu. Di sisi lain, struktur sosial dan birokrasi yang sulit diakses membuat pencatatan nikah dianggap rumit dan mahal, sehingga masyarakat memilih jalan pintas.

Lebih jauh lagi, akar terdalam dari praktik ini adalah mental model atau cara berpikir masyarakat yang sudah mengakar: bahwa yang penting adalah sah secara agama, sedangkan urusan negara dianggap tidak terlalu perlu. Dalam cara pandang ini, perempuan cenderung tidak memiliki kuasa dalam pengambilan keputusan, karena tunduk pada otoritas orang tua atau tokoh agama.

U-Theory: Menyentuh Kesadaran, Mengubah Realitas

Otto Scharmer melalui U-Theory menawarkan pendekatan transformatif untuk mengatasi masalah sosial seperti pernikahan sirri. Perubahan, menurutnya, tidak bisa hanya terjadi dari perintah atau aturan, tapi harus melalui proses kesadaran, empati, refleksi, dan penciptaan bersama.

Langkah pertama adalah co-initiating—menyadari bahwa praktik pernikahan sirri bukan sekadar pilihan individu, tapi persoalan sistemik. Kemudian co-sensing, yakni mendengarkan langsung pengalaman mereka yang terdampak: perempuan, anak, dan tokoh masyarakat yang berjuang di tengah tekanan norma.

Lalu masuk ke tahap presencing, yaitu momen reflektif untuk membayangkan sistem sosial yang lebih adil dan berpihak. Dari sana lahirlah co-creating—proses menciptakan solusi bersama, seperti program edukasi pernikahan di pesantren, penyuluhan hukum keluarga di sekolah, atau penyederhanaan prosedur pencatatan nikah.

Terakhir, co-evolving menjadi bentuk nyata perubahan sosial. Di tahap ini, masyarakat tak hanya paham, tapi juga hidup dalam sistem baru yang melindungi hak semua pihak, selaras dengan nilai agama dan prinsip hukum.

Peran Kunci Penghulu dan Penyuluh Agama

Dalam konteks ini, penghulu dan penyuluh KUA memainkan peran strategis. Mereka bukan sekadar pencatat pernikahan, tapi juga agen perubahan sosial. Penghulu bisa memberi pemahaman tentang pentingnya legalitas nikah, sekaligus menjadi contoh dalam menegakkan aturan dengan pendekatan yang humanis. Sementara itu, penyuluh agama dapat menggunakan pendekatan dakwah yang inklusif—tidak hanya menyampaikan syariat, tapi juga nilai-nilai keadilan dan perlindungan keluarga dalam Islam.

Edukasi hukum keluarga, pelatihan pranikah, dan forum diskusi berbasis komunitas adalah beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan bersama. Dukungan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat akan memperkuat pesan bahwa mencatatkan pernikahan bukan sekadar urusan administratif, tapi bentuk tanggung jawab moral dan sosial.

Simpulan

Pernikahan sirri bukan hanya masalah legalitas, tetapi juga cerminan dari ketimpangan sosial, minimnya edukasi hukum, dan cara pandang yang mengabaikan perlindungan keluarga. Pendekatan Iceberg Model membantu kita memahami bahwa di balik praktik ini tersembunyi pola dan struktur yang mendalam. Sementara itu, U-Theory memberi arah bagi transformasi sosial berbasis kesadaran kolektif.

Jika kita ingin membangun sistem keluarga yang adil dan bermartabat, maka perubahan harus dimulai dari bawah—dari pemahaman, pengalaman, dan tindakan bersama. Penghulu dan penyuluh agama memiliki peran penting dalam proses ini. Dan sebagai masyarakat, kita semua punya tanggung jawab untuk bertanya, mendengar, dan bertindak—agar pernikahan di Indonesia tidak hanya sah secara agama, tetapi juga kuat secara hukum dan berkeadilan bagi semua.

0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 13 kali

Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Kesetiaan Adalah Salah Satu Pilar yang Menegakkan Cinta di Tengah Problematika dalam Rumah Tangga

19 November 2025 - 09:01 WIB

Ibu dan Doa yang Mengiringi Setiap Langkah dalam Pernikahan Kita

17 November 2025 - 12:57 WIB

Sekolah Dibangun, Pernikahan Dini Menurun,* Sebuah Harapan Baru

14 November 2025 - 17:17 WIB

Menghidupkan Spirit Khutbah Jumat: Renungan Iman, Kepedulian Sosial, dan Tanggung Jawab Mencetak Kader Umat

14 November 2025 - 16:49 WIB

Tiga Kunci Keutuhan Cinta: Kedekatan, Komitmen, dan Gairah dalam Rumah Tangga (Part I)

13 November 2025 - 08:54 WIB

Kunjungan Silaturrahmi Pak Camat Baru di KUA Atu Lintang

12 November 2025 - 15:07 WIB

Trending di Opini
2
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x