Menu

Mode Gelap

Artikel · 19 Sep 2025 00:00 WIB ·

Rukun Nikah Baru: Sebuah Usulan

Penulis: H. Jinto S.H.I


 Rukun Nikah Baru: Sebuah Usulan Perbesar

Oleh: H. Jinto, S.H.I

Penghulu Ahli Madya/ Kepala KUA Kec. Kemalang Kab. Klaten

 

Membaca Ulang Rukun dan Syarat Nikah

Kita semua mengetahui bahwa sah dan tidaknya sebuah perkawinan adalah terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan. Hal ini berlaku bagi para pelaku nikah siri maupun nikah resmi, lebih-lebih hampir semua pelaku nikah siri mengklaim nikah siri mereka sudah sah menurut agama, karena pernikahan mereka telah terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan. Selama mereka beranggapan bahwa nikah siri itu sah karena pernikahan sudah terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan, maka nikah siri akan tetap abadi hingga kiamat tiba, oleh karena itu langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan kembali rukun dan syarat perkawinan itu.

Dalam kitab-kitab fikih klasik, yang dikarang oleh para fuqaha terdahulu menyebutkan bahwa rukun nikah terdiri dari: calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua orang saksi dan sighat (ijab qobul) sedangkan syarat-syaratnya adalah: Islam, baliq, berakal sehat, tidak ada halangan mahram,  bisa melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah (untuk saksi), sadar, segera, satu majlis, rela sama rela, jelas (untuk sighat). Yang menjadi pertanyaan adalah kapan rukun dan syarat tersebut dirumuskan? bagaimana kondisi sosial budaya pada waktu itu? yang mungkin sudah jauh berbeda dengan konteks ke-Indonesian pada zaman sekarang ini.

Rukun dan syarat tersebut telah dirumuskan beberapa tahun yang lalu, di mana pada masa lalu pencatatan pernikahan belum begitu urgen, namun  sekarang situasi dan kondisi sudah berubah, di mana kita hidup dalam zaman yang sudah modern. Suatu hukum yang ada pada masa tertentu didasarkan pada kemaslahatan waktu itu, namun masa sekarang yang kemaslahatannya berubah, maka hukumnya juga harus berubah. Perubahan ini sejalan dengan Kaidah yang berbunyi :

لا ينكر تغير ا لا حكا م بتغير الاز ما ن

 Artinya:

Tidak dapat dipungkiri adanya perubahan hukum lantaran berubahnya masa” (Asjmuni, 1976,  p.107)

yang dalam hal ini segala sesuatu hal yang penting perlu dicatat, termasuk pernikahan, oleh karena itu hemat penulis, sudah waktunya pencatatan/ pernikahan di depan petugas dimasukkan ke dalam rukun dan syarat pernikahan.

Pada masa Nabi dan periode awal Islam, pencatatan pernikahan sebagai bukti otentik suatu pernikahan memang belum dibutuhkan dan belum dilakukan. Hal ini bisa dimaklumi, karena pada waktu itu sarana prasarana alat tulis dan kemampuan menulis masih sangat terbatas, tradisi tulis menulis belum berkembang bahkan menulis merupakan aib dan permasalahan belum begitu komplek, sehingga legalitas formal pada waktu itu adalah dengan keberadaan nabi itu sendiri. Keberadaan Nabi sebagi imam dan khalifah menjadi justifikasi keabsahan suatu pernikahan yang terjadi pada masa itu. Pengakuan Nabi atas terjadinya suatu pernikahan dianggap sebagai bukti legalitas formal.

Kondisi sosio kultural pada masa Nabi dan sekarang berbeda, pada masa Nabi pencatatan pernikahan belum menjadi kebutuhan, namun untuk konteks saat ini bukti-bukti legal formal akan eksistensi indivindu dalam berelasi menjadi suatu kebutuhan primer, maka pencatatan pernikahan juga merupakan suatu keniscayaan untuk meneguhkan status eksistensi seseorang. Tanpa adanya bukti otentik seseorang bisa kehilangan hak di hadapan hukum negara untuk memperoleh hak-haknya.

Dengan demikian teks-teks al-Qur’an dan hadist tentang pernikahan tidak hanya dimaknai secara tekstual, tetapi misi pokok teks-teks tersebut yang harus diwujudkan, yakni pasca ijab-qobul dua pihak yang menikah dalam waktu yang tak terbatas harus terjamin hak-hankya. Maka petugas pencatat nikah termasuk rukun nikah bagi setiap warga negara Indonesia, dan segala bentuk pernikahan yang tidak di depan petugas adalah dilarang. dengan demikian, maka dalam kontek fikih munakahat Indonesia sekarang, rukun dan syarat suatu perkawinan harus ditambah, yakni adanya petugas pencatat nikah (rukun) dan harus dicatat dalam register (syarat).

Rukun Nikah Baru, Sebuah Usulan

Masyarakat Arabia pada saat pewahyuan al-Qur’an diturunkan merupakan masyarakat kesukuan. Dimana sebuah suku terdiri beberapa klan yang terikat dengan hubungan darah, dan sebuah klan terdiri dari beberapa keluarga yang masing-masing keluarga tinggal di tenda-tenda. Nah, dalam kondisi yang demikian, maka masyarakat masih bersifat komunal dalam mana nilai-nilai kebersamaan masih begitu kuat dan kepala suku memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap anggota sukunya. Selain itu, ada kecenderungan bahwa pasca perkawinan, anggota suku cenderung untuk hidup menetap di daerahnya, baik karena keterbatasan sarana prasarana transportasi maupun mata pencaharian yang tidak menuntut mobilitas bahkan untuk menetap di daerah lain.

Dalam situasi seperti yang tersebut di atas, maka masyarakat masih memiliki fungsi kontrol terhadap status perkawinan setiap anggotanya. Masyarakat masih dapat menjadi saksi  atas ikatan perkawinan setiap anggotanya. Inilah mengapa Rasulullah menganjurkan setiap akad nikah diselengarakan pesta perkawinan miskipun hanya dengan seekor kambing. Tujuannya tidak lain adalah agar dipersaksikan oleh masyarakat. Dalam konteks seperti ini tentu pegawai pencatat nikah dan pencatatan nikah dalam bentuk register belum menjadi sebuah tuntutan masyarakat pada saat itu, yang mungkin mempengaruhi para ulama fiqih klasik dalam merumuskan rukun dan syarat perkawinan.

Namun saat ini kondisi masyarakat telah berubah. Terdapat pergeseran bentuk keluarga dalam masyarakat, dari keluarga besar menjadi keluarga kecil yang terdiri dari ayah ibu dan anak. Selain itu tingkat mobilitas manusia semakin tinggi seiring majunya revolusi industri dan perkembangan sarana transportasi serta majunya telekomunikasi, maka masyarakat tanpa disadari sebenarnya telah kehilangan perannya untuk melakukan fungsi kontrol atas ikatan perkawinan anggota-anggotanya. Dari sinilah sudah sepatutnya petugas pencatat nikah dan pencatatn dimasukkan kedalam rukun dan syarat perkawinan.

Disamping itu perlu digarisbawahi, bahwa dari sekian banyak ulama yang merumuskan rukun dan syarat pernikahan dalam fikih-fikih klasik adalah kaum laki-laki, yang menurut hemat penulis hal tersebut sedikit banyak mempengaruhi pemikiran mereka dalam merumuskan rukun dan syarat pernikahan. Dalam hal ini pencatatan tidak dimasukkan kedalam syarat, dapat disinyalir bahwa ketika terjadi perceraian pihak istri dan anak tidak dapat menuntut kepada pihak laki-laki atau suami karena tidak adanya alat bukti. Sehingga hanya menguntungkan pihak laki-laki. Oleh karena itu perlu diciptakan fikih munakahat Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman dengan menambahkan rukun nikah, yakni petugas pencatat nikah dan memasukkan  pencatatan kedalam syarat pernikahan.

Wallahul Muwafiq ila Aqwamit Thoriq

3.8 4 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 180 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Revolusi Administrasi di Kementerian Agama: Mengupas Tuntas KMA No. 9 Tahun 2016

30 September 2025 - 15:15 WIB

Sentuhan hati ……,pelayanan ASN KUA Wonosari Kab. Klaten, untuk mewujudkan harapan warga.

24 September 2025 - 14:43 WIB

Pernikahan Dini Di Lereng Gunung Merapi*

22 September 2025 - 20:20 WIB

Optimalisasi Bimwin

19 September 2025 - 20:20 WIB

Bimbingan Perkawinan (Bimwin): Narasumber Vis a Vis Fasilitator

18 September 2025 - 13:13 WIB

Pembacaan Sighat Ta’liq Talaq Pada Waktu Upacara Akad Nikah Menurut M. Quraish Shihab

15 September 2025 - 22:00 WIB

Trending di Artikel
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x