Menu

Mode Gelap

Karya Ilmiah · 21 Okt 2025 14:49 WIB ·

Santri, Pesantren, dan Indonesia: Transformasi Resolusi Jihad Digital Menuju Indonesia Emas 2045

Penulis: Khaerul Umam


 Santri, Pesantren, dan Indonesia: Transformasi Resolusi Jihad Digital Menuju Indonesia Emas 2045 Perbesar

Oleh :

KHAERUL UMAM, S.Ag*)

(Penghulu Ahli Madya KUA Pakuhaji)

 

 

“Santri bukan hanya yang mondok saja, akan tetapi siapapun yang berakhlak seperti mereka, dialah santri” (K.H. MUSTOFA BISRI)

 

 

Prolog: Ketika Doa Menjadi Bara Perlawanan

Pagi itu 22 Oktober 1945, langit Surabaya menyimpan gema takbir dan semangat suci. Dari serambi pesantren, para santri turun ke jalan membawa keberanian dan keyakinan. Mereka menjawab seruan Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy‘ari – bahwa membela Tanah Air adalah bagian dari iman. Indonesia berdiri bukan hanya karena senjata, tetapi karena ilmu yang dihidupkan, doa yang dipanjatkan, dan adab yang dijaga. Sejak hari itu, santri tidak lagi hanya menjadi penuntut ilmu, melainkan penjaga jiwa bangsa. Sejak periode penjajahan sampai kemerdekaan hingga saat ini sejarah telah banyak merekam dedikasi santri untuk masyarakat dan bangsa. Melalui pengabdiannya, mereka mampu menciptakan berbagai dinamika dalam kehidupan berbangsa.

Zaman Berganti, Bentuk Jihad Pun Berubah

     Di era modern sekarang ini penjajahan memang bukan lagi bersifat fisik, melainkan penjajahan berbentuk paham-paham barat yang bertujuan memecah belah umat dam menghancurkan kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia. Mudahnya masyarakat dalam mendapatkan informasi di jejaring internet menjadi tantangan yang cukup komplek bagi tiap individu, termasuk santri.

      Hari ini, perang tidak lagi di medan laga. Ia hadir di ruang digital: sunyi, cepat, dan kadang tak terlihat. Musuh baru tidak berwajah asing, melainkan menjelma dalam bentuk hoaks, disinformasi, dan polarisasi. Jika dahulu penjajahan menawan tanah, kini penjajahan mencoba menawan pikiran. Inilah ujian baru bangsa — perang nalar dan moral di tengah arus algoritma. Jihad hari ini bukan lagi tentang mengangkat senjata. Ia adalah perjuangan menegakkan kebenaran dengan santun, menjaga akal dari kebodohan, dan menjaga hati dari kebencian. Santri zaman ini harus hadir di setiap ruang percakapan digital, membawa kesejukan, menebar ilmu, dan memperkuat persaudaraan.

       Santri juga harus bisa mejelmakan diri menjadi agent of change, yakni agen dari sebuah perubahan. Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan moral masyarakat melalui dakwah-dakwahnya atau melalui pengajarannya, baik di lingkungan masyarakatnya maupun di flatform media sosial.

Pesantren: Rumah Bersama Bangsa

      Pesantren adalah rumah nilai, tempat keikhlasan tumbuh bersama ilmu. Di sana, kesederhanaan melahirkan kebijaksanaan. Di sana pula, perbedaan tidak dilihat sebagai jurang, tetapi sebagai jembatan menuju persaudaraan. Pesantren mengajarkan keseimbangan: antara akal dan hati, antara dunia dan akhirat, antara kebebasan dan tanggung jawab. Ia tidak hanya mendidik kecerdasan intelektual, tetapi juga membentuk kecerdasan moral. Dalam dunia yang serba cepat dan sibuk mencari suara, pesantren mengajarkan nilai yang jarang disadari: ketenangan dalam diam, makna dalam ketulusan.

      Pesantren saat ini dituntut untuk mampu bersaing dengan gejolak zaman yang semakin cepat roda putarnya. Persaingan ini bukan berarti Pesantren meninggalkan ke-khas-annya, tetapi dengan prinsip yang telah diajarkan yakni “al-muhafadloh ala qodim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu dengan tetap mempertahankan nilai-nilai baku yang baik dan mengambil langkah baru  yang dinilai lebih baik.

Santri sebagai Paku Bangsa

        Santri ibarat paku yang meneguhkan bangunan negeri. Ia kecil, tapi perannya besar. Paku menyatukan kayu-kayu yang berbeda, menegakkan rumah agar tidak roboh oleh badai. Demikian pula santri – menyatukan perbedaan, meneguhkan nilai, dan menjaga keutuhan bangsa. Santri mungkin tidak banyak bicara, tapi sikapnya menjadi teladan.Ia bukan penonton perubahan, tetapi pelaku sejarah yang bekerja dalam diam.

        Di era digital, santri menjadi “paku peradaban”. Ia hadir untuk menyatukan generasi, bukan memecahnya. Ia menjadi penopang dalam sunyi, agar rumah besar Indonesia tetap berdiri tegak dan damai. Kiprah dan kontribusi peran santri di era digitalisasi mengalami perubahan yang signifikan, seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat. Santri, yang dikenal sebagai individu yang mengenyam pendidikan agama di pesantren, kini semakin mampu memanfaatkan kemajuan digital untuk mendukung pembelajaran agama, menyebarkan dakwah, serta berkontribusi dalam berbagai sektor kehidupan.

       Di era digital ini, peran santri tidak hanya terbatas pada aspek keagamaan semata, tetapi juga meluas ke berbagai bidang lainnya. Sebagai santri harus berani melakukan jihad kekinian dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.  Banyaknya masalah di dunia maya yang terjadi saat ini seperti maraknya praktik politisasi online, penyalahgunaan dakwah, eksploitasi umat, hingga banyaknya hate speech, hoax, dan fitnah yang kini membanjiri wajah keberagaman bangsa ini. Disinilah santri harus menjadi garda terdepan dalam membela kebenaran, dan sebagai promotor persatuan kesatuan dan perdamaian dunia.

Pancasila: Akhlak Kebangsaan

      Pancasila bukan sekadar dasar negara. Ia adalah akhlak bersama. Ia hidup di setiap santri yang menundukkan kepala di hadapan guru,dan di setiap warga yang menghormati sesamanya. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan bukan hanya kata, melainkan jalan hidup.
Santri memelihara nilai itu dengan laku sederhana: jujur dalam bicara, adil dalam berpikir, tulus dalam berbuat.

       Pancasila menjadi pedoman agar kemajuan tidak kehilangan arah,
agar kebebasan tetap berakar pada tanggung jawab, dan agar Indonesia tumbuh bukan hanya cerdas,
tetapi juga beradab.

Resolusi Jihad Digital: Gerakan ACI (Aku Cinta Indonesia)

        Di tengah derasnya arus teknologi, lahir kesadaran baru: Resolusi Jihad Digital. Sebuah gerakan yang mengajak generasi muda, khususnya para santri, untuk mencintai Indonesia melalui ruang digital. Gerakan ini dikenal sebagai ACI — Aku Cinta Indonesia. Misinya jelas: menjaga ruang digital agar menjadi ladang kebaikan. Di dalamnya, santri dan pelajar bergerak dengan nilai pesantren: berilmu, beradab, dan berakhlak. Mereka melawan hoaks dengan literasi, menjawab kebencian dengan kearifan, dan membangun semangat gotong royong digital. ACI bukan sekadar kampanye, melainkan bentuk cinta tanah air yang nyata: mengubah dunia maya menjadi ruang yang sehat, santun, dan bermartabat.

Epilog: Dari Resolusi Jihad ke Resolusi Peradaban

      Indonesia Emas 2045 bukan sekadar cita-cita pembangunan, tetapi tekad moral untuk membangun bangsa yang cerdas, adil, dan berjiwa. Santri dan pesantren akan selalu menjadi penjaga nilai itu. Dari keheningan mereka lahir keteguhan bangsa. Dari kesederhanaan mereka lahir kebijaksanaan yang menuntun masa depan. Santri tidak mengejar popularitas, mereka menanam keberkahan.Santri tidak berlomba dalam sensasi, mereka berlomba dalam kebaikan.

     Dari Resolusi Jihad 1945 lahir kemerdekaan, dan dari Resolusi Jihad Digital akan lahir peradaban. Selama pesantren tetap menjadi sumber kebijaksanaan, dan santri menjaga adab dalam setiap langkah, Indonesia akan berjalan menuju masa emasnya – kuat dalam ilmu, teguh dalam iman, dan luhur dalam akhlak. “Santri adalah penjaga jiwa bangsa. Dari kesunyian mereka, lahir kekuatan yang menyatukan Indonesia.”

       Sebagai penutup tulisan ini, izinkan penulis mengutip perkataan K.H. Mustofa BisriSantri itu bukan yang mondok saja tetapi siapapun yang berahklak santri, yang tawadhu kepada Gusti Allah SWT. tawadu kepada orang alim dan saling menghormati kalian namanya santri, dan santri melihat tanah air indonesia sebagai rumahnya. kalau santri berbicara kebangsaan bukan karena nasionalisme, karena santri tidak tahu isme-isme akan tetapi keterlibatan dan kepemilikanya terhadap bangsa iniSelamat Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2025: Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”.

 

 

———

**)Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang, da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan, juga pernah nyantri di Ponpes Miftahussa’adah Benggala Neglasari Kota Serang-Banten

 

 

 

Previous Post Bid'ah
0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 16 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Dari Pesantren untuk Bangsa, Selamat Hari Santri

22 Oktober 2025 - 19:47 WIB

NIKAH : Ibadah Yang Bertabur & Berlimpah Pahala

21 Oktober 2025 - 01:26 WIB

Terbukanya Pintu Rezeki Setelah Menikah, Benarkah?

21 Oktober 2025 - 01:10 WIB

Membumikan Tradisi Pesantren: “Al-Adabu Fauqal ‘Ilmi Wabil Khidmah Tunālul Barakah”

21 Oktober 2025 - 00:56 WIB

 WALI NIKAH ILEGAL (PART 2)

20 Oktober 2025 - 17:26 WIB

Pesan Moral Poligami dalam Perspektif Islam

17 Oktober 2025 - 14:25 WIB

Trending di Karya Ilmiah
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x