Membangun Pesantren Ungul Melalui Pendekatan Manajemen

Membangun Pesantren Ungul Melalui Pendekatan Manajemen

Peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekarang ini tampaknya diperhadapkan pada dua sisi kehidupan yang kontras, yaitu sisi ke-agama-an yang bersifat dogmatis dengan sisi ke-kini-an yang bersifat realistis.1 Hal ini karena pesantren dipandang sebagai benteng pertahanan kebudayaan; pesantren juga dipandang sebagai warisan sekaligus merupakan kekayaan kebudayaan intelektual nusantara. Harapan ini tentu tidak terlalu meleset dari konstruk budaya yang diangan-angankan sebagai pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan yang berdimensi religius. Pesantren juga harus dipersiapkan sebagai motor transformasi bagi komunitas masyarakat dan bangsanya.2 Dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Sebab, lembaga yang serupa dengan pesantren sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sehingga Islam hanya meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Menurut Zamakhsyari Dhofier, sejak akhir abad ke-15 Islam telah menggantikan Hinduisme, dan pada abad ke 16 dengan munculnya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam, penduduk telah dapat diislamkan.