Menu

Mode Gelap

Artikel · 5 Agu 2025 15:43 WIB ·

Tajdidun Nikah dalam Perspektif Hukum Islam & Regulasi Perkawinan

Penulis: Khaerul Umam


 Tajdidun Nikah dalam Perspektif Hukum Islam & Regulasi Perkawinan Perbesar

    Oleh : Khaerul Umam, S.Ag

 

 

A. MUQADIMAH

        Pernikahan adalah ibadah yang sangat sakral. Sebab itu, saat akad nikah harus dilakukan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan tuntunan syariat. Nikah atau pernikahan merupakan salah satu dari tiga hal yang oleh Rasulullah SAW yang tidak boleh dipermainkan. Sementara saat ini berkembang gejala yang cenderung menggampangkan masalah pernikahan, sehingga Kantor Urusan Agama (KUA, selanjutnya disebut KUA) sebagai lembaga yang secara sah oleh undang-undang ditunjuk sebagai pihak yang melaksanakan pencatatan peristiwa nikah bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam sering dihadapkan pada dilema permasalahan yang diibaratkan seperti buah simalakama. Pasangan pengantin baik yang sudah mendaftarkan maupun belum mendaftarkan rencana pernikahan dirinya di KUA sudah dinikahkan oleh seseorang, sementara pada waktu peristiwa pernikahan atau akad nikah tersebut tidak dihadiri dan disaksikan oleh Pegawai Pencatat Nikah dari KUA.

         Salah satu persoalan yang sering muncul dan terjadi di tengah masyarakat dalam hal pernikahan adalah Tajdidun nikah. Tajdidun nikah atau mengulang pernikahan sangat sering terjadi di masyarakat, Tajdidun Nikah dilakukan oleh suami istri dengan berbagai alasan. Dan alasan yang sering dalam Tajdidun nikah yaitu ketika sudah melakukan pernikahan secara sirri  kemudian melakukan pernikahan lagi untuk mendapat kelegalan hukum di Indonesia,  permasalahan ini sangat perlu pembahasan mendalam karena ini menyangkut hukum Islam sekaligus hukum Indonesia.

       Dalam berbagai kitab fikih klasik, persoalan ini kerap muncul menjadi bagian dari dinamika rumah tangga yang tak selalu linier. Jika kita bayangkan, seseorang yang sudah lama menikah, hidup bersama, memiliki anak, dan menjalani rumah tangga seperti biasa, tiba-tiba datang ke KUA (atau lembaga setara) kemudian mengulang akad nikah dengan istrinya sendiri. Aneh, tidak? Bahkan bisa jadi menimbulkan cibiran atau kecurigaan. Ada apa di balik ini? Padahal, pernikahan sekali itu berlaku seumur hidup selama tidak ada perceraian atau kematian? Bolehkah pihak KUA menikahkan kembali (Tajdidun nikah) pasangan yang telah dinikahkan kembali oleh seseorng? Apakah Tajdidun nikah yang dilakukan oleh KUA secara hukum diperbolehkan atas alasan untuk menguatkan walaupun yang menikahkan tersebut merupakan ulama atau tokoh agama termasyhur yang sudah diketahui kapasitasnya? Kalaupun diperbolehkan Tajdidun nikah, apakah suami perempuan tersebut harus menyiapkan maskawin lagi? Permasalahan Tajdidun nikah dan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Tajdidun nikah tersebut akan coba penulis membahas dan menguraikannya secara detil dalam tulisan ini, baik menurut tinjauan fiqh, maqashid syar’iah maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan.

B. PEMBAHASAN

  1. Tajdidun Nikah (Memperbarui Nikah): Definisi, Hukum, dan Ketentuan Maharnya
  2. Definisi Tajdidun Nikah

             Di antara sekian banyak persoalan fiqih yang mungkin terdengar ganjil di telinga adalah memperbarui nikah, atau dalam istilahnya dikenal sebagai Tajdidun Nikah. Tentu saja, pembahasan ini sudah menjadi pembahasan para ulama sejak dulu. Memperbarui nikah (Tajdidun Nikah) merupakan tindakan mengulangi akad pernikahan antara suami dan istri yang telah sah menikah sebelumnya. Dalam hal ini, tidak ada perceraian (thalak) atau pembatalan yang terjadi sebelumnya, namun akad diulang kembali dengan redaksi yang sama, sebagai bentuk kehati-hatian (ikhtiyath) atau sekadar memperindah dan memperkuat kembali ikatan yang telah terjalin. Sebagian orang mungkin mengira bahwa praktik ini adalah sesuatu yang baru muncul di zaman modern, karena dinamika sosial yang berubah atau munculnya keraguan administratif dalam pencatatan pernikahan. Lantas, bagaimana sebenarnya perspektif fiqih perihal praktik-praktik memperbarui nikah ini? Hanya saja, sebelum membahas lebih lanjut perihal hukum memperbarui nikah, sangat baik jika kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan memperbarui nikah. Apakah itu seremonial besar-besaran sebagaimana yang kita lihat dalam pesta nikah? Atau sekadar mengundang penghulu, kemudian mengatakan kehendaknya untuk memperbarui nikah?

        Menurut bahasa tajdid adalah pembaruan yang merupakan bentuk masdar kata, Jaddada ( جَدَذ )–Yujaddidu ( ُيُجَدِذ )– Tajdiidan ( تَجْدِيْدًا yang artinya   pembaharuan/memperbarui (Husain al-Habsyi,1997: 43). Dalam kata tajdid mengandung arti yaitu membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali, atau memperbaiki sebagaimana yang diharapkan. Tajdid memiliki dua pengertian, yaitu: Pertama, dalam konteks tujuannya, dasarnya, landasan dan sumber yang konsisten, tajdid merujuk pada mengembalikan sesuatu ke keadaan asalnya. Kedua, tajdid merujuk pada modernisasi ketika berkaitan dengan hal-hal yang tidak memiliki dasar, dasar, landasan, dan sumber yang konsisten, agar sesuai dengan situasi, kondisi, dan konteks waktu dan tempat (Abdul Manan, 2006:147).

          Menurut Masjfuk Zuhdi, kata “tajdid” memiliki makna yang luas karena mengandung tiga unsur yang saling terkait. Pertama, “al-i’adah” mengacu pada pengembalian isu-isu agama, terutama yang bersifat kontroversial, kepada sumber-sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kedua, “al-ibanah” merujuk pada membersihkan atau memurnikan agama Islam dari berbagai bentuk bid’ah (inovasi tidak sah) dan khurafat (keyakinan tak rasional), serta pembebasan pemikiran dalam ajaran Islam dari keterikatan terhadap mazhab, aliran, atau ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Ketiga, “al-ihya’” berarti menghidupkan kembali, mendorong, memajukan, dan memperbaharui pemahaman serta implementasi ajaran Islam.

            Pendapat ini juga disetujui oleh Slamet Abidin yang memberikan kontribusi dalam memberikan makna pada istilah perkawinan. Menurutnya, perkawinan adalah sebuah perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita yang terjadi atas dasar kesepakatan dan sukarela dari kedua belah pihak, dengan bantuan pihak ketiga (wali) sesuai dengan aturan dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh agama untuk melegalkan hubungan antara keduanya. Melalui ini, keduanya saling membutuhkan dan menjadi rekan hidup dalam membentuk sebuah keluarga (Aminuddin, 1999: 12).

         Sedangkan kata nikah berasal dari bahasa Arab “Nikahun” yang merupakan bentuk masdar dari fi’il madhi “Nakaha” yang artinya kawin atau menikah (Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kotemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Muti Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998, h. 1943). Syaikh Imam Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah menyebutkan bahwa arti nikah secara bahasa adalah :   النكاح لغة : الوطء و الضم Artinya: “Nikah menurut bahasa artinya: wath’i (hubungan seksual) dan berhimpun.” (Jaziri Abdurrahman. Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut Libanon: Ihya al-Turat al‘Arabi, 1969 h. 3-4).

          Kemudian nikah secara istilah (syara’) didefenisikan sebagai berikut: Pengertian nikah menurut ulama Asy-Syafi’iyah:

النكاح بانه عقد يتضمن ملك الوطء بلفظ انكاح او تزويج او معناهما

     Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan wath’i dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya” (Ibid: 4).

         Berdasarkan berbagai penjelasan mengenai tajdid dan perkawinan yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan bahwa tajdidun nikah merujuk pada upaya memperbaharui perjanjian perkawinan. Secara umum, ini mengacu pada tindakan pasangan suami dan istri untuk memperbaharui perjanjian perkawinan mereka dengan tujuan memperkuat ikatan perkawinan yang telah ada sebelumnya. Tindakan ini menjadi alternatif untuk meningkatkan kebaikan dalam hubungan mereka dan untuk mencapai tujuan perkawinan, yakni membentuk keluarga yang harmonis, penuh cinta, dan penuh rahmat.

         b. Landasan Hukum Tajdidun Nikah

          Praktik Tajdidun nikah, yang dalam bahasa Jawa sering disebut “nganyari nikah” atau lebih dikenal sebagai “mbangun nikah,” telah menjadi umum di masyarakat kita. Praktik ini termasuk dalam jenis permasalahan ijtihadi, yaitu masalah yang tidak memiliki ketentuan yang pasti dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Karena itulah, tidak mengherankan jika terdapat pendapat-pendapat berbeda mengenai permasalahan ini, dan hal ini memerlukan ijtihad (upaya penalaran hukum) dari para ulama untuk menetapkan hukum dari praktik tajdidun nikah ini agar tetap sesuai dengan ketentuan syariah dan tidak melanggar prinsip-prinsip agama.

  1. Pendapat Yang Membolehkan

           Imam Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani memberikan argumen bahwa menurut mayoritas ulama (Jumhur ulama’), Tajdidun nikah tidak merusak atau menggugurkan akad nikah yang pertama. Dalam pandangan ini, Tajdidun nikah lebih merupakan upaya memperkuat dan memperbaharui ikatan pernikahan yang telah ada sebelumnya, daripada menghapus akad nikah yang pertama. Pendapat ini mengindikasikan bahwa tajdidun nikah dapat menjadi cara untuk memperbaiki atau membangun kembali hubungan suami istri yang mungkin telah menghadapi tantangan atau masalah tertentu, tanpa harus mencabut akad nikah yang sudah ada sebelumnya. (Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, tt: 199). Sedangkan dalil bahwa akad kedua tidak merusak akad pertama, seperti yang dijelaskan Imam Ibnul Munir adalah hadits yang diriwayatkan oleh Salamah RA.

بَايَعْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِي يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ قَالَ وَفِي الثَّانِي

       Artinya : “Kami melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku : “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at ?. Aku menjawab : “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi SAW berkata : “Sekarang kali kedua.(H.R. Bukhari)” (Abi Abdillah Muhammad  bin Ismail bin Ibrohim Ibni al Mughirah bin Bardizbah , Shohih Bukhari Juz 9, Maktabah Syamilah, hlm 98).

          Dalam hadits ini diceritakan bahwa Salamah sudah pernah melakukan bai’at kepada Nabi Saw, namun beliau tetap menganjurkan Salamah melakukan sekali lagi bersama-sama dengan para sahabat lain dengan tujuan menguatkan bai’at Salamah yang pertama sebagaimana disebutkan oleh al-Muhallab (Ibnu Bathal, Syarah Bukhari, Maktabah Syamilah, J. XV, h. 301). Karena itu, bai’at Salamah yang kedua kali ini tentunya tidak membatalkan bai’atnya yang pertama. Tajdid nikah dapat diqiyaskan kepada tindakan Salamah mengulangi bai’at ini, mengingat keduanya sama-sama merupakan ikatan janji antara dua pihak. Pendalilan seperti ini telah dikemukakan oleh Imam Ibnu Munir sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri. Imam Ibnu Munir berkata:

وقال ابن المنير: يستفاد من هذا الحديث أن اعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسح للعقد الاول

     Artinya:“Dipahami dari hadits ini (hadits salamah) bahwa mengulangi lafazh akad nikah dan akad lainnya tidaklah menjadi fasakh bagi akad pertama” (Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Bari, Beirut: Baitul Afkar ad-Daulah, Juz II, hlm. 175).

          Menurut Imam Ibnu Munir (Beliau adalah ahli fiqh dan tafsir dari Mesir, Wafat 683 H), beliau memberikan suatu hukum dari tajdidun nikah adalah boleh, karena mengulangi lafal akad nikah di dalam nikah yang kedua tidak merusak pada akad yang pertama. Kemudian dikuatkan oleh argumen Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, menyatakan bahwa menurut jumhur ulama tajdidun nikah tidak merusak akad yang pertama. Dan beliau juga menambahi perkataan bahwa yang shahih di sisi ulama’ Syafi’iyah adalah mengulangi akad nikah atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama (Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, tt: 199).

           Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya At-Tuhfah Al-Muhtaj bisyarkhil Minhaj, menjelaskan:  “Sesungguhnya persetujuan murni suami atas aqad nikah yang kedua  (memperbarui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi. Dan itu jelas karena tajdidun nikah itu permintaan suami untuk memperbaiki atau berhati-hati” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj bisyarkhil minhaj, al-Kubro budhoh, h. 391).

           Imam Zakariya al-Anshari dalam kitab beliau, Fath al-Wahab mengatakan :

Kalau seseorang melakukan akad nikah secara sirr (sembunyi-sembunyi) dengan mahar seribu, kemudian diulang kembali akad itu secara terang-terangan dengan mahar dua ribu dengan tujuan tajammul (memperindah), maka wajib maharnya adalah seribu.” (Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab, Dicetak pada hamisy Bujairumy ‘ala Fath al-Wahab, Dar Shadir, Beirut, Juz. III, Hal. 413).

          Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 281.

        Di sini, kedua ulama di atas mengakui bahwa akad nikah kedua tidak membatalkan akad nikah pertama. Buktinya, beliau berpendapat bahwa kewajiban mahar dikembalikan menurut  yang disebutkan dalam akad yang pertama. Kalau akad yang kedua membatalkan akad yang pertama, maka tentunya jumlah mahar tidak dikembalikan kepada akad yang pertama. Oleh karena itu, dipahami bahwa akad yang kedua hanyalah dengan tujuan memperindah saja.

          Imam Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :

)وَلَوْ تَوَافَقُوا ) أَيْ الزَّوْجُ وَالْوَلِيُّ وَالزَّوْجَةُ الرَّشِيدَةُ فَالْجَمْعُ بِاعْتِبَارِهَا أَوْ بِاعْتِبَارِ مَنْ يَنْضَمُّ لِلْفَرِيقَيْنِ غَالِبًا  عَلَى مَهْرٍ سِرًّا وَأَعْلَنُوا بِزِيَادَةٍ فَالْمَذْهَبُ وُجُوبُ مَا عُقِدَ بِهِ ) أَوَّلًا إنْ تَكَرَّرَ عَقْدٌ قَلَّ أَوْ كَثُرَ اتَّحَدَتْ شُهُودُ السِّرِّ وَالْعَلَنِ أَمْ لَا لِأَنَّ الْمَهْرَ إنَّمَا يَجِبُ بِالْعَقْدِ فَلَمْ يُنْظَرْ لِغَيْرِهِ وَيُؤْخَذُ مِنْ أَنَّ الْعُقُودَ إذَا تَكَرَّرَتْ اُعْتُبِرَ الْأَوَّلُ مَعَ مَا يَأْتِي أَوَائِلَ الطَّلَاقِ] أَنَّ قَوْلَ الزَّوْجِ لِوَلِيِّ زَوْجَتِهِ زَوِّجْنِي كِنَايَةٌ بِخِلَافِ زَوجهَا فَإِنَّهُ صَرِيحٌ أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلًا لَا يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ الْأُولَى بَلْ وَلَا كِنَايَةَ فِيهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ وَلَا يُنَافِيهِ مَا يَأْتِي قُبَيْلَ الْوَلِيمَةِ] أَنَّهُ لَوْ قَالَ كَانَ الثَّانِي تَجْدِيدَ لَفْظٍ لَا عَقْدًا لَمْ يُقْبَلْ لِأَنَّ ذَاكَ فِي عَقْدَيْنِ لَيْسَ فِي ثَانِيهِمَا طَلَبُ تَجْدِيدٍ وَافَقَ عَلَيْهِ الزَّوْجُ فَكَانَ الْأَصْلُ اقْتِضَاءَ كُلِّ الْمَهْرِ وَحَكَمْنَا بِوُقُوعِ طَلْقَةٍ لِاسْتِلْزَامِ الثَّانِي لَهَا ظَاهِرًا وَمَا هُنَا فِي مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنْ الزَّوْجِ لِتَحَمُّلٍ أَوْ احْتِيَاطٍ فَتَأَمَّلْه

       “Dipahami daripada bahwa akad apabila diulangi, yang dii’tibar adalah akad yang pertama,……… dan seterusnya s/d beliau mengatakan, sesungguhnya semata-mata muwafakat suami melakukan bentuk aqad nikah yang kedua (misalnya), bukanlah merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab (pengakuan thalaq) atas  nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi dan itu dhahir … s/d beliau mengatakan, sedangkan apa yang dilakukan suami di sini (dalam memperbaharui nikah) semata-mata keinginannya untuk memperindah atau berhati-hati” (Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj,  Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. VII, Hal. 391- 421, Juz VIII Hal.16).

            Namun kenyataannya, pembahasan tentang memperbarui nikah sudah terjadi sejak abad ke-8 Hijriah, sebagaimana dicatat oleh Syekh Ismail bin Utsman al-Yamani al-Makki dalam kitab Qurratul ‘Ain bi Fatawa Ismail az-Zain, halaman 167. Dan yang menarik, sebagian ulama menggambarkan praktik memperbarui akad nikah sebagai sesuatu yang sederhananya selevel dengan memperbarui wudhu (aqallu amrihâ ka tajdîdil wudhû). Artinya, sebagaimana seseorang yang telah berwudhu namun mengulanginya karena ragu atau kehati-hatian sebelum ibadah, begitu juga memperbarui akad nikah, tujuannya untuk menepis keraguan, serta memastikan syarat-rukunnya terpenuhi, atau sekadar menyegarkan kembali ikatan sakral yang telah berlangsung. Oleh sebab itu, memperbarui nikah tidak berarti menjadi tanda bahwa pernikahan sebelumnya cacat atau batal. Bisa saja hal itu terjadi karena alasan personal, keraguan teknis, atau bahkan hanya karena ingin mempertegas dan meneguhkan kembali komitmen, baik di hadapan hukum maupun di hadapan hati masing-masing.

          Berhubungan dengan hukum memperbarui nikah, Syekh Ismail Zain al-Yamani al-Makki, pernah ditanya perihal hukum memperbarui akad nikah antara suami dan istri yang masih dalam ikatan pernikahan yang sah. Kemudian ia menjawab bahwa memperbarui nikah hukumnya diperbolehkan jika tujuannya adalah untuk menguatkan (ta’kid). Hanya saja, yang lebih utama adalah tidak melakukannya. Berikut teks pertanyaan dan jawabannya:

سُؤَالٌ: مَا حُكْمُ تَجْدِيْدِ النِّكَاحِ؟ اَلْجَوَابُ: أَنَّهُ إِذَا قُصِدَ بِهِ التَّأْكِيْدُ فَلاَ بَأْسَ بِهِ، لَكِنَّ الْأَوْلىَ تَرْكُهُ

     Artinya, “Pertanyaan: Apa hukum memperbarui akad nikah? Jawaban: Jika tujuannya adalah untuk penegasan, maka tidak mengapa. Namun yang lebih utama adalah meninggalkannya.” (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Ismail az-Zain, [Maktabah al-Barakah, t.t], halaman 166).

          Penjelasan Syekh Ismail di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar dalam salah satu kitabnya, ia menjelaskan bahwa jika terjadi kesepakatan antara suami, wali, dan istri yang berakal/cakap (rasyidah) untuk mengadakan akad dengan mahar yang dirahasiakan, dan kemudian mengumumkan jumlah mahar yang berbeda, maka mazhab Syafi’i menetapkan bahwa mahar yang dianggap sah dan wajib adalah mahar yang pertama kali disebutkan dalam akad pertama, bukan yang disebutkan kemudian atau akad kedua dan seterusnya. Hal ini berlaku meskipun akad dilakukan ulang berkali-kali, baik dengan saksi yang sama maupun berbeda, karena yang diperhitungkan dalam fikih adalah akad yang pertama. Bahkan, Ibnu Hajar juga menegaskan bahwa apabila seorang suami mengulangi akad nikah dengan istrinya tanpa maksud menjatuhkan talak atau tanpa adanya pembatalan pernikahan sebelumnya, maka pengulangan akad itu tidak dianggap sebagai pengakuan atas putusnya ikatan pernikahan sebelumnya. Bahkan, hal itu tidak termasuk kinayah talak. Dalam kitabnya disebutkan:

 وَيُؤْخَذُ مِنْ أَنَّ الْعُقُودَ إذَا تَكَرَّرَتْ اُعْتُبِرَ الْأَوَّلُ ….. أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلًا لَا يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ الْأُولَى بَلْ وَلَا كِنَايَةَ فِيهِ

     Artinya, “Dan dapat diambil kesimpulan bahwa jika akad diulang, maka yang diperhitungkan adalah akad yang pertama… bahwa sekadar persetujuan suami terhadap bentuk akad kedua, misalnya, tidak dianggap sebagai pengakuan atas berakhirnya ikatan pernikahan yang pertama, bahkan hal itu tidak termasuk kinayah (sindiran atas putusnya ikatan tersebut).” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Mesir: Maktabah at-Tijariyah, 1983 M], jilid VII, halaman 391).

           Dengan kata lain, sekalipun terdapat akad kedua, selama tidak ada indikasi thalak atau pembatalan sebelumnya, maka akad pertama tetap yang sah dan berlaku, sementara akad kedua tidak otomatis menunjukkan bahwa akad pertama sudah batal atau terputus. Dengan demikian, praktik memperbarui akad nikah antara suami-istri yang masih sah tidak menjadi penyebab terjadinya konsekuensi hukum tertentu, tidak pula menjadi tanda bahwa akad yang pertama batal, kecuali jika memang diawali dengan kata talak atau cerai sebelumnya. Bahkan jika memperbarui akad itu tujuannya untuk penguatan, hukumnya pun juga tidak masalah, meskipun yang lebih utama adalah meninggalkannya karena tidak ada kebutuhan secara syariat. Sama halnya dengan akad nikah, tindakan kedua dalam akad nikah tidak mengganggu akad yang pertama. Oleh karena itu, akad nikah kedua tidak mempengaruhi jumlah thalak suami. Jika thalak sebelumnya belum diberlakukan, maka suami masih memiliki 3 kesempatan thalak. Namun, jika satu talak telah diberlakukan sebelumnya, maka tersisa 2 thalak, dan seterusnya.

           Menurut A. Masduki Machfudh, tajdidun nikah adalah tindakan yang diperbolehkan (jawaz) dan tidak akan merusak akad nikah yang telah terjadi sebelumnya. Ini dikarenakan pembaharuan akad hanya berfungsi sebagai upaya untuk memperindah (al-tajammul) atau berhati-hati (al-ihtiyath). Pemikiran serupa juga disampaikan oleh A. Qusyairi Ismail, yang menyatakan bahwa secara prinsip hukum, memperbarui akad nikah adalah sah, karena bertujuan untuk berhati-hati (ihtiyath) dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, atau juga bertujuan untuk memperkuat citra (tajammul) atau menjaga martabat dan kehormatan (A. Qusyairi Ismail, Tajdidun  Nikah  Dalam Informatika, 19 Maret 2007).

  1. Pendapat yang Tidak Membolehkan

        Bagi mereka yang melarang atau memberikan batasan tertentu terhadap tajdidun nikah, alasan yang mereka miliki adalah karena perkawinan adalah suatu ibadah dan tentunya harus mengikuti Sunnah Nabi. Menurut  Imam Yusuf al-Ardabili dalam kitabnya Al-Anwar Li A’malil Abror, Juz II, dijelaskan bahwa tajdidun nikah dihukumi sebagai pengakuan cerai (ikrar bith thalaq) yang mengharuskan membayar mahar lagi dan mengurangi jumlah thalak yang tersisa. Dengan melakukan tajdidun nikah, perkawinan yang pertama menjadi rusak dan tajdidun nikah dianggap sebagai bentuk pengakuan (iqror). Tindakan tajdid nikah ini juga mengurangi jumlah thalak yang masih dimiliki oleh suami, dan suami diharuskan memberikan mahar kembali.َ

وَلَوْ جَدَّدَ رَجُلٌ نِكَاحَ زَوْجَتِهِ لَزِمَهُ مَهْرٌ آخَرُ ِلأَنَّهُ إِقْرَارٌ بِالْفُرْقَةِ وَيَنْتَقِصُ بِهِ الطَّلاَقُ وَيَحْتَاجُ إِلَى التَّحْلِيْلِ فِى الْمَرَّةِ الثَّالِثَةِ

     Artinya: “Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib memberi mahar (mas kawin) karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) cerai/talaq. Kalau dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhallii.” (Yusuf al-Ardabili al-Syafi’i, al-Anwar li A’mal al-Anwar, Juz II, Dar al-Dhiya’, hlm.441).

         Jika tajdidun nikah dimaksudkan untuk membatalkan akad nikah yang pertama karena dianggap kurang baik atau karena khawatir telah mengucapkan thalak setelah sekian lama menikah, terdapat dua pendapat dalam kalangan ulama Syafi’iyah. Pendapat pertama menyatakan bahwa nikah yang pertama dianggap batal dalam hal ini. Namun, pendapat kedua yang menganggap bahwa tajdidun nikah dengan alasan tersebut adalah pendapat yang lemah, karena hal ini dapat merusak akad nikah yang pertama.

         c. Mahar dalam Tajdidun Nikah

       Lantas, jika akad nikah benar-benar diperbarui, apakah kewajiban-kewajiban dalam akad pertama, seperti pemberian mahar, juga tetap berlaku dalam akad yang baru ini? Dalam akad pertama, suami memiliki kewajiban untuk memberikan mahar kepada istri. Namun, apakah saat akad diperbarui, suami juga tetap wajib memberikan mahar lagi?

         Para ulama berbeda pendapat perihal hukum pemberian mahar jika akad nikah benar-benar diperbarui. Setidaknya terdapat dua pendapat utama dalam hal ini, pendapat pertama menyatakan tidak wajib memberikan mahar baru dalam pembaruan akad nikah. Sebab, pembaruan akad dianggap sebagai bentuk penegasan ulang saja. Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Ismail az-Zain, ketika ditanya perihal orang yang memperbarui nikah, apakah wajib atau sunnah baginya untuk memberikan mahar lagi. Berikut teks pertanyaan dan jawabannya:

 سُؤَالٌ: مَا قَوْلُكُمْ فِيْمَنْ جَدَّدَ نِكَاحَهُ، فَهَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ أَوْ يُسَنُّ أَنْ يُعْطِيَهَا الصَّدَاقَ مَرَّةً ثَانِيَةً لِذِكْرِهِ فِي الْعَقْدِ الْجَدِيْدِ أَوْ لاَ؟ اَلْجَوَابُ: لَايَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُجَدِّدَ صَدَاقًا، وَتَجْدِيْدُ صِيْغَةِ عَقْدِ النِّكَاحِ فَإِنَّمَا هِيَ لِلتَّأْكِيْدِ

      Artinya, “Pertanyaan: Apa pendapat Anda tentang seseorang yang memperbarui akad nikahnya, apakah wajib atau disunnahkan baginya untuk memberikan mahar sekali lagi karena disebutkan dalam akad yang baru, atau tidak? Jawaban: Tidak wajib baginya untuk memperbarui mahar, karena pembaruan lafaz akad nikah itu hanyalah bentuk penegasan semata.” (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Ismail az-Zain, [Maktabah al-Barakah, t.t], halaman 164).

        Pendapat kedua menyatakan wajib menetapkan dan memberikan mahar baru saat akad diperbarui. Sebab menurutnya, pembaruan akad dianggap sebagai pengakuan terhadap adanya pemisahan atau keretakan yang sebelumnya terjadi, dan karenanya pembaruan tersebut dianggap seperti akad nikah baru yang berdiri sendiri, sehingga memerlukan mahar sebagaimana dalam akad pertama. Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Yusuf bin Ibrahim al-Ardabili (wafat 779 H), dalam kitabnya mengatakan:

لَوْ جَدَّدَ رَجُلٌ نِكَاحَ زَوْجَتِهِ لَزِمَهُ مَهْرٌ أَخَرَ

         Artinya, “Jika seorang suami memperbarui akad nikah dengan istrinya, maka wajib baginya mahar yang lain.” (Al-Anwar li A’malil Abrar, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t], jilid II, halaman 61).

            Dengan demikian, maka memperbarui akad nikah antara suami dan istri yang masih dalam ikatan pernikahan yang sah pada dasarnya diperbolehkan, karena pembaruan itu masuk dalam kategori penegasan (ta’kid), dan tidak dianggap sebagai bentuk thalak tersirat, serta tidak menimbulkan konsekuensi hukum baru yang membatalkan akad pertama. Meski, yang lebih baik adalah tidak melakukannya, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Ismail az-Zain di atas. Adapun perihal kewajiban memberikan mahar dalam akad yang diperbarui, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama, seperti Syekh Ismail Zain, berpendapat bahwa tidak wajib memberikan mahar baru, karena pembaruan akad hanya sebagai bentuk penguatan semata. Sementara sebagian lain, seperti Imam al-Ardabili, memandang bahwa akad baru itu berarti mengulang proses pernikahan dari awal, dan karenanya mewajibkan mahar baru sebagaimana akad nikah pada umumnya.

       d. Tajdidun Nikah Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan

            Adapun secara regulasi, istilah dan prosedur pembaruan akad nikah memang tidak disebutkan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan. Tidak ada ketentuan hukum yang mengklasifikasikannya sebagai bentuk pernikahan tersendiri. Namun dalam praktiknya, KUA tetap dapat memfasilitasi akad ulang melalui mekanisme pencatatan nikah baru, khususnya jika pernikahan sebelumnya tidak tercatat secara sah, dokumennya hilang, atau terdapat keraguan terhadap keabsahannya.

Pengertian nikah dalam konteks hukum Indonesia tertera dalam Pasal 1 dan 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Pasal 1, “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang Maha Esa”, Pasal 2 ayat (1),” Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, serta Pasal 2, 3 dan 4 Kompilasi Hukum Islam. Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) terdapat pada Pasal 2 mendefinisikan: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidza untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”(Abdurrahman, 1992: 114). Dalam KHI dikatakan bahwa perkawinan merupakan akad yang kuat atau mitsaqan ghalidza, dan termasuk ibadah. Ikatan pernikahan merupakan ikatan yang sakral, bukan transaksional seperti perjanjian jual-beli ataupun perjanjian yang lain, karena dalam perkawinan ada tujuan untuk bersama hingga ajal menjemput.

          Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan,faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya tajdidun nikah diatur dalam Pasal 26. Faktor-faktor tersebut meliputi:

  1. Pelaksanaan perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang tidak memiliki kewenangan.
  2. Kemampuan untuk menunjukkan catatan perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang tidak memiliki kewenangan.
  3. Kehidupan bersama sebagai suami istri.

          Secara peraturan perundang-undangan baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) justru pernikahan sirri tidak diakui, maka PPN atau Penghulu berhak untuk melaksanakan tajdidun nikah dengan ber pedoman kepada Pasal 6 KHI yang menyatakan:

        1. Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan                di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak                           mempunyai kekuatan hukum.

       Maka atas dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut di atas, PPN dan Penghulu hampir dipastikan akan meminta kedua orang yang mendaftar kehendak nikahnya untuk melakukan akad nikah lagi dihadapannya, dan ini juga sesuai dengai kaidah fiqih : اْلأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ (Hukum asal segala sesuatu adalah tetap dalam keadaannya semula). Bukankah ketika calon pengantin mendaftarkan kehendak nikahnya mereka berstatus jejaka/perawan atau duda/janda? Jadi keadaan awal mereka adalah lajang belum menikah, maka yang diyakini PPN dan Penghulu adalah keadaan semula yaitu belum menikah.

           Dalam hukum perkawinan Indonesia yang diatur dalam Pasal 2 KHI mendefinisikan: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidza untuk memenuhi perintah  Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”, maka sejalan dengan pendapat yang pertama di atas, ketika tajdidun nikah tidak membatalkan pernikahan yang pertama dan tanpa perlu mahar dalam pengulangan akad nikah pernikahan yang kedua, ini sangat sinkron dengan Pasal 2 dalam KHI diatas, karena mitsaqan ghalidza merupakan akad yang kuat, sakral, dan tidak bisa digoyahkan, sehingga akibat dari tajdidun nikah tidak bisa menggoyahkan prinsip mitsaqan ghalidza. Namun berbeda dengan pendapat yang kedua yaitu pendapatnya Imam Yusuf al-Ardabili yang menyatakan pernikahan pertama rusak dan pernikahan yang kedua haruslah dengan mahar, pendapat ini bertentangan dengan prinsip pernikahan di Indonesia, yang menyatakan tajdidun nikah membatalkan nikah yang kedua padahal dalam hukum Indonesia menggunakan prinsip mitsaqan ghalidza (akad yang kuat) tak bisa rusak karena perbuatan nikah yang diulang.

       e. Tajdidun Nikah Dalam Perspektif Maqashid al-Syar’iyah

         Maqashid syari’ah adalah tujuan Allah SWT dalam menetapkan hukum-hukum-Nya, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudharatan. Hukum-hukum dalam syariat Islam memiliki dasar yang berlandaskan pada maslahah, yang merujuk pada kemanfaatan dan kepentingan manusia sebagai hamba Allah, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Syariat Islam mengusung prinsip-prinsip utama seperti kasih sayang (rahmah), keadilan (‘adalah), dan kemaslahatan (maslahah). Para ulama menyepakatinya karena pada dasarnya semua ketentuan dalam syari’ah adalah bertujuan demi terciptanya maslahah atau kemanfaatan, kebaikan, dan kedamaian umat manusia dalam segala urusannya, baik urusan di dunia maupun urusan akhirat.

         Hukum-hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ini sebenarnya tidak dapat dianggap sebagai bagian integral dari syariat Islam, meskipun kadang-kadang argumentasi rasional digunakan untuk mendukung statusnya sebagai bagian dari ajaran Islam (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, 2004: 5).  Dalam perkembangannya, penerapan hukum-hukum dalam syariat Islam didorong oleh prinsip maslahah. Maslahah, atau kemanfaatan, tidak bisa dipisahkan dari ajaran syariat Islam. Kehadiran maslahah dan syariat merupakan dua aspek yang saling terkait, di mana maslahah menuntut penerapan prinsip syariat. Berbagai studi dan analisis terhadap teks al-Qur’an dan hadis menyimpulkan bahwa penetapan hukum syariat memiliki hikmah dan illah (rasio hukum) yang mengarah kepada terwujudnya maslahah (Tahir ibn Asyur, 2006:12). Bahkan, hukum-hukum yang dimaksud bukan hanya hukum dalam bidang muamalat umum saja, tetapi juga mencakup ibadah mahdah.

          Syaikh Imam Muhammad Izzuddin bin Abdus Salam dengan tegas menunjukkan bahwa prinsip utama dalam syariat Islam adalah untuk menghindari kerusakan dan mengutamakan kemaslahatan (Muchlis Usman, 1999: 24). Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam, dimana hukum Islam lebih mementingkan untuk menghindari kemudaratan daripada mendatangkan kemaslahatan. Seperti yang menjadi dasar kaidah asasiyah yaitu:  ” دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ (Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan/kebaikan ). Dalam hal ini, prinsip umum juga berlaku, yakni tindakan tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai Islam yang telah diajarkan. Dengan demikian, jika tajdidun nikah dijalankan dengan mematuhi ajaran agama dan prinsip-prinsip maslahah serta menghindari dampak negatif, maka hal tersebut menjadi suatu alternatif yang sesuai dengan prinsip-prinsip umum dalam berinteraksi sosial: الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ “Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)” (Abdul Rahman bin Abi Bakar as-Suyuthi, 2008: 44).

        Jadi pada prinsip dasarnya dalam muamalah, penekanannya lebih pada pembolehan hingga ada kemungkinan “larangan” (dalil yang membolehkan atau melarang), yang dapat mengubah status hukum suatu tindakan. Demikian juga, dalam menentukan hukum pelaksanaan tajdidun nikah, perlu memperhatikan maksud dan tujuan di baliknya, karena penilaian terhadap setiap tindakan dipengaruhi oleh niat awal yang mendorong pelakunya. Kaidah ini mengindikasikan bahwa segala perbuatan manusia, baik dalam bentuk perkataan maupun tindakan, dinilai berdasarkan niat pelakunya. Untuk memahami niat sejauh ini, penting untuk memperhatikan petunjuk-petunjuk yang dapat mengungkap berbagai macam niat pelaku: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan”. (HR. Ibnu Majah), ( Imam Musbikin, 2001: 42).

C. PENUTUP

          Permasalahan selalu berkembang seiring perkembangan zaman, begitu pula dalam hukum islam. Permasalahan yang baru, dan perlu pula telaah kembali yang lebih mendalam untuk mendapatkan solusi hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak melanggar syari’at. Apalagi permasalahan tersebut berdampak pada pengamalan agama Islam dikalangan generasi yang akan datang. Salah satu persoalan yang sering muncul dan terjadi di tengah masyarakat dalam hal pernikahan adalah Tajdidun nikah. Tajdidun nikah atau mengulang pernikahan yang sangat sering terjadi di Masyarakat dilakukan oleh suami istri dengan berbagai alasan. Dan alasan yang sering dalam Tajdidun nikah yaitu ketika sudah melakukan pernikahan secara sirri  kemudian melakukan pernikahan lagi untuk mendapat kelegalan hukum di Indonesia.

Mengenai hukum Tajdidun nikah terjadi perbedaan pendapat diantara sebagian ulama. Pendapat pertama menyatakan Tajdidun nikah tidak membatalkan pernikahan yang pertama sehingga dalam akad yang kedua tidak diwajibkan memberikan mahar, ini dikemukakan oleh Jumhur atau mayoritas ulama, diantaranya Sebagian ulama kalangan Syafi’iyah diantaranya Imam Ibnu Munir, Imam Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (Kitab Fathul Bari, Juz II : 175), Imam Ibnu Hajar al-Haitami (Kitab Tuhfat al-Muhtaj bisyarkhil minhaj, hlm. 391), Imam Zakariya al-Anshari, (Kitab Fath al-Wahab, Juz. III: 413), Imam Jalaluddin al-Mahalli (Kitab Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, Juz. III, Hal. 281), dan Syekh Ismail bin Utsman al-Yamani al-Makki (Kitab Qurratul ‘Ain bi Fatawa Ismail az-Zain, hlm. 166-167). Menurut mayoritas atau jumhur ulama ini Tajdidun nikah adalah tindakan yang diperbolehkan (jawaz) dan secara prinsip hukum, memperbarui akad nikah adalah sah dan tidak akan merusak akad nikah yang telah terjadi sebelumnya. Ini dikarenakan pembaharuan akad hanya berfungsi dan bertujuan sebagai upaya untuk memperindah/memperkuat citra (al-tajammul), penegasan (ta’kid) atau berhati-hati (al-ihtiyath). dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, atau menjaga martabat dan kehormatan.

          Pendapat yang kedua, menyatakan Tajdidun nikah dapat membatalkan pernikahan yang pertama sehingga dalam akad yang kedua diwajibkan memberikan mahar, ini di kemukakan oleh seorang ulama dari kalangan Syafi’iyah juga yang bernama Imam Yusuf al-Ardabili dalam kitabnya Al-Anwar Li A’malil Abror Juz II, hlm.441. Menurutnya, dengan melakukan Tajdidun nikah, perkawinan yang pertama menjadi rusak dan Tajdidun nikah dianggap sebagai bentuk pengakuan cerai (iqror bith thalaq). Tindakan Tajdid nikah ini juga mengurangi jumlah thalak yang masih dimiliki oleh suami, dan suami diharuskan memberikan mahar kembali.َ

         Prinsip utama dan tujuan Allah SWT dalam menetapkan hukum-hukum-Nya dalam syariat Islam (maqashid al-syari’ah) adalah untuk menghindari kerusakan dan mengutamakan kemaslahatan, seperti yang menjadi dasar kaidah asasiyah yaitu:  ” دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ (Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan/kebaikan ). Dengan demikian, dalam kasus Tajdidun nikah jika dijalankan dengan mematuhi ajaran agama dan prinsip-prinsip maslahah serta menghindari dampak negatif, maka hal tersebut menjadi suatu alternatif yang sesuai dengan prinsip-prinsip umum dalam berinteraksi sosial: الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ “Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)”.

            Secara peraturan perundang-undangan baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), pernikahan sirri tidak diakui. Pasal 6 KHI yang menyatakan: “Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah“.

          Pengertian nikah dalam konteks hukum Indonesia tertera dalam Pasal 1 dan 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Pasal 1, “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang Maha Esa”, Pasal 2 ayat (1),” Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, serta Pasal 2, 3 dan 4 Kompilasi Hukum Islam.

          Secara regulasi, istilah dan prosedur pembaruan akad nikah atau Tajdidun nikah memang tidak disebutkan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KHI maupun Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan. Tidak ada ketentuan hukum yang mengklasifikasikannya sebagai bentuk pernikahan tersendiri. Namun dalam praktiknya, KUA dapat memfasilitasi akad nikah ulang melalui mekanisme pencatatan nikah baru sesuai persyaratan-persyaratan pencatatan nikah yang berlaku dan sebagai dasar hukumnya mengambil pendapat jumhur ulama yang membolehkan Tajdidun nikah, atau dengan memerintahkannya untuk melakukan penetapan nikah (itsbat nikah) dari Pengadilan Agama. Dengan demikian, jika Tajdidun nikah dijalankan dengan mematuhi regulasi yang ada,  ajaran agama dan prinsip-prinsip maslahah serta menghindari dampak negatif, terutama bagi PPN atau penghulu akan terhindar dari permasalahan hukum ke depannya. Wallahu ‘Alamu Bisshawab.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006).

Abdul Rahman bin Abi Bakar as-Suyuthi, Al Asybah wan Nadhoir, (Surabaya: Al-Haromain, 2008).

Abdurrahman, SH, MA, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.

Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim Ibni al Mughirah bin Bardizbah , Shohih Bukhari Juz 9, Maktabah Syamilah.

Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Syarah Shahih Bukhari, juz 13, (Beirut: Darul Fikri).

  1. Qusyairi Ismail, Tajdidun Nikah Dalam Informatika, 19 Maret 2007.

Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).

Husain Al-Habsyi, Al-Kautsar Lengkap, (Surabaya: YAPI, 1997).

Ibnu Bathal, Syarah Bukhari, Maktabah Syamilah, J. XV, t.t.

Ibnu hajar al-Asqalany, Fathul Bari, Beirut: Baitul Afkar ad-Daulah , J. I, II & XII, t.t.

Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj bisyarkhil minhaj, al-Kubro budhoh, t.t.

Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al- Muhtaj,  Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. VII, t.t.

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Juz ke-3, (Kairo: Dar alHadits, 2004).

Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).

Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli  ‘ala al-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah,  Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III. t.t.

Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 1999).

Siti Musdah Mulia, Perempuan dan Hukum, Jakarta: YOI, 2008.

Tahir ibn  Asyur, Maqasid al-Syari ah al-Islamiyyah, (Tunis: Dar Suhnun, Kairo: Dar al-Salam, 2006).

Yusuf al-Ardabili al-Syafi’i, al-Anwar li A’mal al-Abror, Juz II, Beirut: Dar al-Dhiya’,t.t.

Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab, Dicetak pada hamisy Bujairumy ‘ala Fath al-Wahab, Dar Shadir, Beirut, Juz. III, Hal. 413.

 

———-

**) Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang, Da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan

 

 

Previous Post Sekufu
0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 169 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Revolusi Administrasi di Kementerian Agama: Mengupas Tuntas KMA No. 9 Tahun 2016

30 September 2025 - 15:15 WIB

Sentuhan hati ……,pelayanan ASN KUA Wonosari Kab. Klaten, untuk mewujudkan harapan warga.

24 September 2025 - 14:43 WIB

Pernikahan Dini Di Lereng Gunung Merapi*

22 September 2025 - 20:20 WIB

Optimalisasi Bimwin

19 September 2025 - 20:20 WIB

Rukun Nikah Baru: Sebuah Usulan

19 September 2025 - 00:00 WIB

Bimbingan Perkawinan (Bimwin): Narasumber Vis a Vis Fasilitator

18 September 2025 - 13:13 WIB

Trending di Artikel
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x