TAJDIDUN NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM & REGULASI PERKAWINAN

TAJDIDUN NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM & REGULASI PERKAWINAN

    Oleh : Khaerul Umam, S.Ag

 

 

A. MUQADIMAH

        Pernikahan adalah ibadah yang sangat sakral. Sebab itu, saat akad nikah harus dilakukan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan tuntunan syariat. Nikah atau pernikahan merupakan salah satu dari tiga hal yang oleh Rasulullah SAW yang tidak boleh dipermainkan. Sementara saat ini berkembang gejala yang cenderung menggampangkan masalah pernikahan, sehingga Kantor Urusan Agama (KUA, selanjutnya disebut KUA) sebagai lembaga yang secara sah oleh undang-undang ditunjuk sebagai pihak yang melaksanakan pencatatan peristiwa nikah bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam sering dihadapkan pada dilema permasalahan yang diibaratkan seperti buah simalakama. Pasangan pengantin baik yang sudah mendaftarkan maupun belum mendaftarkan rencana pernikahan dirinya di KUA sudah dinikahkan oleh seseorang, sementara pada waktu peristiwa pernikahan atau akad nikah tersebut tidak dihadiri dan disaksikan oleh Pegawai Pencatat Nikah dari KUA.

         Salah satu persoalan yang sering muncul dan terjadi di tengah masyarakat dalam hal pernikahan adalah Tajdidun nikah. Tajdidun nikah atau mengulang pernikahan sangat sering terjadi di masyarakat, Tajdidun Nikah dilakukan oleh suami istri dengan berbagai alasan. Dan alasan yang sering dalam Tajdidun nikah yaitu ketika sudah melakukan pernikahan secara sirri  kemudian melakukan pernikahan lagi untuk mendapat kelegalan hukum di Indonesia,  permasalahan ini sangat perlu pembahasan mendalam karena ini menyangkut hukum Islam sekaligus hukum Indonesia.

       Dalam berbagai kitab fikih klasik, persoalan ini kerap muncul menjadi bagian dari dinamika rumah tangga yang tak selalu linier. Jika kita bayangkan, seseorang yang sudah lama menikah, hidup bersama, memiliki anak, dan menjalani rumah tangga seperti biasa, tiba-tiba datang ke KUA (atau lembaga setara) kemudian mengulang akad nikah dengan istrinya sendiri. Aneh, tidak? Bahkan bisa jadi menimbulkan cibiran atau kecurigaan. Ada apa di balik ini? Padahal, pernikahan sekali itu berlaku seumur hidup selama tidak ada perceraian atau kematian? Bolehkah pihak KUA menikahkan kembali (Tajdidun nikah) pasangan yang telah dinikahkan kembali oleh seseorng? Apakah Tajdidun nikah yang dilakukan oleh KUA secara hukum diperbolehkan atas alasan untuk menguatkan walaupun yang menikahkan tersebut merupakan ulama atau tokoh agama termasyhur yang sudah diketahui kapasitasnya? Kalaupun diperbolehkan Tajdidun nikah, apakah suami perempuan tersebut harus menyiapkan maskawin lagi? Permasalahan Tajdidun nikah dan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Tajdidun nikah tersebut akan coba penulis membahas dan menguraikannya secara detil dalam tulisan ini, baik menurut tinjauan fiqh, maqashid syar’iah maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan.

B. PEMBAHASAN

  1. Tajdidun Nikah (Memperbarui Nikah): Definisi, Hukum, dan Ketentuan Maharnya
  2. Definisi Tajdidun Nikah

             Di antara sekian banyak persoalan fiqih yang mungkin terdengar ganjil di telinga adalah memperbarui nikah, atau dalam istilahnya dikenal sebagai Tajdidun Nikah. Tentu saja, pembahasan ini sudah menjadi pembahasan para ulama sejak dulu. Memperbarui nikah (Tajdidun Nikah) merupakan tindakan mengulangi akad pernikahan antara suami dan istri yang telah sah menikah sebelumnya. Dalam hal ini, tidak ada perceraian (thalak) atau pembatalan yang terjadi sebelumnya, namun akad diulang kembali dengan redaksi yang sama, sebagai bentuk kehati-hatian (ikhtiyath) atau sekadar memperindah dan memperkuat kembali ikatan yang telah terjalin. Sebagian orang mungkin mengira bahwa praktik ini adalah sesuatu yang baru muncul di zaman modern, karena dinamika sosial yang berubah atau munculnya keraguan administratif dalam pencatatan pernikahan. Lantas, bagaimana sebenarnya perspektif fiqih perihal praktik-praktik memperbarui nikah ini? Hanya saja, sebelum membahas lebih lanjut perihal hukum memperbarui nikah, sangat baik jika kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan memperbarui nikah. Apakah itu seremonial besar-besaran sebagaimana yang kita lihat dalam pesta nikah? Atau sekadar mengundang penghulu, kemudian mengatakan kehendaknya untuk memperbarui nikah?

        Menurut bahasa tajdid adalah pembaruan yang merupakan bentuk masdar kata, Jaddada ( جَدَذ )–Yujaddidu ( ُيُجَدِذ )– Tajdiidan ( تَجْدِيْدًا yang artinya   pembaharuan/memperbarui (Husain al-Habsyi,1997: 43). Dalam kata tajdid mengandung arti yaitu membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali, atau memperbaiki sebagaimana yang diharapkan. Tajdid memiliki dua pengertian, yaitu: Pertama, dalam konteks tujuannya, dasarnya, landasan dan sumber yang konsisten, tajdid merujuk pada mengembalikan sesuatu ke keadaan asalnya. Kedua, tajdid merujuk pada modernisasi ketika berkaitan dengan hal-hal yang tidak memiliki dasar, dasar, landasan, dan sumber yang konsisten, agar sesuai dengan situasi, kondisi, dan konteks waktu dan tempat (Abdul Manan, 2006:147).

          Menurut Masjfuk Zuhdi, kata “tajdid” memiliki makna yang luas karena mengandung tiga unsur yang saling terkait. Pertama, “al-i’adah” mengacu pada pengembalian isu-isu agama, terutama yang bersifat kontroversial, kepada sumber-sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kedua, “al-ibanah” merujuk pada membersihkan atau memurnikan agama Islam dari berbagai bentuk bid’ah (inovasi tidak sah) dan khurafat (keyakinan tak rasional), serta pembebasan pemikiran dalam ajaran Islam dari keterikatan terhadap mazhab, aliran, atau ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Ketiga, “al-ihya’” berarti menghidupkan kembali, mendorong, memajukan, dan memperbaharui pemahaman serta implementasi ajaran Islam.

            Pendapat ini juga disetujui oleh Slamet Abidin yang memberikan kontribusi dalam memberikan makna pada istilah perkawinan. Menurutnya, perkawinan adalah sebuah perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita yang terjadi atas dasar kesepakatan dan sukarela dari kedua belah pihak, dengan bantuan pihak ketiga (wali) sesuai dengan aturan dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh agama untuk melegalkan hubungan antara keduanya. Melalui ini, keduanya saling membutuhkan dan menjadi rekan hidup dalam membentuk sebuah keluarga (Aminuddin, 1999: 12).

         Sedangkan kata nikah berasal dari bahasa Arab “Nikahun” yang merupakan bentuk masdar dari fi’il madhi “Nakaha” yang artinya kawin atau menikah (Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kotemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Muti Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998, h. 1943). Syaikh Imam Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah menyebutkan bahwa arti nikah secara bahasa adalah :   النكاح لغة : الوطء و الضم Artinya: “Nikah menurut bahasa artinya: wath’i (hubungan seksual) dan berhimpun.” (Jaziri Abdurrahman. Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut Libanon: Ihya al-Turat al‘Arabi, 1969 h. 3-4).

          Kemudian nikah secara istilah (syara’) didefenisikan sebagai berikut: Pengertian nikah menurut ulama Asy-Syafi’iyah:

النكاح بانه عقد يتضمن ملك الوطء بلفظ انكاح او تزويج او معناهما

     Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan wath’i dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya” (Ibid: 4).

         Berdasarkan berbagai penjelasan mengenai tajdid dan perkawinan yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan bahwa tajdidun nikah merujuk pada upaya memperbaharui perjanjian perkawinan. Secara umum, ini mengacu pada tindakan pasangan suami dan istri untuk memperbaharui perjanjian perkawinan mereka dengan tujuan memperkuat ikatan perkawinan yang telah ada sebelumnya. Tindakan ini menjadi alternatif untuk meningkatkan kebaikan dalam hubungan mereka dan untuk mencapai tujuan perkawinan, yakni membentuk keluarga yang harmonis, penuh cinta, dan penuh rahmat.

         b. Landasan Hukum Tajdidun Nikah

          Praktik Tajdidun nikah, yang dalam bahasa Jawa sering disebut “nganyari nikah” atau lebih dikenal sebagai “mbangun nikah,” telah menjadi umum di masyarakat kita. Praktik ini termasuk dalam jenis permasalahan ijtihadi, yaitu masalah yang tidak memiliki ketentuan yang pasti dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Karena itulah, tidak mengherankan jika terdapat pendapat-pendapat berbeda mengenai permasalahan ini, dan hal ini memerlukan ijtihad (upaya penalaran hukum) dari para ulama untuk menetapkan hukum dari praktik tajdidun nikah ini agar tetap sesuai dengan ketentuan syariah dan tidak melanggar prinsip-prinsip agama.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan