Di antara masalah utama pendaftaran nikah seorang janda adalah terlampau dekatnya tanggal akta cerai dengan tanggal pernikahan. Maksud dekat di sini adalah belum mencukupinya waktu dalam pemenuhan masa idah. Hal ini terjadi karena pengajuan pisah resminya memang dilakukan secara mendadak jelang pendaftaran nikahnya. Padahal pisah sebenarnya telah berlangsung sejak lama.
Dasar regulasi yang digunakan dalam menilai masalah ini adalah pasal 146 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ayat 2 yang menyebutkan, “Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap”. Dan di antara ‘akibat-akibatnya’ adalah idah atau waktu tunggu.
Permasalahan menjadi semakin rumit karena dalam banyak kasus yang penulis jumpai, janda yang hendak menikah ini ternyata telah berhubungan badan dengan calon suaminya dan hamil. Hasil ini diketahui dari hasil pemeriksaan kesehatan yang wajib dilakukan oleh setiap pasangan calon pengantin (catin) disertai pengakuan dari yang bersangkutan.
Gambarannya seperti ini misalnya, seorang wanita resmi bercerai (gugat) dari suaminya pada tanggal 10 Juli 2025. Pertengahan September 2025, dia mengajukan pendaftaran nikah. Hasil pemeriksaan kesehatannya menunjukkan bahwa dia telah hamil empat bulan. Padahal ia telah berpisah dengan mantan suaminya setahun lebih hingga tidak mungkin melakukan hubungan badan.
Pertanyaan yang kemudian muncul, kapan ia bisa menikah?
Untuk menjawab pertanyaan ini pembaca perlu memahami aturan mengenai idah. Penulis tidak akan menjelaskan secara detail karena ulasan mengenainya telah banyak ditulis (baca misalnya Ketentuan Masa Iddah Perempuan dalam Islam). Di sini, penulis hanya akan menjelaskan bahwa dalam kasus tertentu masa idah bisa menjadi lebih panjang karena beberapa hal.
Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam Hasyiyah-nya atas teks Fath al-Qarib menjelaskan,
(قوله: وإن كانت حائلا) اى أو حاملا بحمل غير منسوب لصاحب العدة كما علمته قريبا (قوله: وهي من ذوات اى صواحب الحيض) اى بأن كانت تحيض ولو مرة ولم تبلغ سن اليأس وقوله فعدتها ثلاثة قروء اى وإن طالت او استعجلت الحيض بدواء
(Dhawuh Fath al-Qarib: Jika ia tidak sedang mengandung) Atau mengandung tapi tidak dapat dinisbahkan kepada pemilik idah (Dhawuh Fath al-Qarib: Dan ia merupakan perempuan yang masih mengalami menstruasi) Yakni perempuan yang masih mengalami menstruasi meskipun sekali dan belum sampai usia menopause maka idahnya adalah tiga kali masa suci meskipun lama atau dipercepat menggunakan obat-obatan. (Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Gazzi: 2, 170)
Seorang janda yang berpisah dari suaminya bukan karena meninggal, menjalani masa idah hamil (melahirkan kandungannya) jika kehamilannya bisa dinisbahkan kepada pemilik idah, yakni mantan suaminya. Jika tidak, maka idah yang diharus dijalani adalah tiga kali masa suci jika masih menstruasi dan tiga bulan jika tidak (anak-anak atau menopause).
Dalam KHI Pasal 153 Ayat 2 Huruf B, masa idah ini mendapatkan tambahan ketentuan, “Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci, dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”. Untuk mereka yang masih menstruasi, tiga kali suci tersebut sedikitnya dalam kurun waktu 90 hari.
Oleh karenanya, janda hamil yang kehamilannya tidak bisa dinisbahkan kepada mantan suaminya karena berzina dengan calon suaminya harus menjalani masa idah dengan tiga kali suci atau tiga bulan (90 hari) sesuai dengan kondisinya. Yang berarti ada kemungkinan masa idahnya akan menjadi sangat lama karena harus ditempuh pasca melahirkan.
Hal ini karena berdasar penelusuran penulis, secara medis, wanita tidak dapat hamil dan menstruasi dalam waktu bersamaan, sebagaimana pendapat sebagian ulama yang menyebutkan demikian. Meskipun pendapat yang paling sahih tetap mengakui adanya kemungkinan tersebut sepanjang sesuai dengan syarat dan kriteria darah menstruasi sebagaimana dikemukakan qaul jadid Syafii.
Terlepas dari kemungkinan adanya penambahan masa idah bagi janda hamil karena zina karena syariat memang berkata demikian, penulis sendiri lebih setuju jika tambahan tersebut benar-benar terjadi. Hal ini sebagai bentuk penjeraan (ta‘zir) bagi pelaku zina. Terlebih bagi si janda yang dapat dikelompokkan dalam kategori muhshan. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []