Menurut Pasal 10 ayat 2 PMA Nomor 30 Tahun 2024 tentang pencatatan pernikahan bahwa pernikahan wajib terdapat seorang Wali. Dalam kondisi tertentu, wali tidak dapat hadir secara langsung pada saat akad nikah. Salah satu solusi yang dibolehkan adalah dengan memberikan taukil (perwakilan) kepada orang lain, sebagaimana yang terdapat pada pasal 12 ayat 5 PMA Nomor 30 Tahun 2024 bahwa “Dalam hal wali nikah tidak hadir pada saat akad nikah, wali nikah membuat surat kuasa wakil wali atau taukil wali di hadapan PPN sesuai dengan domisili atau keberadaan wali dan disaksikan oleh 2 (dua) orang”. Taukil dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.[1] Namun, dalam kondisi darurat tertentu seperti wali tidak hadir secara mendadak karena bencana alam atau suatu hal yang tak terduga, sedangkan belum ada akad perwakilan wali baik lisan maupun bil kitabah, apakah pada kondisi semacam ini secara normatif terdapat solusinya? Apakah taukil wali bil lisan melalui daring (misalnya via telepon, video call, atau aplikasi konferensi online) bisa menjadi salah satu solusi dan dapat dibenarkan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan?
Taukil wali menurut fiqh sunni
Menurut pandangan fiqh Sunni, wali merupakan rukun sah perkawinan. Hadits dari Aisyah r.a. berbunyi :
أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا نِكَاح إِلَّا ولِي وشاهدي عدل وَمَا كَانَ من نِكَاح عَلَى غير ذَلِك فَهُوَ بَاطِل فَإِن تشاجروا فالسلطان ولي من لَا ولي لَهُ رَوَاهُ ابْن حبَان فِي صَحِيحه وَقَالَ لَا يَصح فِي ذكر الشَّاهِدين غَيره
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Tidak pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Pernikahan yang bukan atas jalan demikian, maka batil. Seandainya mereka berbantahan, maka sulthan yang menjadi wali orang-orang yang tidak mempunyai wali. (H.R. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Beliau mengatakan, tidak ada hadits yang shahih dalam penyebutan dua orang saksi kecuali hadits ini).[2]
Sebagian ulama berpendapat bahwa keberadaan wali dalam akad nikah bersifat mutlak, karena dianggap sebagai salah satu rukun dari akad itu sendiri. Oleh karena itu, wali nikah menjadi unsur yang wajib dipenuhi oleh calon pengantin perempuan dalam rangka pelaksanaan akad pernikahan. Para ulama memiliki perbedaan pandangan terkait status hukum wali dalam pernikahan. Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah sepakat bahwa keberadaan wali atau penggantinya merupakan syarat mutlak dalam setiap akad nikah, baik bagi perempuan yang masih gadis maupun yang berstatus janda, terlepas dari usia atau kedewasaannya. Berbeda dengan ketiga mazhab tersebut, Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban adanya wali hanya berlaku bagi perempuan yang masih di bawah umur atau yang mengalami gangguan jiwa. Adapun bagi perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat, baik gadis maupun janda, mereka dianggap memiliki hak penuh untuk menikahkan diri mereka sendiri dengan laki-laki yang mereka pilih.[3]
Cara taukil: Para fuqaha membolehkan taukil dilakukan dengan lisan (bil lisan) maupun tulisan (bil kitabah). Misalnya, seorang wali berkata: “Aku wakilkan kepada si Fulan untuk menikahkan putriku dengan si Fulan.” Syaratnya: Jelas pihak yang diwakili (wali), wakil, dan pihak mempelai. Taukil disampaikan dengan lafaz yang jelas (sharih). Disaksikan oleh pihak lain agar tidak terjadi sengketa. Oleh sebab itu bahwa Taukil wali bil lisan itu sah, bahkan tanpa harus tertulis, asalkan jelas, tegas, dan disaksikan.[4] Namun, fiqh klasik belum mengenal konteks “daring”, karena keterbatasan teknologi pada zamannya.
Berdasarkan pemaparan di atas secara normatif taukil wali hanya dilakukan melalui 2 hal yakni lisan dan tulisan. Lalu bagaimana jika terdapat 2 kondisi wali nikah yang sulit untuk hadir pada hari pelaksanaan pernikahan seperti pada kondisi, diantaranya: pertama: keberadaan wali nikah yang bertempat tinggal jauh dan sulit dijangkau, kedua: terdapatnya masalah keluarga yang memicu wali tidak dapat menghadiri majelis akad. Apakah taukil wali bil lisan melalui daring diperbolehkan secara normatif?
Ulama kontemporer pada umumnya berpendapat bahwa perkembangan teknologi komunikasi modern seperti telepon, video call, atau aplikasi konferensi online dapat digunakan sebagai sarana penyampaian akad, termasuk dalam hal taukil wali. Pandangan ini lahir dari prinsip fiqh bahwa akad nikah, sebagaimana akad muamalah lainnya, pada dasarnya dapat diwakilkan selama terpenuhi syarat-syarat yang jelas, seperti kejelasan pihak yang diwakili, pihak yang diberi kuasa, serta objek akad.[5] Dalam konteks ini, suara atau tampilan visual yang disampaikan melalui media daring dipandang sama kedudukannya dengan komunikasi lisan secara langsung, karena pesan yang dimaksud tetap dapat ditangkap dengan jelas oleh pihak-pihak yang terkait. Para ulama juga menekankan pentingnya memastikan kepastian identitas pihak yang memberi kuasa, agar tidak terjadi kekeliruan atau penipuan. Misalnya, melalui penggunaan sarana video call, wali dapat menyampaikan langsung pernyataan taukilnya dengan disaksikan oleh saksi dan pejabat pencatat nikah. Dengan demikian, aspek keabsahan syar’i terpenuhi, karena lafaz taukil disampaikan secara nyata dan dapat didengar maupun dilihat oleh pihak-pihak yang berwenang.
Ulama kontemporer menekankan kaidah ad-dharurat tubih al-mahdhurat (keadaan darurat dapat membolehkan sesuatu yang asalnya terlarang) dan al-masyaqqah tajlib at-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan).[6] Artinya, dalam kondisi mendesak ketika wali tidak bisa hadir secara langsung maupun belum sempat membuat kuasa tertulis, taukil bil lisan melalui media daring dapat dijadikan jalan keluar yang sah menurut hukum Islam. Dengan catatan, akad tersebut harus tetap dijaga dari potensi rekayasa, serta disaksikan oleh pihak yang berkompeten agar keabsahannya tidak diragukan. Walaupun secara hukum positif perwakilan wali melalui daring belum diatur secara eksplisit dalam regulasi, khususnya dalam PMA Nomor 30 Tahun 2024, bukan berarti praktik tersebut tidak dapat ditoleransi. Regulasi tersebut pada dasarnya menghendaki adanya kepastian hukum dan perlindungan administrasi dalam pencatatan perkawinan, sehingga bentuk perwakilan wali lebih difokuskan melalui surat kuasa tertulis.[7] Namun, dalam kondisi darurat di mana wali tidak memungkinkan hadir maupun membuat surat kuasa secara tertulis, praktik taukil bil lisan melalui media daring dapat dipandang sebagai solusi sementara yang sejalan dengan prinsip-prinsip kemaslahatan dalam hukum Islam.
Penggunaan telepon sebagai sarana untuk melimpahkan kuasa (taukil) wali adalah suatu bentuk pemanfaatan kecanggihan teknologi berupa telepon. Di dalam ajaran Islam tidak terdapat larangan untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi, asalkan dipergunakan dalam hal-hal yang bersifat positif. Perkembangan zaman yang semakin pesat merupakan imbas dari adanya teknologi. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa hukum juga berkembang seiring perkembangan zaman dan tempat sesuai dengan kebutuhan masyarakat Taukil wali nikah dengan media digital via video call dan telepon dapat dikategorikan dalam taukil wali nikah secara lisan. Namun bedanya, ketika taukil wali secara lisan dilaksanakan dengan bertemunya wali dengan yang mewakkilkan secara langsung dan berkomunikasi langsung tanpa menggunakan media apapun. Hal tersebut dapat dipastikanpula bahwa seseorang yang mewakilkan atau muwakkil adalah benar-benar perwakilan wali dari mempelai perempuan.
Referensi
[1] PMA No. 30 Tahun 2024 tentang pencatatan pernikahan
[2] Ibnu al-Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 542.
[3] Sabiq, S. (1983). Fiqih Sunnah (Vol. 2). Lebanon: Dar Al-Fikr.
[4] Syarifuddin, A. (2009). Hukum perkawinan Islam di Indonesia: Antara fiqh munakahat dan undang-undang perkawinan. Jakarta: Kencana.
[5] Zuhaili, W. (1985). Fiqih Islam wa Adillatuhu (Vol. 7). Lebanon: Dar Al-Fikr.
[6] Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2005. al-Qawaid al-Fiqhiyah, tt: Darul Hadis al-Qahirah, 2005.
[7] PMA No. 30 Tahun 2024 tentang pencatatan pernikahan