Oleh :
KHAERUL UMAM, S.Ag*)
(Penghulu Ahli Madya KUA Pakuhaji)
Muqadimah
Sesungguhnya pernikahan adalah hal yang relatif sederhana dan tidak sulit. Yang mempersulit suatu pernikahan justru adat istiadat yang mengiringi keberlangsungannya terutama bagi mereka yang tidak mampu namun ingin memaksakan diri karena merasa gengsi. Berlangsung atau tidaknya suatu pernikahan sangatlah tergantung kepada keberanian mengambil keputusan “ya” atau “tidak” dari para pihak terkait dan tentu saja keberanian untuk menanggung resikonya. Pernikahan dapat berlangsung bila keputusan “ya” disepakati dalam akad yang memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya oleh kedua pasangan calon suami-isteri untuk hidup bersama secara sah dan menanggung resikonya secara bersama, berupa hak dan kewajiban dalam sebuah keluarga.
Tidak ada yang salah dengan pernikahan. Ketika seorang lelaki bertemu dengan wanita yang dirasa cocok, maka pilihan terbaik adalah segera menikah, karena pernikahan adalah jalan terbaik untuk menjaga diri dan agama seseorang dari sesuatu yang diharamkan. Namun bagaimana jika pelaku pernikahan adalah dia yang secara finansial belum cukup mapan? Sedangkan provokasi untuk menghindari zina lebih kuat dan mengharuskan diri seseorang tersebut untuk segera menikahi pilihan hatinya.
Menikah seringkali menjadi suatu sumber kekhawatiran bagi seseorang akibat anggapan yang keliru akan pernikahan itu sendiri. Khawatir tentang bagaimana hidupnya nanti setelah menikah? Apakah ia mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga atau tidak? Apa yang terjadi dengan hidupnya nanti sesudah memiliki anak? Mampukah ia membimbing serta mendidik mereka? Pasti terbesit dan mungkin saja tertancap kuat pola pikir “menikah dulu, rejeki nanti pasti ikut”, “menikah saja, pintu rejeki akan terbuka setelah menikah”. Apakah salah pola pikir seperti ini?
Menikah Dahulu atau Mapan Dahulu?
Sedikitnya ada tiga hal penting sebagai syarat keberlangsungan pernikahan untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, yaitu syarat kemampuan (al-istitha’ah): (1) istitha’ah nafsiyyah (kesiapan dan kemampuan yang bersifat mental); (2) istitha’ah badaniyyah (kesiapan fisik); dan (3) istitha’ah maliyyah (kesiapan atau kemampuan yang bersifat finansial). Seseorang yang hidup menjomblo boleh segera menikah bila ia telah siap secara mental, fisik dan finansial. Bila tiga hal penting di atas telah terpenuhi dan keinginan menikah telah mendesak maka janganlah menunda-nundanya, karena usia terus bertambah dan menjadi semakin dewasa (bahkan menua).
Di antara alasan dan pola fikir kaum millenial atau Gen Z sekarang Ketika ditanya mengapa belum segera menikah, jawabannya adalah belum bekerja sehingga belum mampu menafkahi keluarga. Mengingat angka perceraian terbesar berangkat dari kasus perekonomian. Alasan atau pola pikir di atas bisa jadi salah dan juga bisa jadi benar. Pasalnya ada beberapa hal yang harus diketahui agar alasan dan pola pikir tersebut bisa jadi benar.
Pertama, Allah menyebutkan dalam Firman-Nya:
وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ٣٢
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S: An-Nur: 32).
Menurut Syeikh Fakruddin ar-Rozi dalam kitab Tafsir ar-Rozi Mafatih al-Ghaibnya, kalimat “Allah akan memampukan mereka dengan Fadl-Nya” bukan berarti Allah berjanji untuk membuat mereka kaya, akan tetapi Allah akan mencukupkan kehidupan rumah tangga mereka dengan Fadl (Karunia)-Nya. Karunia yang Allah limpahkan bisa berupa banyak hal; pahala, ketenangan, rumah tangga yang penuh berkah, kebahagiaan dan masih banyak lagi. Sayyidina Abu Bakar pernah berkata bahwa “Taatlah kamu kepada Allah dalam hal yang diperintahkan (menikah). Maka Allah akan melaksanakan janjiNya (mencukupi kehidupan rumah tangga kalian)”. Ibnu Abbas pun pernah menyampaikan bahwa “Carilah Rezeki-rezeki kalian sebab menikah”.
Kedua, memiliki pasangan yang tepat. Mengapa menggunakan istilah “pasangan yang tepat” dalam pembahasan ini? Karena sudah jadi rahasia umum bahwa setiap rumah tangga pastinya akan menghadapi masa-masa dimana suami istri dihadapkan dengan situasi keterbatasan bahkan kekurangan. Sekalipun keduanya sudah bekerja keras dan usaha maksimal untuk menghidupi perekonomian keluarga, pasti di tengah jalan akan mereka temui kerikil-kerikil yang menghambat perjalanan mereka.
Di sinilah suami istri diuji kesabarannya, dalam poin ini yang hendak penulis tekankan adalah posisi istri. Mengapa istri? Disadari atau tidak, posisi istri sangat berpengaruh kepada ketentraman dan ketenangan bahtera rumah tangga. Pekerjaan ini bukan beban dan bukan bentuk tekanan kepada istri agar tetap menjaga keharmonisan rumah tangga, bukan. Inilah salah satu hikmah ditakdirkannya perempuan untuk laki-laki. Karena pada dasarnya, perempuan terbekali jiwa-jiwa kasih dan lembut, untuk urusan menenangkan sepertinya pantas disandangkan kepada jiwa satu ini, perempuan. Harta akan datang dan pergi. Ketika memahami bahwa rezeki hanya berupa harta, maka kehidupan rumah tangga akan terasa sempit. Pelaku rumah tangga, utamanya suami dan istri akan susah untuk melihat sisi lain untuk bersyukur. Semisal, anak yang sholeh, keluarga yang sehat, hidup tenang. Andai semua manusia yakin akan Firman Allah di atas, tentu mereka tidak akan khawatir. Karena Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya terlantar, selama hamba tersebut memegang teguh syariat Tuhannya.
Maka dari itu agar pola pikir ini menjadi benar, hendaknya suami istri memahami betul bagaimana menyikapi perihal rejeki ini. Suami sepatutnya mendidik istri dan membekali istri agar tetap menerima atas apapun yang diberikan suami. Suami pun sadar diri untuk terus berusaha mencari rezeki untuk keluarga. Memang satu masalah ini, masalah perekonomian bisa menjadi badai besar perusak sebuah rumah tangga. Bagaimana tidak, tanpa uang seseorang bisa bingung mau makan apa, belum jika dihadapkan dengan permintaan anak yang bermacam-macam. Namun juga jangan dilupakan, ada lagi badai lebih besar selain menghadapi perkara ekonomi yang kurang. Yakni istri yang susah nerima, istri yang hobi mengomel dan memaki suaminya.
Apa hanya istri yang harus paham? Tidak. Jaminan Allah akan terlaksana jika suami berusaha keras untuk mencukupi keluarganya. Jika sudah suami berusaha keras, kerja banting tulang dan istri tetap mengomel, maka sejatinya dia sudah menutup pintu rezeki dengan cara membanting sang pintu.
PENUTUP
Menikah seringkali menjadi suatu sumber kekhawatiran bagi seseorang akibat anggapan yang keliru akan pernikahan itu sendiri. Khawatir tentang bagaimana hidupnya nanti setelah menikah? Apakah ia mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga atau tidak? Apa yang terjadi dengan hidupnya nanti sesudah memiliki anak? Mampukah ia membimbing serta mendidik mereka? Hal ini wajar adanya, apalagi bagi yang masih belum berilmu cukup seputar agama terutama dalam hal perintah Allah seputar pernikahan. Kebanyakan orang masih ragu apakah mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari anak istrinya kelak. Namun, Allah berjanji untuk mencukupkan mereka yang menikah (Q.S: An-Nur: 32).
Tentu semua pertanyaan ini muncul, apalagi kebutuhan hidup sehari-hari saat ini kian hari kian mahal. Namun, apabila seseorang terus berada dalam jalur ketakwaan, mustahil Allah akan membiarkan hamba tersebut tanpa memberikan rezeki kepadanya. Rasulullah SAW bersabda:
وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: اِلْتَمِسُوا الرِّزْقَ بِالنِّكَاحِ
Artinya: “Nabi Muhammad saw. bersabda, “Carilah rezeki dengan menikah.” (H.R. Imam Ad-Dailami).
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ تَعَالَى عَوْنُهُمْ : الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ الْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْعَفَافَ
Artinya: “Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapatkan pertolongan Allah SWT, yakni seorang yang berjihad di jalan Allah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya” (H.R. Ahmad).
Karunia (Fadhl) dalam Q.S: An-Nur: 32 yang Allah SWT limpahkan kepada hamba-hamba-Nya yang menikah bisa berupa banyak hal; pahala, ketenangan, rumah tangga yang penuh berkah, kebahagiaan dan masih banyak lagi. Sayyidina Abu Bakar pernah berkata bahwa “Taatlah kamu kepada Allah dalam hal yang diperintahkan (menikah). Maka Allah akan melaksanakan janji-Nya (mencukupi kehidupan rumah tangga kalian)”…Yuk guys, Jangan buang waktu untuk selalu bersama dengan orang yang menyatakan cintanya namun selalu ragu dan tidak berani mengambil keputusan untuk menikah, hidup bersama dalam ikatan keluarga yang sah dan bertanggung jawab bersama atas risikonya.
Mari, sukseskan Gerakan Sadar (GAS) Pencatatan Nikah Kementerian Agama RI dengan mencatatkan pernikahannya di KUA kecamatan . Dengan pencatatan yang sah, mereka akan terlindungi secara hukum dan sosial. Tujuan gerakan ini jelas, membangun kesiapan lahir dan bathin kalangan muda-mudi untuk menikah. Program ini tidak hanya menekankan pentingnya pencatatan pernikahan secara legal, tetapi juga memberikan edukasi tentang makna pernikahan sebagai fondasi terbentuknya keluarga sakinah. (Disarikan dari berbagai sumber).
———
**)Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang-Banten, da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan








