Pernikahan adalah janji setia yang diucapkan di hadapan para saksi, sekaligus di hadapan Allah sebagai saksi tertinggi. Ia bukan hanya menyatukan dua tubuh dalam satu rumah, tetapi dua jiwa dalam satu tujuan hidup. Dalam ikatan ini, selalu ada ruang bagi keduanya untuk saling belajar tentang kesabaran dalam menghadapi perbedaan, kasih sayang dalam memberi, dan tanggung jawab dalam menjaga keutuhan cinta yang telah diamanahkan.
Dalam kajian psikologi perkawinan, para ahli menemukan bahwa ada tiga komponen utama yang menjaga hubungan suami istri tetap hidup dan seimbang: Kedekatan emosi, Komitmen, dan Gairah.
Tiga hal yang tampak sederhana, namun bila dirawat dengan kesadaran dan kasih, mampu menjadikan rumah tangga bukan sekadar tempat tinggal melainkan sebuah tempat pulang yang sangat menenangkan.
1. Kedekatan Emosi (Intimacy): Rasa Aman yang Menumbuhkan Cinta
Kedekatan emosi adalah pondasi pertama dalam hubungan suami istri. Ia bukan sekadar sering bersama, tapi tentang bagaimana dua hati saling memahami dan merasa diterima apa adanya. Kedekatan ini tumbuh dari komunikasi yang hangat, kejujuran, dan empati. Ia tercermin dalam cara pasangan saling mendengarkan, menghargai perasaan, dan hadir di saat yang dibutuhkan.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan tujuan pernikahan sebagai tempat bernaung dan beristirahatnya jiwa, sebagaimana firman-Nya:
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [Q.S. Ar-Rum/30:21]
2. Komitmen (Commitment): Janji yang Dipegang, Bukan Sekadar Diucap
Komitmen adalah kesediaan untuk tetap bertahan dan berjuang, bahkan ketika cinta diuji oleh waktu dan keadaan. Ia bukan hanya keputusan di awal pernikahan, tetapi pilihan yang terus diperbarui setiap hari. Dalam bahasa sederhana, komitmen adalah janji untuk tidak menyerah terhadap hubungan, sekalipun sedang tidak bahagia dan terasa berat. Dengan menjaga komitmen, pasangan suami istri juga tidak mudah mengkhianati pasangannya.
Islam menempatkan pernikahan sebagai ikatan yang suci, disebut mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kokoh) [Q.S. An-Nisa/4:21]. Artinya, cinta dalam rumah tangga bukan permainan perasaan, tetapi perjanjian spiritual yang bernilai ibadah. Mereka tahu bahwa badai yang datang bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi dengan saling berpegang tangan. Karena cinta sejati bukan tentang tidak pernah retak, tapi tentang selalu mau memperbaiki.
3. Gairah (Passion): Api yang Menjaga Kehangatan
Gairah adalah energi cinta yang membuat hubungan tetap hidup. Ia mencakup ketertarikan fisik, rasa kagum, dan semangat untuk saling membahagiakan. Sayangnya, dalam banyak pernikahan, gairah sering memudar karena rutinitas, kelelahan, atau kurangnya perhatian. Padahal, gairah yang sehat adalah bagian dari fitrah manusia dan menjadi anugerah yang halal dalam pernikahan. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 187 :
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْۗ
Artinya: Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.
Sebagai penutup, tiga kunci ini (kedekatan emosi, komitmen, dan gairah) adalah komponen penting yang bisa menjaga kehangatan cinta di dalam rumah tangga. Ketiganya perlu dirawat agar tidak padam oleh waktu dan ujian kehidupan yang akan datang. Pernikahan bukan sekadar tentang bertahan bersama, tetapi tentang bagaimana dua jiwa terus belajar mencintai dengan cara yang lebih dewasa, lebih lembut, dan lebih bermakna.
Sebab cinta sejati bukan hanya ditemukan, tetapi ia tetap dibangun setiap hari dengan penuh kesabaran, pengertian, dan doa yang tak pernah berhenti. Dan ketika cinta itu dibangun karena Allah, maka rumah tangga bukan sekadar tempat tinggal, melainkan menjadi surga kecil yang menenangkan jiwa.
Sebagaimana pesan Buya Hamka yang begitu dalam maknanya:
“Cinta itu bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menumpahkan air mata. Tetapi cinta itu menghidupkan semangat, menambah keteguhan hati, dan memperkaya jiwa.”








