Dalam masyarakat Bugis, keluarga tidak sekadar dipahami sebagai satuan biologis yang terbentuk karena hubungan pernikahan, melainkan sebagai institusi sosial dan kultural yang menampung nilai-nilai luhur dan sistem hidup turun-temurun. Salah satu nilai budaya yang masih hidup dan berpengaruh kuat dalam kehidupan rumah tangga Bugis adalah tradisi sibali peri’. Tradisi ini bukan sekadar bentuk gotong royong biasa, tetapi menjadi fondasi penting dalam membangun dan menjaga keutuhan serta ketahanan keluarga.
Secara etimologis, istilah sibali peri’ tersusun dari dua unsur utama, yakni “bali” dan “peri’”, yang keduanya mengandung makna mendalam dalam khazanah bahasa dan budaya Bugis. Kata bali, dalam tradisi lisan maupun aksara lontara, sering kali dimaknai sebagai “lawan” atau dalam bentuk tertentu dibaca “baling”, yang mengisyaratkan hubungan antara dua pihak dalam posisi berhadapan atau setara. Dalam bentuk majemuk, seperti sibali atau sibaling, maknanya berkembang menjadi “bersama-sama dalam posisi saling mengimbangi atau saling menanggung”. Penambahan kata “si-“ dalam bahasa Bugis secara umum menunjukkan hubungan timbal balik atau saling. Maka, sibali dalam konteks ini tidak dimaknai sebagai pertentangan, melainkan sebagai kebersamaan yang setara dalam menghadapi suatu keadaan. Adapun kata peri’ mengacu pada situasi yang sulit atau sempit. Dalam kosakata Bugis, kata kerja maperi digunakan untuk menyatakan kondisi sedang mengalami kesusahan atau berada dalam keadaan sempit, baik secara fisik maupun emosional. Dengan demikian, sibali peri’ secara keseluruhan mengandung makna saling menanggung kesulitan, atau kebersamaan dalam menghadapi masa-masa sempit dan penuh tantangan.
Makna inilah yang menjadi ruh utama dalam relasi suami-istri dan keluarga dalam budaya Bugis. Nilai sibali peri’ mendorong setiap anggota keluarga untuk tidak membiarkan satu pihak memikul beban sendirian, melainkan berbagi dalam setiap kondisi, terutama saat menghadapi kesusahan. Inilah yang menjadikan tradisi ini tidak hanya bermakna budaya, tetapi juga memiliki dimensi moral dan spiritual yang mendalam, yang mampu menopang terbentuknya keluarga yang tangguh dan sakinah.
Dalam praktiknya, sibali peri’ menekankan pentingnya kerja sama yang sejajar antara suami dan istri dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Suami tidak bekerja sendiri, istri pun tidak dibiarkan menanggung beban rumah tangga secara sepihak. Keduanya berbagi peran dan tanggung jawab. Bahkan, dalam banyak komunitas pedesaan Bugis, semua anggota keluarga turut serta dalam kegiatan ekonomi, mulai dari bercocok tanam, memelihara ternak, hingga menjual hasil produksi. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, dilibatkan dalam proses ini sebagai bentuk pembelajaran hidup dan kebersamaan keluarga.
Nilai-nilai sibali peri’ ini sangat selaras dengan konsep keluarga sakinah dalam Islam, yaitu keluarga yang dilandasi ketenangan, kasih sayang, dan rahmat. Dalam ajaran Islam, pernikahan adalah perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghaliza) yang menuntut adanya tanggung jawab, kebersamaan, dan saling pengertian antara pasangan. Dengan demikian, sibali peri’ dapat dimaknai sebagai wujud konkret dari ajaran Islam dalam konteks budaya lokal.
Lebih jauh lagi, nilai sibali peri’ juga sejalan dengan prinsip tarāḍin dalam Al-Qur’an. Dalam surah al-Baqarah ayat 233, Allah berfirman:
“۞….. فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ….. ٢٣٣
“…jika keduanya ingin menyapih (anak) dengan kerelaan (tarāḍin) dan musyawarah di antara keduanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya…”
Ayat ini mengajarkan bahwa keputusan penting dalam rumah tangga — termasuk yang menyangkut anak dan masa depan keluarga, harus dilandasi oleh tarāḍin (kerelaan bersama) dan tasyāwur (musyawarah). Artinya, tidak boleh ada pemaksaan sepihak; kehendak bersama dan dialog harus menjadi dasar dalam setiap tindakan keluarga. Inilah inti dari sibali peri’ dalam tradisi Bugis, menghadapi beban kehidupan secara bersama, saling menerima, dan saling menguatkan dengan sikap rela dan mufakat.
Dengan begitu, sibali peri’ bukan hanya tradisi lokal, tetapi juga cermin dari prinsip syariat yang mengedepankan kesalingan (muwāzanah), kerelaan (tarāḍin), dan musyawarah (tasyāwur). Nilai ini dapat menjadi pendekatan kontekstual dalam bimbingan perkawinan di masyarakat Bugis. Ketika pasangan muda Bugis diajak kembali kepada tradisi sibali peri’, mereka sesungguhnya sedang diajak untuk menghidupkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan rumah tangga.
Sayangnya, nilai-nilai seperti sibali peri’ kini menghadapi tantangan besar di era modern. Individualisme yang berkembang, perubahan gaya hidup, serta menurunnya interaksi sosial dalam keluarga besar telah menggeser semangat kebersamaan ini. Banyak pasangan muda ingin hidup praktis, ingin menikmati kemapanan tanpa melalui proses membangun bersama dari bawah. Ini menjadi tantangan besar dalam upaya mewujudkan keluarga yang sakinah, karena pondasi awalnya, yaitu kebersamaan dalam susah dan senang mulai tergerus.
Tradisi sibali peri’ bukan hanya sebuah kebiasaan, tetapi merupakan sistem nilai dan cara pandang hidup yang mampu menopang keluarga dalam menghadapi dinamika zaman. Dalam sibali peri’ terkandung pesan bahwa hidup tidak bisa dijalani sendiri. Keluarga yang sakinah adalah keluarga yang saling menopang, saling menguatkan, dan saling meringankan beban. Nilai inilah yang harusnya terus hidup dalam hati masyarakat Bugis dan patut untuk terus dijaga, dipelihara, dan diwariskan dari generasi ke generasi.