Tugas Wali dalam Pernikahan Sebagai Penjaga Amanah dan Pelindung Hak Wanita

Tugas Wali dalam Pernikahan Sebagai Penjaga Amanah dan Pelindung Hak Wanita

Di balik kesyahduan prosesi akad, terdapat satu peran penting yang tak boleh diabaikan: wali nikah. Dalam tradisi Islam, wali bukan sekadar pelengkap, melainkan penentu keabsahan pernikahan itu sendiri. Lantas, apa saja tugas dan tanggung jawab wali dalam pernikahan?

Secara bahasa, wali berarti penolong, pelindung, atau orang yang memegang urusan seseorang. Dalam konteks pernikahan, wali adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan berdasarkan kekerabatan, nasab, atau kekuasaan hukum (wali hakim).

Dalil Al-Qur’an yang mendasari peran wali antara lain:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْاۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَࣖ ۝٢٢١

“Dan janganlah kamu nikahkan wanita-wanita (mu’minah) dengan orang-orang musyrik, sebelum mereka beriman.”
(QS. Al-Baqarah: 221)

Ayat ini menunjukkan bahwa yang memiliki kewenangan menikahkan adalah pihak ketiga, bukan perempuan itu sendiri. Sementara dalam hadis Nabi SAW, disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنينَ رَضِي اللهُ عنْها قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ -ثَلَاثَ مَرَّاتٍ- فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا، فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ».

[صحيح] – [رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وأحمد] – [سنن أبي داود: 2083]

Ummul Mukminin Aisyah -raḍiyallāhu ‘anhā- meriwayatkan, Rasulullah ﷺ bersabda,”Setiap wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal (tidak sah) -beliau mengulangnya tiga kali-. Apabila ia telah laki-laki itu menggaulinya, maka seluruh mahar baginya karena laki-laki itu telah menggaulinya. Kemudian apabila mereka berselisih, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”

[Sahih] – [HR. Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad] – [Sunan Abu Daud – 2083]

Wali bertugas memastikan bahwa perempuan yang dinikahkan mendapat pasangan yang layak secara agama dan sosial, serta tidak mengalami pemaksaan. Ini mencerminkan perlindungan terhadap hak dan kehormatan perempuan, khususnya bagi yang mungkin belum matang secara emosional atau masih di bawah pengasuhan orang tua. Dalam banyak kasus, wali bertindak sebagai “filter moral dan sosial”, walia harus memastikan bahwa calon suami adalah orang yang baik akhlaknya, memiliki tanggung jawab, dan tidak memiliki halangan syar’i untuk menikah. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’, wali berkewajiban mencari pasangan terbaik berdasarkan agama dan kelayakan.

Secara hukum fikih, wali adalah bagian dari rukun nikah. Tanpa kehadiran atau persetujuan wali (dalam mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki), maka akad nikah dianggap tidak sah. Hanya dalam mazhab Hanafi, wali tidak menjadi syarat mutlak, dan perempuan baligh boleh menikahkan dirinya sendiri, meski tetap dianjurkan meminta persetujuan wali. Wali juga bisa berfungsi sebagai mediator ketika terjadi konflik rumah tangga. Sebagai orang yang lebih berpengalaman, wali dapat membantu menyelesaikan masalah atau memberi nasihat kepada kedua belah pihak.

Wali nasab adalah wali dari jalur darah, seperti ayah, kakek, saudara laki-laki kandung, paman dari pihak ayah, dan seterusnya. Wali ini memiliki hak utama menikahkan perempuan. Sedangkan jika wali nasab tidak ada, tidak memenuhi syarat (misalnya berbeda agama), atau menolak menikahkan tanpa alasan syar’i, maka hak perwalian berpindah kepada wali hakim, yaitu pejabat agama yang ditunjuk negara.

Rasulullah ﷺ bersabda:

فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

“Sultan (penguasa) menjadi wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.”
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Wali bertugas menilai kecocokan dan keshalihan calon suami, serta memastikan bahwa laki-laki tersebut mampu menjalankan tanggung jawab sebagai suami sesuai dengan tuntunan agama. Wali juga bertindak sebagai pelindung yang memastikan bahwa pernikahan tidak dilakukan karena paksaan, pemaksaan, atau penipuan. Perempuan tetap memiliki hak memilih, namun wali hadir sebagai penguat dan pengaman akad.

Dalam akad nikah, wali secara langsung mengucapkan ijab (penyerahan) atas nama mempelai wanita. Tanpa wali, akad dianggap cacat secara hukum syariat. Wali juga berperan dalam mendampingi keputusan calon mempelai wanita. Wali yang bijaksana akan menjadi tempat bertanya dan tempat musyawarah yang membimbing ke arah pernikahan yang berkah.

Di zaman modern, muncul fenomena pernikahan tanpa restu keluarga, pernikahan lari (kawin kabur), hingga nikah siri yang tidak melibatkan wali secara sah. Praktik ini membahayakan perempuan, merusak nasab, dan membuka pintu kerusakan sosial. Dengan memahami tugas wali dalam pernikahan, kita bisa menjaga keabsahan dan keberkahan ikatan suci tersebut.

Akhir,

Wali bukan sekadar “pelengkap” dalam prosesi akad nikah, melainkan merupakan pilar hukum dan perlindungan dalam pernikahan Islam. Islam memuliakan perempuan dengan menempatkan wali sebagai penjaga hak-haknya. Oleh karena itu, pernikahan yang sah dan berkah harus memenuhi syarat-syarat syariat, termasuk keterlibatan wali yang sah, adil, dan bertanggung jawab.

  • Muhamad Fathul Arifin, Penghulu KUA Kesugihan, Cilacap

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan