Artikel
UPAYA PENCEGAHAN STUNTING
DALAM PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARI’AH
Oleh : Khaerul Umam, S.Ag*)
Indonesia saat ini sedang menyiapkan generasi yang bersumber daya manusia berkualits dalam menghadapi Indonesia Emas 2045. Salah satu tantangan Pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas adalah Stunting. Maka oleh karenanya, pemerintah terus berusaha untuk pencegahan dan penurunan stunting ini yang merupakan ancaman utama dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Lalu bagaimana pandangan Syariat agama Islam (Maqashid al-Syari’ah) terhadap pencegahan stunting yang sedang giat-giatnya dilaksanakan oleh pemerintah?
A. PENDAHULUAN
Stunting merupakan masalah kesehatan yang serius di berbagai negara, termasuk Indoesia, yang berdampak pada perkembangan fisik dan kognitif anak. Fenomena ini disebabkan oleh malnutrisi kronis periode 1.000 hari pertama kehidupan mulai dari kehamilan hingga dua tahun pertama kehidupan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi prevalensi stunting, salah satunya adalah melalui peningkatan gizi ibu hamil dan anak. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih rendah dari standar umur yang seharusnya, akibat dari kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang lama, infeksi, serta faktor lingkungan yang tidak mendukung.
Salah satu tujuan utama dari syariat Islam (Maqashid al-Syari’ah) adalah untuk menjaga keturunan (hifdzu al-nasb/al-nasl). Stunting yang terjadi pada anak, terutama pada tahap awal kehidupan, dapat berdampak serius pada perkembangan fisik dan mental anak, yang pada gilirannya memengaruhi kualitas keturunan di masa depan. Islam sangat mementingkan generasi yang sehat, karena mereka adalah masa depan umat dan pemimpin di dunia serta akhirat.
Pencegahan stunting merupakan bagian dari upaya menjaga keturunan agar dapat tumbuh berkembang dengan baik, sehat, dan mampu menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi sesuai dengan tujuan penciptaan manusia. Tulisan ini akan menguraikan perspektif Maqashid al-Syari’ah terhadap upaya pencegahan dan penurunan stunting yang sedang digalakan oleh pemerintah kita.
B. STUNTING DAN MAQASHID AL-SYARI’AH
- Pengertian Stunting dan Upaya Pencegahannya
Salah satu tantangan dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia adalah adanya stunting. Stunting adalah indikator kekurangan gizi kronis dalam periode 1000 hari pertama kehidupan seseorang. Hal ini mengancam kualitas sumber daya manusia Indonesia (Liem, 2019: 1). Menurut Kinanti, Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi (Kinanti, 3). Sedangkan menurut Nur Oktia, Stunting didefinisikan sebagai kondisi status gizi balita yang memiliki panjang atau tinggi badan yang tergolong kurang jika dibandingkan dengan umur. Pengukuran dilakukan menggunakan standar pertumbuhan anak dari WHO, yaitu dengan interpretasi stunting jika lebih dari minus dua standar deviasi median. Balita stunting dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi (2020: 2). Akibat yang ditimbulkan dari masalah gizi, yaitu adanya hambatan dalam proses tumbuh kembang, baik fisik maupun mentalnya (Emma, 2012: 30).
Salah satu faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi stunting yaitu status ekonomi orang tua dan ketahanan pangan keluarga. Stunting yang terjadi pada balita dapat berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan intelektual anak. Secara tidak langsung dampak tersebut dapat berakibat pada penurunan produktivitas, peningkatan risiko penyakit degenaratif, peningkatan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah di masa mendatang. Dampak tersebut dapat meningkatkan kemiskinan dimasa yang akan datang dan secara tidak langsung akan mempengaruhi ketahanan pangan keluarga.
Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif menurut beberapa penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan. Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan stunting terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masihbanyak lagi faktor lainnya (UNICEF, 2008; Bappenas, 2013).
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya. Namun apabila intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar keterlambatan pertumbuhannya kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima tidak mencukupi. Penelitian yang menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa konsumsi energi balita berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu pada level rumah tangga konsumsi energi rumah tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak balita pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting, Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Untuk itu penanganan terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita.
Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku sehat (Bappenas, 2013). Ada beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang menyatakan bahwa diare merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak umur dibawah 5 tahun (Paudell).
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan kalori dan protein anak balita di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan balita perempuan dan balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas, 2011). Oleh karena itu penanganan masalah gizi ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun juga melibatkan lintas sektor lainnya. Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian stunting, ketersediaan pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, pendapatan keluarga yang lebih rendah dan biaya yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih rendah merupakan beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).
Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan bahwa pendapatan perkapita yang rendah merupakan factor risiko kejadian stunting (Nasikhah, 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku Utara dan di Nepal menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam keluarga (Paudel et al, 2012).
Dalam artikel berjudul Persepsi Sosial Tentang Stunting di Kabupaten Tangerang, Liem dkk. Menjelaskan:
“Menyikapi kondisi ini, pemerintah Indonesia sudah menggagas aneka upaya. Berbagai program dikembangkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah gizi balita, antara lain Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) (Kementerian Kesehatan), Program Keluarga Harapan (PKH) (Kementerian Sosial), Program Akses Universal Air Minum dan Sanitasi 2019 untuk menyediakan sarana air minum dan sanitasi kepada 100% penduduk Indonesia, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Kolaborasi antar lintas kementerian dan lembaga untuk mengendalikan program-program terkait intervensi stunting dipimpin oleh Bappenas, melalui Forum Scaling Up Nutrition (SUN) yang melibatkan pihak-pihak yang memegang peranan penting dan berpengaruh terhadap status gizi anak berusia dini. Sedikitnya empat kementerian bekerja sama meluncurkan Gerakan 1000 hari pertama kehidupan yang bertujuan untuk mengurangi masalah gizi dengan menyasar ibu hamil selama 270 hari masa kehamilan dan anak berusia 0 – 24 bulan (2019: 2)”.
Program-program tersebut diharapkan dapat menurunkan angka stunting di Indonesia. Pelaksanaan program pencegahan stunting diharapkan melibatkan seluruh masyarakat, namun istilah stunting belum dikenal secara luas; terlebih faktor risiko dan dampaknya (Liem, 2019: 2). Sayangnya, ada beberapa kendala dalam pelaksanaan program-program tersebut, diantaranya ialah ketidaktahuan masyarakat tentang penyakit ini. Alih-alih, mengenali gejala dan penanganannya, masyarakat justru banyak yang belum mengenal istilah stunting sendiri. Menurut Liem dkk. Istilah stunting sebenarnya tidak begitu popular di masyarakat. Istilah stunting belum banyak dikenal oleh masyarakat awam (2019: 4). Masyarakat lebih mengenal istilah cebol atau kuntring untuk menunjukan anak-anak yang pertumbuhanya terhambat, atau lambat dan tidak secepat teman-teman seusianya. Selain kurangnya pengetahuan terkait istilah stunting, masyarakat masih belum memahami bahwa terhambatnya pertumbuhan merupakan penyakit yang harus dicegah dan diantisipasi sedini mungkin.
Pencegahan stunting dapat dilakukan bila masyarakat sudah mengenal faktor penyebab stunting. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian stunting secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan kurangnya asupan gizi secara kualitas maupun kuantitas (Arini, 2020: 1). Asupan gizi yang diperlukan balita diantaranya ASI dan MP-ASI. ASI memiliki banyak manfaat, misalnya meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit, infeksi telinga, menurunkan frekuensi diare, konstipasi kronis dan lain sebagainya (Henningham dan McGregor, 2009). Kurangnya pemberian ASI dan pemberian MP-ASI yang terlalu dini dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting terutama pada awal kehidupan (Adair dan Guilkey, 1997).
Besarnya pengaruh ASI eksklusif terhadap status gizi anak membuat WHO merekomendasikan agar menerapkan intervensi peningkatan pemberian ASI selama 6 bulan pertama sebagai salah satu langkah untuk mencapai WHO Global Nutrition Targets 2025 mengenai penurunan jumlah stunting pada anak di bawah lima tahun (WHO, 2014). balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama lebih tinggi pada kelompok balita stunting (88,2%) dibandingkan dengan kelompok balita normal (61,8%) (Khoirun, 2015: 4). Kualitas ASI juga tentunya harus diperhatikan dengan memastikan bahwa asupan yang dikonsumsi ibu menyusui adalah asupan yang halal, baik dan bergizi.