Artikel
UPAYA PENCEGAHAN STUNTING
DALAM PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARI’AH
Oleh : Khaerul Umam, S.Ag*)
Indonesia saat ini sedang menyiapkan generasi yang bersumber daya manusia berkualits dalam menghadapi Indonesia Emas 2045. Salah satu tantangan Pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas adalah Stunting. Maka oleh karenanya, pemerintah terus berusaha untuk pencegahan dan penurunan stunting ini yang merupakan ancaman utama dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Lalu bagaimana pandangan Syariat agama Islam (Maqashid al-Syari’ah) terhadap pencegahan stunting yang sedang giat-giatnya dilaksanakan oleh pemerintah?
A. PENDAHULUAN
Stunting merupakan masalah kesehatan yang serius di berbagai negara, termasuk Indoesia, yang berdampak pada perkembangan fisik dan kognitif anak. Fenomena ini disebabkan oleh malnutrisi kronis periode 1.000 hari pertama kehidupan mulai dari kehamilan hingga dua tahun pertama kehidupan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi prevalensi stunting, salah satunya adalah melalui peningkatan gizi ibu hamil dan anak. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih rendah dari standar umur yang seharusnya, akibat dari kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang lama, infeksi, serta faktor lingkungan yang tidak mendukung.
Salah satu tujuan utama dari syariat Islam (Maqashid al-Syari’ah) adalah untuk menjaga keturunan (hifdzu al-nasb/al-nasl). Stunting yang terjadi pada anak, terutama pada tahap awal kehidupan, dapat berdampak serius pada perkembangan fisik dan mental anak, yang pada gilirannya memengaruhi kualitas keturunan di masa depan. Islam sangat mementingkan generasi yang sehat, karena mereka adalah masa depan umat dan pemimpin di dunia serta akhirat.
Pencegahan stunting merupakan bagian dari upaya menjaga keturunan agar dapat tumbuh berkembang dengan baik, sehat, dan mampu menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi sesuai dengan tujuan penciptaan manusia. Tulisan ini akan menguraikan perspektif Maqashid al-Syari’ah terhadap upaya pencegahan dan penurunan stunting yang sedang digalakan oleh pemerintah kita.
B. STUNTING DAN MAQASHID AL-SYARI’AH
- Pengertian Stunting dan Upaya Pencegahannya
Salah satu tantangan dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia adalah adanya stunting. Stunting adalah indikator kekurangan gizi kronis dalam periode 1000 hari pertama kehidupan seseorang. Hal ini mengancam kualitas sumber daya manusia Indonesia (Liem, 2019: 1). Menurut Kinanti, Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi (Kinanti, 3). Sedangkan menurut Nur Oktia, Stunting didefinisikan sebagai kondisi status gizi balita yang memiliki panjang atau tinggi badan yang tergolong kurang jika dibandingkan dengan umur. Pengukuran dilakukan menggunakan standar pertumbuhan anak dari WHO, yaitu dengan interpretasi stunting jika lebih dari minus dua standar deviasi median. Balita stunting dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi (2020: 2). Akibat yang ditimbulkan dari masalah gizi, yaitu adanya hambatan dalam proses tumbuh kembang, baik fisik maupun mentalnya (Emma, 2012: 30).
Salah satu faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi stunting yaitu status ekonomi orang tua dan ketahanan pangan keluarga. Stunting yang terjadi pada balita dapat berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan intelektual anak. Secara tidak langsung dampak tersebut dapat berakibat pada penurunan produktivitas, peningkatan risiko penyakit degenaratif, peningkatan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah di masa mendatang. Dampak tersebut dapat meningkatkan kemiskinan dimasa yang akan datang dan secara tidak langsung akan mempengaruhi ketahanan pangan keluarga.
Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif menurut beberapa penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan. Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan stunting terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masihbanyak lagi faktor lainnya (UNICEF, 2008; Bappenas, 2013).
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya. Namun apabila intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar keterlambatan pertumbuhannya kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima tidak mencukupi. Penelitian yang menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa konsumsi energi balita berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu pada level rumah tangga konsumsi energi rumah tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak balita pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting, Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Untuk itu penanganan terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita.
Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku sehat (Bappenas, 2013). Ada beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang menyatakan bahwa diare merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak umur dibawah 5 tahun (Paudell).
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan kalori dan protein anak balita di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan balita perempuan dan balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas, 2011). Oleh karena itu penanganan masalah gizi ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun juga melibatkan lintas sektor lainnya. Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian stunting, ketersediaan pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, pendapatan keluarga yang lebih rendah dan biaya yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih rendah merupakan beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).
Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan bahwa pendapatan perkapita yang rendah merupakan factor risiko kejadian stunting (Nasikhah, 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku Utara dan di Nepal menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam keluarga (Paudel et al, 2012).
Dalam artikel berjudul Persepsi Sosial Tentang Stunting di Kabupaten Tangerang, Liem dkk. Menjelaskan:
“Menyikapi kondisi ini, pemerintah Indonesia sudah menggagas aneka upaya. Berbagai program dikembangkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah gizi balita, antara lain Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) (Kementerian Kesehatan), Program Keluarga Harapan (PKH) (Kementerian Sosial), Program Akses Universal Air Minum dan Sanitasi 2019 untuk menyediakan sarana air minum dan sanitasi kepada 100% penduduk Indonesia, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Kolaborasi antar lintas kementerian dan lembaga untuk mengendalikan program-program terkait intervensi stunting dipimpin oleh Bappenas, melalui Forum Scaling Up Nutrition (SUN) yang melibatkan pihak-pihak yang memegang peranan penting dan berpengaruh terhadap status gizi anak berusia dini. Sedikitnya empat kementerian bekerja sama meluncurkan Gerakan 1000 hari pertama kehidupan yang bertujuan untuk mengurangi masalah gizi dengan menyasar ibu hamil selama 270 hari masa kehamilan dan anak berusia 0 – 24 bulan (2019: 2)”.
Program-program tersebut diharapkan dapat menurunkan angka stunting di Indonesia. Pelaksanaan program pencegahan stunting diharapkan melibatkan seluruh masyarakat, namun istilah stunting belum dikenal secara luas; terlebih faktor risiko dan dampaknya (Liem, 2019: 2). Sayangnya, ada beberapa kendala dalam pelaksanaan program-program tersebut, diantaranya ialah ketidaktahuan masyarakat tentang penyakit ini. Alih-alih, mengenali gejala dan penanganannya, masyarakat justru banyak yang belum mengenal istilah stunting sendiri. Menurut Liem dkk. Istilah stunting sebenarnya tidak begitu popular di masyarakat. Istilah stunting belum banyak dikenal oleh masyarakat awam (2019: 4). Masyarakat lebih mengenal istilah cebol atau kuntring untuk menunjukan anak-anak yang pertumbuhanya terhambat, atau lambat dan tidak secepat teman-teman seusianya. Selain kurangnya pengetahuan terkait istilah stunting, masyarakat masih belum memahami bahwa terhambatnya pertumbuhan merupakan penyakit yang harus dicegah dan diantisipasi sedini mungkin.
Pencegahan stunting dapat dilakukan bila masyarakat sudah mengenal faktor penyebab stunting. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian stunting secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan kurangnya asupan gizi secara kualitas maupun kuantitas (Arini, 2020: 1). Asupan gizi yang diperlukan balita diantaranya ASI dan MP-ASI. ASI memiliki banyak manfaat, misalnya meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit, infeksi telinga, menurunkan frekuensi diare, konstipasi kronis dan lain sebagainya (Henningham dan McGregor, 2009). Kurangnya pemberian ASI dan pemberian MP-ASI yang terlalu dini dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting terutama pada awal kehidupan (Adair dan Guilkey, 1997).
Besarnya pengaruh ASI eksklusif terhadap status gizi anak membuat WHO merekomendasikan agar menerapkan intervensi peningkatan pemberian ASI selama 6 bulan pertama sebagai salah satu langkah untuk mencapai WHO Global Nutrition Targets 2025 mengenai penurunan jumlah stunting pada anak di bawah lima tahun (WHO, 2014). balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama lebih tinggi pada kelompok balita stunting (88,2%) dibandingkan dengan kelompok balita normal (61,8%) (Khoirun, 2015: 4). Kualitas ASI juga tentunya harus diperhatikan dengan memastikan bahwa asupan yang dikonsumsi ibu menyusui adalah asupan yang halal, baik dan bergizi.
- Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Maqashid al-syari’ah secara etimologi merupakan istilah gabungan dari dua kata: maqashid dan al-syari’ah. Maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshad, qashd, maqshid atau qushud yang merupakan derivasi dari fi’il (kata kerja) qashada-yaqshudu dengan beragam maknanya, seperti tujuan, menuju suatu arah, jalan lurus, adil, tengah-tengah, dan tidak melampaui batas.( Ahmad bin Muhammad al-Muqri’, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’i, 1987: 192). Sementara al-syari’ah secara etimologi bermakna al-din (agama), millat, minhaj (metode), thariqah (jalan atau cara), serta sunnah. Adapun makna aslinya adalah jalan menuju mata air (Zaynuddin Abu Abdillah, 1999: 163). Sedangkan makna gabungan istilah tersebut yaitu maqashid al-syari’ah, ia berkembang dari makna paling sederhana hingga makna holistik. Di kalangan ulama klasik sebelum al-Syathibi, belum ditemukan definisi yang konkret dan komprehensif tentang maqashid alsyari’ah. Al-Bannani misanya, memaknai maqashid al-syari’ah dengan hikmah hukum; al-Asnawi mengartikannya dengan tujuan-tujuan hukum; sementara al-Ghazali, al-Amidi, dan Ibnu al-Hajib mendefinisikannya dengan menggapai manfaat dan menolak mafsadat (Umar bin Shalih bin Umar, Maqashid al-Syariah ‘inda al-Imam al-‘Izz bin Abd al-Salam, 2003: 88). Dari variasi definisi tersebut mengindikasikan kaitan erat antara maqashid al-syari’ah dengan illat, hikmah, tujuan dan kemaslahatan.
Adapun makna maqashid al-syari’ah menurut ulama kontemporer adalah tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat (Allal al-Fasi, Maqashid al-Syariah wa Makarimuha,1991: 7). Senada dengan pengertian tersebut, Ahmad al-Raysuni memberikan definisi maqashid al-syari’ah sebagai tujuan atau motif dibalik penetapan syariat yang ditujukan guna merealisasikan kemaslahatan para hamba (Ahmad al-Raysuni, Nazhariyah al-Maqashid ‘inda al-Syathibi, 1995 : 19). Kemudian, Wahbah al-Zuhaili mengartikan maqasid alsyariah sebagai nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariat, yang ditetapkan oleh al-syari’ (Allah) pada setiap ketentuan hukumnya (Wahbah al-Zuhayli, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, 1995 : 217). Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa maqashid al-syari’ah adalah, nilai-nilai, hikmah-hikmah dan lain sebagainya yang dijaga eksistensinya oleh Allah dalam setiap syariat guna memberikan kemaslahatan untuk para hamba.
Maqashid al-syari’ah memiliki tiga tinjauan kemaslahatan yang harus dijaga secara hierarki. Kemaslahatan tersebut adalah maslahat dharuriyyah, hajiyah dan tahsiniyah (Abu Ishaq al-Syathibi, Taysir al-Muwafaqat, 2009: 145-147). Pertama, dharuriyyah. Ia merupakan sesuatu yang tidak boleh tiada demi tegaknya kesejahteraan, baik terkait urusan dunia maupun akhirat. Jika maslahat ini hilang, maka hilang dan lenyaplah kesejahteraan serta kemaslahatan dalam kehidupan dunia maupun akhiratnya. Menurut Imam al-Syathibi, dharuriyyah mencakup upaya-upaya memilihara eksistensi lima tujuan pokok dan prisnsipil (haifdzu al-din atau agama, hifdzu al-nafs atau jiwa, hifdzu al-‘aql atau akal, hifdzu al-nasb/al-nasl atau nasab/keturunan, hafdzu al-mal atau harta) yang sering disebut dengan al-kuliyyat al-khams, al-dharuriyyah al-khamsah atau al-ushul al-khamsah (Abu Ishaq al-Syathibi, Tahdzib al-Muwafaqat, h. 114. Lihat juga: Ahmad al-Raysuni, Muhazharat fi Maqashid alSyari’ah, (Kairo: Dar al-Kalimah, 2014, h. 195). Kedua, terkait maslahat hajiyah (Sekunder). Dalam pandangan al-Syathibi, maqashid atau maslahat hajiyah yaitu sesuatu yang dibutuhkan demi mendatangkan kelapangan, maslahat atau manfaat, dan menghilangkan kesempitan atau kesulitan yang jika luput/hilang tidak mengangncam kehidupan namun melahirkan kesukaran. Ketiga, maslahat tahsiniyah (tersier). Maqashid tahsiniyyah yaitu sesuatu yang berfungsi sebagai pelengkap atau komplementer. Menurut Imam al-Syathibi, maslahat tahsiniyah adalah segala sesuatu terkait memperhatikan kebiasaankebiasaan baik dan menghindari kebiasaan-kebiasaan buruk dengan berdasarkan pertimbangan akal sehat. Perkara ini juga sering disebut dengan kemuliaan akhlak (Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah , tahqiq. Abdullah Darraz, (Alexandria: Dar al-Fikr al-‘Araby, t.t, vol. 2, h. 14). Masih menurut al-Syathibi, maslahat tahsiniyah bermuara pada kebaikan-kebaikan yang melengkapi prinsip maslahat dharuriyyah dan tahsiniyyah. Sebab ketiadaan tahsiniyah tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap eksistensi maslahat dharuriyyah maupun hajiyah.
Kata maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshad yang artinya “maksud dan tujuan”. Sedangkan syariah bermakna “hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”. Sedangkan Wahbah al-Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islami menuliskan bahwa maqashid syariah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara’ dalam seluruh atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syariat dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara’ pada setiap hukumnya. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah Jilid II mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan syariat adalah demi terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, penetapan hukum harus mengarah pada terwujudnya tujuan tersebut. Lebih lanjut, Al-Syatibi menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama (Hifdzu al-Diin), jiwa (Hifdzu al-Nafs), akal (Hifdzu al-‘Aql), keturunan (Hifdzu al-Nasl), dan harta (Hifdzu al-Maal).
- Perspektif Maqashid Al-Syari’ah Terhadap Upaya Pencegahan Stunting
Stunting merupakan masalah kesehatan yang serius di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang berdampak pada perkembangan fisik dan kognitif anak. Fenomena ini disebabkan oleh malnutrisi kronis pada periode 1.000 hari pertama kehidupan, mulai dari kehamilan hingga dua tahun pertama kehidupan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi prevalensi stunting, salah satunya adalah melalui peningkatan gizi ibu hamil dan anak. Namun, pencegahan stunting dari perspektif Maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan syariah) dapat memberikan landasan yang lebih komprehensif, tidak hanya dalam aspek fisik dan kesehatan, tetapi juga dalam pemenuhan hak dasar manusia, khususnya anak-anak.
Maqashid al-Syari’ah, secara sederhana, merujuk pada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh syariat Islam. Tujuan utama syariah adalah untuk melindungi lima aspek pokok kehidupan manusia, yang dikenal dengan istilah Hifdzu al-Diin (perlindungan agama), Hifdzu al-Nafs (perlindungan jiwa), Hifdzu al-‘Aql (perlindungan akal), Hifdzu al-Nasl (perlindungan keturunan), dan Hifdzu al-Maal (perlindungan harta). Dalam konteks pencegahan stunting, aspek yang paling relevan adalah Hifdzu al-Nafs (perlindungan jiwa) dan Hifdzu al-Nasl (perlindungan keturunan).
- Hifdzu al-Nafs (Perlindungan Jiwa)
Islam menekankan pentingnya menjaga kesehatan tubuh sebagai bagian dari hak dasar manusia. Dalam konteks pencegahan stunting, upaya untuk memastikan pemenuhan gizi yang cukup bagi ibu hamil dan anak-anak sangat selaras dengan prinsip Hifdzu al-Nafs. Islam mengajarkan bahwa tubuh merupakan amanah dari Allah, dan umat diwajibkan untuk menjaga kesehatan tubuh dengan cara yang halal dan baik. Dalam Al-Qur’an, terdapat ayat yang mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan, seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 195:
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan infakkanlah harta kalian di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri. Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195).
Ayat ini dapat dipahami sebagai dorongan untuk tidak membiarkan diri terjerumus ke dalam kondisi yang merugikan kesehatan, yang salah satunya bisa terjadi akibat kekurangan gizi atau malnutrisi. Upaya pencegahan stunting juga berhubungan dengan perlindungan terhadap jiwa (Hifdzu al-Nafs), yang mencakup kesejahteraan fisik dan kesehatan. Kesehatan yang optimal sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, dan gizi yang tidak mencukupi pada masa anak-anak dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang serius, yang pada gilirannya dapat membahayakan kehidupan anak tersebut.
2. Hifdzu al-Nasl (Perlindungan Keturunan)
Salah satu tujuan utama dari syariat Islam adalah untuk menjaga keturunan. Stunting yang terjadi pada anak, terutama pada tahap awal kehidupan, dapat berdampak serius pada perkembangan fisik dan mental anak, yang pada gilirannya memengaruhi kualitas keturunan di masa depan. Islam sangat mementingkan generasi yang sehat, karena mereka adalah masa depan umat dan pemimpin di dunia serta akhirat.
Stunting juga dapat dilihat sebagai ancaman terhadap keturunan atau generasi mendatang. Islam sangat memperhatikan kesejahteraan keturunan sebagai bagian dari upaya menjaga keberlanjutan umat. Kesehatan anak, sebagai bagian dari keturunan, harus dijaga sejak dalam kandungan hingga masa tumbuh kembangnya. Sebagai contoh, dalam Surah Al-Isra’ ayat 31, Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْأً كَبِيرًا
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberi rezeki kepada mereka dan kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa besar.” (QS. Al-Isra: 31).
Ayat ini menunjukkan pentingnya menjaga kehidupan anak-anak sebagai bentuk perlindungan terhadap keturunan. Penanganan stunting yang baik, yang melibatkan pemberian gizi yang cukup sejak masa kehamilan, adalah bagian dari upaya menjaga kesehatan anak sebagai amanah keturunan yang harus dijaga. Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Al-Furqan: 74).
Nabi Muhammad SAW dalam salah satu haditsnya juga menekankan pentingnya menjaga kesehatan tubuh. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, beliau bersabda: “Tidak ada yang lebih baik bagi seorang mukmin selain tubuh yang sehat.” (HR. Bukhari). Hadis ini menekankan bahwa kesehatan adalah nikmat yang harus dijaga dengan baik, dan ini relevan dengan upaya pencegahan stunting, yang berfokus pada upaya untuk memastikan tumbuh kembang anak yang sehat. Selain itu, Nabi Muhammad juga mengajarkan pola makan yang sehat, seperti dalam hadis berikut: “Makanlah dengan tangan kananmu, dan minumlah dengan tangan kananmu.”(HR. Muslim).
Pola makan yang sehat dan bergizi adalah bagian dari prinsip hidup sehat yang dianjurkan dalam Islam, yang juga berperan penting dalam mencegah stunting. Pencegahan stunting merupakan bagian dari upaya menjaga keturunan agar dapat tumbuh berkembang dengan baik, sehat, dan mampu menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi sesuai dengan tujuan penciptaan manusia.
3. Hifdzu al-Maal (Perlindungan Harta)
Stunting memiliki dampak jangka panjang terhadap produktivitas individu dan masyarakat, yang bisa memengaruhi kemakmuran ekonomi. Anak yang mengalami stunting cenderung memiliki kapasitas fisik dan kognitif yang terbatas, yang berpotensi mengurangi kemampuan mereka untuk berkontribusi dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Pencegahan stunting, melalui perbaikan pola makan dan peningkatan status gizi, bukan hanya berperan dalam kesehatan tetapi juga dalam mengoptimalkan potensi sumber daya manusia untuk masa depan. Ini sesuai dengan prinsip Islam yang melarang pemborosan dan mendorong penggunaan sumber daya secara bijaksana. Allah berfirman dalam Surat Al-Isra ayat 26-27:
Artinya: “Dan berikanlah kepada kerabatnya haknya, yaitu orang miskin dan orang yang dalam perjalanan (yang tidak mempunyai uang), dan janganlah kamu menghabiskan harta secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara setan dan setan itu adalah makhluk yang sangat ingkar kepada Tuhannya.”.
Mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk pencegahan stunting melalui gizi yang baik dan layanan kesehatan yang memadai adalah salah satu bentuk penggunaan harta yang sesuai dengan syariat, untuk melindungi generasi mendatang dari kerugian fisik dan mental.
4. Hifdzu al-‘Aql (Perlindungan Akal)
Selain kesehatan fisik, pencegahan stunting juga berhubungan erat dengan perlindungan terhadap akal. Gizi yang buruk pada masa anak-anak dapat memengaruhi perkembangan otak, yang dapat menghambat kemampuan kognitif anak. Dalam Islam, akal adalah salah satu hal yang sangat dijaga dan dihormati, karena akal yang sehat adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang baik dan beribadah dengan benar. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-A’raf ayat 179:
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar.”.
Upaya pencegahan stunting berperan dalam memastikan bahwa anak-anak dapat berkembang secara fisik dan mental dengan baik, sehingga mereka dapat menggunakan akal mereka untuk memahami ajaran-ajaran Allah dan melaksanakan tugas mereka di dunia ini.
Pencegahan stunting juga dapat dipandang sebagai bagian dari menjaga keseimbangan hidup antara kebutuhan dunia dan akhirat. Islam mengajarkan bahwa kesejahteraan duniawi, seperti kesehatan tubuh dan kecerdasan, penting untuk mendukung tugas umat Islam dalam beribadah dan berkontribusi kepada masyarakat.
C. PENUTUP
Stunting merupakan kondisi kurangnya asupan gizi pada anak pertumbuhan tidak optimal atau tidak mencapai standar pertumbuhan yang seharusnya. Kondisi ini dapat menghambat pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya stunting diantaranya ialah kurang atau buruknya kualitas asupan gizi untuk ibu hamil dan menyusui serta balita. Padahal hal ini sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan anak.
Pencegahan stunting bukan hanya masalah kesehatan fisik, tetapi juga merupakan masalah perlindungan jiwa dan keturunan yang sangat dijaga dalam perspektif maqashid syariah. Islam memberikan pedoman yang jelas tentang pentingnya menjaga kesehatan tubuh dan memastikan kesejahteraan anak-anak sebagai bagian dari generasi yang akan datang. Oleh karena itu, upaya pencegahan stunting harus dipandang sebagai bagian dari kewajiban umat untuk menjaga amanah Allah dalam bentuk kesehatan dan kesejahteraan umat.
Upaya pencegahan stunting sejalan dengan tujuan syariah dalam melindungi jiwa dan keturunan umat. Berbagai langkah yang dapat diambil antara lain:
- Peningkatan Akses Gizi Seimbang: Menyediakan makanan bergizi bagi ibu hamil dan anak-anak di bawah lima tahun (balita). Ini sesuai dengan prinsip Hifdz al-Nafs dan Hifdz al-Nasl.
- Edukasi Kesehatan: Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya gizi yang cukup selama masa kehamilan dan pemberian ASI eksklusif untuk bayi.
- Penguatan Kebijakan Pemerintah: Mendorong kebijakan yang mendukung pemenuhan gizi anak, seperti program bantuan pangan dan vaksinasi.
Segala upaya pemerintah untuk pencegahan stunting harus kita dukung dan laksanakan bersama karena semuanya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyatnya, sebagaimana kaidah ushul fiqh menyatakan: “Tasharaful Imam ‘Alaa Ra’iyat Manuthun bil Maslahat”, Wa Allahu A’lamu Bisshawab.
SUMBER REFERENSI
Al-Quran dan Terjemahanya, Shafra’. Solo, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri: 2013.
Hayati, Arini, dkk. “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan”. Universitas Tanjungpura.
Lamadhah, Dr. Athif. Buku Pintar Kehamilan dan Melahirkan, Sebuah Panduan Praktis.. Diva Press, Yogyakarta: 2010.
Liem S., dkk. “Persepsi Sosial Tentang Stunting di Kabupaten Tangerang”, Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 18 No 1, Juni 2019
Ni’mah, Khoirun & Nadhiroh, St. Rahayu. “Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita”. Media Gizi Indonesia, Vol. 10, No. 1 Januari–Juni 2015.
Nirmalasari, Nur Oktia. “Stunting Pada Anak: Penyebab dan Faktor Risiko Stunting di Indonesia”. Qawwam : Journal For Gender Mainstreaming, Vol. 14, No. 1 (2020), Hal. 19-28.
Rahmadhita, Kinanti. “Permasalahan Stunting dan Pencegahannya”. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, Vol 11, No, 1, Juni 2020.
An-Nawawi, Imam. *Al-Majmu’ Sharh al-Muhadhdhab*. Dar al-Ma’mun, 1997.
Syatibi, Al. *Al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah*. Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007.
Ahmad bin Muhammad al-Muqri’, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’I, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1987), h. 192.
Zaynuddin Abu Abdillah, Mukhtar ash-Shahah, (Beirut: al-Dar al-Namudzajiyyah,1999), vol.1, h. 163.
Allal al-Fasi, Maqashid al-Syariah wa Makarimuha, (Ribath: Dar al-Gharb al-Islami, 1991), h. 7
Ahmad al-Raysuni, Nazhariyah al-Maqashid ‘inda al-Syathibi, (Herndorn, Virginia: IIIT, 1995), h. 19
Wahbah al-Zuhayli, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1995), h. 217
Abu Ishaq al-Syathibi, Tahdzib al-Muwafaqat, h. 114. Lihat juga: Ahmad al-Raysuni, Muhazharat fi Maqashid alSyari’ah, (Kairo: Dar al-Kalimah, 2014), h. 195
———-
**) Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Kec. Pakuhaji Kab.Tangerang, Da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan.