Sebagai sebuah ikatan, perkawinan yang dibentuk antara seorang pria dan seorang wanita itu berdasarkan ikatan batin. Ikatan batin, bukan soal ketertarikan fisik, melainkan gerakan hati yang terdalam antara kedua belah pihak bahwa keduanya cocok untuk hidup bersama. Disini, sisi kecocokan hati dalam batin menjadi motivasi dasar untuk mau mengikatkan diri secara lahiriah. Menjadi jelas disini ialah motivasi dasarnya yaitu ungkapan batin. Sebagai perbuatan manusia dewasa, perkawinan merupakan peristiwa yang dapat berlangsung setelah melalui pertimbangan baik rasional maupun emosional atau mental. Selain dipikirkan dan diterima oleh akal sehat, semua persiapan perkawinan adalah persiapan mental dari calon pasangan itu sendiri. Persiapan mental ini dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu mengenal dan memahami pasangan serta memahami arti perkawinan. Dalam tahap persiapan perkawinan, membina hubungan sosial yang romantis dan harmonis merupakan hal yang penting dan perlu dijalani.
Suatu perkawinan, secara ideal dilakukan oleh pasangan pria-wanita yang telah memiliki kematangan, baik dari segi biologis maupun psikologis. Kematangan biologis adalah apabila seseorang telah memiliki kematangan baik dari segi usia, maupun dari segi fisik. Sedangkan kematangan psikologis adalah bila seseorang telah dapat mengendalikan emosinya dan dapat berpikir secara baik, serta dapat menempatkan persoalan sesuai dengan keadaan subjektif- objektifnya.
Menurut perspektif ilmu psikologi, seorang individu dinyatakan dewasa jika telah lepas atau melewati masa remaja. Adapun masa remaja adalah tahap usia yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir dan ditandai oleh pertumbuhan fisik secara cepat. Pertumbuhan cepat yang terjadi pada tubuh remaja luar dan dalam itu, membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan serta kepribadiannya. Hal inilah yang membawa para pakar pendidikan dan psikologi condong untuk menamakan tahap-tahap peralihan tersebut dalam kelompok tersendiri, yaitu remaja yang merupakan tahap peralihan dari kanak-kanak, serta persiapan untuk memasuki masa dewasa.
Dari perspektif sosiologis, usia remaja dapat diartikan sebagai masa berintegrasinya seseorang dengan masyarakat dewasa. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa yang kenyataannya merupakan ciri khas umum periode perkembangan.
Perkawinan sebagai sebuah institusi, dipandang dari perspektif sosiologis adalah lembaga keluarga yang tidak hanya menjamin kelangsungan hidup manusia tetapi juga menjamin stabilitas sosial dan eksistensi yang bermartabat bagi pria dan wanita dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, lembaga perkawinan yang dibangun oleh pasangan yang secara psikologis belum memiliki kematangan, dapat menimbulkan disharmoni dalam masyarakat, seperti dapat dilihat pada fenomena anak terlantar. Dalam perkembangan berlakunya ketentuan Undang-undang nomor 1 tahun 1974, terutama terkait dengan pasal 7 ayat (1), angka perceraian relatif tinggi yang disebabkan oleh faktor kesehatan. Salah satu problem kesehatan yang menyebabkan perceraian itu terkait dengan kesehatan reproduksi wanita yang pada gilirannya mengakibatkan pasangan tidak mampu memiliki keturunan.
Jika pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menentukan usia perkawinan wanita pada usia 16 tahun, maka peringatan para ahli kesehatan patut dijadikan bahan pertimbangan untuk merenungkan resiko yang akan terjadi bagi wanita. Beberapa ahli kesehatan menyatakan bahwa perkawinan dari pasangan usia muda bagi wanita, terutama di bawah usia 17 tahun beresiko kena kanker serviks. Perkawinan pada usia matang, oleh beberapa ahli justru menunjukkan manfaat atau dampak kesehatan yang positif bagi pria. Penelitian mengenai hubungan antara perkawinan dan kesehatan pria itu sudah dilakukan sejak awal tahun 1858 oleh William Farr, ahli epidemiologi Inggris, sebagaimana ditunjukkan oleh Morabia dalam bukunya bahwa kadar hormon stres kortisol pria berkurang sehingga mengurangi kemungkinan terkena penyakit kronis dan membuat pria hidup sehat lebih lama.
Seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat daripada pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah menyepakati bahwa usia miminum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Hal ini didasarkan bahwa usia 19 tahun merupakan usia ideal yang signifikan dalam membangun atau menciptakan sebuah perkawinan ideal. Meskipun usia 19 tahun itu tidak disebutkan secara eksplisit, namun dalam keterangan yang sifatnya lebih praktis dari uraian Quraish Shihab, ditunjukkan bahwa perkawinan ideal itu terbangun dari pasangan yang berusia matang atau dewasa.
Perkawinan ideal merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic demand) sekaligus tujuan bagi setiap pasangan sebagai manusia normal. Tanpa kebutuhan dan tujuan itu, kehidupan perkawinan pasangan menjadi tidak sempurna. Lebih dari itu, menyalahi fitrahnya. Usia perkawinan dalam pemikiran hukum Islam hanya dipersyaratkan telah mencapai baligh antara kedua calon suami-istri. Syarat ini inheren dengan syarat-syarat perkawinan. Disamping itu, terdapat rukun perkawinan seperti yang dijelaskan masing-masing dalam bukunya oleh Ramulyo, juga oleh Dahlan.
Bahwa salah satu syarat sah perkawinan adalah telah mencapai usia baligh sehingga secara tegas harus memenuhi ketentuan hukum Islam yang sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu; “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Usia perkawinan menurut hukum Islam, jika disimplifikasikan dengan syarat dan dasar perkawinan, maka mencapai usia baligh harus meliputi kemampuan fisik dan mental. Secara biologis, calon suami-istri telah mencapai usia baligh karena ditandai oleh perubahan fisik. Adapun aspek mentalitasnya, masih membutuhkan pembinaan secara utuh, tidak perlu kondisi mental psikologis yang labil, dan masih dipengaruhi oleh faktor kecenderungan praktis dalam kaitan fisik-biologisnya. Konsekuensi logis dari proses konvergensi konsepsional UU Perkawinan Indonesia dengan pemikiran atau filsafat hukum Islam memungkinkan lahirnya variabel pemikiran tentang perubahan Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1), termasuk penetapan usia perkawinan menjadi tepat. Usia perkawinan yang ditetapkan secara konvergen menjadi bagian dari syarat perkawinan, sehingga tantangan ke depan dapat tereliminasi.
Dengan tidak adanya lagi pembedaan usia perkawinan semakin membakukan peran dan status antara suami-istri dalam pola relasi yang seimbang. Kesetaraan dari segi usia ideal, secara lebih tegas dapat dimaknai bahwa usia pria, yaitu 19 tahun harus sama dengan usia wanita. Masing-masing pasangan suami-istri berada pada usia 19 tahun dengan pertimbangan bahwa dari aspek psikologis, sosiologis, dan kesehatan, ketiganya seimbang.
Hal itu menjadi pertimbangan disebabkan oleh karena dalam kenyataan, banyak rumah tangga yang berakhir dengan perceraian disebabkan adanya perbedaan mendasar di antara suami-istri. Dalam bahasa agama, suami-istri yang demikian disebut tidak sekufu. Misalnya suami berasal dari keluarga yang ekonominya mapan sementara istri dari keluarga sederhana, atau istri yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial tinggi sedangkan suami berasal dari keluarga biasa. Perbedaan-perbedaan tersebut sering menjadi sumber perselisihan berkepanjangan yang pada akhirnya menyebabkan ketidakharmonisan keluarga tersebut.
Sakralitas lembaga perkawinan berkaitan erat dengan eksistensi manusia sebagai makhluk yang paling mulia di antara mahkluk Allah SWT lainnya. Hubungan-hubungan antara sesama manusia, khususnya hubungan antara seorang pria dan seorang wanita dewasa dalam rangka penyaluran hasrat biologisnya diatur sedemikian rupa sehingga tidak liar. Hubungan antara manusia tentu berbeda dengan hubungan makhluk Allah SWT lainnya seperti binatang. Hubungan-hubungan antara sesama binatang itu, termasuk hubungan biologis yang tidak diatur sebagaimana pada manusia.
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dipahami bahwa sebagai salah satu syarat untuk mencapai keluarga sakinah adalah memelihara sakralitas (kemuliaan, kesucian) lembaga perkawinan. Bagi yang sudah menjalaninya tentu berusaha senantiasa menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan keluarganya sehingga perkawinan itu tetap lestari. Sedang bagi yang belum dan akan memasuki dunia perkawinan, maka cara memelihara kesakralan perkawinan itu adalah memulainya dengan niat yang tulus-ikhlas, memenuhi persyaratan-persyaratannya serta melaksanakannya sesuai dengan tuntunan dan kaidah agama, sosial dan budaya yang dianut oleh masyarakat. Berdasarkan car itu, tampak benar bahw lembaga perkawinan betul-betul sakral dan merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Disediakannya lembaga-lembaga perkawinan yang sakral bagi umat manusia, selain untuk memelihara kemuliaan manusia, juga dimaksudkan agar terwujud generasi atau keturunan yang jelas. Dari generasi itu akan lahir generasi berikutnya secara berantai dengan untaian hubungan yang jelas. Pengaturan hukum keluarga, termasuk hukum perkawinan akan menjamin terpeliharanya sumber daya manusia. Indikasinya adalah bahwa keluarga yang sehat akan melahirkan generasi yang berkualiatas, tidak hanya dari segi lahiriah tapi juga dari segi batiniah.
Dalam konteks kecerdasan, batas usia perkawinan ideal harus diformulasi sebagai sebuah agenda yang berkelanjutan untuk memperoleh sebuah periode generasi yang benar-benar berkualitas. Persaingan global yang akan dihadapi, salah satunya adalah menyangkut kualitas SDM sehingga sudah saatnya memberi peluang pendidikan bagi masyarakat untuk mengupayakan terbangunnya generasi-generasi berkualitas baik. Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka konsep masyarakat madani di Indonesia akan dengan mudah dapat diciptakan.
Dalam kaitannya dengan penciptaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas baik, keluarga sakinah juga memegang peranan yang sangat penting. Keluarga yang sehat, baik dan sejahtera lahir-batin akan melahirkan keturunan atau generasi yang sehat dan kuat. Keturunan-keturunan demikian akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang cerdas dan pada waktunya nanti akan menjadi SDM yang berkualitas baik, yang tidak hanya bermanfaat bagi keluarganya, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat luas.
Indikasi dan gambaran kehidupan rumah tangga yang sakinah. secara normatif tertuang dalam beberapa ayat al Qur’an. Setidaknya enam kali kata “sakinah” diulang (dalam dua surah dan enam ayat), yaitu antara lain; QS. at-Taubah ayat (25-26), al-Fath ayat (4), (18), (26). Oleh karena itu, keluarga yang sakinah harus dijadikan tujuan dengan kesiapan mental dan kedewasaan usia karena akan menentukan stabilitas jiwa dan kematangan psikologis dari pasangan suami-istri.
Meskipun usia tidak menjamin ukuran sebuah kedewasaan, namun setidaknya pengalaman ataupun fakta dan data perlu dipertimbangkan. Data dari beberapa laporan perkara di Pengadilan Agama menyebutkan bahwa bahwa masyarakat yang pernikahannya dimohonkan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama, rata-rata tidak bertahan lama usia pernikahannya. Artinya pernikahan yang dilangsungkan diusia muda, tidak sedikit pada akhirnya berakhir dengan perceraian.
Inilah mengapa kemudian kedewasan dan kematangan relatif penting, untuk menjaga kelanggengan pernikahan karena pada dasarnya salah satu asas menikah dalam islam adalah lestari, maksudnya upayakan sebisa mungkin bahwa pernikahan itu adalah untuk selamanya.