Menu

Mode Gelap

Opini · 19 Agu 2025 06:48 WIB ·

Viral Kasus di Pinrang: Bagaimana Regulasi dan Syariat Cegah Manipulasi Pernikahan?

Penulis: Ahmad Angka


 Viral Kasus di Pinrang: Bagaimana Regulasi dan Syariat Cegah Manipulasi Pernikahan? Perbesar

Munculnya kasus viral di Pinrang, di mana seorang laki-laki menyamar sebagai perempuan dengan mengenakan cadar untuk menikah, telah menggemparkan publik dan membuka kembali diskusi tentang integritas institusi perkawinan di Indonesia. Peristiwa ini bukan sekadar sensasi, melainkan sebuah anomali yang menyoroti betapa rentannya prosedur pernikahan jika tidak ada verifikasi yang ketat. Penyamaran identitas ini tidak hanya menipu calon pasangan dan keluarga, tetapi juga secara fundamental bertentangan dengan norma hukum yang berlaku. Kasus ini menjadi latar belakang penting untuk memahami mengapa aturan dan etika yang telah ada, baik dari sisi hukum negara maupun syariat agama sangat relevan sebagai “pagar berlapis” untuk melindungi keabsahan dan tujuan mulia dari sebuah pernikahan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 ayat (1) menegaskan definisi dan arah dasar institusi perkawinan di Indonesia, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Frasa “antara seorang pria dengan seorang wanita” bukan sekadar redaksi, melainkan norma konstitutif yang memagari keabsahan dan tujuan pernikahan di ranah hukum positif kita. Ketentuan ini menjadi rujukan utama ketika publik dihebohkan oleh kasus viral di Pinrang, upaya penyamaran identitas untuk menikah yang bertentangan dengan rambu UU perkawinan. Norma ini memberi kerangka etik sekaligus yuridik, agar diskusi publik tidak terseret oleh sensasionalisme semata.

Di sisi administratif, Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan memperkuat mekanisme verifikasi pada level KUA. Inti penguatnya tampak pada ketentuan pemeriksaan identitas calon pengantin, termasuk kewajiban memastikan kecocokan data personal dengan bukti fisik. Substansi Pasal 6 ( khsusnya ayat 2 huruf a, b dan c) mensyaratkan agar menghadirkan calon pengantin dan wali,  pemeriksaan dilakukan tanpa penutup wajah yang menghalangi identifikasi; jika calon mengenakan masker/cadar/niqāb, petugas berwenang meminta untuk membukanya demi akurasi verifikasi. Ini bukan soal preferensi gaya berpakaian, melainkan tata tertib pemeriksaan identitas untuk mencegah penipuan administrasi nikah.

Dua regulasi ini, norma substantif UU Nomor 1 tahun 1974 dan prosedur administratif PMA Nomor 30 Tahun 2024, menyatu sebagai pagar berlapis. UU memastikan perkawinan yang sah itu heteroseksual dan berorientasi pada pembentukan keluarga yang bahagia. PMA memastikan siapa yang menikah benar-benar sesuai identitasnya, sehingga tidak ada celah manipulasi data, termasuk penyamaran jenis kelamin. Dalam bahasa kebijakan publik, UU memberi ends, PMA mengatur means. Keduanya relevan sebagai pelajaran dari kasus Pinrang.

Menariknya, “pagar berlapis” dalam tradisi Islam bukan hanya negara dan administrasi. Syariat sendiri mengajarkan perangkat prevensi yang bersifat personal, yakni nadzar, yaitu melihat calon pasangan dengan cara yang dibenarkan syariat, agar keyakinan sebelum akad didasarkan pada pengetahuan yang cukup dan bukan sekadar bayangan. Di sini, kebijakan negara dan praksis keagamaan saling menopang, verifikasi KUA mencegah penipuan legal, sedangkan nadzar mencegah “penipuan ekspektasi” dalam rumah tangga.

Dasar nadzar sangat kuat dalam Sunnah. Dari al-Mughīrah bin Syu‘bah ra., beliau berkata:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَذَكَرْتُ لَهُ امْرَأَةً أَخْطُبُهَا، فَقَالَ: «اذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Aku mendatangi Nabi ﷺ dan menyebutkan seorang wanita yang hendak aku lamar. Beliau bersabda: ‘Pergilah dan lihatlah dia, karena itu lebih pantas menumbuhkan kasih/kelanggengan di antara kalian berdua.’” (HR. Tirmiżī no. 1087; juga diriwayatkan an-Nasā’ī, Ibnu Mājah, dan Ahmad).

Lafaz kunci اذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا “Perdi dan lihatlah”, أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا dipahami para ulama sebagai “lebih besar peluang tumbuhnya mawaddah dan keserasian.”Hadis lain menguatkan urgensi melihat langsung, bahkan menyebut faktor “ciri fisik khas”, “Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata kaum Anshar terdapat (ciri) tertentu.” Riwayat ini menunjukkan hikmah nadzar, memastikan kecocokan bukan hanya “tampan cantik”, tetapi juga kenyamanan visual dan non-verbal yang memengaruhi keberlangsungan hubungan jangka panjang.

Bagaimana hukumnya? Mayoritas fuqaha menilai nadzar sebagai sunnah/mustahabb, sebuah anjuran kuat, bukan kewajiban. Ibnu Qudāmah menyatakan tak ada khilaf tentang kebolehan melihat bagi yang hendak menikah; Nawawī dalam Rawḍah memandangnya istihbāb (anjuran) agar tidak menyesal, dan ulama kontemporer seperti Ibn Bāz serta Ibn ‘Utsaimīn menegaskan statusnya sebagai sunnah karena dalil-dalilnya jelas. Kesimpulannya, nadzar adalah mekanisme syar‘i untuk meminimalkan information asymmetry sebelum akad.

Batas pandang saat nadzar juga dibahas rinci. Mazhab Syāfi‘ī umumnya membolehkan melihat wajah dan telapak tangan (bagian yang lazim tampak), Hanafī menambah telapak kaki; seluruhnya menolak khalwat dan interaksi yang membangkitkan syahwat. Esensinya: nadzar harus tertib, terawasi, dan berniat serius; ini yang membedakannya dari “kencan”. Dengan koridor ini, nadzar menjadi screening device yang etis, menyaring kecocokan tanpa mengundang mudarat.

Relevansi nadzar kian nyata di era pertemanan digital. Banyak “perkenalan” berawal dari direct message, match, atau mutuals di media sosial. Namun algoritma dan filters menciptakan presentation bias, orang menampilkan versi terbaik diri, sementara fakta kritikal bisa tersembunyi. Hadis al-Mughīrah meniscayakan offline verification, langsung melihat dengan adab, sebagai koreksi atas online curation. Dalam istilah ekonomi informasi, nadzar mengurangi risiko “lemons” keputusan berbasis informasi yang timpang.

Kasus di Pinrang memperlihatkan sisi paling ekstrem dari presentation bias, identitas hukum-biologis didandani untuk menembus prosedur. Di sinilah PMA 30 Tahun 2024 bersuara, pemeriksa berhak meminta pembukaan penutup wajah demi memastikan kecocokan identitas dan jenis kelamin dengan dokumen. Bukan sekadar “aturan baru”, ini instrumen risk management layanan nikah, apalagi di masyarakat yang kian mask-friendly sejak pandemi dan sebagian muslimah memang bercadar. Ketegasan prosedural ini melindungi semua pihak dari batalnya akad atau konsekuensi hukum di kemudian hari.

Dari sisi praktik KUA, good governance pencatatan nikah menuntut akurasi dan kebenaran data. Prinsip ini sejalan dengan asas legalitas dan akuntabilitas pelayanan publik. Verifikasi visual yang meminta pembukaan cadar saat pemeriksaan identitas tidak menihilkan pilihan berbusana, ia justru memastikan kehormatan pernikahan terjaga karena akad dijalankan oleh dua subjek hukum yang benar. Kembali, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi batas substantif (heteroseksual), PMA 30 Tahun 2024 memberi alat verifikatif.

Bagaimana mengintegrasikan nadzar dengan etika digital? Pertama, jangan puas dengan video call atau foto berfilter. Foto bisa menipu perspektif, pencahayaan, bahkan gender presentation. Kedua, lakukan nadzar tatap muka yang tertib, di tempat yang baik, ada mahram/pendamping, tanpa khalwat, dan pembicaraan substantif (visi keluarga, tempat tinggal, peran kerja/domestik, nilai agama). Ketiga, bila salah satu pihak bercadar/bermasker, briefing etis dan administratif perlu, nadzar untuk keyakinan pribadi, verifikasi KUA untuk keabsahan publik.

Ulama juga mengingatkan adab pasca nadzar, jika tidak cocok, tutup aib jangan sebarkan temuan yang dapat merusak kehormatan pihak lain. Secara sosiologis, ini menekan externalities negatif (fitnah, character assassination) yang sering meledak di linimasa. Kebebasan berpendapat di media sosial tetap dibatasi oleh hak reputasi. Syariat memadukan due diligence dengan virtue ethics, teliti secukupnya, simpan yang rahasia, dan ambil keputusan tanpa merusak martabat.

Secara konseptual, kita melihat tiga lapis pencegahan: (a) norma substantif UU Nomor 1 Tahun 1974 (perkawinan pria-wanita), (b) prosedur administratif PMA Nomor 30 Tahun 2024 (verifikasi identitas tanpa penutup wajah saat pemeriksaan), dan (c) mekanisme syar‘i nadzar (membangun keyakinan melalui tatap muka beradab). Tiga lapis ini mengatasi tiga risiko berlainan yaitu, pelanggaran norma, penipuan administratif, dan kekecewaan pasca-akad. Kasus Pinrang memperingatkan bahwa mengendurkan salah satu lapis saja sudah cukup menciptakan celah. Solusinya bukan mencurigai semua orang, melainkan menegakkan prosedur dan adab secara konsisten.

Penutupnya, mari kembali ke sabda Nabi ﷺ kepada al-Mughīrah: «اذهب فانظر إليها، فإنه أجدر أن يؤدم بينكما»—sebuah izin yang “dikalkulasi”, bukan lisensi bebas. Nadzar memuliakan calon pasangan karena keputusan diambil dengan tanggung jawab; PMA Nomor 30 Tahun 2024 memuliakan akad dengan memastikan subjeknya tepat; UU Nomor 1 Tahun 1974 memuliakan tujuan perkawinan sebagai ikatan pria-wanita yang bahagia dan kekal. Jika tiga hal ini kita jalankan serentak, ditambah literasi digital yang waras maka riak viral seperti di Pinrang akan berhenti sebagai anomali, bukan jadi pola.

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 65 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

PENCATATAN TAJDID NIKAH (PART 1)

14 Oktober 2025 - 07:39 WIB

Hukum Susuan yang Mengharamkan Nikah dalam Pandangan Mazhab

13 Oktober 2025 - 16:56 WIB

Menyelami Kesakralan Ijab Kabul dalam Islam

13 Oktober 2025 - 14:52 WIB

Berikan Untuk Keluargamu, Nafkah Yang Halal Dengan Cara Yang Baik

10 Oktober 2025 - 10:15 WIB

Do’a Pengantin Saat Pertama Bertemu Setelah Sah

8 Oktober 2025 - 13:05 WIB

Hati-Hati Girls! Akta Kelahiran Nggak Cocok Bisa Bikin Nikah Kamu Nggak Sah

8 Oktober 2025 - 10:59 WIB

Trending di Opini
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x