Menu

Mode Gelap

Opini · 28 Sep 2025 20:25 WIB ·

Wali Nikah di Kapal Pesiar: Bagaimana Solusinya?

Penulis: Mohammad Bachrul Falah


 Wali Nikah di Kapal Pesiar: Bagaimana Solusinya? Perbesar

 

Pernikahan seringkali menjadi momen yang paling dinanti dalam hidup. Banyak pasangan yang telah mempersiapkannya bertahun-tahun. Mulai dari kesiapan lahir batin, sampai pengurusannya di KUA. Namun, sebuah masalah tak terduga muncul: Bagaimana jika ayah berkenan menjadi wali tapi tidak bisa hadir karena sedang bekerja di kapal pesiar? Sedangkan kontrak kerjanya masih lama dan tidak memungkinkan untuk pulang.

Pasal 12 ayat (4) Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 30 Tahun 2025 berbunyi, “Untuk melaksanakan ijab qabul pada saat akad nikah, wali nasab dapat mewakilkan kepada PPN, atau orang lain yang memenuhi syarat sebagaimana ayat (2).” Pada ayat (2) terdapat syarat menjadi wali nikah, yaitu laki-laki, Islam, balig, dan berakal. Oleh karena itu, dalam kasus di atas, sang Ayah dapat mewakilkan perwaliannya kepada PPN atau pihak yang memenuhi syarat.

Meskipun demikian, pada ayat (5) dijelaskan, “Dalam hal wali nikah tidak hadir pada saat akad nikah, wali nikah membuat surat kuasa wakil wali atau taukil wali di hadapan PPN sesuai dengan domisili atau keberadaan wali dan disaksikan oleh 2 (dua) orang.” Ketentuan itu mengharuskan wali untuk membuat surat kuasa di hadapan PPN, atau bisa mendatangi KUA/KBRI terdekat dari domisilinya. Masalah dalam kasus di atas, sang ayah berada di tengah samudera. Adapun jika dipaksaakan taukil wali, ia harus menunggu berhari-hari untuk sampai daratan. Jika pun sampai daratan, mungkin juga tidak diperbolehkan pihak kapal pesiar untuk ke KBRI karena akan menyita waktu.

Ayah tetap berhak menjadi wali, karena ia masih hidup dan diketahui keberadaanya. Dengan demikian, wali nasab dalam urutan selanjutnya tidak berhak untuk menikahkan perempuan tersebut. Solusi yang bisa dipertimbangkan adalah keputusan wali hakim, sebagaimana pasal 13 ayat (1) PMA 30/ 2025. Masalahnya, keadaan wali tersebut tidak terakomodasi dalam pasal 13 ayat (5), sebagaimana berbunyi:

Wali hakim sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat bertindak sebagai wali dalam hal:

  1. wali nasab tidak ada (semua wali nasab sudah meninggal)
  2. walinya adhal (enggan untuk menikahkan);
  3. walinya tidak diketahui keberadannya;
  4. walinya tidak dapat dihadirkan;
  5. wali nasab tidak ada yang beragama Islam; dann
  6. wali yang akan menikahkan menjadi pengantin itu sendiri;

Kasus di atas menimbulkan perdebatan. Sebab, seseorang yang sudah cukup siap dan matang untuk menikah, disunahkan untuk menyegerakannya. Bahkan dalam beberapa kasus, pernikahan menjadi wajib bagi sebagian orang. Dar’u al-mafasid muqodda ala jalb al-mashalih (Meninggalkan kerusakan lebih diutamakan daripada mengimplementasikan kebaikan), menjadi kaidah yang dipertimbangkan dalam konteks khusus. Jika calon suami dan istri telah lama menjalin kasih, potensi maksiat selalu membayangi. Menunda pernikahan hanya karena menunggu wali nikah pulang justru dapat memperlebar celah-celah itu.

Sebagaimana diketahui, PMA bukanlah satu-satunya peraturan perkawinan di Indonesia. Ada ketentuan lain, seperti UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 23 ayat (1) KHI berbunyi “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan.” Pasal itu memberi solusi dalam kasus di atas, dengan alasan tidak mungkin menghadirkan ayah yang berada dalam kapal pesiar.

Pertanyaan lain, apakah solusi tersebut mengandung dualisme hukum? Dengan berlakunya 13 ayat (5) PMA 30/2025 dan Pasal 23 ayat (1) KHI

Dualisme hukum dapat terjadi apabila ada ketentuan yang masing-masing memiliki klaim kebenaran sendiri untuk suatu kasus. Contoh, sebagaimana penelitian Nugraha, adalah kasus pernikahan beda agama. UU No. 1/74 secara tegas melarang itu. Namun, Pasal 35 poin (a) UU No. 23 /2005 tentang Adminduk membolehkan perkawinan tersebut dicatatkan di Dindukcapil sepanjang memperoleh penetapan PN. Problematika tersebut telah selesai, usai diterbitkannya SEMA No. 2/2023.

Masalah perwalian di atas tidak bisa disamakan dengan dualisme perkawinan beda agama yang telah terjadi. Meskipun PMA dan KHI keduanya mengatur, tapi kehadirannya untuk saling mengisi. Buktinya, tidak ada bunyi pasal yang secara eksplisit bertentangan. Meskipun KHI hanya berbentuk inpres, dan tidak terlegitimasi dalam hierarki, eksistensinya dapat digunakan untuk mengisi kekosongan hukum. Penelitian Bilalu, dkk., menunjukkan bahwa KHI masih digunakan para hakim di Pengadilan Agama sebagai dasar hukum, apabila di tidak terdapat acuan dalam peraturan perundang-undangan dan pemerintahan. Riset Hariati menguatkan arguemntasi tersebut, dengan mengatakan bahwa KHI dapat mengisi kekosongan hukum bagi warga muslim di Indonesia.

Referensi

Nugraha, M. A. (2013). Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama Antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Privat Law1(1), 26525.

Bilalu, N., Jamal, R., Harun, N., & Subeitan, S. M. (2022). Compilation of Islamic Law as Judge’s Consideration at a Religious Court in North Sulawesi, Indonesia. Samarah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Hukum Islam6(2), 514-536.

Hariati, S. (2025). Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Sebagai Dasar Kekuatan Mengikat Putusan Pengadilan Agama. Jurnal Kompilasi Hukum10(1).

5 2 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 67 kali

Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

“Cuan” Memboming Dengan Aksi Viral [catatan harian penghulu]

1 Oktober 2025 - 00:03 WIB

Mengapa Verifikasi Calon Pengantin Adalah Keharusan di Era Digital?

30 September 2025 - 11:22 WIB

Musrenbang Sebagai Penjembatan Program KUA Kecamatan

29 September 2025 - 21:27 WIB

Taukil Wali bil lisan melalui daring, apakah diperbolehkan?

29 September 2025 - 16:46 WIB

Pengukuhan dan Rakerwil PW APRI Aceh 2025–2029: Momentum Kebersamaan, Profesionalisme, dan Penguatan Peran Penghulu

29 September 2025 - 06:21 WIB

“BIMWIN” Disandingkan Dengan “Tepuk Sakinah”

28 September 2025 - 20:37 WIB

Trending di Opini
1
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x