Dalam membahas Wali Nikah Palsu Part 2 ini penulis tidak membuat pendahuluan lagi tetapi mengikuti pendahuluan yang ada dalam Wali Nikah Palsu Part 1. Penulis disini lansung ke pembahasan
- Wali Nukah Palsu
Wali nikah sebagaimana diterangkan di atas adalah orang yang memegang sah tidaknya pernikahan, oleh karena itu tidak sah pernikahan tanpa adanya wali. Sementara palsu dalam kamus besar bahasa indonesia adalah tidak tulen, tidak asli, tidak sah, gadungan.[1] Wali nikah jika dihubungkan dengan kata palsu maka berarti wali nikah yang tidak asli, wali nikah tidak sah, sedangkan pernikahan yang dilaksanakan dengan wali nikah yang bukan asli maka pernikahan tersebut tidak sah karena wali nikah yang asli adalah wali nasab atau wali hakim.
Pernikahan calon mempelai Edi Prasetyo dengan Eka Nindya Lestari yang terjadi pada tanggal 5 juni 2021. Pernikahan kedua mempelai ini didaftarkan tanggal 17 mei 2021. Dalam laporan pernikahan kedua mempelai ini, bapak dari calon istri, Eka Nindya Lestari adalah Slamet sebagaimana tertulis dalam surat pengantar nikah, N1, karena dalam KK dan akta kelahiran, yang menjadi bapak dari Eka Nindya Lestari ini adalah Slamet. Berkas administrasi nikah dari kedua mempelai ini lengkap dan sudah sesuai dengan PMA 20 tahun 2019 dari pasal (4) huruf (a) sampai huruf (f) sehingga penolakan tidak dikeluarkan oleh pihak KUA.
Saat dilakukan pemeriksaan kepada kedua mempelai, calon istri mengakui bahwa bapak Slamet bukan bapak kandungnya tetapi bapak tirinya. ”bapak Slamet itu… bapak sambung saya, bukan bapak kandung saya, bapak kandung saya hilang entah kemana dan tidak diketahui kabarnya sampai sekarang” tutur Nindya Lestari. Keadaan ini tidak disanggah oleh bapak Slamet. ”Saya menikah dengan Siti Maimunah, Eka ini sudah ada pak” ucapnya membenarkan perkataan Eka Nindya Lestari.
Sesuai dengan arahan dari bapak kepala KUA Kecamatan Mataram Baru , calon istri membuat surat pernyataan kehilangan wali yang disaksikan dua orang saksi serta diketahui oleh kepala desa Way Areng. Kepala desa Way Areng juga membuat surat keterangan bahwa wali ayah kandung dari calon istri Eka Nindya Lestari tidak ada atau ghaib. Kemudian calon istri, membuat permohonan wali hakim kepada bapak kepala KUA untuk menikahkannya dengan Edi Prasetyo.
Dilaksanakanlah pernikahan dari calon kedua mempelai Edi Prasetya dan Eka Nindya Lestari dengan wali hakim. Dua orang yang bertindak sebagai saksi dalam pernikahan tersebut adalah Mulyadi dan Miskam dengan membayar mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai dua ratus ribu rupiah. Pernikahan kedua mempelai ini dicatatkan dengan wali nasab dalam akta nikah dengan nomor 090/06/VI/2021 nomor seri LA. 100380191.
- Analisis Tentang Wali Nikah Palsu
Uraian pernikahan dengan wali hakim dan dicatatkan dengan wali nasab diatas maka dapat peneliti simpulkan sebagai berikut
- Sesuai UU nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1.
Peristiwa pernikahan dengan wali hakim seperti kasus diatas sesuai dengan Undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan khususnya pasal 2 ayat (1) yang berbunyi:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu.[2]
Pasal 2 ayat (1) ini melegalisasi hukum agama untuk pelaksanaan pernikahan, Sedangkan untuk masyarakat yang beragama islam di Indonesia hukum agama dalam pelaksanaan pernikahan adalah KHI. Syarat yang tertulis dalam KHI sebagai syarat nikah adalah adanya calon suami, calon istri, wali nikah, dua saksi dan ijab qobul,
Wali nikah dalam hal ini hilang atau tidak diketahui keberadaannya maka wali hakimlah yang akan menjadi wali dalam pernikahannya. Calon istri yang tidak mempunyai wali nasab, wali hakim lah yang akan menjadi walinya. Sebagaimana yang tertulis dalam KHI pasal 23 ayat (1) dan diterangkan dalam pasal 2 ayat 1 PMA 30 tahun 2005, serta dalam PMA 20 tahun 2019 tentang pencatatan pernikahan pasal 13 ayat (2). Pernikahan diatas dilaksanakan dengan wali hakim karena wali nasab ayah kandung tidak diketahui keberadaannya atau hilang dengan pengakuan mereka dan surat pernyataan dari calon istri yang diketahui oleh kepala desa
- Tidak sesuai UU nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2.
Peristiwa pernikahan dengan wali hakim tetapi dicatatkan dengan wali nasab yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru tidak sesuai dengan pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[3]
Pencatatan pernikahan merupakan salah satu prinsip hukum perkawinan nasional yang bersumber pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 adalah lanjutan dari pasal 1, kata ”dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku”, maka dicatat dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi dalam pasal 1.
Undang Undang fungsinya adalah mengontrol syarat nikah secara hukum agama juga mengontrol syarat nikah secara hukum administrasi atau undang undang. Kenyataan yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru tidak terpenuhi dengan ketentuan undang undang pernikahan pasal 2 ayat 2. Karena pernikahan mempelai di atas, hukum agama terpenuhi tetapi hukum administrasi, legalitas formal tidak terpenuhi. Bukti hukum yang direkam dalam sebuah pencatatan pernikahan yang sah tidak sesuai dengan peristiwa hukum yang terjadi. Dalam prakteknya, kewajiban pencatatan yang dituangkan dalam pembuatan akta nikah berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi.
- Solusi Terhadap Wali Nikah Palsu
Pernikahan dengan wali hakim dan dicatatkan dengan wali nasab ayah kandung sebagaimana yang tertulis dalam surat kehendak nikah (N1), akta lahir kk, dan ijazah, yang sesungguhnya bukan wali nasab calon istri dari pengakuannya.
Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad nikah yang sah. Untuk dapat menghubungkan nasab seorang anak kepada ayahnya dibutuhkan dua syarat, yaitu hubungan darah dan akad nikah yang sah. Bila hanya terdapat satu syarat, baik hubungan darah seperti hamil diluar pernikahan maupun akad nikah saja seperti istri yang dihamili orang lain maka nasab pun tidak dapat dihubungkan antara seorang ayah dengan anak.
Kasus yang terjadi dari pengantin diatas dapat dilihat bahwa orang yang tertulis dalam KK dan Akta kelahiran calon istri bukan wali nasabnya karena tidak memenuhi dari dua syarat dari syarat hubungan nasab, hal ini diketahui dari pengakuan calon istri, maka KUA melaksanakannya dengan wali hakim sebagai wali yang sah dalam pernikahannya. Dengan solusi menuliskan wali orang yang tertera dalam akta kelahiran dan kk adalah :
- Mentaati Undang Undang
Pernikahan dengan wali hakim dan dicatatkan dengan wali nasab adalah usaha untuk mentaati perundang undangan terutama dalam undang undang pernikahan. Tujuannya benar tetapi jalan yang ditempuh tidak benar. Jika calon istri diam, tidak memberitahukan yang sesungguhnya tentang wali nikahnya kepada KUA, maka mereka akan menikah dengan orang yang bukan wali nasab dan juga bukan wali hakim, yang jelas jelas itu tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka.
Pencatatan dengan yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan masing masing tentu saja tidak sesuai dengan undang undang, tujuan salah dan jalannya juga salah. Peristiwa pernikahan dengan wali hakim tetapi dicatat dengan wali yang tertulis dalam akta kelahiran, adalah sesuatu usaha untuk mematuhi ketentuan undang undang. Penulisan akta kolom wali nikah dengan orang yang tertulis dalam N1 tidak merusak keabsahan pernikahan tersebut , tetapi peristiwa pernikahan tersebut menyatakan bahwa peristiwa pernikahan itu memang ada dan terjadi. Kaidah fikih mengatatakan ’tasorruful imam ’ala ro’iyah manutun bilmaslahah’ . “ kebijakan pemimpin ( pemerintah) terhadap rakyatnya ada dikaitkan dengan kemaslahatan.”
- Menghindari Terjadinya Nikah Sirri
Pencatatan pernikahan dan membuktikannya dengan akta nikah sangat jelas mendatangkan kemaslahatan bagi tegaknya rumah tangga. Pencatatan pernikahan dituangkan dalam lembar akta nikah dan kutipan buku nikah yang merupakan bukti otentik hukum adanya sebuah perhelatan besar (Mitsaqon Gholidhon) yaitu pernikahan, dalam rangka kemaslahatan kehidupan masyarakat dan menjamin adanya kepastian hukum. Jangan karena ada paksaan dalam pencatatan yang harus sesuai dengan kenyataan yang tertulis, calon istri mencabut berkas dan kemudian menikah Sirri.
Kewajiban pencatatan dan pembuatan akta nikah bagi setiap peristiwa pernikahan bukan sebagai penentu keabsahan pernikahan. Pencatatan perkawinan dianggap sebagai kewajiban administratif saja, sehingga pencatatan perkawinan merupakan hal yang tidak terkait dalam penentuan keabsahan suatu pernikahan. Anggapan masih hidup dalam masyarakat kita. Kaidah menyatakan ’dar’ul mafasid muqoddamun ’ala jalabil masholih’ menolak kemudharatan lebih didahulukan untuk menarik kemaslahatan.
- Kesimpulan
Pernikahan dengan wali hakim yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru dan dicatatkan dengan wali nikah yang tertulis dalam surat pengantar kehendak nikah (N1), akta kelahiran Kartu keluarga (KK), ijazah yang notabene bukan wali nasab adalah sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan tidak sesuai dengan ayat 2 tetapi dicatatkan oleh kua mataram baru dengan alasan
- Mentaati Undang Undang
- Menghindari Terjadinya Nikah Sirri
[1] . https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/palsu di unduh tanggal 13 november 2022 jam 10.00
[2] . Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
[3] . Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan