๐๐๐ง๐ข๐ค๐๐ก ๐๐ฎ๐ค๐๐ง ๐๐๐ง๐ฒ๐ ๐๐จ๐ฆ๐๐ง๐ญ๐ข๐ฌ, ๐๐๐ฉ๐ข ๐๐๐๐ฅ๐ข๐ฌ๐ญ๐ข๐ฌ
Oleh: Mahbub Fauzie, Penghulu Ahli Madya KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah
Banyak orang memandang pernikahan sebagai kelanjutan dari cinta yang manis, penuh kebahagiaan, tawa, dan kemesraan. Mereka membayangkan hari-hari yang indah seperti dalam film atau unggahan media sosial, lalu mengira bahwa menikah berarti menjalani hidup berdua dalam keharmonisan abadi. Padahal, kenyataan berbicara lain. Pernikahan tidak selalu manis, bahkan sering kali melelahkan.
Romantis memang bagian dari cinta, tapi ia bukan penentu keutuhan rumah tangga. Begitu ijab kabul selesai dan kehidupan bersama dimulai, barulah muncul rutinitas: tanggung jawab, pekerjaan rumah, konflik kecil, hingga tekanan ekonomi. Di sinilah banyak pasangan merasa โterkejutโ, menyadari bahwa cinta saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kedewasaan dan komitmen.
Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar menyatukan dua hati, tapi juga dua kehidupan, dua kepribadian, dan dua keluarga. Maka, kesiapan mental dan spiritual jauh lebih penting daripada sekadar rasa suka. Rasulullah SAW sendiri bersabda: โWahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.โ (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menandakan bahwa pernikahan bukan semata soal cinta, tapi soal pengendalian diri dan tanggung jawab.
๐๐๐๐ฅ๐ข๐ญ๐๐ฌ ๐๐๐ซ๐ง๐ข๐ค๐๐ก๐๐ง, ๐๐๐ฌ๐๐ฅ๐๐ก ๐๐๐ก๐๐ซ๐ข-๐๐๐ซ๐ข ๐ฒ๐๐ง๐ ๐๐๐ค ๐๐ข๐ฌ๐ ๐๐ข๐๐๐๐ข๐ค๐๐ง
Realitas rumah tangga tidak selalu indah. Banyak pasangan yang akhirnya bertengkar bukan karena isu besar, tapi karena hal-hal kecil yang diabaikan: pembagian tugas rumah tangga, pengasuhan anak, hingga manajemen keuangan. Ketika komunikasi tidak berjalan baik, hal remeh bisa menjadi pemicu ledakan emosi.
Salah satu tantangan terbesar adalah masalah ekonomi. Banyak pasangan tidak terbuka dalam mengatur keuangan, padahal ini adalah aspek yang sangat krusial. Berapa penghasilan, bagaimana mengelolanya, dan apa prioritas belanja rumah tangga, semua harus didiskusikan bersama. Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qurโan: โ…Dan bergaullah dengan mereka secara patut…โ
(QS. An-Nisa: 19)
Ayat ini mengandung makna luas, termasuk pentingnya musyawarah, saling memahami, dan memperlakukan pasangan secara adil, baik dalam hal lahir maupun batin.
Selain ekonomi, faktor kelelahan emosional juga tak kalah penting. Pasangan bisa merasa terabaikan, tidak didengar, atau merasa tidak cukup dihargai. Jika tidak ada ruang untuk keterbukaan, hubungan bisa berubah menjadi hambar, bahkan menyakitkan. Padahal rumah tangga seharusnya menjadi tempat paling aman untuk berbagi dan bertumbuh.
๐๐๐ซ๐ง๐ข๐ค๐๐ก๐๐ง ๐๐ฎ๐ญ๐ฎ๐ก ๐๐จ๐ฆ๐ข๐ญ๐ฆ๐๐ง, ๐๐ฎ๐ค๐๐ง ๐๐๐ค๐๐๐๐ซ ๐๐๐ซ๐๐ฌ๐๐๐ง
Dalam pernikahan, cinta bukanlah sesuatu yang terus membara setiap saat. Akan ada masa cinta itu menghangat, mendingin, bahkan nyaris padam. Di saat-saat seperti itu, bukan rasa yang menjadi pengikat, tapi komitmen. Komitmen untuk tetap setia, saling mendukung, dan terus berusaha memperbaiki diri bersama.
Komitmen ini diwujudkan dalam komunikasi yang sehat, keterbukaan tanpa rasa takut dihakimi, dan kepercayaan yang dijaga. Ketika pasangan bisa menjadi tempat kembali dalam keadaan terburuk sekalipun, di situlah makna sejati dari rumah tangga.
Rasulullah SAW bersabda: โSebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.โ (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menekankan pentingnya akhlak dan sikap lembut dalam rumah tangga. Pasangan bukan untuk dimenangkan, tapi untuk dipahami. Maka, berkomitmen dalam pernikahan berarti bersedia menjadi lebih sabar, lebih bijak, dan lebih dewasa dari hari ke hari.
Pernikahan bukanlah dongeng yang selalu indah, tapi sebuah ladang ibadah yang membutuhkan kerja keras, doa, dan ketulusan. Ia bukan tentang siapa yang paling romantis, tapi siapa yang paling tahan uji. Ketika pernikahan dibangun di atas keterbukaan, kepercayaan, dan komitmen yang dilandasi iman, insyaAllah rumah tangga akan menjadi tempat bertumbuh bersama dalam cinta dan keberkahan.
Sudah saatnya kita tidak lagi memandang menikah hanya sebagai kisah cinta yang manis, tapi sebagai perjalanan hidup yang realistis, penuh ujian, tapi juga penuh makna. []
Takengon, 27 Agustus 2025