Menu

Mode Gelap

Opini ยท 27 Agu 2025 06:52 WIB ยท

Menikah Bukan Hanya Romantis, Tapi Realistis

Penulis: Mahbub Fauzie


 Menikah Bukan Hanya Romantis, Tapi Realistis Perbesar

๐Œ๐ž๐ง๐ข๐ค๐š๐ก ๐๐ฎ๐ค๐š๐ง ๐‡๐š๐ง๐ฒ๐š ๐‘๐จ๐ฆ๐š๐ง๐ญ๐ข๐ฌ, ๐“๐š๐ฉ๐ข ๐‘๐ž๐š๐ฅ๐ข๐ฌ๐ญ๐ข๐ฌ

Oleh: Mahbub Fauzie, Penghulu Ahli Madya KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah

Banyak orang memandang pernikahan sebagai kelanjutan dari cinta yang manis, penuh kebahagiaan, tawa, dan kemesraan. Mereka membayangkan hari-hari yang indah seperti dalam film atau unggahan media sosial, lalu mengira bahwa menikah berarti menjalani hidup berdua dalam keharmonisan abadi. Padahal, kenyataan berbicara lain. Pernikahan tidak selalu manis, bahkan sering kali melelahkan.

Romantis memang bagian dari cinta, tapi ia bukan penentu keutuhan rumah tangga. Begitu ijab kabul selesai dan kehidupan bersama dimulai, barulah muncul rutinitas: tanggung jawab, pekerjaan rumah, konflik kecil, hingga tekanan ekonomi. Di sinilah banyak pasangan merasa โ€˜terkejutโ€™, menyadari bahwa cinta saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kedewasaan dan komitmen.

Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar menyatukan dua hati, tapi juga dua kehidupan, dua kepribadian, dan dua keluarga. Maka, kesiapan mental dan spiritual jauh lebih penting daripada sekadar rasa suka. Rasulullah SAW sendiri bersabda: โ€œWahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.โ€ (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menandakan bahwa pernikahan bukan semata soal cinta, tapi soal pengendalian diri dan tanggung jawab.

๐‘๐ž๐š๐ฅ๐ข๐ญ๐š๐ฌ ๐๐ž๐ซ๐ง๐ข๐ค๐š๐ก๐š๐ง, ๐Œ๐š๐ฌ๐š๐ฅ๐š๐ก ๐’๐ž๐ก๐š๐ซ๐ข-๐‡๐š๐ซ๐ข ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐“๐š๐ค ๐๐ข๐ฌ๐š ๐ƒ๐ข๐š๐›๐š๐ข๐ค๐š๐ง

Realitas rumah tangga tidak selalu indah. Banyak pasangan yang akhirnya bertengkar bukan karena isu besar, tapi karena hal-hal kecil yang diabaikan: pembagian tugas rumah tangga, pengasuhan anak, hingga manajemen keuangan. Ketika komunikasi tidak berjalan baik, hal remeh bisa menjadi pemicu ledakan emosi.

Salah satu tantangan terbesar adalah masalah ekonomi. Banyak pasangan tidak terbuka dalam mengatur keuangan, padahal ini adalah aspek yang sangat krusial. Berapa penghasilan, bagaimana mengelolanya, dan apa prioritas belanja rumah tangga, semua harus didiskusikan bersama. Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qurโ€™an: โ€œ…Dan bergaullah dengan mereka secara patut…โ€
(QS. An-Nisa: 19)

Ayat ini mengandung makna luas, termasuk pentingnya musyawarah, saling memahami, dan memperlakukan pasangan secara adil, baik dalam hal lahir maupun batin.

Selain ekonomi, faktor kelelahan emosional juga tak kalah penting. Pasangan bisa merasa terabaikan, tidak didengar, atau merasa tidak cukup dihargai. Jika tidak ada ruang untuk keterbukaan, hubungan bisa berubah menjadi hambar, bahkan menyakitkan. Padahal rumah tangga seharusnya menjadi tempat paling aman untuk berbagi dan bertumbuh.

๐๐ž๐ซ๐ง๐ข๐ค๐š๐ก๐š๐ง ๐๐ฎ๐ญ๐ฎ๐ก ๐Š๐จ๐ฆ๐ข๐ญ๐ฆ๐ž๐ง, ๐๐ฎ๐ค๐š๐ง ๐’๐ž๐ค๐š๐๐š๐ซ ๐๐ž๐ซ๐š๐ฌ๐š๐š๐ง

Dalam pernikahan, cinta bukanlah sesuatu yang terus membara setiap saat. Akan ada masa cinta itu menghangat, mendingin, bahkan nyaris padam. Di saat-saat seperti itu, bukan rasa yang menjadi pengikat, tapi komitmen. Komitmen untuk tetap setia, saling mendukung, dan terus berusaha memperbaiki diri bersama.

Komitmen ini diwujudkan dalam komunikasi yang sehat, keterbukaan tanpa rasa takut dihakimi, dan kepercayaan yang dijaga. Ketika pasangan bisa menjadi tempat kembali dalam keadaan terburuk sekalipun, di situlah makna sejati dari rumah tangga.

Rasulullah SAW bersabda: โ€œSebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.โ€ (HR. Tirmidzi)

Hadis ini menekankan pentingnya akhlak dan sikap lembut dalam rumah tangga. Pasangan bukan untuk dimenangkan, tapi untuk dipahami. Maka, berkomitmen dalam pernikahan berarti bersedia menjadi lebih sabar, lebih bijak, dan lebih dewasa dari hari ke hari.

Pernikahan bukanlah dongeng yang selalu indah, tapi sebuah ladang ibadah yang membutuhkan kerja keras, doa, dan ketulusan. Ia bukan tentang siapa yang paling romantis, tapi siapa yang paling tahan uji. Ketika pernikahan dibangun di atas keterbukaan, kepercayaan, dan komitmen yang dilandasi iman, insyaAllah rumah tangga akan menjadi tempat bertumbuh bersama dalam cinta dan keberkahan.

Sudah saatnya kita tidak lagi memandang menikah hanya sebagai kisah cinta yang manis, tapi sebagai perjalanan hidup yang realistis, penuh ujian, tapi juga penuh makna. []

Takengon, 27 Agustus 2025

5 2 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 62 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

“Cuan” Memboming Dengan Aksi Viral [catatan harian penghulu]

1 Oktober 2025 - 00:03 WIB

Mengapa Verifikasi Calon Pengantin Adalah Keharusan di Era Digital?

30 September 2025 - 11:22 WIB

Musrenbang Sebagai Penjembatan Program KUA Kecamatan

29 September 2025 - 21:27 WIB

Taukil Wali bil lisan melalui daring, apakah diperbolehkan?

29 September 2025 - 16:46 WIB

Pengukuhan dan Rakerwil PW APRI Aceh 2025โ€“2029: Momentum Kebersamaan, Profesionalisme, dan Penguatan Peran Penghulu

29 September 2025 - 06:21 WIB

“BIMWIN” Disandingkan Dengan “Tepuk Sakinah”

28 September 2025 - 20:37 WIB

Trending di Opini
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x