๐ช๐ฎ๐ธ๐๐ ๐ ๐๐ฑ๐ฎ: ๐๐ป๐๐ฎ๐ฟ๐ฎ ๐๐บ๐ฎ๐ป๐ฎ๐ต
๐ฑ๐ฎ๐ป ๐๐ป๐ด๐ฎ๐ป-๐๐ป๐ด๐ฎ๐ป
Oleh: Mahbub Fauzie
Masa muda selalu identik dengan energi, mimpi besar, dan potensi tak terbatas. Ia adalah fase terbaik dalam hidup manusia, tempat di mana ide-ide tumbuh liar dan semangat belajar masih menyala. Namun, di tengah kemajuan zaman dan derasnya teknologi, masa muda kerap terjebak dalam hal yang tampak produktif, tapi sejatinya menjauhkan dari tujuan hidup yang lebih bermakna.
Hari ini, kita hidup di era serba digital. Smartphone berada di genggaman hampir semua anak muda. Akses terhadap ilmu, inspirasi, dan peluang begitu terbuka. Sayangnya, peluang ini sering teralihkan oleh keasyikan dalam dunia maya: game online, konten hiburan, dan media sosial yang tak mengenal batas waktu.
Banyak anak muda yang bangga bisa begadang semalaman demi naik level game, tapi enggan bangun pagi untuk menunaikan salat subuh. Ada yang begitu kreatif dalam membuat konten lucu di media sosial, tapi merasa kaku saat diminta bicara tentang masa depan. Mereka pintar menggunakan teknologi, namun tidak semua bijak dalam mengelola waktunya.
Padahal, dalam Islam, waktu bukan hanya sumber daya, tapi juga amanah. Allah SWT bahkan bersumpah atas nama waktu dalam Surah Al-โAshr: โDemi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.โ
Kerugian yang dimaksud bukan hanya soal ekonomi atau prestasi akademik, tapi tentang hilangnya arah hidup, kehilangan makna, dan lalai terhadap tanggung jawab sebagai hamba Allah.
Rasulullah SAW juga pernah bersabda, โAda dua nikmat yang sering dilalaikan oleh manusia: kesehatan dan waktu luang.โ
Masa muda adalah waktu luang yang paling potensial, karena saat itulah semangat masih menggebu, pikiran masih segar, dan tubuh masih kuat untuk ditempa oleh ilmu, pengalaman, dan tanggung jawab sosial.
Sayangnya, sebagian besar masa muda hari ini dihabiskan dalam wilayah yang dangkal: hiburan instan, eksistensi semu di media sosial, dan mimpi yang tidak diiringi dengan ikhtiar serius. Kita menyebutnya “generasi rebahan”, bukan karena malas, tetapi karena kehilangan orientasi.
Banyak yang ingin sukses, tapi menunda belajar. Banyak yang ingin dikenal, tapi enggan berproses. Banyak yang ingin hidup tenang, tapi sibuk membandingkan hidupnya dengan konten orang lain. Masa muda pun menjadi ladang angan-angan, bukan ladang amal dan aksi nyata.
Namun, kita tidak boleh hanya terpaku pada sisi gelapnya saja. Banyak juga anak muda Indonesia yang menggunakan waktunya dengan bijak: membangun usaha sejak kuliah, menulis buku, mengelola komunitas sosial, membuat aplikasi, hingga menyebarkan dakwah lewat konten kreatif. Mereka membuktikan bahwa menjadi muda bukan alasan untuk lalai, justru menjadi modal untuk menebar manfaat lebih awal.
Maka, mari kita refleksikan bersama: apakah kita sedang memperlakukan masa muda sebagai amanah yang harus dijaga dan digunakan sebaik-baiknya? Ataukah kita membiarkannya hanyut dalam angan-angan yang tanpa arah?
Waktu muda tidak akan kembali. Ia bukan ruang kosong yang bisa diisi sesuka hati. Ia adalah titipan Tuhan yang suatu hari akan ditanya: โUntuk apa kamu gunakan?โ
Dan ketika pertanyaan itu datang, semoga kita tak menjawab dengan penyesalan.
Kini saatnya anak muda bangkit, tidak hanya sibuk menjadi penonton konten, tapi menjadi pencipta perubahan. Tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tapi juga pembelajar yang terus tumbuh.
Karena sejatinya, masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh siapa yang paling banyak pengikutnya, tapi oleh siapa yang paling banyak kontribusinya.
Jangan biarkan hidupmu cuma sebatas baterai 100%, tapi iman, ilmu, dan karya tinggal satu persen. Mari manfaatkan waktu muda bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi juga untuk menanam amal, menjemput ilmu, dan membangun masa depan yang berarti. Billahi taufik wal hidayah. Aamiin.
Kung, 5 Agustus 2025